Anda di halaman 1dari 84

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Auditor Internal

2.1.1.1 Pengertian Auditor Internal

Audit internal merupakan suatu profesi penelitian yang sifatnya

independen dan objektif yang berada dalam suatu organisasi untuk

memeriksa pembukuan, keuangan, dan operasional lainnya sebagai pemberi

jasa kepada manajemen. Audit internal wajib memberikan laporan hasil

penilaian kepada manajemen atau pimpinan perusahaan, berupaya

penyediaan informasi yang dibutuhkan untuk membuat suatu keputusan

yang berhubungan dengan kegiatan operasi perusahaan yang memberi

pendapat dan rekomendasi yang dijadikan dasar dalam membantu

pengambilan keputusan manajemen untuk mencapai tujuan perusahaan.

Audit internal merupakan pekerjaan penilaian yang bebas

(independen) didalam suatu organisasi untuk meninjau kegiatan-kegiatan

perusahaan guna memenuhi kebutuhan pimpinan. Sasaran audit internal

adalah guna membantu semua anggota pimpinan untuk melaksanakan hal-

hal yang menjadi tanggung jawabnya, dengan menyiapkan analisis,

penilaian, rekomendasi dan komentar yang tepat mengenai kegiatan-

kegiatan yang diperiksa.

Menurut Hiro Tugiman (2006) pengertian audit internal adalah:

“Audit internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen


dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi
kegiatan organisasi yang dilaksanakan. Tujuan pemeriksaam

15
16

internal adalah membantu para anggota organisasi agar dapat


melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif.”
Suatu fungsi penilaian independen yang dibentuk dalam organisasi

untuk memeriksa dan mengevaluasi kegiatannya sebagai jasa bagi

organisasi. Sedangkan menurut Sawyer (2005) audit inernal adalah:

“Audit internal adalah sebuah aktivitas konsultasi dan


keyakinan objektif yang dikelola secara independen di dalam
organisasi dan diarahkan oleh filosofi penambahan nilai untuk
meningkatkan operasional perusahaan. Audit tersebut
membantu organisasi dalam mencapai tujuannya dengan
menerapkan pendekatan yang sistematis dan disiplin untuk
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses pengelolaan
risiko, kecukupan control, dan pengelolaan organisasi.”
Seterusnya The Institute of Internal Auditors (The IIA, 2012)

mendefinisikan audit internal sebagai berikut:

“Internal auditing is an independent, objective assurance and


consulting activity designed to add value and improve an
organization’s operations. It helps an organization accomplish its
objectives by bringing a systematic, disciplined approach to
evaluate and improve the effectiveness of risk management,
control and governance process.”
Dari definisi audit internal tersebut dapat dilihat bahwa secara

umum audit internal berfungsi untuk membantu organisasi mencapai

tujuannya, dengan menerapkan manajemen risiko, kontrol dan tata kelola

yang baik.

Audit internal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa

yang merupakan bagian dari organisasi yang diawasi. Di dalam sektor

publik yang termasuk Auditor Internal adalah audit yang dilakukan oleh

Inspektorat Jenderal Departemen, satuan pengawasan intern di lingkungan

lembaga negara Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah

(BUMN/BUMD), Inspektorat Wilayah Provinsi (ITWILPROV), Inspektorat


17

Wilayah Kabupaten/Kota (ITWILKAB/ITWILKO), dan Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (Mardiasmo, 2002).

Auditor Internal memberikan informasi yang diperlukan manajer

dalam menjalankan tanggung jawab secara efektif. Auditor Internal

bertindak sebagai penilai independen untuk menelaah operasional

perusahaan dengan mengukur dan mengevaluasi kecukupan kontrol serta

efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan. Auditor Internal memiliki

peranan yang penting dalam semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan

perusahaan dan risiko-risiko terkait dalam menjalankan usaha (Sawyer,

2009:7).

Pengertian Auditor Internal menurut Arens, et al (2008) sebagai

berikut:

“Are employed by individual companies to audit for management


much as the GAO does for congress. The internal audit group in
some large firms can include more than 100 people and typically
reports directly to the president, another high executive office, or
the audit committee of the board of directors”.
Fungsi Auditor Internal melakukan evaluasi dan memberikan

kontribusi terhadap peningkatan proses pengelolaan risiko, pengendalian,

dan governance, dengan menggunakan pendekatan yang sistematis, teratur

dan menyeluruh. Sasaran Auditor Internal ditentukan oleh manajemen

senior dan dewan, dan oleh standar profesional. Oleh karena itu Auditor

Internal harus bertanggungjawab pada manajemen senior dan Komite Audit

dari dewan.

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan

dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memerintahkan pengangkatan


18

pejabat yang bertugas melakukan pengawasan internal pengelolaan

keuangan daerah, yang melaporkan kepada Kepala Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan

dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menyatakan

bahwa inspektorat daerah berperan dalam melakukan identifikasi

penyelenggaraan urusan daerah dan untuk kebijakan lebih lanjut diserahkan

kepada Kepala Daerah.

Dalam Permendagri Nomor 78 Tahun 2015 tentang Kebijakan

Pembinaan Dan Pengawasan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan

Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa:

(1) Inspektorat Jenderal Kementerian/Inspektorat Utama Lembaga

Pemerintah Non Kementerian melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap:

a. pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan;

b. pinjaman dan hibah luar negeri; dan

c. pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

sesuai fungsi dan kewenangannya.

(2) Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri selain melakukan

pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di

lingkungan Kementerian Dalam Negeri juga melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan provinsi dan

pemerintahan kabupaten/kota, pembinaan dan pengawasan dalam

rangka percepatan menuju good governance, clean government, dan

pelayanan publik di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri serta


19

kegiatan penunjang dan koordinasi pembinaan dan pengawasan di

lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota.

(3) Inspektorat Provinsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap:

a. peningkatan kinerja SKPD/Unit Kerja lingkup Pemerintahan

Provinsi;

b. pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota di

wilayahnya; dan

c. percepatan menuju good governance, clean goverment, dan

pelayanan publik pada pemerintahan provinsi dan kegiatan

penunjang pembinaan dan pengawasan lainnya.

(4) Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap:

a. peningkatan kinerja SKPD/Unit Kerja lingkup Pemerintahan

kabupaten/kota;

b. pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota di

wilayahnya.

c. percepatan menuju good governance, clean goverment, dan

pelayanan publik pada pemerintahan kabupaten/kota dan Kegiatan

penunjang pembinaan dan pengawasan lainnya.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005,

aparat pengawas intern melakukan pengawasan sesuai dengan fungsi dan

kewenangannya, melalui:

1. Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah,

dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri


20

terhadap Gubernur dan oleh inspektorat provinsi terhadap

Bupati/Walikota 2 minggu sebelum dan/atau sesudah berakhirnya masa

bakti.

2. Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun terpadu. Pengertian

pemeriksaan sebagaimana dalam penjelasan PP Nomor 79 tahun 2005,

adalah sebagai berikut: a. Pengujian terhadap laporan berkala dan/atau

sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; b. Pengusutan atas kebenaran

laporan mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi,

kolusi dan nepotisme; c. Penilaian atas manfaat dan keberhasilan,

kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; dan d. Monitoring dan

evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan

desa.

2.1.1.2 Jenis Jasa Audit

Jenis jasa audit sebagai berikut:

1. Audit keuangan (financial audit), yaitu analisis aktivitas ekonomi

sebuah entitas yang diukur dan dilaporkan sesuai dengan standar

akuntansi keuangan.

2. Audit ketaatan (compliance audit). Penelaahan atas kontrol keuangan

dan operasi serta transaksi untuk melihat kesesuaiannya dengan aturan,

standar, regulasi, dan prosedur yang berlaku.

3. Audit operasional (operational audit). Telaah komprehensif atas fungsi

yang bervariasi dalam perusahaan untuk menilai efisiensi dan ekonomi

operasi dan efektivitas fungsi-fungsi tersebut dalam mencapai

tujuannya (Sawyer, 2003).


21

Masing-masing kategori bisa memiliki perbedaan dalam

penekanannya pada organisasi dan negara yang berbeda, dan struktur serta

praktik khusus juga bisa berbeda. Penekanan audit internal adalah untuk

membantu manajer dan dewan komisaris atau badan pengatur lainnya yang

sejenis dalam mencapai pengelolaan yang optimal dan dalam pelaksanaan

yang menjadi tanggung jawab mereka.

2.1.1.3 Kode Etik Auditor Internal

Dalam melaksanakan tugasnya Auditor Internal terikat dengan

kode etik. Kode etik ini memuat standar perilaku sebagai pedoman bagi

seluruh Auditor Internal. Standar perilaku tersebut membentuk prinsip-

prinsip dasar dalam menjalankan praktik audit internal.

Para Auditor Internal wajib menjalankan tanggung jawab

profesinya dengan bijaksana, penuh martabat, dan kehormatan. Dalam

menerapkan kode etik ini Auditor Internal harus memperhatikan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pelanggaran terhadap standar perilaku

yang ditetapkan dalam kode etik ini dapat mengakibatkan dicabutnya

keanggotaan Auditor Internal dari organisasi profesinya.

Kode etik disebut juga sebagai standar perilaku Auditor Internal

yang terdiri dari:

1. Auditor Internal harus menunjukkan kejujuran, objektivitas, dan

kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggung

jawab profesinya.

2. Auditor Internal harus menunjukkan loyalitas terhadap organisasi atau

terhadap pihak yang dilayani. Namun demikian Auditor Internal tidak


22

boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang

atau melanggar hukum.

3. Auditor Internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam tindakan atau

kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi internal audit atau

mendiskreditkan organisasinya.

4. Auditor Internal harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang dapat

menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya; atau kegiatan-

kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka, yang meragukan

kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi

tanggung jawab profesinya secara objektif.

5. Auditor Internal tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apapun

dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok, ataupun mitra bisnis

organisasinya, sehingga dapat mempengaruhi pertimbangan

profesionalnya.

6. Auditor Internal hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesaikan

dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya.

7. Auditor Internal harus mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa

memenuhi standar profesi audit internal.

8. Auditor Internal harus bersikap hati-hati dan bijaksana dalam

menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya.

Auditor internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia: (i) untuk

mendapatkan keuntungan pribadi; (ii) secara melanggar hukum; dan

(iii) yang dapat menimbulkan kerugian terhadap organisasinya.


23

9. Dalam melaporkan hasil pekerjaannya, Auditor Internal harus

mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya, yaitu

fakta-fakta yang jika tidak diungkap dapat: (i) mendistorsi kinerja

kegiatan yang direviu; dan (ii) menutupi adanya praktik-praktik yang

melanggar hukum.

10. Auditor Internal harus senantiasa meningkatkan keahliannya serta

efektivitas dan kualitas pelaksanaan tugasnya. Auditor Internal wajib

mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan (The Institute of

Internal Auditors, 2012).

2.1.1.4 Standar Profesional Audit Internal

Standar Profesional Audit Internal mempunyai tujuan sebagai

berikut:

1. Memberikan kerangka dasar yang konsisten untuk mengevaluasi

kegiatan dan kinerja satuan audit internal maupun individu Auditor

Internal.

2. Menjadi sarana bagi pemakai jasa dalam memahami peran, ruang

lingkup, dan tujuan audit internal.

3. Mendorong peningkatan praktik audit internal dalam organisasi.

4. Memberikan kerangka untuk melaksanakan dan mengembangkan

kegiatan audit internal yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan

kinerja kegiatan operasional organisasi.

5. Menjadi acuan dalam menyusun program pendidikan dan pelatihan bagi

Auditor Internal.
24

6. Menggambarkan prinsip-prinsip dasar praktik audit internal yang

seharusnya (international best practice) (The Institute of Internal

Auditors, 2012)

Selanjutnya standar profesional audit internal menurut terdiri dari:

1). Standar Atribut (Attribute Standards); 2). Standar Kinerja (Performance

Standards); dan 3). Standar Implementasi (Implementation Standards) (The

Institute of Internal Auditors, 2012).

1. Standar Atribut

Standar atribut terdiri dari:

a. Independensi dan Objektivitas (Independence and Objectivity).

b. Keahlian dan Kecermatan Profesi (Proficiency and Due Professional

Care).

c. Program Jaminan dan Peningkatan Kualitas (Quality Assurance and

Improvement Program).

A. Independensi dan Objektivitas (Independence and Objectivity)

Auditor Internal yang profesional harus memiliki independensi

untuk memenuhi kewajiban profesionalnya; memberikan opini yang

objektif, tidak bias, dan tidak dibatasi, dan melaporkan masalah apa

adanya, bukan melaporkan sesuai keinginan eksekutif atau lembaga.

Auditor Internal harus bebas dari hambatan dalam

melaksanakan auditnya. Auditor Internal harus memiliki sikap mental

yang objektif, tidak memihak dan menghindari kemungkinan timbulnya

pertentangan kepentingan (conflict of interest).


25

Terdapat beberapa indikator independensi profesional yang

dijabarkan sebagai berikut:

a. Independensi dalam program audit, yang meliputi; bebas dari

intervensi manajerial atas program audit, bebas dari segala

intervensi atas prosedur audit, bebas dari segala pernyataan untuk

penugasan audit selain yang memang disyaratkan untuk sebuah

proses audit.

b. Independensi dalam verifikasi, yang terdiri dari; bebas dalam

mengakses semua catatan, memeriksa aktiva dan karyawan relevan

dengan audit yang dilakukan, mendapatkan kerja sama yang aktif

dari karyawan manajemen selama verifikasi audit, bebas dari

segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas yang

diperiksa atau membatasi pemerolehan bahan bukti, bebas dari

kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit.

c. Independensi dalam pelaporan, yang meliputi; bebas dari perasaan

wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang

dilaporkan, bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal

yang signifikan dalam laporan audit, menghindar penggunaan kata-

kata yang menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja

dalam melaporkan fakta, opini dan rekomendasi dalam interpretasi

auditor, bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan

auditor mengenai fakta atau opini dalam laporan audit internal.

Jika prinsip independensi dan obyektivitas tidak dapat dicapai

baik secara fakta maupun dalam kesan, hal ini harus diungkapkan
26

kepada pihak yang berwenang. Teknis dan rincian pengungkapan ini

tergantung kepada alasan tidak terpenuhinya prinsip independensi dan

objektivitas tersebut (Sawyer, 2003).

B. Keahlian dan Kecermatan Profesi (Proficiency and Due

Professional Care)

Penugasan harus dilaksanakan dengan memperhatikan

keahlian dan kecermatan profesional, dengan syarat-syarat sebagai

berikut:

 Keahlian

Auditor Internal harus memiliki pengetahuan,

keterampilan, dan kompetensi yang ditubuhkan untuk

melaksanakan tanggung jawab perorangan. Fungsi audit internal

secara kolektif harus memiliki atau memperoleh pengetahuan,

keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan untuk

melaksanakan tanggungjawabnya. Selanjutnya dinyatakan;

1) Penanggungjawab fungsi audit internal harus memperolah

saran dan asistensi dari pihak yang kompeten jika

pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi dari staf auditor

internal tidak memadai untuk pelaksanaan sebagian atau

seluruh penugasannya.

2) Auditor Internal harus memiliki pengetahuan yang memadai

untuk dapat mengenali, meneliti, dan menguji adanya indikasi

kecurangan.
27

3) Fungsi audit internal secara kolektif harus memiliki

pengetahuan tentang risiko dan pengendalian yang penting

dalam bidang teknologi informasi dan teknik-teknik audit

berbasis teknologi informasi yang tersedia.

 Kecermatan Profesional

Auditor Internal harus menerapkan kecermatan dan

keterampilan yang layaknya dilakukan oleh seorang Auditor Internal

yang pruden dan kompeten. Standar ini menghendaki auditor

internal untuk melaksanakan tugasnya dengan cermat dan seksama.

Kecermatan dan keseksamaan ini menekankan bahwa Auditor

Internal bertanggungjawab untuk mendalami dan mematuhi standar

audit yang telah ditentukan dalam segala kegiatan yang berkaitan

dengan fungsi Auditor Internal. Salah satu wujud penerapan

kecermatan dan keseksamaan adalah reviu secara kritis pada setiap

tingkat supervise terhadap pelaksanaan audit dan terhadap

pertimbangan yang digunakan oleh mereka yang membantu audit.

Dalam menerapkan kecermatan profesional, Auditor

Internal perlu mempertimbangkan:

a. Ruang lingkup penugasan

b. Kompleksitas dan materialitas yang dicakup dalam penugasan.

c. Kecukupan dan efektivitas manajemen risiko, pengendalian dan

proses governance.

d. Biaya dan manfaat penggunaan sumber daya dalam penugasan.


28

e. Penggunaan teknik-teknik audit berbantuan komputer dan

teknik-teknik analisis lainnya (The Institute of Internal

Auditors (2012).

Dalam menerapkan kecermatan dan keseksamaan profesi

BPK, menyatakan para Auditor Internal harus waspada terhadap

kelemahan dalam pengendalian, kelemahan dalam kegiatan

pencatatan, transaksi yang menyimpang atau kejadian yang

berindikasikan kecurangan, melawan hukum, atau tidak ada dasar

hukumnya, maupun pengeluaran yang tidak wajar atau pemboroson.

Akan tetapi, standar ini tidak menjamin secara mutlak, bahwa segala

bentuk kesalahan dapat ditemukan auditor.

Selanjutnya dinyatakan Auditor Internal harus

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensinya

melalui pengembangan profesional yang berkelanjutan (BPK RI,

1996).

C. Program Jaminan dan Peningkatan Kualitas (Quality Assurance

and Improvement Program)

Penanggungjawab fungsi audit internal harus mengembangkan

dan memelihara program jaminan dan peningkatan kualitas yang

mencakup seluruh aspek dari fungsi audit internal dan secara terus

menerus memonitor efektivitasnya. Program ini mencakup penilaian

kualitas internal dan eksternal secara periodik serta pemantauan internal

yang berkelanjutan. Program ini harus dirancang untuk membantu

fungsi audit internal dalam menambah nilai dan meningkatkan operasi


29

perusahaan serta memberikan jaminan bahwa fungsi audit internal telah

sesuai dengan standar dan kode etik audit internal.

Program jaminan dan peningkatan kualitas fungsi audit

internal sebagai berikut:

a. Penilaian terhadap program jaminan dan peningkatan kualitas.

Fungsi audit internal harus menyelenggarakan suatu proses untuk

memonitor dan menilai efektivitas program jaminan dan

peningkatan kualitas secara keseluruhan. Proses ini harus

mencakup penilaian (assessment) internal maupun eksternal.

Penilaian eksternal, seperti quality assurance reviews harus

dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam dua tahun oleh pihak

luar perusahaan yang independen dan kompeten. Penilaian internal

oleh fungsi audit internal harus mencakup:

 Review yang berkesinambungan atas kegiatan dan kinerja

fungsi audit internal.

 Review berkala yang dilakukan melalui self assessment atau

pihak lain dari dalam organisasi yang memiliki pengetahuan

tentang standar dan praktik audit internal.

b. Pelaporan program jaminan dan peningkatan kualitas.

Penanggungjawab fungsi audit internal harus melaporkan hasil

review dari pihak eksternal kepada pimpinan dan dewan pengawas

organisasi.

c. Pernyataan kesesuaian dengan standar profesional audit internal.

Dalam laporan kegiatan periodiknya, Auditor Internal harus


30

memuat pernyataan bahwa aktivitasnya dilaksanakan sesuai dengan

standar profesi audit internal. Pernyataan ini harus didukung

dengan hasil penilaian program jaminan kualitas.

d. Pengungkapan atas ketidakpatuhan.

Dalam hal terdapat ketidak patuhan terhadap standar profesi audit

internal dan kode etik yang mempengaruhi ruang lingkup dan

aktivitas fungsi audit internal secara signifikan, maka hal ini harus

diungkapkan kepada pimpinan dan dewan pengawas organisasi.

(Standar Profesi Audit Internal, 2004).

2. Standar Kinerja (Performance Standards)

Standar kinerja, terdiri dari: a). Pengelolaan fungsi audit internal;

b). Lingkup penugasan; c). Perencanaan penugasan; d). Pelaksanaan

penugasan; e). Komunikasi hasil penugasan; f). Pemantauan tindak lanjut;

dan; g). Resolusi penerimaan risiko dan manajemen (The Institute of

Internal Auditors, 2012).

A. Pengelolaan Fungsi Audit Internal

Penanggungjawab fungsi audit internal harus mengelola fungsi

audit internal secara efektif dan efisien untuk memastikan bahwa

kegiatan fungsi tersebut memberikan nilai tambah bagi organisasi,

dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:

 Perencanaan.

Penanggungjawab fungsi audit internal harus menyusun perencanaan

yang berbasis risiko (risk-based plan) untuk menetapkan prioritas

kegiatan audit internal, konsisten dengan tujuan organisasi. Rencana


31

penugasan audit internal harus berdasarkan penilaian risiko yang

dilakukan paling sedikit setahun sekali. Masukan dari pimpinan dan

dewan pengawas organisasi serta perkembangan terkini harus juga

dipertimbangkan dalam proses ini.

 Komunikasi dan persetujuan.

Penanggungjawab fungsi audit intenal harus mengomunikasikan

rencana kegiatan audit, dan kebutuhan sumber daya kepada

pimpinan dan dewan pengawas organisasi untuk mendapat

persetujuan. Penanggungjawab fungsi audit internal juga harus

menjelaskan dampak yang mungkin timbul karena adanya

keterbatasan sumber daya.

 Pengelolaan sumber daya.

Penanggungjawab fungsi audit internal harus memastikan bahwa

sumberdaya fungsi audit internal sesuai, memadai, dan dapat

digunakan secara efektif untuk mencapai rencana-rencana yang telah

disetujui.

 Kebijakan dan prosedur.

Penanggungjawab fungsi audit internal harus menetapkan kebijakan

dan prosedur sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan fungsi

audit internal.

 Koordinasi.

Penanggungjawab fungsi audit internal harus berkoordinasi dengan

pihak internal dan eksternal organisasi yang melakukan pekerjaan


32

audit untuk memastikan bahwa lingkup seluruh penugasan tersebut

telah memadai dan meminimalkan duplikasi.

 Laporan kepada pimpinan dan dewan pengawas.

B. Lingkup Penugasan

Fungsi audit internal melakukan evaluasi dan memberikan

kontribusi terhadap peningkatan proses pengelolaan risiko,

pengendalian dan governance dengan menggunakan pendekatan yang

sistematis, teratur dan menyeluruh. Dengan perincian sebagai berikut:

a. Pengelolaan risiko. Fungsi audit internal harus membantu

organisasi dengan cara mengindentifikasi dan mengevaluasi risiko

signifikan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan

pengelolaan risiko dan sistem pengendalian intern.

b. Pengendalian. Fungsi audit internal harus membantu organisasi

dalam memelihara pengendalian intern yang efektif dengan cara

mengevaluasi kecukupan, efisiensi dan efektivitas pengendalian

tersebut, serta mendorong peningkatan pengendalian intern secara

berkesinambung. Berdasarkan hasil penilaian risiko, fungsi audit

internal harus mengevaluasi kecukupan dan efektivitas sistem

pengendalian intern, yang mencakup governance, kegiatan operasi

dan sistem informasi organisasi. Hal ini harus mencakup; 1)

Efektivitas dan efisiensi kegiatan operasi; 2) Kehandalan dan

integritas informasi; 3) Kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan yang berlaku; dan 4) Pengamanan aset organisasi.


33

c. Proses governance. Fungsi audit internal harus menilai dan

memberikan rekomendasi yang sesuai untuk meningkatkan proses

governance dalam mencapi tujuan-tujuan:

 Mengembangkan etika dan nilai-nilai yang memadai di dalam

organisasi.

 Memastikan pengelolaan kinerja organisasi yang efektif dan

akuntanbilitas.

 Secara efektif mengomunikasikan risiko dan pengendalian

kepada unit-unit yang tepat di dalam organisasi.

 Secara efektif mengkoordinasikan kegiatan dari, dan

mengomunikasikan informasi diantara, pimpinan, Dewan

Pengawas, Auditor Internal dan Eksternal serta manajemen

(Standar Profesi Audit Internal, 2004).

C. Perencanaan Penugasan

Auditor Internal harus mengembangkan dan

mendokumentasikan rencana untuk setiap penugasan yang mencakup

ruang lingkup, sasaran, waktu dan alokasi sumber daya serta program

kerja penugasan. Dalam perencanaan penugasan menurut harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Sasaran dari kegiatan yang sedang direviu dan mekanisme yang

digunakan kegiatan tersebut dalam mengendalikan kinerjanya.

b. Risiko signifikan atas kegiatan, sasaran, sumber daya, dan operasi

yang direviu serta pengendalian yang diperlukan untuk menekan

dampak risiko ke tingkat yang dapat diterima.


34

c. Kecukupan dan efektivitas pengelolaan risiko dan sistem

pengendalian intern.

d. Peluang yang signifikan untuk meningkatkan pengelolaan risiko

dan sistem pengendalian intern. (Standar Profesi Audit Internal,

2004).

D. Pelaksanaan Penugasan

Dalam melaksanakan penugasan Auditor Internal dapat

melakukan hal-hal sebagai berikut di bawah ini:

a. Mengidentifikasi informasi. Auditor Internal harus

mengidentifikasi informasi yang memadai, handal, relevan, dan

berguna untuk mencapai sasaran penugasan.

b. Analisis dan evaluasi, Auditor Internal harus mendasarkan

kesimpulan dan hasil penugasan pada analisis dan evaluasi yang

tepat.

c. Dokumentasi informasi, Auditor Internal harus

mendokumentasikan informasi yang relevan untuk mendukung

kesimpulan dan hasil penugasan.

d. Supervisi informasi, setiap penugasan harus disupervisi dengan

tepat untuk memastikan tercapainya sasaran, terjaminnya kualitas,

dan meningkatnya kemampuan staf.

E. Komunikasi Hasil Penugasan

Auditor Internal harus mengomunikasikan hasil penugasannya

secara tepat waktu, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


35

a. Kriteria komunikasi, komunikasi harus mencakup sasaran dan

lingkup penugasan, simpulan, rekomendasi, dan rencana

tindakannya.

b. Kualitas komunikasi. Komunikasi yang disampaikan baik tertulis

maupun lisan harus akurat, objektif, jelas, ringkas, konstruktif,

lengkap dan tepat waktu. Jika komunikasi final mengandung

kesalahan dan kealpaan, penanggungjawab fungsi audit internal

harus mengomunikasikan informasi yang telah dikoreksi kepada

semua pihak yang telah menerima komunikasi sebelumnya.

c. Pengungkapan atas ketidakpatuhan terhadap standar. Dalam hal

terdapat ketidakpatuhan terhadap standar yang mempengaruhi

penugasan tertentu, komunikasi hasil-hasil penugasan harus

mengungkapkan: standar yang tidak dipatuhi, alasan

ketidakpatuhan, dampak dari ketidak patuhan terhadap penugasan.

d. Diseminasi hasil-hasil penugasan. Penanggungjawab fungsi audit

internal harus mengomunikasikan hasil penugasan kepada pihak

yang berhak.

F. Pemantauan Tindak Lanjut

Penanggungjawab fungsi audit internal harus menyusun dan

menjaga sistem untuk memantau tindak-lanjut hasil penugasan yang

telah dikomunikasikan kepada manajemen. Penanggungjawab fungsi

audit internal harus menyusun prosedur tindak lanjut untuk memantau

dan memastikan bahwa manajemen telah melaksanakan tindak lanjut


36

secara efektif, atau menanggung risiko karena tidak melakukan tindak

lanjut.

Pemantauan dan penilaian tindak lanjut bertujuan untuk

memastikan bahwa tindakan yang tepat telah dilaksanakan oleh auditan

sesuai dengan rekomendasi. Manfaat audit tidak hanya terletak pada

banyaknya temuan yang dilaporkan, namun juga terletak pada

efektivitas tindak lanjut temuan tersebut. Temuan yang tidak ditindak

lanjuti dapat merupakan indikasi lemahnya pengendalian auditan dalam

mengelola sumber daya yang diserahkan kepadanya.

Apabila auditan telah menindaklanjuti temuan dengan cara

yang berlainan dengan rekomendasi yang diberikan, auditor internal

harus menilai efektivitas penyelesaian tindak lanjut tersebut. Auditor

internal tidak harus memaksakan rekomendasinya ditindak lanjuti

namun harus dapat menerima langkah lain yang ternyata lebih efektif.

G. Resolusi Penerimaan Risiko dan Manajemen

Apabila manajemen senior telah memutuskan untuk

menanggung risiko residual yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh

organisasi, penanggungjawab fungsi audit internal harus mendiskusikan

masalah ini dengan manajemen senior. Jika diskusi tersebut tidak

menghasilkan keputusan yang memuaskan, maka penanggungjawab

fungsi audit internal dan manajemen senior harus melaporkan hal

tersebut kepada pimpinan dan dewan pengawas organisasi untuk

mendapatkan resolusi.

3. Standar Implementasi (Implementation Standards)


37

Standar ini hanya berlaku untuk satu penugasan tertentu. Standar

implementasi yang akan diterbitkan di masa mendatang adalah standar

implementasi untuk kegiatan assurance (A), standar implementasi

untuk kegiatan consulting (C), standar implementasi kegiatan investasi

(I), dan standar implementasi control self assessment (CSA).

2.1.2 Auditor Eksternal

2.1.2.1 Pengertian Auditor Eksternal

Auditor Eksternal disebut juga sebagai auditor independen

(independent auditor) adalah mereka yang berpraktek sebagai akuntan

publik baik secara perorangan maupun anggota dari suatu kantor akuntan

publik yang memberikan jasa audit profesional kepada klien, baik

perusahaan perseorangan, entitas yang berorientasi mencari laba, organisasi

nirlaba maupun organisasi pemerintah (Suradi, 2006:114).

Yang dimaksud dengan Auditor Eksternal disini adalah auditor

pemerintah atau BPK. Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang

bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas

pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau

entitas pemerintah atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan

kepada pemerintah. Yang termasuk auditor pemerintah adalah BPK. Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga tinggi negara yang tugasnya

melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan Presiden RI (Mulyadi,

2002:21).

BPK menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2004, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) adalah Badan Pemeriksa


38

Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UUD RI tahun 1945. Di Amerika

dikenal dengan sebutan General Accounting Office Auditors (GAO)

menurut Arens, et., all., (2008) sebagai berikut:

“Is nonpartisan agency in the legislative branch of the federal


government. A general accounting office auditor is an auditor
working for the GAO. The GAO, which is headed by the
comptroller general, reports to and is responsible solely to
congress. The audit staff’s primary responsibility is to perform
the audit function for congress”.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2006

tentang Badan Pemeriksaan Negara, Pasal 9 disebutkan kewenangan BPK

adalah sebagai berikut:

1. Menentukan objek pemeriksaaan, merencanakan dan melaksanakan

pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta

menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.

2. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberkan oleh setiap

orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga

negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, badan layanan umum, BUMD,

dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

3. Melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik

negara, ditempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha

keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,

surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan

daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.

4. Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi mengenai pengelolaan

dan tanggungjawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada

BPK.
39

5. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi

dengan pemerintah pusat/daerah yang wajib digunakan dalam

pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.

6. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara.

7. Menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa diluar BPK yang

bekerja untuk dan atasnama BPK.

8. Membina jabatan fungsional pemeriksa.

9. Memberikan pertimbangan atas standar akuntansi pemerintahan.

10. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern

pemerintah pusat/pemerintah daerah sebelum ditetapkan oleh

pemerintah pusat/pemerintah daerah.

2.1.2.2 Jenis Pemeriksaan

Jenis pemeriksaan yang diselenggarakan oleh BPK RI (Peraturan

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007)

adalah; (1) Pemeriksaan Keuangan; (2) Pemeriksaan Kinerja; dan (3)

Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu.

1. Pemeriksaan Keuangan

Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan

keuangan. Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan

keyakinanan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan

keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material

sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau


40

basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku

umum di Indonesia.

Tujuan pemeriksaan atas laporan keuangan oleh auditor

independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang

kewajaran, dalam semua hal yang telah material, posisi keuangan, hasil

usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi

yang berlaku umum di Indonesia. Laporan auditor merupakan sarana

bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaan

mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapatan. Baik

dalam hal auditor menyatakan pendapat maupun tidak memberikan

pendapat, ia harus menyatakan apakah auditnya telah dilaksanakan

berdasarkan standar audit yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia

(IAI). (Standar Profesional Akuntan Publik, 2001).

Menurut Government Auditing Standards, (Earl R.Wilson,

et., all., 2004) dinyatakan, audit atas hal yang berkaitan dengan

keuangan, mencakup menentuan apakah:

1. Provide an independent report on when an entity’s financial

information is presented fairly in accordance with recognized

criteria.

2. Inform users whether they can rely on that information.

3. When performed in accordance with GAGAS, also provide

information about internal control and compliance with laws and

regulation as they relate to financial transactions, system, and

processes.
41

Selanjutnya dinyatakan bahwa pemeriksaan yang menjadi

tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab

mengenai keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan

negara menurut BPK yaitu:

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.

c. Penerimaan Negara.

d. Pengeluaran Negara.

e. Penerimaan Daerah.

f. Pengeluaran Daerah.

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-

hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

2. Pemeriksaan Kinerja (Performance Audit)

Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan

keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan

efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan


42

pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap

ketentuan peraturan perundang-undang serta pengendalian intern.

Pemeriksaan kinerja dilakukan secara objektif dan sistematik terhadap

berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara

independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa.

Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk

meningkatkan kinerja suatu program dan memudahkan pengambilan

keputusan bagi pihak yang bertanggungjawab untuk mengawasi dan

mengambil tindakan koreksi serta meningkatkan pertanggungjawaban

publik. Pemeriksaan kinerja dapat memiliki lingkup yang luas atau

sempit dan menggunakan berbagai metodologi, berbagai tingkat

analisis, analisis, penelitian, atau evaluasi. Pemeriksaan kinerja

menghasilkan temuan, simpulan, dan rekomendasi (BPK RI, 2002).

Menurut Generally Accepted Government Auditing Standards

(GAGAS):

“Performance audit are independent assessment of the


performance and the management of the entity, program,
service, or activity against objective criteria. Objective
include assessing effectiveness and results, economy and
efficiency, and internal controls and compliance with laws
and regulation”.
Selanjutnya menurut The World Bank (2007):

“Performance auditing is a systematic, objective assessment


of the accomplishments or processes of a government
program or activity for the purpose of determining its
effectiveness, economy, or efficiency. This determination,
along with recommendations for improvement, is reported to
managers, ministers, and legislators, who are responsible for
enacting the recommendations or ensuring accountability for
corrective action. Performance auditing is an important
43

building block with which to improve accountable and


responsive governance of public resources”.
Selanjutnya BPK RI menyatakan, audit kinerja mencakup audit

tentang ekonomi, efisiensi, dan program.

Audit kinerja (performance audit) mencakup hal sebagai

berikut:

1. Provide an independent assessment of the performance and

management of government programs against objective criteria or

an assessment of best practice and other information.

2. Provide information to improve program operations and facilitate

decision, making by parties with responsibility to overse or initiate

corrective action and improve public accountability.

3. Include work sometimes classified as program evaluation, program

effectiveness and results audits, economy and efficiency audits,

operational audits, and value for money audits. (Government

Auditing Standards, 2002).

Sebagai contoh, audit ekonomi dan efisiensi menurut BPK

dapat mempertimbangkan apakah laporan entitas yang diaudit telah:

1. Mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang sehat.

2. Melakukan pengadaan sumber daya (jenis, mutu dan jumlah) sesuai

dengan kebutuhan dan dengan biaya yang wajar.

3. Melindungi dan memelihara semua sumber daya negara yang ada

secara memadai.

4. Menghindari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang tanpa tujuan

atau kurang jelas tujuannya.


44

5. Menghindari adanya penggangguran atau jumlah pegawai yang

berlebihan.

6. Menggunakan prosedur kerja yang efisien.

7. Menggunakan sumber daya (staf, peralatan dan fasilitas) secara

optimum dalam menghasilkan atau menyerahkan barang/jasa

dengan kuantitas dan kualitas yang baik serta tepat waktu.

8. Mematuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perolehan pemeliharaan dan penggunaan sumber

daya negara.

9. Telah memiliki suatu sistem pengendalian manajemen yang

memadai, untuk mengukur, melaporkan dan memantau kehematan

dan efisiensi pelaksanaan program.

10. Telah melaporkan ukuran yang sah dan dapat

dipertanggungjawabkan mengenai kehematan dan efisiensi.

Sedangkan audit program menurut BPK, mencakup penentuan:

1. Tingkat pencapaian hasil program yang diinginkan atau manfaat

yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau badan lain yang

berwenang

2. Efektivitas kegiatan entitas, pelaksanaan program, kegiatan atau

fungsi instansi yang bersangkutan

3. Apakah entitas yang diaudit telah menaati peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program/kegiatan.

3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (Special Audit)


45

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu bertujuan untuk

memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan

dengan tujuan tertentu dapat bersifat eksaminasi (examination), reviu

(review), atau prosedur yang disepakati (agreed-upon procedures).

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan

atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan

pemeriksaan atas sistem pengendalian intern.

Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan

tertentu berdasarkan permintaan, maka BPK harus memastikan melalui

komunikasi tertulis yang memadai bahwa sifat pemeriksaan dengan

tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan.

Audit investigasi adalah kegiatan pemeriksaan dengan lingkup

tertentu, periodenya tidak dibatasi, lebih spesifik pada area-area

pertanggungjawaban yang diduga mengandung inefisiensi atau indikasi

penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit berupa rekomendasi

untuk tidaklanjuti bergantung pada derajat penyimpangan wewenang

yang ditemukan (Indra Bastian, 2003).

Sedangkan menurut BPK pemeriksaan investigatif/audit

investigasi adalah pemeriksaan yang bertujuan guna mengungkapkan

ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.

Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya

tindakan melawan hukum atas indikasi kecurangan dan menentukan

pihak yang berperan dan terkait, serta untuk menentukan besarnya

jumlah kerugian keuangan Negara (BPK RI, 2005).


46

Dalam perspektif Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo

Undang-undang No. 20 tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah

yang disebabkan oleh tindakan/perbuatan melawan hukum atau

tindakan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada

pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya.

Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, kerugian keuangan negara

dapat berbentuk:

1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa

uang atau barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.

2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari

yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.

3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima

(termasuk di antaranya penerimaan uang palsu, barang fiktif).

4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari

yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak,

kualitas tidak sesuai).

5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak

ada;

6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari

yang seharusnya.

7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya

dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku.


47

8. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya

diterima.

2.1.2.3 Kode Etik Auditor Eksternal

Berdasarkan SK BPK Nomor 14/SK/K/1975 tanggal 25-3-1975,

kode etik BPK terdiri dari dua yaitu Sapta Prasetya Jati BPK dan Ikrar

Pemeriksa. Sapta Prasetya Jati BPK berlaku untuk seluruh karyawan BPK

termasuk Badan. Sedangkan Ikrar Pemeriksa berlaku untuk petugas

pemeriksa pada BPK. Sapta Prasetya BPK terdiri dari:

a. Karyawan BPK menghayati dan mengamalkan Pancasila, UUD 1945,

UU tentang BPK serta peraturan perundangan lainnya, sumpah PNS

dan sumpah jabatan, dengan rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Karyawan BPK mempunyai kesadaran tanggung jawab yang tinggi

dalam mengembangkan ilmu dan pengabdiannya bagi kemajuan negara

dan bangsa serta kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

c. Karyawan BPK dengan segala kesadaran dan kehormatannya

membantu dan menyertai pimpinan menegakkan disiplin kerja demi

wibawa dan martabat BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi

kekayaan negara.

d. Karyawan BPK membina rasa dan jiwa kesetiakawanan berdasarkan

kejujuran dan keikhlasan antara sesama rekan sekorsa demi kerukunan,

kegembiraan kerja, maupun kelancaran dan kesempurnaan pelaksaan

tugas.

e. Karyawan BPK menciptakan dan membina suasana yangg sehat bagi

pertumbuhan pengertian dan kerjasama yang konstruktif antara semua


48

pihak yang bertanggungjawab dan yang menaruh minat atas keberesan

dan ketertiban pengelolaan kekayaan negara.

f. Karyawan BPK senantiasa berusaha mengembangkan dan mencurahkan

segenap ilmu pengetahuan dan kemahirannya untuk melaksanakan

tugas secara tepat, cermat dan hemat.

g. Karyawan BPK dalam melakukan tugas sebagai pemeriksa wajib

melaksanakan ikrar pemeriksa.

Sementara itu kode etik untuk para pemeriksa (auditor) BPK yang

dinamakan ikrar pemeriksa adalah:

a. Dalam mengemban kehormatan tugas pemeriksa, kami menegakkan

kemerdekaan dan kebebasan diri pribadi, serta menolak setiap bentuk

dan macam usaha atau pengaruh yang dapat mengurangi obyektivitas

dan kebenaran laporan kami atau yang dapat menurunkan wibawa dan

martabat kami sebagai pemeriksa.

b. Berdasarkan keyakinan akan kecakapan tehnis sebagai pemeriksa, kami

mengutamakan sikap membina dan mendidik, tanpa mengurangi

kesungguhan kerja, sikap tegas dan jujur dalam menilai dan dalam

membuat laporan hasil pemeriksaan.

c. Kami berusaha untuk selalu menghindarkan diri dari tindakan yang

mencemarkan martabat jabatan dan dari tindakan menyalahgunakan

kepercayaan yang diberikan kepada kami.

d. Sesuai dengan peraturan perundangan yang memuat di antaranya

ketentuan tentang rahasia jabatan dan tentang penggunaan keterangan

yang diperoleh pada waktu menunaikan tugas BPK kami hanya


49

memberi keterangan kepada mereka yang berhak dan kepada mereka

yang telah mendapatkan persetujuan dari pimpinan badan.

e. Kami tidak menyatakan suatu pendapat tentang hasil pemeriksaan

selain yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.

f. Bila ada suatu fakta penting yang kami ketahui bahwa hal tersebut akan

menimbulkan akibat yang merugikan instansi yang diperiksa dan/atau

merugikan negara, kami berkewajiban untuk mengungkapkan fakta

tersebut kepada pimpinan BPK.

g. Kami menyadari bahwa pelanggaran terhadap ikrar ini dikenakan

hukuman menurut peraturannya (Diklat Auditor BPK RI, 2006).

Pada tanggal 22 Agustus 2007 BPK RI telah mengeluarkan kode

etik baru, yang dimuat dalam Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007. Dalam

penelitian ini masih menggunakan kode etik yang lama berdasarkan SK

BPK No. 14/SK/K/1975 tanggal 25-3-1975.

Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007 tentang kode etik BPK RI,

pasal 2 mengatur tentang nilai-nilai dasar yang wajib dipatuhi oleh setiap

anggota BPK dan pemeriksa:

a. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan

yang berlaku.

b. Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau

golongan.

c. Menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalitas.

d. Menjunjung tinggi martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas BPK.


50

Selanjutnya dalam Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007, Pasal

3 ayat (1) dan (2) mengatur kode etik bagi anggota BPK RI tentang

independensi, sebagai berikut:

 Ayat (1) Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya, anggota BPK wajib: a. Memegang sumpah dan janji

jabatan ; b. Bersikap netral dan tidak berpihak; c. Menghindari

terjadinya benturan kepentingan; dan d. Menghindari hal-hal yang dapat

mempengaruhi obyektivitas.

 Ayat (2) Untuk menjamin independensi dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya, anggota BPK dilarang: a). Merangkap jabatan dalam

lingkungan lembaga negara yang lain, badan-badan lain yang

mengelola keuangan negara, dan perusahaan swasta nasional atau asing;

b). Menjadi anggota partai politik, c). Menunjukkan sikap dan perilaku

yang dapat menyebabkan orang lain meragukan independensinya.

 Pasal 4 Ayat (1) dan (2) Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007,

mengatur kode etik bagi anggota BPK-RI tentang integritas sebagai

berikut: Ayat (1) Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas

dan wewenangnya, anggota BPK wajib: a). Bersikap tegas dalam

menerapkan prinsip, nilai dan keputusan; b). Bersikap tegas dalam

mengemukakan dan/atau melakukan hal-hal yang menurut

pertimbangan dan keyakinannya perlu dilakukan; dan c). Bersikap jujur

dengan tetap memegang rahasia pihak yang diperiksa.

 Ayat (2) Untuk menjamin integritas dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya, anggota BPK dilarang menerima pemberian dalam


51

bentuk apapun baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau

patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas dan

wewenangnya.

Pasal 5 Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007, mengatur kode

etik anggota BPK RI tentang profesionalisme dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya, anggota BPK wajib:

a. Menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan.

b. Menyimpan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan.

c. Menghindari pemanfaatan rahasia negara yang diketahui karena

kedudukan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau

pihak lain.

d. Menghindari perbuatan di luar tugas dan kewenangannya.

Bagian kedua, Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007, Pasal 6, 7

dan 8, mengatur tentang kode etik pemeriksa BPK RI. Dalam Pasal 6 Ayat

(1) dan (2) Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2007 mengatur tentang

independensi pemeriksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya

sebagai berikut:

 Dalam Ayat (1) dinyatakan, untuk menjamin independensi dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya, pemeriksa wajib:

a. Bersikap netral dan tidak memihak.

b. Menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam melaksanakan

kewajiban profesionalnya.

c. Menghindari hal-hal yang dapat mempengaruhi independensi.


52

d. Mempertimbangkan informasi, pandangan dan tanggapan dari

pihak yang diperiksa dalam menyusun opini atau laporan

pemeriksaan.

e. Bersikap tenang dan mampu mengendalikan diri.

 Ayat (2) menyatakan, untuk menjamin independensi dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya, pemeriksa dilarang:

a. Merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain,

badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, dan perusahaan

swasta nasional atau asing.

b. Menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat menyebabkan orang

lain meragukan independensinya.

c. Tunduk pada intimidasi atau tekanan orang lain.

d. Membocorkan informasi yang diperolehnya dari auditee.

e. Dipengaruhi oleh prasangka, interpretasi atau kepentingan tertentu,

baik kepentingan pribadi pemeriksa sendiri maupun pihak-pihak

lainnya yang berkepentingan dengan hasil pemeriksaan.

Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007,

mengatur tentang integritas pemeriksa dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya sebagai berikut:

 Ayat (1) menyatakan, untuk menjamin integritas dalam menjalankan

tugas dan wewenangnya, pemeriksa wajib:

a. Bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan.

b. Bersikap tegas untuk mengemukakan dan/atau melakukan hal-hal

yang menurut pertimbangan dan keyakinannya perlu dilakukan.


53

c. Bersikap jujur dan terus terang tanpa harus mengorbankan rahasia

pihak yang diperiksa.

 Dalam ayat (2) dinyatakan, untuk menjamin integritas dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya, pemeriksa dilarang:

a. Menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsung maupun

tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi

pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

b. Menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemeriksa guna

memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain.

Pasal 8 Ayat (1) dan (2) Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2007

mengatur tentang profesionalisme pemeriksa dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya:

 Ayat (1) menyatakan, untuk menjunjung profesionalisme dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya, pemeriksa wajib:

a. Menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian dan kecermatan.

b. Menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan, rahasia pihak yang

diperiksa dan hanya mengemukakannya kepada pejabat yang

berwenang.

c. Menghindari pemanfaatan rahasia negara yang diketahui karena

kedudukan atau jabatannya untuk kepentingan pribadi, golongan,

atau pihak lain.

d. Menghindari perbuatan di luar tugas dan kewenangannya.

e. Mempunyai komitmen tinggi untuk bekerja sesuai dengan standar

pemeriksaan keuangan negara.


54

f. Memutakhirkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan

profesionalnya dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan.

g. Menghormati dan mempercayai serta saling membantu diantara

pemeriksa sehingga dapat bekerjasama dengan baik dalam

pelaksanaan tugas.

h. Saling berkomunikasi dan mendiskusikan permasalahan yang

timbul dalam menjalankan tugas pemeriksaan.

i. Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif dan

ekonomis.

 Ayat (2) menyatakan, untuk menjunjung profesionalisme dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya, pemeriksa dilarang:

a. Menerima tugas yang bukan merupakan kompetensinya.

b. Mengungkapkan informasi yang terdapat dalam proses

pemeriksaan kepada pihak lain, baik lisan maupun tertulis, kecuali

untuk kepentingan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Mengungkapkan laporan hasil pemeriksaan atau substansi hasil

pemeriksaan kepada media massa kecuali atas ijin atau perintah

ketua atau wakil ketua atau anggota BPK.

d. Mendiskusikan pekerjaannya dengan auditee diluar kantor BPK

atau kantor auditee.

2.1.2.4 Standar Pemeriksaan Auditor Eksternal

Standar pemeriksaan merupakan patokan bagi auditor eksternal

dalam melakukan tugas pemeriksaannya. Seiring dengan perkembangan

teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi


55

dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai

tambah menuntut BPK menyempurnakan Standar Audit Pemerintahan

(SAP, 1995).

SAP 1995 tidak dapat memenuhi tuntutan dinamika masa kini,

terlebih lagi sejak adanya reformasi konstitusi di bidang pemeriksaan.

Untuk memenuhi amanat Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

dan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang

Badan Pemeriksa Keuangan.

Maka BPK telah berhasil menyelesaikan penyusunan standar

pemeriksaan yang diberi nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau

disingkat dengan (SPKN). SPKN ini ditetapkan dengan peraturan BPK

Nomor 01 Tahun 2007.

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) memuat

persyaratan profesional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan

persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional. Pelaksanaan

pemeriksaan yang didasarkan pada Standar Pemeriksaan akan meningkatkan

kredibilitas informasi yang dilaporkan atau diperoleh dari entitas yang

diperiksa melalui pengumpulan dan pengujian bukti secara obyektif.

Apabila pemeriksa melaksanakan pemeriksaan dengan cara ini dan

melaporkan hasilnya sesuai dengan standar pemeriksaan maka hasil

pemeriksaan tersebut akan dapat mendukung peningkatan mutu pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan negara serta pengambilan keputusan

penyelenggara negara. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab


56

keuangan negara juga merupakan salah satu unsur penting dalam rangka

terciptanya akuntabilitas publik.

SPKN ini (Pasal 5 Peraturan BPK RI Nomor 01 tahun 2007)

berlaku untuk semua pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap entitas,

program, kegiatan serta fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 6 Peraturan BPK RI Nomor 0l tahun 2007, menyatakan

SPKN ini berlaku bagi:

a. Badan Pemeriksa Keuangan.

b. Akuntan publik atau pihak lainnya yang melakukan tugas pemeriksaan

atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atas

nama Badan Pemeriksa Keuangan.

c. Aparat Pengawas Internal Pemerintah, satuan pengawasan intern

maupun pihak lainnya sebagai acuan dalam menyusun standar

pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya.

SPKN terdiri atas Pendahuluan Standar Pemeriksaan dan 7 (tujuh)

Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) sebagai berikut: a). PSP 01: Standar

Umum, b). PSP 02: Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan, c). PSP

03: Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan, d). PSP 04: Standar

Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja, e). PSP 05: Standar Pelaporan

Pemeriksaan Kinerja, f). PSP 06: Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan

Tujuan Tertentu, dan g). PSP 07: Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan

Tujuan Tertentu.
57

1. Pernyataan Standar Pemeriksaan 01: Standar Umum

Pernyataan standar umum (BPK RI, 2007) terdiri dari sebagai berikut:

a. Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional

yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan.

b. Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan,

organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental

dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang

dapat mempengaruhi independensinya.

c. Dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil

pemeriksaan, pemeriksa wajib menggunakan kemahiran

profesionalnya secara cermat dan seksama.

d. Setiap organisasi pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan

berdasarkan Standar Pemeriksaan harus memiliki sistem

pengendalian mutu yang memadai, dan sistem pengendalian mutu

tersebut harus direviu oleh pihak lain yang kompeten (pengendalian

mutu ekstern).

2. Pernyataan Standar Pemeriksaan 02: Standar Pelaksanaan

Pemeriksaan Keuangan

Untuk pemeriksaan keuangan, standar pemeriksaan

memberlakukan tiga pernyataan standar pekerjaan lapangan SPAP yang

ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia dalam SA seksi 150 sebagai

berikut:

a. Pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dan jika

digunakan tenaga asisten harus disupervisi dengan semestinya


58

b. Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern harus

diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat,

dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

c. Bukti audit yang kompeten harus diperoleh melalui inspeksi,

pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar

memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang

diaudit.

Standar Pemeriksaan menetapkan standar pelaksanaan

tambahan sebagai berikut: a. Komunikasi pemeriksa; b. Pertimbangan

terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya; c. Merancang pemeriksaan

untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan

perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse);

d. Pengembangan temuan pemeriksaan; dan e. Dokumentasi

pemeriksaan.

3. Pernyataan Standar Pemeriksaan 03: Standar Pelaporan

Pemeriksaan Keuangan

Untuk pemeriksaan keuangan, standar pemeriksaan

memberlakukan empat standar pelaporan Standar Profesional Akuntan

Publik yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia, sebagai berikut:

a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan

disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di

Indonesia atau prinsip akuntansi yang lain yang berlaku secara

komprehensif.
59

b. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidak konsistenan

penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan

periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi

tersebut dalam periode sebelumnya.

c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang

memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.

d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat

mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi

bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat

secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka alasannya harus

dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan

keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas

mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan

tingkat tanggung jawab yang dipikul auditor.

Standar pemeriksaan menetapkan standar pelaporan tambahan

berikut ini:

a. Pernyataan kepatuhan terhadap standar pemeriksaan.

b. Pelaporan tentang kepatuhan terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan.

c. Pelaporan tentang pengendalian intern.

d. Pelaporan tanggapan dari pejabat yang bertanggungjawab.

e. Pelaporan informasi rahasia.Penerbitan dan pendistribusian laporan

hasil pemeriksaan (IAI, 2001).


60

4. Pernyataan Standar Pemeriksaan 04: Standar Pelaksanaan

Pemeriksaan Kinerja

Pernyataan standar pelaksanaan pemeriksaan kinerja terdiri

dari:

a. Pekerjaan harus direncanakan secara memadai.

b. Staf harus disupervisi dengan baik. Supervisi mencakup

pengarahan kegiatan pemeriksa dan pihak lain.

c. Bukti yang cukup, kompeten, dan relevan harus diperoleh untuk

menjadi dasar yang memadai bagi temuan dan rekomendasi

pemeriksa.

d. Pemeriksa harus mempersiapkan dan memelihara dokumen

pemeriksaan dalam bentuk kertas kerja pemeriksaan. Dokumen

pemeriksaan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan

pelaporan pemeriksaan harus berisi informasi yang cukup untuk

memungkinkan pemeriksa yang berpengalaman tetapi tidak

mempunyai hubungan dengan pemeriksaan tersebut dapat

memastikan bahwa dokumen pemeriksaan tersebut dapat menjadi

bukti yang mendukung temuan, simpulan, dan rekomendasi

pemeriksa.

5. Pernyataan Standar Pemeriksaan 05: Standar Pelaporan

Pemeriksaan Kinerja

Pernyataan standar pelaporan pemeriksaan kinerja sebagai

berikut:
61

a. Pemeriksa harus membuat laporan hasil pemeriksaan untuk

mengkomunikasikan setiap hasil pemeriksaan.

b. Laporan hasil pemeriksaan harus mencakup:

1) Pernyataan bahwa pemeriksaan dilakukan sesuai dengan

Standar Pemeriksaan.

2) Tujuan, lingkup, dan metodologi pemeriksaan.

3) Hasil pemeriksaan berupa temuan pemeriksaan, simpulan, dan

rekomendasi.

4) Tanggapan pejabat yang bertanggungjawab atas hasil

pemeriksaan.

5) Pelaporan informasi rahasia apabila ada.

c. Laporan hasil pemeriksaan harus tepat waktu, lengkap, akurat,

obyektif, meyakinkan, serta jelas, dan seringkas mungkin.

d. Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan,

entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk

mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggungjawab

untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak

lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil

pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

6. Pernyataan Standar Pemeriksaan 06: Standar Pelaksanaan

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, standar

pemeriksaan memberlakukan dua pernyataan standar pekerjaan


62

lapangan perikatan/penugasan atestasi Standar Pemeriksaan Akuntan

Publik yang ditetapkan IAI berikut ini:

a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan

asisten harus disupervisi dengan semestinya.

b. Bukti yang cukup harus diperoleh untuk memberikan dasar rasional

bagi simpulan yang dinyatakan dalam laporan.

Standar pemeriksaan menetapkan standar pelaksanaan

tambahan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berikut ini: a).

Komunikasi pemeriksa; b). Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan

sebelumnya; c). Pengendalian intern; d). Merancang pemeriksaan untuk

mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan

perundang-undangan; kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse);

dan e). Dokumentasi pemeriksaan (IAI, 2001).

7. Pernyataan Standar Pemeriksaan 07: Standar Pelaporan

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, standar

pemeriksaan memberlakukan empat pernyataan standar pelaporan

perikatan/penugasan atestasi dalam Standar Profesional Akuntan

Publik:

a. Laporan harus menyebutkan asersi yang dilaporkan dan

menyatakan sifat perikatan atestasi yang bersangkutan.

b. Laporan harus menyatakan simpulan praktisi mengenai apakah

asersi disajikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan atau

kriteria yang dinyatakan dipakai sebagai alat pengukur.


63

c. Laporan harus menyatakan semua keberatan praktisi yang

signifikan tentang perikatan dan penyajian asersi.

d. Laporan suatu perikatan untuk mengevaluasi suatu asersi yang

disusun berdasarkan kriteria yang disepakati atau berdasarkan suatu

perikatan untuk melaksanakan prosedur yang disepakati harus

berisi suatu pernyataan tentang keterbatasan pemakaian laporan

hanya oleh pihak-pihak yang menyepakati kriteria atau prosedur

tersebut.

Standar pemeriksaan menetapkan standar pelaporan tambahan

pemeriksaan dengan tujuan tertentu sebagai berikut:

a. Laporan hasil pemeriksaan harus menyatakan bahwa pemeriksaan

dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan.

b. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus

mengungkapkan:

1) Kelemahan pengendalian intern yang berkaitan dengan hal yang

diperiksa.

2) Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan

termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi,

pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang

mengandung unsur tindak pidana yang terkait dengan hal yang

diperiksa.

3) Ketidakpatutan yang material terhadap hal yang diperiksa.

c. Laporan hasil pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam

pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan


64

peraturan perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi

tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggungjawab pada

entitas yang diperiksa mengenai temuan dan simpulan serta tindakan

koreksi yang direncanakan.

d. Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan

dalam laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan

harus mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut

dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan

tidak dilaporkannya informasi tersebut.

e. Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan,

entitas yang diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk

mengatur entitas yang diperiksa, pihak yang bertanggungjawab

untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak

lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil

pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

2.1.2.5 Metode Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah

Dasar hukum pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah (LKPD) mengacu kepada:

1. Pasal 31 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

2. Pasal 56 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.


65

3. Pasal 2 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keungan Negara.

4. Pasal 184 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

5. Pasal 1 UU Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

6. Pasal 102 PP Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah.

7. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 tentang

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

Metode yang digunakan dalam pemeriksaaan Laporan keuangan

pemerintah daerah dalam Petunjuk Teknis Pemeriksaan Atas Laporan

Keuangan Pemerintah Daerah, secara ringkas meliputi: 1). Perencanaan, 2).

Pelaksanaan; dan 3). Pelaporan hasil pemeriksaan yang meliputi 24

langkah/kegiatan. Di dalam proses pemeriksaan tersebut, ukuran atau

kriteria yang digunakan adalah standar pemeriksaan, panduan manajemen

pemeriksaan serta tujuan dan harapan penugasan. Di dalam proses tersebut

supervisi serta pengendalian dan penjaminan mutu pemeriksaan dilakukan

sepanjang proses tersebut (BPK RI, 2006).

2.1.2.5.1 Perencanaan Pemeriksaan

Perencanaan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah (LKPD) meliputi sepuluh kegiatan sebagai berikut:

1. Pemahaman tujuan pemeriksaan dan harapan penugasan. Tujuan

pemeriksaan atas LKPD adalah pemberian opini atas kewajaran LKPD

dengan memperhatikan: kesesuian LKPD dengan standar akuntansi

pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan


66

perundang-undangan, efektivitass istem pengendalian intern. Dalam

rangka pencapaian tujuan tersebut, penugasan atas pemeriksaan

keuangan memiliki harapan-harapan (expectation) dari pemberi tugas.

Pemeriksa harus memperoleh harapan-harapan penugasan secara

tertulis dari pemberi tugas. Hal ini untuk menghindari harapan-harapan

yang tidak dapat dipenuhi oleh pemeriksa.

2. Pemenuhan kebutuhan pemeriksa, untuk dapat memenuhi kebutuhan

pemeriksa harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a). Persyaratan

kemampuan/keahlian; dan b). Persyaratan independensi.

3. Pemahaman atas entitas, dapat diperoleh dari suvai pendahuluan atau

informasi dalam laporan hasil pemeriksaan sebelumnya, laporan hasil

pemeriksaan interm, catatan atas laporan keuangan yang diperiksa,

kertas kerja pemeriksaan tahun sebelumnya, hasil komunikasi dengan

pemeriksa tahun sebelumnya, pemantauan tindak lanjut, dan database

yang ada pada aplikasi kantor perwakilan BPK.

4. Pemantauan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan sebelumnya, terkait

dengan pelaksanaan rekomendasi yang diberikan. Pemantauan tersebut

meliputi tindak lanjut rekomendasi yang diberikan terkait dengan

efektivitas sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan

perundang-undanga. Pemeriksa harus meneliti pengaruh tindak lanjut

terhadap LKPD yang diperiksa. Hal ini terkait dengan kemungkinan

temuan-temuan pemeriksaan yang berulang dan keyakinan pemeriksa

atas saldo awal akun atau perkiraan neraca yang diperiksa.


67

5. Pemahaman sistem pengendalian intern, membantu pemeriksa untuk:

a). Mengidentifikasi jenis potensi kesalahan; b). Mempertimbangkan

faktor-faktor yang mempengaruhi risiko salah saji yang material; c).

Mendesain pengujian sistem pengendalian intern; dan d). Mendesain

prosedur pengujian substantif.

6. Pemahaman dan penilaian risiko, dilakukan berdasarkan hasil

pemahaman atas entitas dan sistem pengendalian intern. Di dalam

pemahaman dan penilaian risiko, pemeriksa mempertimbangkan risiko-

risiko sebagai berikut: a). Risiko inheren; b). Risiko pengendalian; c).

Risiko deteksi; dan d). Risiko pemeriksaan.

7. Penetapan tingkat materialitas awal dan kesalahan tertolerir,

pertimbangan atas tingkat materialitas meliputi kegiatan: a). Penetapan

tingkat materialitas awal (planning materiality/PM); dan b). Penetapan

kesalahan yang dapat ditolerir (tolerable error/TE).

8. Penentuan metode uji petik, merupakan elemen uji yang diambil dari

pemeriksa untuk memberikan keyakinan tentang kualitas informasi

yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan. Pemeriksa

menentukan metode uji petik yang dilakukan dapat menggunakan

metode statistik atau non statistik.

9. Pelaksanaan prosedur analitis awal, merupakan evaluasi atas informasi

keuangan dalam laporan keuangan dengan melihat hubungan antar data

keuangan yang ada dan atau antara data keuangan dan data non

keuangan yang tersedia. Prosedur analitis dapat membantu pemeriksa


68

untuk melaksanakan prosedur pemeriksaan lainnya termasuk dalam

penentuan sampel yang akan diambil.

10. Penyusunan program pemeriksaan dan program kerja perorangan.

Berdasarkan program pemeriksaan yang ditetapkan oleh

Tortama/Kepala perwakilan, ketua tim pemeriksa membuat pembagian

tugas dan pemeriksa menyusun Program Kerja Perorangan (PKP) dan

disampaikan kepada ketua tim untuk mendapatkan persetujuan (BPK

RI, 2006).

2.1.2.5.2 Pelaksanaan Pemeriksaan

Pelaksanaan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah (LKPD) meliputi sembilan kegiatan yaitu:

1. Pelaksanaan pengujian analitis terinci, diharapkan dapat membantu

pemeriksa untuk menemukan hubungan logis penyajian akun pada

laporan keuangan pemerintah daerah dan menilai kecukupan

pengungkapatan atas setiap perubahan pada pos/akun/unsur pada

laporan keuangan yang diperiksa, serta membantu menentukan area-

area signifikan dalam pengujian sistem pengendalian intern dan

pengujian substantif atas transaksi dan saldo.

2. Pengujian sistem pengendalian intern, hasil pengujian sistem

pengendalian intern dapat digunakan untuk menentukan strategi

pengujian transaksi keuangan dan asersi-asersi laporan keuangan entitas

yang diperiksa, seperti: a). Keberadaan dan keterjadian; b).

Kelengkapan; c). Hak dan kewajiban; d). Penilaian dan pengalokasian;

dan e). Penyajian dan pengungkapan.


69

3. Pengujian substantif atas transaksi dan saldo, pengujian ini

memperhatikan kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah,

kecukupan pengungkapan, efektivitas sistem pengendalian intern, dan

kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Pengujian

substantif atas transaksi dan saldo dilakukan setelah pemeriksa

memperoleh LKPD untuk diperiksa. Pengujian substantif atas transaksi

dan saldo dapat dilakukan juga pada pemeriksaan interim, namun hasil

pengujian tersebut perlu direviu lagi setelah LKPD tersebut diterima.

4. Penyelesaian penugasan, merupakan kegiatan untuk mereviu tiga hal

yaitu: a). Kewajiban kontinjensi; b). Kontrak/komitmen jangka panjang;

dan c). Kejadian setelah tanggal neraca.

5. Penyusunan ikhtisar koreksi, merupakan rekapitulasi koreksi atau

penyesuaian (adjustment) yang diusulkan tim pemeriksa kepada

pemerintah daerah. Koreksi pemeriksaan yang dimasukkan tersebut

merupakan koreksi terhadap LKPD yang diatas nilai TE dan secara

keseluruhan di atas nilai materialitas. Koreksi pemeriksaan tersebut

menggambarkan penyajian LKPD yang tidak sesuai dengan standar

akuntansi pemerintah dan kecukupan pengungkapan.

6. Penyusunan konsep temuan pemeriksaan, merupakan permasalahan

yang ditemukan oleh pemeriksa yang perlu dikomunikasikan kepada

pemerintah daerah. Permasalahan tersebut antara lain: a).

ketidakefektivan sistem pengendalian intern; b). Kecurangan dan

penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan; c).


70

ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang

signifikan; dan d). Ikhtisar koreksi.

7. Pembahasan konsep temuan pemeriksa dengan pejabat entitas yang

berwenang. Setelah konsep temuan pemeriksa disampaikan ketua tim

pemeriksa kepada pemerintah daerah, tim pemeriksa membahas temuan

tersebut dengan pejabat pemerintah daerah yang berwenang antara lain

kepala daerah/sekretaris daerah atau pejabat pengelola keuangan

daerah.

8. Perolehan tanggapan dan tertulis, atas konsep temuan pemeriksaan dari

pejabat pemerintah daerah yang berwenang dalam hal ini kepada

daerah/sekretaris daerah atas nama kepala daerah. Tanggapan tersebut

akan diungkapkan dalam temuan pemeriksaan atas laporan keuangan

pemerintah daerah.

9. Penyampaian temuan pemeriksaan, merupakan akhir dari pekerjaan

lapangan pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah. Hal ini

merupakan batas tanggung jawab pemeriksa terhadap kondisi laporan

keuangan yang diperiksa. Pemeriksa tidak dibebani tanggung jawab

atas suatu kondisi yang terjadi setelah tanggal pekerjaan lapangan

tersebut. Oleh karena itu, tanggal penyampaian temuan pemeriksaan

tersebut merupakan tanggal laporan hasil pemeriksaan atau tanggal

surat repsentasi pemerintah daerah (BPK RI, 2006).

2.1.2.5.3 Pelaporan Hasil Pemeriksaan

Pelaporan pemeriksaan atas LKPD meliputi lima kegiatan sebagai

berikut:
71

1. Penyusunan konsep laporan hasil pemeriksaan, disusun oleh ketua tim

pemeriksa dan atau disupervisi oleh pengendali teknis dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a). Jenis laporan hasil

pemeriksaan; b). Jenis opini; c). Dasar penetapan opini; d). Pelaporan

tentang kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; e). Pelaporan

tentang sistem pengendalian intern; dan f). Penandatangan laporan hasil

pemeriksaan.

2. Pembahasan konsep laporan hasil pemeriksaan dengan penanggungjawab

pemeriksaan, dilaksanakan secara berjenjang sampai dengan

penanggung- jawab dan atau kepala perwakilan BPK RI dengan tujuan:

a). Untuk pengendalian mutu laporan hasil pemeriksaan agar hasil

pemeriksaan sesuai standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) dan

prosedur pemeriksaan yang ditetapkan; dan b). Untuk penentuan opini

yang akan dimuat dalam laporan auditor independen.

3. Penyampaian dan pembahasan konsep laporan hasil pemeriksaan dengan

pejabat entitas yang berwenang, dilakukan untuk: a). Memperoleh

tanggapan yang memudahkan dalam pemberian data baru; dan b).

Kemungkinan tindak lanjut yang akan dilakukan. Pembahasan konsep

laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengn pejabat entitas dilakukan oleh

kepala perwakilan, namun jika tidak dimungkinkan maka harus ada surat

pendelegasian kepada penanggung jawab audit untuk melakukan

pembahasan. Dan jika penanggungjawab juga tidak dapat melaksanakan

maka harus ada surat pendelegasian kepada pengendali teknis.


72

4. Perolehan surat representasi. Sesuai SPAP SA Seksi 333 (PSA NO.17)

representasi manajemen, pemeriksa harus memperoleh surat representasi

yang dilampiri dengan laporan keuangan pemerintah daerah yang akan

disampaikan kepala daerah kepada DPRD. Surat representasi tersebut

menggambarkan representasi resmi dan tertulis dari pemerintah daerah

atas berbagai keterangan, data, informasi dan laporan keuangan yang

disampaikan selama proses pemeriksaan berlangsung. Surat tersebut

merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah daerah. Jika terjadi

perubahan substansi isi surat respresentasi yang dilakukan oleh auditee,

maka pemeriksa harus mempertimbangkan apakah perubahan tersebut

akan berdampak material terhadap pertanggungjawaban pembuatan

laporan keuangan. Hal tersebut akan mempengaruhi opini. Apabila surat

representasi tidak diperoleh sampai dengan penerbitan laporan hasil

pemeriksaan, ketua tim pemeriksa dan atau pengendali teknis

menyampaikan laporan hasil pemeriksaan dengan opini tidak dapat

menyatakan pendapat kepada penanggungjawab untuk disetujui. Surat

tersebut harus ditandatangani kepala daerah dan diberi tanggal yang sama

dengan tanggal pembahasan konsep laporan hasil pemeriksaan atau

tanggal LHP.

5. Penyusunan konsep akhir dan penyampaian laporan hasil pemeriksaan.

Berdasarkan hasil pembahasan atas konsep laporan hasil pemeriksaan

tersebut, ketua tim pemeriksa menyusun konsep akhir LHP. Konsep akhir

tersebut disupervisi oleh pengendali teknis dan ditandatangani oleh

penanda tangan LHP. LHP yang telah ditandatangani tersebut


73

disampaikan kepada: a). DPRD melalui pimpinan DPRD pemda yang

diperiksa; dan b). Pemerintah daerah yang ditujukan kepada

gubernur/bupati/walikota. Laporan tersebut disampaikan pula kepada: a).

Anggota/pembina keuangan negara IV; b). Auditor utama keuangan

negara IV; c). Inspektur utama renalev (rencana analisa dan evaluasi);

dan d). Kepala biro pengolahan data (soft copy) untuk dimuat dalam

website BPK RI (BPK RI, 2006).

2.1.3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

2.1.3.1 Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Bab I, ketentuan

umum Pasal 1 Ayat 4, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah: Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang selanjutnya disebut dengan DPRD yaitu lembaga perwakilan

rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

Selanjutnya menurut (UU RI 17 Pasal 1 Ayat 4 Tahun 2003)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam UUD

l945.

2.1.3.2 Kode Etik

Kode etik DPRD dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

2004 Pasal 104 Ayat 2 adalah meliputi norma-norma atau aturan-aturan

yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan


74

sikap, perilaku, ucapan, tata kerja, tata hubungan antar lembaga pemerintah

daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRD dengan pihak lain

mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak pantas dilakukan oleh

anggota DPRD.

Selanjutnya dalam Pasal 105, Peraturan Pemerintah Nomor 25

Tahun 2004 disebutkan tujuan kode etik adalah untuk menjaga martabat,

kehormatan, citra dan kredibilitas anggota DPRD serta membantu anggota

DPRD dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya serta

tanggungjawabnya kepada pemilih, masyarakat dan negara.

Rincian kode etik DPRD berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

25 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

1. Pasal 106, anggota DPRD wajib bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada UUD RI l945 dan peraturan

perundang-undangan, berintegritas tinggi, jujur, dengan senantiasa

menegakkan kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi demokrasi dan

hak asasi manusia, mengemban amanat penderitaan rakyat, mematuhi

peraturan tata tertib DPRD, menunjukkan profesionalisme sebagai

anggota DPRD dan selalu berupaya meningkatkan kualitas dan

kinerjanya.

2. Pasal 107 menyatakan:

a. Anggota DPRD bertanggung mengemban amanat penderitaan rakyat,

melaksanakan tugasnya secara adil, mematuhi hukum, menghormati

keberadaan lembaga DPRD, melaksanakan tugas dan wewenang yang


75

diberikan kepadanya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, serta

mempertahankan keutuhan bangsa dan kedaulatan negara.

b. Anggota DPRD bertanggungjawab menyampaikan dan

memperjuangkan aspirasi rakyat kepada pemerintah, lembaga atau

pihak yang terkait secara adil tanpa memandang suku, agama, ras,

golongan dan gender.

3. Pasal 108 menyatakan:

a. Pernyataan yang disampaikan dalam rapat adalah pernyataan dalam

kapasitas sebagai anggota DPRD, pimpinan masing-masing alat

kelengkapan, atau pimpinan DPRD.

b. Pernyataan di luar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap

sebagai pernyataan pribadi.

c. Anggota DPRD yang tidak menghadiri rapat dilarang

menyampaikan hasil rapat dengan mengatasnamakan anggota DPRD

kepada pihak lain.

4. Pasal 109 menyatakan:

a. Anggota DPRD harus mengutamakan tugasnya dengan cara

menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya.

b. Ketidakhadiran anggota DPRD secara fisik sebanyak tiga kali

berturut-turut dalam rapat sejenis tanpa izin pimpinan fraksi,

merupakan suatu pelanggaran yang dapat diberikan teguran tertulis

oleh pimpinan fraksi.

c. Ketidak hadiran anggota DPRD secara fisik selama tiga bulan

berturut-turut tanpa keterangan apapun dalam kegiatan rapat-rapat


76

DPRD merupakan pelanggaran kode etik yang dapat diberhentikan

sebagai anggota DPRD.

5. Pasal 110 menyatakan:

Selama rapat berlangsung setiap anggota DPRD wajib bersikap sopan

santun, bersungguh-sungguh menjaga ketertiban dan memenuhi tatacara

rapat sebagaimana diatur dalam peraturan tata tertib DPRD.

6. Pasal 111 dalam PP Nomor 25 tahun 2004 dinyatakan:

a. Anggota DPRD melakukan perjalanan dinas di dalam negeri dengan

biaya APDB sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Anggota DPRD tidak dibolehkan menggunakan fasilitas perjalanan

dinas untuk kepentingan di luar tugas DPRD.

c. Perjalanan dinas dilakukan dengan menggunakan anggaran

d. yang tersedia.

e. Anggota DPRD tidak boleh membawa keluarga dalam suatu

perjalanan dinas kecuali dimungkinkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan.

f. Dalam hal perjalanan dinas atas biaya pengundang harus

mendapatkan izin tertulis dari pimpinan DPRD.

g. Anggota DPRD yang melakukan perjalanan dinas keluar negeri

dengan anggaran yang tersedia wajib memperoleh izin tertulis dari

Menteri Dalam Negeri untuk anggota DPRD provinsi dan dari

Gubernur untuk anggota DPRD kabupaten/kota.

h. Pasal 112, menyatakan:


77

Anggota DPRD dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak

lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Pasal 113 dalam PP Nomor 25 tahun 2004 dinyatakan:

a. Sebelum mengemukakan pendapatnya dalam pembahasan sesuatu

permasalahan, anggota DPRD harus menyatakan dihadapan seluruh

peserta rapat apabila ada suatu kepentingan antara permasalahan

yang sedang dibahas dengan kepentingan pribadinya di luar

kedudukannya sebagai anggota DPRD.

b. Anggota DPRD mempunyai hak suara pada setiap mengambilan

keputusan kecuali apabila rapat memutuskan lain karena yang

bersangkutan mempunyai konflik kepentingan dalam permasalahan

yang sedang dibahas.

8. Pasal 114 dalam PP Nomor 25 tahun 2004 dinyatakan:

Anggota DPRD dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi

proses peradilan untuk kepentingan pribadi dan atau pihak lain.

9. Pasal 115 menyatakan:

Anggota DPRD dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari

kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili dan kroninya

yang mempunyai usaha atau melakukan penanaman modal dalam suatu

bidang usaha.

10. Pasal 116 menyatakan:

a. Anggota DPRD wajib menjaga kerahasiaan yang dipercayakan

kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia


78

sampai dengan permasalahan tersebut sudah dinyatakan terbuka

untuk umum.

b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi

anggota badan kehormatan.

11. Pasal 117 dalam PP Nomor 25 tahun 2004 dinyatakan:

a. Anggota DPRD wajib bersikap adil, terbuka, akomodatif,

responsive dan profesional dalam melakukan hubungan dengan

mitra kerjanya.

b. Anggota DPRD dilarang melakukan hubungan dengan mitra

kerjanya dengan maksud meminta atau menerima imbalan atau

hadiah untuk kepentingan pribadi, keluarga, sanak famili, dan

kroninya.

12. Pasal 118 menyatakan:

a. Anggota DPRD yang ikut serta dalam kegiatan organisasi di luar

lembaga DPRD harus mengutamakan tugas dan fungsinya sebagai

anggota DPRD.

b. Setiap keikutsertaan dalam suatu organisasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) anggota DPRD wajib memberitahukan secara tertulis

kepada pimpinan DPRD.

2.1.3.3 Kedudukan dan Fungsi DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana

dimaksud dalam UUD l945 (UU RI No. 17 tahun 2003, Pasal 1 Ayat 4).
79

Menurut UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 40 dan 41 tentang

kedudukan dan fungsi DPRD dinyatakan sebagai berikut:

a. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan

berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah.

b. DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Dalam penjelasan Pasal 61 UU Nomor 22 Tahun 2003, dirumuskan

bahwa yang dimaksud fungsi legislasi provinsi adalah legislasi daerah yang

merupakan fungsi DPRD provinsi untuk membentuk peraturan daerah

provinsi bersama gubernur. Fungsi anggaran provinsi adalah fungsi DPRD

provinsi bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun dan

menetapkan APBD yang di dalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan

fungsi, tugas dan wewenang DPRD provinsi. Fungsi pengawasan provinsi

adalah fungsi DPRD provinsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap

pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan gubernur

serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Rumusan penjelasan yang sama juga berlaku untuk DPRD

kabupaten/kota, yang dalam Pasal 77 UU Nomor 22 Tahun 2003

dirumuskan sebagai berikut:

a. Huruf a, yang dimaksud dengan fungsi legislasi daerah yang merupakan

fungsi DPRD kabupaten/kota untuk membentuk peraturan daerah

kabupaten/kota bersama bupati/walikota.

b. Huruf b, yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah fungsi DPRD

kabupaten/kota bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk


80

menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran

untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD kabupaten/kota.

c. Huruf c, yang dimaksud dengan fungsi pengawasan adalah fungsi

DPRD kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan

bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah

daerah.

2.1.3.4 Tugas dan Wewenang DPRD

Dalam Pasal 42, UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan tugas dan

wewenang DPRD adalah sebagai berikut:

1. Membentuk peraturan daerah (Perda) yang dibahas dengan gubernur

untuk mendapatkan persetujuan bersama.

2. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama

dengan kepala daerah.

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan

perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD,

kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program

pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil

kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi

DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur

bagi DPRD kabupaten/kota.

5. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan

wakil kepala daerah.


81

6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah

terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.

7. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang

dilakukan oleh pemerintah daerah.

8. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

9. Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah.

10. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

11. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antardaerah dan

dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

2.1.4 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

2.1.4.1 Pengertian Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good

Governance)

Pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola

urusan-urusan publik. World Bank memberikan definisi governance

sebagai:

“The way state power is used in managing economic and social

resources for development of society”.

Sedangkan United Nation Development Program (UNDP)

mendefinisikan governance sebagai:

“The exercise of political, economic, and administrative authority

to manage a nation’s affair at all levels”.


82

Dalam hal ini, World Bank lebih menekanan pada cara pemerintah

mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan

pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan aspek

politik, ekonomi dan administratif dalam pengelolaan negara.

Good governance menurut Michel Camdessus IMF (1997) adalah

sebagai berikut:

“Is important for countries at all stages of developmement…..


Our approach is to concentrate on those aspects of good
governance that are most closely related to our surveillance over
macroeconomic policies namely, the transparency of government
accounts, the effectiveness of publik resource management, and
the stability and transparency of the economic and regulatory
environment for private sector activity”.
Sementara itu menurut Organizations for Economic Co-operation

and Development (OECD 1999):

“The first set of internationally acceptable standars of corporate


governance were produced by the Organizations for Economic
Co-operation and Development. The OECD is an internasional
organization, based in Paris. Its membership comprises 29
countries from all around the world. OECD corporate
governance was defined as, “that structure of relationship and
corresponding responsibilities among a core group consisting of
shareholders, board members and manager designed to best
foster the competitive performance required to achieve the
corporation’ primary objective”.
Selanjutnya menurut United Nations Fund for Women (UNIFEM,

2005):

“Good governance is therefore a subset of governance, wherein


public resources and problems are managed effectively,
efficiently and in response to critical needs of society. Effective
democratic forms of governance rely on publik participation,
accountability and transparency”.
83

Menurut Fuhr and Stockmayer (2002) dalam The World Bank

(2007) menyatakan empat dimensi dan indikator tata kelola pemerintah

yang baik (good governance) yaitu:

“The first dimension (state tasks and their reform) touches the
rooting of subsidiary structures of task fulfillment and the
strengthening of legitimacy by enlarging effective citizen
participation. The second dimension (governmental competence)
refers to the ability to formulate a coherent policy and the
configuration of a reform-oriented government organization. The
third dimension (civil society) involves civil society and its
institutions. The fourth dimension (law) addresses the
establishment of property rights, which is especially relevant for
transparent and reliable interaction within society and between
society and the state”.
Ciri-ciri dari tata pemerintahan yang baik adalah: a). Mengikut

sertakan semua; b). Transparan dan bertanggungjawab c). Efektif dan adil;

d). Menjamin adanya supremasi hukum; e). Menjamin bahwa prioritas-

prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat;

dan f). Memperhatikan kepentingan masyarakat yang paling miskin dan

lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber

daya pembangunan.

2.1.4.2 Prinsip-prinsip Utama Good Governance

Good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintah

untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita

bangsa bernegara. Dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan

penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, terukur dan

legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat

berlangsung secara berdaya guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme (LAN dan BPKP, 2000).


84

Karakteristik tata kelola pemerintah yang baik menurut UNDP,

antara lain: Participation, Rule of law, Transparency, Responsiveness,

Consensus orientation, Equity, Efficiency and Effectiveness, Accountability,

Strategic vision.

Sedangkan menurut UNIFEM (2005:34) karakteristik good

governance adalah participation, accountability and transparency.

Kriteria good governance diatas yang dapat diperankan oleh

akuntansi sektor publik adalah transparansi, akuntabilitas, dan value for

money (economy, efficiency, dan effectiveness) (Mardiasmo, 2002:25).

Menurut OECD kriteria good governance yang terdiri dari;

fairness, transparency, accountability, responsibility (Sukrisno Agoes,

2004:28).

OECD merupakan organisasi internasional yang memiliki

kepentingan untuk memajukan praktik manajemen publik di negara-negara

berkembang. OECD memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan

konsep New Public Management (NPM) maupun reinventing government

(David Osborne, l992).

Konsep New Public Management (NPM) adalah bahwa agar

organisasi sektor publik bisa meningkatkan kinerjanya, maka sektor publik

harus mengadopsi praktek manajemen yang lebih maju di sektor swasta

tersebut ke dalam organisasi sektor publik (Mahmudi, 2005:48).

Terdapat empat prinsip penting good governance yaitu

transparency, accountability, predictability yang sama dengan rule of law

dan participation (Bintoro Tjokroamidjojo, 2000)


85

Berdasarkan hasil penelitian Asian Development Bank (1999),

disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara praktik good

governance dengan hasil-hasil pembangungan yang lebih baik juga dapat

meningkatkan iklim transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sesuai

dengan prinsip-prinsip good governance.

Tiga pilar elemen dasar yang saling berkaitan satu dengan lainnya

dalam mewujudkan good governance (Osborne and Geabler (1992),

OECD and World Bank (2000), LAN dan BPKP (2000), Bappenas

(2003)) adalah sebagai berikut:

1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam manajemen pemerintah,

lingkungan, ekonomi dan sosial.

2. Partisipasi, yaitu penerapan pengambilan keputusan yang demokratis

serta pengakuan atas hak asasi manusia, kebebasan pers dan kebebasan

mengemukakan pendapat/aspirasi masyarakat.

3. Akuntabilitas, yaitu kewajiban melaporkan dan menjawab dari yang

dititipi amanah untuk mempertanggungjawabkan kesuksesan maupun

kegagalan kepada penitip amanah sampai yang memberi amanah puas

dan bila belum ada atau tidak puas dapat kena sanksi.

Jumlah komponen ataupun prinsip yang melandasi good

governance sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi yang lain, dari

satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang

dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance,

yaitu: (1) transparansi; (2) partisipasi; (3) akuntabilitas.

A. Transparansi (Transparency)
86

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau

kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang

penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan,

proses pembuatan dan pelaksanannya, serta hasil-hasil yang dicapai.

Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan.

Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi

mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh

publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan

persaingan politik yang sehat, toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan

pada preferensi publik (Bappenas & Depdagri, 2003).

Transparansi menjadi sangat penting bagi pelaksanaan fungsi-

fungsi pemerintah dalam menjalankan mandat dari rakyat. Mengingat

pemerintah memiliki kewenangan mengambil berbagai keputusan

penting yang berdampak bagi orang banyak, pemerintah harus

menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang

dikerjakannya. Dengan transparansi, kebohongan sulit untuk

disembunyikan. Dengan demikian transparansi menjadi instrumen

penting yang dapat menyelamatkan uang rakyat dari perbuatan korupsi.

Prinsip-prinsip transparansi dapat diukur melalui sejumlah

indikator seperti berikut:

1. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi

dari semua proses-proses pelayanan publik.


87

2. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik

tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-

proses didalam sektor publik.

3. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran

informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam

kegiatan melayani.

Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik,

pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggungjawab

kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun

kegiatan dalam sektor publik.

Dalam rangka penguatan partisipasi publik, beberapa hal yang

dapat dilakukan oleh pemerintah:

1. Mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh publik.

2. Menyelenggarakan proses konsultasi untuk mengali dan

mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders termasuk

aktivitas warga negara dalam kegiatan publik.

3. Mendelegasikan otoritas tertentu kepada pengguna jasa layanan

publik seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan bagi

kegiatan masyarakat dan layanan publik (Loina Lalolo Krina P,

2003:27)

B. Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan

pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan

tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada


88

pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan

atau pertanggungjawaban. (LAN RI, 2003:28)

Standar Akuntansi Pemerintah menyatakan akuntabilitas

adalah mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta

pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan

dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik (SAP,

2005:23)

Akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi

mandat untuk memerintah kepada meraka yang memberi mandat itu.

Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan

pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga

pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus

menciptakan kondisi saling mengawasi (check and balances system).

(Miriam Budiardjo, 1998:19)

Sedangkan menurut The World Bank (2007):

“Accountability as holding people to account for their impact


on the lives of people. People who are affected have the right
to be heard and to have their views taken into account.
People with power have the obligation to listen and respond.
To enforce these rights and obligations, societies have
established sanctions”.
Berdasarkan PP No. 108 tahun 2000 tentang tata cara

pertanggungjawaban kepala daerah, dalam Bab II bagian pertama

dinyatakan dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai Kepala

Daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota, bertanggungjawab kepada

DPRD. Sedangkan Gubernur dalam tugasnya sebagai wakil pemerintah

bertanggungjawab kepada Presiden.


89

Pertanggungjawaban Kepala Daerah terdiri dari;

pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban akhir

masa jabatan, dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu.

Pertanggungjawaban Kepala Daerah dinilai dengan tolok ukur

berdasarkan Renstra.

Selanjutnya dalam Bagian kedua Bab II, PP No.108 tahun

2000 dinyatakan, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran merupakan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk perhitungan

APBD berikut penilaian kinerja berdasarkan tolok ukur renstra.

Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Kepala Daerah

terdiri dari; 1. Laporan perhitungan APBD; 2. Nota perhitungan APBD;

3. Laporan aliran kas; dan 4. Neraca.

Dalam pelaksanaan akuntabilitas dilingkungan instansi

pemerintah perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk

melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.

2. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan

sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran

yang telah ditetapkan.

4. Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan

manfaat yang diperoleh.


90

5. Harus jujur, objektif, transparan dan inovatif sebagai katalisator

perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk

pemutakiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan

penyusunan laporan akuntabilitas (LAN dan BPKP, 2000:43).

C. Partisipasi (Participation)

Partisipasi adalah setiap warganegara mempunyai suara dalam

pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui

intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.

Partisipasi ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara

serta berpartisipasi secara konstruktif (LAN dan BPKP, 2000).

Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari tiga aspek yaitu:

akses, control dan voice masyarakat dalam policy making process

(AAGN Ari Dwipayana, et., all, 2003).

Prinsip dan indikator partisipasi masyarakat dalam

pengganggaran menurut mencakup hal-hal berikut:

4. Adanya akses bagi partisipaasi aktif publik dalam proses

perumusan program dan pengambilan keputusan anggaran.

Indikatornya adalah sebagai berikut:

a. Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi

keterlibatan publik secara langsung.

b. Dalam proses legislasinya, berapa frekuensi publik hearing dan

pihak mana saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Presentase dapat diukur dengan membandingkan jumlah


91

sidang/rapat yang diagendakan secara resmi dengan jumlah

public hearing yang dilaksanakan.

5. Adanya peraturan yang memberikan tempat ruang kontrol oleh

lembaga independen dan masyarakat baik secara perorangan

maupun kelembagaan sebagai media check and balances.

a. Adanya peraturan yang menjadi landasan hukum dan

menjelaskan batasan kewengan dan tanggung jawab lembaga

kontrol independen atau masyarakat dalam melakukan

pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan keuangan

negara.

b. Substansi peraturan memberikan ruang gerak lembaga

independent atau masyarakat untuk mengakses dokumen

keuangan negara.

c. Seberapa banyak lembaga kontrol dan unsur masyarakat

lainnya yang memberikan perhatian pada proses pengelolaan

keuangan negara.

6. Adanya sikap proaktif pemerintah daerah untuk mendorong

partisipasi warga pada proses penganggaran. Hal ini mengingat

kesenjangan yang tajam antara kesadaran masyarakat tentang cara

berpartisipasi yang efektif dan cita-cita mewujudkan APBD yang

aspiratif (Gatot Sulistioni & Hendriadi, 2004).

2.2 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini melihat pengaruh Auditor Internal, Auditor Eksternal

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap tata kelola


92

pemerintah yang baik (good governance). Konsep dasar dari penelitian ini,

berasal dari konsep New Public Management (NPM) salah satunya adalah

reinventing government yang dipublikasikan oleh Osborne dan Gaebler

(1992), di mana konsep ini menuntut reformasi pemerintah dengan

mengadopsi tata cara perusahaan dengan harapan terjadi efisiensi,

pemangkasan biaya.

Konsep Osborne dan Gaebler tersebut, sejalan dengan apa yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, yang mana dalam penerapan kaidah pengelolaan

keuangan yang sehat dilingkungan pemerintah, mengacu kepada

pengelolaan keuangan yang selama ini banyak dilakukan di dunia usaha.

Selanjutnya dinyatakan dalam UU Nomor 1 tahun 2004, bahwa

pengelolaan keuangan sektor publik yang dilakukan selama ini

menggunakan pendekatan superioritas, membuat aparatur pemerintah yang

bergerak dalam kegiatan pengelolaan keuangan sektor publik tidak lagi

dianggap berada dalam kelompok profesi manajemen oleh para profesional.

Oleh karena itu, perlu pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah

dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintah yang baik (good

governance).

Kareteristik good governance menurut UNDP (LAN dan BPKP,

2000), yaitu participation, rule of low, transparancy, responsiveness,

consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability,

strategic vision.
93

Menurut World Bank empat prinsip paling penting good

governance yaitu: accountability, participation, transparency, predictability

yang sama dengan rule of low. Untuk sektor publik yang paling penting:

accountability, participation, dan transparency.

Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam

pengelolaan keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan

pemerintah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti

standar akuntansi pemerintah (UU Nomor 1 tahun 2004). Standar akuntansi

yang digunakan sebagai dasar penyusunan laporan keuangan pemerintah

daerah (LKPD) adalah standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan

dalam PP Nomor 24 tahun 2005.

Standar pemeriksaan merupakan patokan bagi para pemeriksa

dalam melakukan tugas pemeriksaannya. Seiring dengan perkembangan

teori pemeriksaan dan dinamika masyarakat yang menuntut adanya

transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang

bernilai tambah menuntut BPK untuk menyempurnakan Standar Audit

Pemerintah (SAP) 1995.

SAP 1995 tidak dapat memenuhi tuntutan dinamika masa kini,

untuk memenuhi tuntutan amanat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 tahun

2004 tentang pemeriksaan dan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan

negara dan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK,

maka BPK telah berhasil menyusun Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

(SPKN) yang ditetapkan dengan Peraturan BPK RI Nomor 1 tahun 2007.


94

SPKN berlaku bagi: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Akuntan

Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan negara, untuk dan atasnama BPK. Aparat

Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), Satuan Pengawasan Intern

maupun pihak lainnya dapat menggunakan SPKN sebagai acuan dalam

penyusunan standar pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas dan

fungsinya (Pasal 6 dan 7 Peraturan BPK RI Nomor 1 tahun 2007).

Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR,

DPRD, DPD sesuai dengan kewangannnya. Hasil pemeriksaan tersebut

ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan

Undang-Undang (Pasal 23 E ayat 2 dan 3, Undang-Undang RI. Tahun

1945).

Dalam Pasal 21, UU RI Nomor 15 tahun 2004, dinyatakan dalam:

ayat (1) lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK

dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya, ayat (2)

DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka

menindaklanjuti hasil pemeriksaan, (3) DPR/DPRD dapat meminta BPK

untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, (4) DPR/DPRD dapat meminta

pemerintah untuk melakukan tindaklanjut hasil pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3).

Dalam melaksanakan audit, menurut UU Nomor 15 tahun 2004

Auditor Eksternal dapat meminta bantuan langsung dari Auditor Internal.

Bantuan langsung berkaitan dengan pekerjaan yang secara spesifik diminta


95

oleh Auditor Eksternal dari Auditor Internal untuk menyelesaikan beberapa

aspek pekerjaan Auditor Eksternal.

Bila bantuan langsung disediakan, Auditor Eksternal harus

menentukan kompetensi dan objektivitas auditor internal dan melakukan

supervise, review, evaluasi, serta pengujian pekerjaan yang dilaksanakan

oleh Auditor Internal yang lingkupnya disesuaikan dengan keadaan (SPAP,

2001).

Auditor Eksternal harus memberitahu Auditor Internal mengenai

tanggung jawab Auditor Internal tersebut, tujuan prosedur yang

dilaksanakan oleh Auditor Internal, serta hal-hal yang mungkin berdampak

terhadap sifat, saat, dan lingkup prosedur audit, seperti masalah akuntansi

dan auditing. Auditor Eksternal juga harus memberitahu Auditor Internal

bahwa semua masalah akuntansi signifikan yang ditemukan oleh Auditor

Internal selama audit tersebut, harus diberitahukan kepada Auditor Eksternal

(SPAP, 2001:322.8-9).

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
96

2.2.1 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1
Penelitian tentang Auditor Internal, Auditor Eksternal,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Peneliti Judul Hasil Penelitian Persamaan & Perbedaan
Auditor Eksternal Persamaan: Meneliti
memiliki hubungan yang tentang Auditor Eskternal,
Pengaruh Auditor
nyata dengan Auditor Auditor Internal dan good
Atang Eksternal dan Auditor
Internal, dimana governance.
Hermawan Internal
hubungan Auditor
(2010) pada Pelaksanaan Good
Eksternal dan Auditor Perbedaan: Penelitian
Corporate Governance
Internal menunjukan sebelumnya dilakukan di
hubungan yang searah. perusahaan BUMN.
Profesionalisme aparat
Bawasda yang terdiri
Persamaan: Meneliti good
dari kompetensi,
Pengaruh Profesionalitas governance.
independensi,
Dessy Sarilena Aparat Badan
kecermatan profesi,
Oktavia Pengawasan Daerah Perbedaan: Penelitian
kerahasiaan berpengaruh
(2004) terhadap Pelaksanaan sebelumnya meneliti
secara positif dan
Good Governance profesionalitas
signifikan terhadap
BAWASDA.
pelaksanaan good
governance
Pengaruh Peran
Pimpinan Pemerintah Persamaan: Meneliti good
Peran jasa pemeriksa
Daerah dan Jasa governance.
internal dalam
Pemeriksaan Intern
E. Ristandi pelaksanaan
dalam Pelaksanaan Perbedaan: Penelitian
Suhardjadinata pengendalian secara
Pengendalian Intern sebelumnya meneliti peran
(2006) parsial berpengaruh
terhadap Tata Kelola pimpinan Kepala Daerah,
terhadap penerapan tata
Pemerintah dan audit internal, dan internal
kelola pemerintah.
Dampaknya terhadap control.
Kinerja Pemerintah
Persamaan: Meneliti
Pengaruh Peran Komite Peran Auditor Internal
auditor internal, dan good
Audit, Direksi dan berpengaruh kecil
governance.
Efrizal Syofyan Auditor Internal terhadap langsung terhadap
(2006) Pelaksanaan Prinsip- pelaksanaan prinsip-
Perbedaan: Penelitian
Prinsip Good Corporate prinsip good corporate
sebelumnya dilakukan di
Governance governance.
perusahaan (bank syariah).
Persamaan: Meneliti good
Pengaruh Peran Komite
governance.
Audit, Internal Control, Pengaruh internal audit
dan Internal Audit dalam secara positif dan lemah
Gusnardi (2008) Perbedaan: Penelitian
Pelaksanaan Good terhadap good corporate
sebelumnya dilakukan di
Corporate Governance governance.
perusahaan dan meneliti
dan Pencegahan Fraud
tentang fraud.
Pengaruh Pengawasan Pengawasan DPRD, Persamaan: Meneliti
DPRD, Pengendalian pengendalian internal, tentang DPRD, Auditor
Habibi Internal, Dan Peran dan peran Auditor Internal dan good
(2009) Auditor Internal Internal berpengaruh governance.
Terhadap Good positif terhadap good
Governance governance. Perbedaan: Penelitian
97

sebelumnya dilakukan di
Pemerintahan Daerah Kota
Medan
Terdapat pengaruh
positif dan signifikan
dari audit internal
terhadap good Persamaan: Meneliti good
governance. Hal ini governance.
Pengaruh Audit Internal
menunjukkan bahwa
Patricia Dan Pengendalian
dengan menerapkan Perbedaan: Penelitian
Saptapradipta Internal Terhadap
adanya audit internal sebelumnya dilakukan di
(2013) Pelaksanaan Good
maka akan Badan Layanan Umum
Governance
meningkatkan penerapan (BLU) Universitas
prinsip-prinsip good Brawijaya
governance sehingga
tujuan organisasi dapat
tercapai.
Ditemukan hubungan
dan pengaruh yang
cukup kuat antara
Persamaan: Meneliti
Auditor Internal, Auditor
Auditor Internal, Auditor
Pengaruh Auditor Eksternal serta DPRD.
Eksternal dan good
Internal, Auditor Hubungan antara
governance.
Eksternal dan DPRD Auditor Internal dengan
Taufeni Taufik dalam Penegakkan Tata DPRD ditemukan tidak
Perbedaan: Penelitian
(2009) Kelola Pemerintahan kuat. Pengaruh Auditor
sebelumnya meneliti fraud
yang Baik serta Internal, Auditor
dan objek penelitian
Dampaknya terhadap Eksternal dan DPRD
dilakukan di
Pencegahan Kecurangan serta tata kelola
kabupaten/kota Provinsi
pemerintahan yag baik
Riau.
secara positif dan
bersama-sama terhadap
pencegahan kecurangan.

2.3 Hipotesis Penelitian

Dengan bertitik tolak pada kerangka pemikiran yang dikemukan

sebelumnya, maka berikut ini diuraikan hipotesis penelitian sesuai dengan

paradigma keterkaitan variabel penelitian yang disusun sebagai berikut:

Hipotesis 1 : Auditor Internal berpengaruh positif terhadap tata kelola

pemerintahan yang baik

Hipotesis 2 : Auditor Eksternal berpengaruh positif terhadap tata kelola

pemerintahan yang baik

Hipotesis 3 : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berpengaruh positif

terhadap tata kelola pemerintahan yang baik.


98

Hipotesis 4 : Auditor Internal, Auditor Eksternal dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah berpengaruh positif terhadap tata kelola pemerintahan yang

baik.

Anda mungkin juga menyukai