Anda di halaman 1dari 10

Penjelasan diagnose penyakit

1. Scc. Regio Maxilla T4N1M0 Post Kemoterapi + Anemia


Karsinoma sel skuamosa atau squamous cell carcinoma (SCC), merupakan tumor ganas yang
berasal dari epitel skuamosa berlapis yang mempunyai kemampuan untuk merusak jaringan
sekitarnya, dan bermetastasis ke tempat yang lebih jauh. Hampir semua kanker di rongga mulut
dimulai dari sel basal yang menutupi permukaan bibir, lidah dan rongga mulut yang dikenal
sebagai karsinoma sel skuamosa dan mencapai 90%. Menurut distribusi lokasi di rongga mulut,
lidah merupakan lokasi SCC yang paling banyak terjadi, sekitar 35%, diikuti dasar rongga mulut
30%, gingiva mandibula 15%, mukosa bukal 10%, gingiva maksila 5%, palatum durum 3%, dan
retromolar 2%. Pada literatur lain insidensi SCC lidah adalah antara 25-40% dari karsinoma
rongga mulut. Dari literatur yang berbeda dikatakan lidah dan dasar rongga mulut merupakan
lokasi tersering terjadinya SCC di negara barat. Namun, di negara yang masyarakatnya banyak
mengunyah tembakau dan buah pinang, trigonum retromolar pad dan mukosa bukal merupakan
lokasi tersering terjadinya karsinoma ini. Karsinoma sel skuamosa lidah banyak dijumpai pada
laki-laki.
Bagian yang paling sering terkena adalah lidah, diikuti bibir, gingiva, dasar mulut, mukosa bukal
dan palatum. Adapun yang menjadi etiologi dari SCC secara pasti belum diketahui namun
terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya neoplasma ini, yaitu tembakau.
Tembakau merupakan karsinogen utama neoplasma rongga mulut. Tembakau dapat dikonsumsi
dalam bentuk merokok sigaret, cerutu, merokok pipa, dan mengunyah tembakau. Selain
tembakau alkohol juga disebut sebagai karsinogen yang sama pentingnya dengan tembakau.
Alkohol sebagai promoting agent, memungkinkan terjadinya perubahan histologi menjadi
keganasan. Oral Hygiene yang buruk dan trauma kronis berhubungan juga dengan terjadinya
perubahan epitel yang diawali dengan hiperplasia atau papilomatosis. Trauma kronis pada
rongga mulut biasanya disebabkan oleh gigi yang tajam, gigi yang rusak atau gigitiruan yang
tidak pas. Sinar matahari terutama pada neoplasma di bibir, berhubungan dengan paparan
kronis UV-B. Kebiasaan kultural seperti kebiasaan mengunyah sirih, atau merokok. Defisiensi zat
besi yang kronis merupakan faktor etiologi pada kanker lidah, khususnya pada wanita. Selain itu
defisiensi vitamin A dan E juga telah dianggap berhubungan dengan neoplasma rongga mulut.
Human papilloma virus (HPV) juga disebut-sebut mempunyai peran serta menjadi penyebab.
Lesi pra-kanker seperti leukoplakia dan eritroplakia (red patch) juga dapat menjadi penyebab
dari SCC. Topik ini sangat menarik karena biasanya keganasan pada lidah muncul dalam bentuk
ulkus, tapi pada kasus ini muncul dalam bentuk benjolan. Selain bentuk, posisi benjolan juga
terjadi pada bagian ujung lidah.
Pathogenesis
Seperti semua tumor epitel, perkembangan SCC merupakan suatu proses multistep yang
melibatkan aktivasi onkogen dan inaktivasi gen penekan tumor. Perubahan pertama adalah
hilangnya kromosom pada regio 3p dan 9p21. Kehilangan heterozigositas dalam hubungannya
dengan hypermethylation pada lokus ini menyebabkan inaktivasi gen p16, penghambat
cyclindependent kinase. Perubahan ini dikaitkan dengan transisi dari epitel normal sampai
menjadi epitel yang mengalami hiperplasia/hiperkeratosis. Perubahan selanjutnya terjadi pada
regio 17p dengan mutasi dari gen penekan tumor p53 dan dikaitkan dengan perubahan menjadi
displasia. Baru-baru ini diperlihatkan perubahan genom seperti delesi pada 4q, 6p, 8p 11q, 13q,
14q dan dapat bertindak sebagai prediktor pada suatu keganasan. Perubahan dari epitel normal
sampai menjadi SCC, secara klinis dan molekular dapat dilihat pada gambar.
Gejala klinis
Kanker rongga mulut pada awalnya tidak menimbulkan gejala namun gejala yang mungkin
dirasakan adalah rasa tidak nyaman. Penderita baru mengetahuinya setelah gejala semakin
berkembang dan kanker menjadi progresif. Rongga mulut seharusnya diperiksa secara teliti
berikut pemeriksaan nodus limfatikus di leher dan submandibula. Daerah yang mempunyai
risiko tinggi terjadinya kanker seperti mukosa bukal dan lidah seharusnya diperiksa lebih teliti.
Penderita juga seharusnya diperiksa setiap perubahan jaringan, yaitu adanya lesi merah, putih
ataupun campuran. Adanya perubahan tekstur permukaan lesi seperti, licin, kasar, bergranul,
ataupun krusta termasuk dapat atau tidak dapat digerakkan, ada tidaknya ulkus seharusnya
menjadi suatu peringatan.
2. Adeno Ca Recto Sygmoid T4aNoMo Pro Kemo Symplifed Biwekly ke-9
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon
(bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar
sebelum anus). Kanker ini banyak terjadi pada laki-laki.
FAKTOR RISIKO
Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor
genetik. Faktor tidak dapat dimodifikasi: adalah riwayat KKR atau polip adenoma individual dan
keluarga, dan riwayat individual penyakit kronis inflamatori pada usus . Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi: inaktivitas , obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi
alkohol moderat-sering. Sementara aktivitas fisik , diet berserat dan asupan vitamin D termasuk
dalam faktor protektif.
Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP), hereditary nonpolyposis colorectal
cancer (HNPCC). - Riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal. - Riwayat polip rektum,
kanker ovarium, endometriosis, dan kanker payudara. - Umur di atas 40 tahun. Inflamatory
bowel disease seperti penyakit crohn, kolitis ulseratifa. - Diet tinggi lemak rendah serat.
Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan layanan primer
melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari faktor-faktor risiko kanker
kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini pada
populasi, terutama pada kelompok risiko tinggi.
Gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya KKR:
Keluhan utama dan pemeriksaan klinis: Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi
defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur) Perdarahan per-anum tanpa
gejala anal (di atas 60 tahun) Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6
minggu (di atas 60 tahun) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-
luminal di dalam rektum Tanda-tanda obstruksi mekanik usus. Setiap pasien dengan anemia
defisiensi Fe
Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala
ano-rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan menetapkan
ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok
dubur ini yang harus dinilai adalah: Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak
bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung
os coccygis. Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler.
PATOFISIOLOGI
Mukosa rektum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada adenoma terjadi
perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi sel-sel tersebut, yang
dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan replikasi
yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel tersebut menyebabkan terjadi mutasi
yang mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah apoptosis dan
memperpanjang hidup sel.

Gejala yang dapat ditemukan antara lain : • Perdarahan perektal merupakan gejala yang paling
sering terjadi (60%) pasien. • Perubahan pola defekasi seperti perubahan bentuk feses,
tenesnus, rasa tidak puas setelah BAB. • Occult bleeding (tes darah samar) positif pada 26%
kasus. • Nyeri abdomen, sidapatkan sekitar 20% kasus. • Malaise (9% kasus).
Pemeriksaan fisik untuk mencari kemungkinan metastase seperti pembesaran KGB atau
hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui : 1,7 • Adanya tumor rektum •
Lokasi dan jarak dari anus • Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen • Perlengketan dgn
jar.sekitar • Dapat dilakukan biopsi cubit
Pemeriksaan penunjang • Pemeriksaan CEA (carcinoembrionic antigen). • Fungsi hati dan ginjal.
• Trasnrectal ultrasonography (TRUS) • Magnetic Resonane Imaging (MRI) • Pemeriksaan FOBT
(fecal occult bleeding test) • Kolonoskopi. • CT Scan abdomen • Doule contras barium enema.
3. Adeno Ca Recti 1/3 Tengah T4aNoMo Pro Kemo Symplifed Biwekly ke-10
4. Adeno Ca Recti 1/3 Tengah T4aNoMo Pro Kemo Symplifed Biwekly ke-3
5. KNF Pro Kemoterapi ke-1
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring (area di
atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa
mikroskopik ringan atau ultrastruktur
FAKTOR RISIKO 1. Jenis Kelamin Wanita 2. Ras Asia dan Afrika Utara 3. Umur 30 – 50 tahun 4.
Makanan yang diawetkan 5. Infeksi Virus Epstein-Barr 6. Riwayat keluarga. 7. Faktor Gen HLA
(Human Leokcyte Antigen) dan Genetik 8. Merokok 9. Minum Alkohol
Pencegahan
Mengonsumsi buah-buahan dan sayuran terbukti dapat mengurangi risiko terjadinya KNF
Patogenesis NPC Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan
virus EBV (EpsteinBarr virus). Telah ditemukan bahwa perkembangan NPC salah satunya
dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV
yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis dari
karsinogenesis terkait EBV masih belum sepenuhnya jelas.[3] Selain itu, meski NPC seringkali
diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon
yang proliferative, meski ia dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk NPC, mula-mula
dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan genetik yang dapat
diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan
menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan transformasi sel epitel
nasofaring premalignan menjadi sel kanker. Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa
konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi
dari lesi genetik dan peningkatan risiko NPC. Selain diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan
zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan
inflamasi kronis di nasofaring.
Gejala-gejala NPC dapat dibagikan menjadi 4 kategori: (1) gejala terkait massa nasofaring
seperti epistaxis, obstruksi, dan nasal discharge; (2) gejala terkait disfungsi tuba Eustachius
seperti berkurangnya pendengaran dan tinnitus; (3) gejala terkait keterlibatan basis cranii (erosi)
seperti sakit kepala, diplopia, rasa sakit pada wajah, dan baal/paresthesia; dan (4) massa pada
leher.[5] Pada pemicu ini, pasien mengalami beberapa gejala: merasa adanya benjolan (massa)
di leher kanan yang semakin besar yang terlihat sejak 3 bulan yang lalu, tidak nyeri dan imobil
mimisan ringan 6 bulan yang lalu berkurangnya pendengaran telinga kanan, rasa penuh pada
telinga, serta munculnya bunyi pada telinga sejak setahun yang lalu munculnya penglihatan
ganda berkurangnya penciuman dan tersumbatnya hidung

Anda mungkin juga menyukai