Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ade Cahyo Islami

NIM : I1011151060

1. Patogenesis secara umum penyakit infeksi

Cara menyerang/invasi ke pejamu/ manusia melalui tahapan sebagai berikut :

1. Sebelum pindah ke pejamu (calon penderita), mikroba patogen hidup


danberkembang biak pada reservoir (orang/penderita, hewan, benda–benda lain).
2. Untuk mencapai pejamu (calon penderita), diperlukan adanya mekanisme
penyebaran.
3. Untuk masuk ke tubuh pejamu (calon penderita), mikroba patogen memerlukan
pintu masuk (port d’entrée) seperti kulit/mukosa yang terluka, hidung,
ronggamulut, dan sebagainya. Adanya tenggang waktu saat masuknya mikroba
patogen melalui port d’entrée sampai timbulnya manifestasi klinis, untuk masing –
masing mikroba patogen berbeda–beda.
4. Pada prinsipnya semua organ tubuh pejamu dapat terserang oleh mikroba patogen,
namun berbeda mikroba patogen secara selektif hanya menyerang organ–organ
tubuh tertentu dari pejamu/target organ.
5. Besarnya kemampuan merusak dan menimbulkan manifestasi klinis dari mikroba
patogen terhadap pejamu dapat dinilai dari beberapa faktor berikut.

a. Infeksivitas
Besarnya kemampuan mikroba patogen melakukan invasi, berkembang biak dan
menyesuaikan diri, serta bertempat tinggal pada jaringan tubuh pejamu.
b. Patogenitas
Derajat respons/reaksi pejamu untuk menjadi sakit.
c. Virulensi
Besarnya kemampuan merusak mirkoba patogen terhadap jaringan pejamu.
d. Toksigenitas
Besarnya kemampuan mikroba patogen untuk menghasilkan toksin, di mana toksin
berpengaruh dalam perjalanan penyakit.
e. Antigenitas
Kemampuan mikroba patogen merangsang timbulnya mekanisme pertahanan
tubuh/antibodi pada diri pejamu. Kondisi ini akan mempersulit mikroba patogen itu
sendiri untuk berkembang biak, karena melemahnya respons pejamu menjadi sakit.
Sumber :
Schaffer, et al (2000) Pencegahan Infeksi & Praktik yang Aman, Jakarta: EGC.
2. Patogenesis leptospirosis
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva
atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat
masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski
jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama
terendam air saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung
yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah satu
atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan,
dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari
keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga
menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman
leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular.
Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin
yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit
disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah
satu penyebab gagal ginjal.

Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin
darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik
sampai berkurangya sekresi bilirubin.
Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,
memasuki akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh.
Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular maupun humoral sehingga
infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa
organism ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di
dalam ginjal dimana bagian mikro organism akan mencapai convoluted tubulus.
Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin
sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan
mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya
agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat ditemukan
dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.

Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri


langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.

Sumber :
1. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
2. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan RI : Jakarta.
3. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer Obor
: Jakarta. 2002.
3. Definisi malaria
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran
limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut
maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam,
menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
Sumber : Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di
Indonesia. Jakarta, 2006; Hal:1-12, 15-23, 67-68.

4. Manifestasi klinis malaria


Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai

gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses

skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl

phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa

penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang

dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam

periodic, anemia dan splenomegali.

Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:

1. Masa inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit

(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi

dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga
cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya

transfuse darah yang mengandung stadium aseksual).

2. Keluhan-keluhan prodromal

Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:

malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia,

perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan

prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P.

malariae keluhan prodromal tidak jelas.

3. Gejala-gejala umum

Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara

berurutan:

 Periode dingin

Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus

dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar,

pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit

sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.

 Periode panas

Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh

tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi

meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah dan dapat terjadi syok.

Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih,

diikuti dengan keadaan berkeringat.


 Periode berkeringat

Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa

capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan dapat

melakukan pekerjaan biasa.

Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih

sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari

dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis.

Sumber :
Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000;
Hal: 151-55.
5. Epidemiologi demam thypoid
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya
adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
Sumber : Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta
: Salemba Medika, 2002:1-43.
6. Diagnosis demam thypoid
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Sumber :
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

7. Gejala-gejala penyakit infeksi ??/???????


Aku bingung yang ini karena setiap infeksi beda gejala
Nak cari gejala umum nyee tu aku bingung

Anda mungkin juga menyukai