Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Edema paru adalah keadaan terdapatnya cairan ekstravaskuler yang
berlebihan dalam paru. Berbagai macam etiologi dapat menimbulkan edema
paru, namun pada dasarnya disebabkan oleh tekanan yang tinggi pada
mikrosirkulasi paru dan akibat sekunder pompa jantung yang tidak baik
(edema paru hemodinamik/kardiogenik), karena peningkatan permeabilitas
membrane alveolar kapiler (edema paru permeabilitas/nonkardiogenik) atau
karena kombinasi kedua penyebab tersebut.
Edema paru pada keadaan akut merupakan keadaan darurat medis
yang dapat mengancam jiwa penderita, sedangkan edema paru kronik dapat
menyebabkan kecacatan dan mengurangi aktivitas penderita.
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba
akibat peningkatan tekanan intravaskular. Edema paru terjadi oleh karena
adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan
NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya
sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah
Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya
faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Khronik
Sangat penting untuk diingat bahwa edema paru adalah salah satu
kondisi kegawatan yang tersering dan sangat mengancam jiwa.
Penatalaksanaan yang agresif harus segera dilakukan setelah dicurigai

1
diagnosis edema paru. Tanda dan gejala yang tampak adalah representasi
perpindahan cairan dari kompartemen intravaskular ke dalam jaringan
interstisial dan selanjutnya ke dalam alveoli. Kelainan kardiak dan
nonkardiak dapat menyebabkan edema paru sehingga kita harus mengetahui
kondisi dasar yang mencetuskan edema paru agar penatalaksanaan yang
dilakukan tepat dan berhasil. Kadang masalahnya kompleks karena pada
pasien selain terdapat problem kardiak sekaligus terdapat juga problem
nonkardiak.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi edema paru kardiogenik.
2. Mengetahui etiologi edema paru kardiogenik.
3. Mengetahui patofisiologi edema paru kardiogenik.
4. Mengetahui menifestasi klinis edema paru kardiogenik.
5. Mengetahui pemeriksaan edema paru kardiogenik.
6. Mengetahui penatalaksanaan edema paru kardiogenik.

2
BAB II

KONSEP DASAR

2.1 Pengertian Edema Paru Kardiogenik


Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum
klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). Edema paru kardiogenik atau
edema volume overload yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik
dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan
pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan
efusi pleura. Edema Paru Kardiogenik menunjukkan adanya akumulasi
cairan yang rendah protein di interstisial paru dan alveoli ketika vena
pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran ventrikel
kiri (Maria, 2010).

2.2 Etiologi Edema Paru Kardiogenik


Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiogenik
dibagi menjadi 3 kelompok (Lorraine et al., 2005):
1. Peningkatan Afterload (Pressure overload): terjadi beban yang
berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah
Hipertensi dan Stenosis Aorta.
2. Peningkatan preload (Volume overload): terjadi beban yang berlebihan
saat diastolik.Contohnya ialah Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, dan
penyakit jantung dengan left-to-right shunt (Ventricular Septal Defect).
3. Gangguan Kontraksi Miokardium Primer: pada Infark Miokard Akut
jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada Kardiomiopati
Kongestif terdapat gangguan kontraksi miokardium secara umum.

3
2.3 Patofisiologi Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus (Gambar 2.1). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk
dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan
edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya
cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara
aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung
injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al., 2005;
Maria, 2010).

Gambar 2.1 Patofisiologi Edema Paru (Lorraine et al, 2005)

2.4 Manifestasi Klinis Edema Paru Kardiogenik


Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan
radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.

4
1. Stadium 1
Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru akibat peningkatan
tekanan di atrium kiri yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas
udara di paru dan meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang
tertutup pada saat inspirasi (Harun dan Sally, 2009).
2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun
hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja (Harun dan Sally, 2009).
3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia yang berat dan hipokapnia. Alveolar
yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas
yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah. Penderita
nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Secara
keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di
bawah normal. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat
terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan,

5
apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun
dan Sally, 2009).

2.5 Pemeriksaan Edema Paru Kardiogenik


Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik
mempunyai beberapa kemiripan.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya
adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan
gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat
cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan
ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena
mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun
dan Sally, 2009; Maria, 2010).
2. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia,
hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam
posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan
lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan
terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula
yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan
pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
(pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung
3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji
etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan
hematologi/darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa,

6
analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain
Natriuretic Peptide(BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat
digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan
dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada
pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai
prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria,
2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP
berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004).
Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk
menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan
terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif
dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA,
2009).
4. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar,
pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan
adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar
seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan
Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-
Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan
vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan
dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada
posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15
mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan
dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).

7
Gambar 2.2 Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (Cremers et
al, 2010)
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada
keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah
tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru,
seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et
al, 2005; Maria, 2010).

8
Gambar 2.3 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (Koga
dan Fujimoto, 2009)
Tabel 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik (Lorraine et al, 2005).

No Gambaran Edema Kardiogenik Edema Non


Radiologi Kardiogenik
1 Ukuran Jantung Normal atau Biasanya Normal
membesar
2 Lebar pedikel Normal atau melebar Biasanya normal
Vaskuler
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Ada Biasanya tidak ada
Peribronkial
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada

5. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan
fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab
edema paru (Maria, 2010).
6. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan
krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi
yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T
negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1
minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa
keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia
sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada

9
dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan
elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan
Sally, 2009).
7. Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion
pressure / PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk
menentukan penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan
suatu algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis
edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien
dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh,
pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan
karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien
dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

10
2.6 Penatalaksanaan

Gambar 2.4 Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik


(ESC, 2012)
Keterangan:
1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang
direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan.
Dapat dulang jika diperlukan.

11
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 font="font" nbsp="nbsp">atau
PaO2 <60 dapat="dapat" diberikan="diberikan"
hipoksemia="hipoksemia" kpa="kpa" mengobati="mengobati"
mmhg="mmhg" oksigen="oksigen" po="po" span="span"
untuk="untuk">2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko
mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin
pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan
penurunan curah jantung
3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%;
hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg;
obeservasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.
6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi
jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit
jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki
aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi beta-2
adrenoseptor.
7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme
jantung, SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan
pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan
2x lipat tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis
dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang sekali dipelukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis
yang adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama),
peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi
penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya
terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat

12
meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi
kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta
adanya penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti
terapi iv dengan pengobatan diuretik oral.
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia
miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik
hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut
dan irama jantung, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan,
serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark) dan kimia
darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga
harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri)
harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon
awal pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui
kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock,
dipertimbangkan diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah
mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta).
Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat dalam
menyesuaikan terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak
terdapat kontraindikasi.
16. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP)
dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV)
mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu
(misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut.

13
Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru
menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada
perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila
dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari
pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan
penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil.
Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk
meringankan gejala pada pasien dengan edema paru dan gangguan
pernapasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik
dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi
non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumotoraks,
dan depressed consciousness.
17. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal
dan ventilasi invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya
pernapasan, meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat kesadaran ,
dll
18. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500
mg (≥ dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).
19. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun
tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur
secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis
yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.
20. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan
pasien tetap terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous
harus dipertimbangkan.

14
Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (ESC, 2012)

2.7. Komplikasi Edema Paru Kardiogenik


Komplikasi dari edema paru kardiogenik terdiri dari:
1. Kematian
2. Hypoxia
3. Kegagalan organ vital seperti jantung dan otak

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba
akibat peningkatan tekanan intravaskular. Edema paru terjadi oleh karena
adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.
Adapun klasifikasi dari edema paru, yaitu:
a. Edema Paru Kardiogenik.
b. Edema Paru Non- Kardiogenik

3.2 Saran
a. Diharapkan pembaca dapat memahami konsep dasar dari paru edema
khususnya kardiogenik
b. Diharapkan pembaca dapat lebih aktif lagi mencari informasi media
cetak atau media masa untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kegawatdaruratan pada pasien dengan edema paru

16
DAFTAR PUSTAKA

AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016.

Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant.
(Online).
Tersedia: Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-
ray-heart-failure.html.

ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104.

Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653.

Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org.

Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.

Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52.

17

Anda mungkin juga menyukai