PENDAHULUAN
1
diagnosis edema paru. Tanda dan gejala yang tampak adalah representasi
perpindahan cairan dari kompartemen intravaskular ke dalam jaringan
interstisial dan selanjutnya ke dalam alveoli. Kelainan kardiak dan
nonkardiak dapat menyebabkan edema paru sehingga kita harus mengetahui
kondisi dasar yang mencetuskan edema paru agar penatalaksanaan yang
dilakukan tepat dan berhasil. Kadang masalahnya kompleks karena pada
pasien selain terdapat problem kardiak sekaligus terdapat juga problem
nonkardiak.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi edema paru kardiogenik.
2. Mengetahui etiologi edema paru kardiogenik.
3. Mengetahui patofisiologi edema paru kardiogenik.
4. Mengetahui menifestasi klinis edema paru kardiogenik.
5. Mengetahui pemeriksaan edema paru kardiogenik.
6. Mengetahui penatalaksanaan edema paru kardiogenik.
2
BAB II
KONSEP DASAR
3
2.3 Patofisiologi Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus (Gambar 2.1). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk
dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan
edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya
cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara
aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung
injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al., 2005;
Maria, 2010).
4
1. Stadium 1
Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru akibat peningkatan
tekanan di atrium kiri yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas
udara di paru dan meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang
tertutup pada saat inspirasi (Harun dan Sally, 2009).
2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun
hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja (Harun dan Sally, 2009).
3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia yang berat dan hipokapnia. Alveolar
yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas
yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah. Penderita
nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Secara
keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di
bawah normal. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat
terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini
morphin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan,
5
apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun
dan Sally, 2009).
6
analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain
Natriuretic Peptide(BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat
digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan
dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada
pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai
prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria,
2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP
berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004).
Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk
menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan
terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian
menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif
dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA,
2009).
4. Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar,
pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan
adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar
seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan
Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-
Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan
vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan
dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada
posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15
mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan
dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
7
Gambar 2.2 Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (Cremers et
al, 2010)
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada
keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah
tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru,
seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et
al, 2005; Maria, 2010).
8
Gambar 2.3 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (Koga
dan Fujimoto, 2009)
Tabel 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik (Lorraine et al, 2005).
5. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan
fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab
edema paru (Maria, 2010).
6. EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan
krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi
yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T
negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1
minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa
keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia
sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada
9
dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan
elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan
Sally, 2009).
7. Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion
pressure / PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk
menentukan penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan
suatu algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis
edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien
dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh,
pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan
karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien
dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
10
2.6 Penatalaksanaan
11
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 font="font" nbsp="nbsp">atau
PaO2 <60 dapat="dapat" diberikan="diberikan"
hipoksemia="hipoksemia" kpa="kpa" mengobati="mengobati"
mmhg="mmhg" oksigen="oksigen" po="po" span="span"
untuk="untuk">2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko
mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin
pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan
penurunan curah jantung
3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%;
hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg;
obeservasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.
6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi
jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit
jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki
aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi beta-2
adrenoseptor.
7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme
jantung, SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan
pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan
2x lipat tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis
dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang sekali dipelukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis
yang adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama),
peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi
penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya
terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat
12
meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi
kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta
adanya penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti
terapi iv dengan pengobatan diuretik oral.
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia
miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik
hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut
dan irama jantung, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan,
serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark) dan kimia
darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga
harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri)
harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon
awal pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui
kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock,
dipertimbangkan diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah
mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta).
Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat dalam
menyesuaikan terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak
terdapat kontraindikasi.
16. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP)
dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV)
mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu
(misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut.
13
Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru
menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada
perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila
dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari
pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan
penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil.
Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk
meringankan gejala pada pasien dengan edema paru dan gangguan
pernapasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik
dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi
non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumotoraks,
dan depressed consciousness.
17. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal
dan ventilasi invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya
pernapasan, meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat kesadaran ,
dll
18. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500
mg (≥ dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).
19. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun
tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur
secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis
yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.
20. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan
pasien tetap terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous
harus dipertimbangkan.
14
Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (ESC, 2012)
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba
akibat peningkatan tekanan intravaskular. Edema paru terjadi oleh karena
adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.
Adapun klasifikasi dari edema paru, yaitu:
a. Edema Paru Kardiogenik.
b. Edema Paru Non- Kardiogenik
3.2 Saran
a. Diharapkan pembaca dapat memahami konsep dasar dari paru edema
khususnya kardiogenik
b. Diharapkan pembaca dapat lebih aktif lagi mencari informasi media
cetak atau media masa untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kegawatdaruratan pada pasien dengan edema paru
16
DAFTAR PUSTAKA
AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and
Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016.
Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant.
(Online).
Tersedia: Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-
ray-heart-failure.html.
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104.
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653.
Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52.
17