Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul mendadak

akibat lesi saraf fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Bell’s

palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial

akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986

dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,

insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%

mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per

100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,

dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19

tahun lebih rentan terkena dari pada laki-laki pada kelompok umur yang

sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi

pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu

pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi dari pada

wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Sedangkan di

Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang

dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi

Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak

pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.

1
Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi

pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara din

Secara umum penyakit ini dapat disembuhkan, kendati tergantung dari

derajat kerusakan sarafnya. Pada minggu kedua perbaikan sudah mulai

dirasakan dan dalam 3-6 bulan wajah dapat kembali normal. Sekitar 80-85%

kasus, dapat sembuh spontan dalam 3 bulan. Akan tetapi beberapa

penelitian mengatakan obat antivirus dan antiinflamasi efektif mempercepat

proses penyembuhan apalagi jika pemberiannya sedini mungkin.

Sedangkan nyeri dapat diatasi dengan analgetik seperti parasetamol

dan ibuprofen, untuk pertumbuhan serabut saraf yang rusak dapat

digunakan terapi vitamin dengan menggunakan vitamin B6 dan B12.

Evaluasi terhadap derajat kerusakan saraf dapat dilakukan setelah melewati

fase akut dengan menggunakan pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada

minggu kedua dengan memeriksa refleks kedip (blink reflex). Dengan

demikian pemeriksaan ini dapat digunakan untuk memprediksi prognosis

penyakit.

Botolinum toxin type A atau yang lebih dikenal dengan botox

merupakan alternatif terapi yang dapat digunakan dan berfungsi untuk

relaksasi otot-otot wajah. Alternatif terapi lainnya berupa akupuntur,

stimulasi galvanik dan biofeedback. Selain terapi utama, hal penting yang

menjadi perhatian dalam tatalaksana penyakit ini adalah mata. Kelopak

mata yang tidak dapat menutup sempurna akan dapat menimbulkan masalah

baru, iritasi serta infeksi mata akan rentan terjadi jika tidak dilakukan

2
perhatian khusus pada masalah ini. Hal yang dapat dilakukan berupa

pemberian air mata buatan, mengedipkan mata secara manual, penggunaan

pemberat kelopak mata hingga tindakan operatif.

Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi

adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan

tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan

wajah ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai

dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna

mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan

dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang

otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakan otot-otot wajah.

Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin.

Gerakan yang dapat dilakukan berupa:

1. Tersenyum

2. Mencucurkan mulut, kemudian bersiul

3. Mengatupkan bibir

4. Mengerutkan hidung

5. Mengerutkan dahi

6. Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara

manual

7. Mengangkat alis secara manual dengan keempat jarigin atau angin

berlebihan.

3
1.2. Tujuan Penulisan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk memberi gambaran dan ilmu pengetahuan tentang konsep dasar

penyakit bells’ palsy. Dan agar mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan

pada pasien dengan penyakit bell’s palsy.

1.2.2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu memahami definisi bells palsy.

b. Mahasiswa mampu memahami etiologi bells palsy.

c. Mahasiswa mampu memahami anatomi bells palsy.

d. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi serta partway bells palsy.

e. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis bells palsy.

f. Mahasiswa mampu memahami pentalaksanan bells palsy

g. Mahasiswa mampu memahami komplikasi bells palsy.

h. Mahasiswa mengetahui pathway dari bells palsy.

i. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperwatan bells palsy yang

diambil dari kasus.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor

neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan

penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai

adanya penyakit neurologis lainnya. Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah

yang timbul mendadak akibat lesi saraf fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah

yang khas. Dengan kata lain bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah

yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi

wajah.

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell,

dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah

imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta

penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex

tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial

idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik

menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial

herpetik.

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer

nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah

satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita

berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap

5
kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga

bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan

dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

Contoh gambar penderita Bell’s Palcy

2.2. Etiologi

Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam

virus herpes simpleks. Virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun,

dan akan aktif jika yang bersangkutan terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun

demikian Bell's palsy tidak menular.

Bell's palsy disebabkan oleh pembengkakan nervus facialis sesisi, akibatnya

pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga

fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu, akibatnya perintah otak

untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.

Kongenital, infeksi (infeksi telinga tengah, infeksi intracranial), tumor (tumor

intracranial atau ekstracranial), trauma kepala, gangguan pembuluh darah

6
(thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris, dan arteri serebri media), dan

idiopatik (Bell’s palsy).

2.3. Anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

2.3.1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.

levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah.

2.3.2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

2.3.3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di

dua pertiga bagian depan lidah.

2.3.4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa

raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot

mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg

yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari

dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama

melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda

timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus

traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal

7
melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar

submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens,

dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian

ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus

kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel

IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau

lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan

nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas

anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris

yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus

berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk

memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus

superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m.

stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium

melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi

menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma

dan m. digastrikus venter posterior.

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer

nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika

lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik

akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang

terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan

8
mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika

lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis

fasial (wajah).

2.4. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut

pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.

Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak

waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat

berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut

pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang

temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang

menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis

9
yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat

menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh

nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan

infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik

primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan

dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu

proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris

“cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan

kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s

palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen

stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias

terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di

foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons

yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis

medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan

muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis

nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan

ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan

beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus

herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.

Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.

Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat

sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

10
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot

wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat

ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke

atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak

bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara

wajar sehingga tertimbun disitu.

2.5. Manifestasi Klinik

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun

tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan

adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih

cermat dengan menggunakan cermin.

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat

dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya

maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul

atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang

lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan

tempat/lokasi lesi.

2.5.1. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar

pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.

Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup

atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.

11
2.5.2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya

ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang

terkena berkurang. menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus

menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani

bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

2.5.3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya

hiperakusis.

2.5.4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang

dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di

membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer

yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi

herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

2.5.5. Lesi di daerah meatus akustikus interna

Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), ditambah dengan tuli sebagi

akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

2.5.6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda

terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga

nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa

12
Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata

bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais

menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis.

Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam

perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

2.6. Penatalaksanaan Medis

2.6.1. Terapi Non-Farmakologis

1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.

Proteksinya dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan

(artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan

kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak

mata atas dan bawah).

2. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan

mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak

terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf

fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat

dalam 14 hari onset.

3. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat

bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis

fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuromuskular,

masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat

empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit,

yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.

13
a. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-

berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang

lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai

latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang

dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.

b. kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-

sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak

terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi

jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi

neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan

gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk

membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan

sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.

c. kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri

wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit

gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa

mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi

neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara

simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya,

dan disertai inisiasi.

d. Strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh

wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang

digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan

14
agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada

strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau

audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang

sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.

2.6.2. Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin

dalam patogenesis Bell’ s palsy.

Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus

dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat

mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di

kanalis fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60

mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama

enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu

diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)

berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi

kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari

melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk

dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima

kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar

dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari

secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada

15
penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa

adalah mual, diare, dan sakit kepala.

2.7. Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’ s palsy mengalami sekuele berat

yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’ s

palsy, adalah :

1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan

paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.

2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan

pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi

atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).

3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis

dapat menyebabkan :

a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,

contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi

platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.

b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis

akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien

keluar pada saat mengkonsumsi makanan. Clonic facial spasm (hemifacial

spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock like) pada wajah yang

dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian

mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). (Artikel.

16
Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and

Management in Primary Care. IDI)

2.8. Pathway

17
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian

Tanggal MRS : Rabu, 20 Oktober 2013 Jam Masuk : 13.00 WIB

Tanggal Pengkajian : 22 Oktober 2013 No. RM :

Jam Pengkajian : 12.00 WIB Diagnosa Masuk : Bell’s

Palsy

Ruang/ Kelas :

IDENTITAS

Identitas pasien

Nama : Tn. S

Umur : 45 tahun

Agama : Islam

Jenis kelamin : Laki Laki

Status Marital : Menikah

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Sopir Truck

Asuransi :

Suku Bangsa : Indonesia

Alamat :

Diagnosa Medis : Bells Palsy

18
3.2. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Pasien mengeluh sudut mulutnya tertarik ke sebelah kanan dan tidak bisa

kembali hal ini terlihat saat dia tersenyum,tertawa hingga mengerutkan dahi

dan menyeringai.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien berbicara pelo tetapi saat pasien tersebut minum, tidak merasakan

sakit sedikitpun. Dari hasil anamnesa yang dilakukan oleh perawat SWD

pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya ataupun menderita DM.

ANAMNESA

1. Apa yang menyebabkan sudut mulut Tn S tertarik dan tidak bisa kembali ?

2. Apa yang menyebabkan suara tuan S menjadi pelo dan saat minum tidak

terasa sakit ?

3. Apa fungsi dari nervus ke VII?

4. Bagaimana cara mengatasi bells palsy ?

5. Mengapa pasien bisa mengalami bells palsy sedangkan pasien tidak pernah

sakit ini sebelumnya?

3.3. PEMERIKSAAN FISIK

1. Tanda Vital

TD : 120/70 mmHg, Nadi : 20x/menit, respirasi : 24x/menit, suhu 37° C

2. Keadaan Umum

Pasien dalam keadaan sadar composmentis.

19
3. Keadaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari

pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem

(B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain)

yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada

klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas

normal.

a. B1 (breathing)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi

didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan

otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi

biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan

resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi

napas tambahan.

b. B2 (Blood)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan

frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak

terdengar bunyi jantung tambahan.

c. B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

20
a. Tingkat kesadaran

Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

b. Fungsi serebri

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,

nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas

motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien

mengalami perubahan.

c. Pemeriksaan saraf kranial

1) Saraf I :biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan

dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.

2) Saraf II :tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal

3) Saraf III, IV, VI :penurunan gerakan kelopak mata pada sisi

yang sakit (lagoftalmos).

4) Saraf V :kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan

nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan

sinkinetik.

5) Saraf VII :berkurangnya ketajaman pengecapan,

mungkin sekali edema nervus fasialis ditingkat foramen

stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana

khorda timpani menggabungkan diri padanya.

6) Saraf VIII :tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan

tuli persepsi

21
7) Saraf IX & X : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara,

menguyah dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik,

sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

8) Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.

9) Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu

sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami

kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan

kurang tajam.

a. Sistem motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot

normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy

tidak ada kelainan.

b. Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,

ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.

c. Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada

beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.

d. Sistem sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.

22
d. B4 (bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya

volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan

perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

e. B5 (bowel)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam

lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena

anoreksia dan kelemahan otot –otot mengunyah serta gangguan

proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang

f. B6 (bone )

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat

kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam

pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang

lain.

23
3.4. INTERVENSI

1. Gangguan Body Image berhubungan dengan : Biofisika (penyakit kronis),

kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis

situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi)

Diagnosa Rencana keperawatan

Keperawatan/
Tujuan dan Intervensi
Masalah Kolaborasi
Kriteria Hasil

Gangguan body NOC: NIC :

image berhubungan  Body image Body image enhancement

dengan:  Self esteem - Kaji secara verbal dan

Biofisika (penyakit Setelah dilakukan nonverbal respon klien

kronis), tindakan terhadap tubuhnya

kognitif/persepsi keperawatan selama - Monitor frekuensi

(nyeri kronis), …. gangguan body mengkritik dirinya

kultural/spiritual, image - Jelaskan tentang

penyakit, krisis pasien teratasi pengobatan, perawatan,

situasional, dengan kriteria kemajuan dan prognosis

trauma/injury, hasil: penyakit

pengobatan  Body image - Dorong klien

(pembedahan, positif mengungkapkan

kemoterapi, radiasi)  Mampu perasaannya

DS: mengidentifikasi

24
- Depersonalisasi kekuatan - Identifikasi arti

bagian tubuh personal pengurangan melalui

- Perasaan negatif  Mendiskripsikan pemakaian alat bantu

tentang tubuh secara faktual - Fasilitasi kontak dengan

- Secara verbal perubahan fungsi individu lain dalam

menyatakan tubuh kelompok kecil

perubahan gaya  Mempertahankan

hidup interaksi sosial

DO :

- Perubahan aktual

struktur dan

fungsi tubuh

- Kehilangan

bagian tubuh

- Bagian tubuh

tidak berfungsi

25
2. Kecemasan berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional,

Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep

diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan

Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Intervensi

Kriteria Hasil

Kecemasan NOC : NIC :

berhubungan dengan - Kontrol Anxiety Reduction

kecemasan (penurunan kecemasan)


Faktor keturunan, Krisis

situasional, Stress, - Koping  Gunakan pendekatan yang

Setelah dilakukan menenangkan


perubahan status

kesehatan, ancaman asuhan selama  Nyatakan dengan jelas

……………klien harapan terhadap pelaku


kematian, perubahan

konsep diri, kurang kecemasan teratasi pasien

pengetahuan dan dgn kriteria hasil:  Jelaskan semua prosedur

 Klien mampu dan apa yang dirasakan


hospitalisasi
mengidentifikasi selama prosedur

dan  Temani pasien untuk


DO/DS:
mengungkapkan memberikan keamanan
- Insomnia gejala cemas dan mengurangi takut
- Kontak mata kurang  Mengidentifikas

- Kurang istirahat i,

26
- Berfokus pada diri mengungkapkan  Berikan informasi faktual

sendiri dan mengenai diagnosis,

- Iritabilitas menunjukkan tindakan prognosis

- Takut tehnik untuk  Libatkan keluarga untuk

- Nyeri perut mengontol mendampingi klien

- Penurunan TD dan cemas  Instruksikan pada pasien

denyut nadi  Vital sign dalam untuk menggunakan tehnik

- Diare, mual, kelelahan batas normal relaksasi

- Gangguan tidur  Postur tubuh,  Dengarkan dengan penuh

- Gemetar ekspresi wajah, perhatian

- Anoreksia, mulut bahasa tubuh  Identifikasi tingkat


kering dan tingkat kecemasan
- Peningkatan TD, aktivitas  Bantu pasien mengenal
denyut nadi, RR menunjukkan situasi yang menimbulkan
- Kesulitan bernafas berkurangnya kecemasan
- Bingung kecemasan
 Dorong pasien untuk
- Bloking dalam mengungkapkan perasaan,
pembicaraan ketakutan, persepsi
- Sulit berkonsentrasi
 Kelola pemberian obat anti

cemas:........

27
3. Kurang Pengetahuan Berhubungan dengan : keterbatasan kognitif, interpretasi

terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi,

tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan

Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi

Hasil

Kurang Pengetahuan NOC: NIC :

Berhubungan dengan :  Kowlwdge :  Kaji tingkat pengetahuan

keterbatasan kognitif, disease process pasien dan keluarga

interpretasi terhadap  Kowledge : health  Jelaskan patofisiologi dari

informasi yang salah, Behavior penyakit dan bagaimana

kurangnya keinginan Setelah dilakukan hal ini berhubungan

untuk mencari informasi, tindakan keperawatan dengan anatomi dan

tidak mengetahui selama …. pasien fisiologi, dengan cara yang

sumber-sumber menunjukkan tepat.

informasi. pengetahuan tentang  Gambarkan tanda dan

proses penyakit gejala yang biasa muncul

dengan kriteria hasil: pada penyakit, dengan cara

DS: Menyatakan secara  Pasien dan yang tepat

verbal adanya masalah keluarga  Gambarkan proses

menyatakan penyakit, dengan cara yang

pemahaman tepat

28
DO: ketidakakuratan tentang penyakit,  Identifikasi kemungkinan

mengikuti instruksi, kondisi, prognosis penyebab, dengan cara

perilaku tidak sesuai dan program yang tepat

pengobatan  Sediakan informasi pada

 Pasien dan pasien tentang kondisi,

keluarga mampu dengan cara yang tepat

melaksanakan  Sediakan bagi keluarga

prosedur yang informasi tentang

dijelaskan secara kemajuan pasien dengan

benar cara yang tepat

 Pasien dan  Diskusikan pilihan terapi

keluarga mampu atau penanganan

menjelaskan  Dukung pasien untuk


kembali apa yang mengeksplorasi atau
dijelaskan mendapatkan second
perawat/tim opinion dengan cara yang
kesehatan lainnya tepat atau diindikasikan

 Eksplorasi kemungkinan

sumber atau dukungan,

dengan cara yang tepat

29
3.5. Implementasi

Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan Intervensi yang telah

di buat.

3.6. Evaluasi

Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi:

a. Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukkan perbaikan sesuai dengan

criteria yang telah ditetapkan. Seperti: mulut px sudah kembali seperti semula,

tidak pelo, tekanan darah sitole naik sampai 130 mmHg.

b. Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan tidak tercapai secara maksimal,

sehingga perlu dicari penyebab dan cara mengatasinya. Seperti: tekanan systole

naik sampai 130 mmHg, mulut sudah kembali seperti semula, tapi bicaranya

masih pelo.

c. Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan kemajuan sama sekali

bahkan timbul masalah baru, dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara

lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnose, tindakan, dan factor

lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan. Seperti:

gejala yang timbul tidak berubah, bahkan px mengalami gangguan lain (pusing,

mual muntah, dll).

30
BAB IV

PEMBAHASAN

Bell’s palsy pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf

wajah (mononeuropati) yakni syaraf ke-7. Kelumpuhan ini murni disebabkan

jepitan pada syaraf ke-7, bukan dari penyebab lain seperti pembuluh darah pecah

atau tersumbat.

Berbeda dengan stroke, Bell’s palsy hanya menyebabkan kelumpuhan pada

separuh wajah. Bukan kelumpuhan separuh bagian badan. Kelumpuhan ini terjadi

akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7 sehingga tak bisa

menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak.

Syaraf yang bekerja pada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada

batang otak. Masing-masing memiliki fungsi berbeda. Misalkan, syaraf 1 untuk

hidung, syaraf 2 untuk penglihatan, syaraf 3-4-6 untuk gerakan bola mata, syaraf 5

untuk merasakan sentuhan dan syaraf 7 untuk menggerakkan otot wajah. Syaraf ke-

7 memiliki keistimewaan, terdapat serabut panjang dari dalam tempurung kepala

keluar melalui kanal di bawah telinga menuju sisi wajah. Panjangnya serabut syaraf

ke-7 ini menyebabkannya rentan terjepit atau tertekan. Bila terjadi gangguan, akan

menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah sesisi. Sejumlah keluhan Bell’s

palsy juga disertai sakit kepala tak spesifik. Umumnya Bell’s palsy tak disertai

keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5,

bukan 7. Namun, karena terjadi kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa

sedikit tebal pada kulit wajahnya.

31
Banyak asumsi dikaitkan dengan Bell’s palsy. Beberapa pendapat di masa

lalu mempercayai, Bell’s palsy disebabkan angin yang menyusup ke daerah

belakang telinga dan mengganggu syaraf ke-7. Ada pula yang berpendapat, kondisi

ini diakibatkan serangan virus cytomegalovirus, atau herpes. Kenyataannya, tanpa

bepergian atau terkena angin, maupun mendapat serangan virus sekalipun,

seseorang tetap bisa terserang Bell’s palsy.

Menghadapi wajah yang mencong tiba-tiba akibat Bell’s palsy sebaiknya

jangan panik. Bell’s palsy bisa sembuh hingga 100 persen dan tak meninggalkan

kecacatan. Bahkan 80 persen serangan Bell’s palsy akan sembuh sendiri dalam

waktu 4 sampai 7 hari. Asalkan ditangani tepat dan tak terlambat, bisa sembuh

sempurna. Tepat artinya ditangani kurang dari 24 jam setelah serangan (golden

period). Dan tidak dilakukan pengobatan alternatif atau tindakan tanpa

pertimbangan medis. Namun, yang terpenting lagi penderita Bell’s palsy sebaiknya

beristirahat atau mengurangi aktivitas wajah selama beberapa hari setelah terkena

serangan. Dan segera berkonsultasi ke dokter syaraf selama masih dalam golden

period.

Bila pengobatan dengan obat anti inflamasi atau anti-viral tak menunjukkan

hasil, dan setelah dilakukan MRI tampak adanya penekanan pada syaraf ke-7,

pilihan akhir yang diambil dokter adalah tindakan operasi dekompresi atau

pembebasan tekanan. Namun, sekali lagi, ini pilihan terakhir yang jarang sekali

diambil. Setelah lewat fase akut 3-4 hari, barulah bisa dimulai latihan fisioterapi di

depan kaca atau mengunyah permen karet. Sebaiknya fisioterapi tak terburu-buru

dilakukan, karena memicu terjadinya nerve sprouting atau syaraf tak kembali

32
sempurna, atau tumbuh melenceng. Nerve sprouting bisa menyebabkan timbulnya

gerakan tak terkontrol yang menyertai maksud gerakan pada wajah. Misalnya,

kedutan di wajah.

Pada penderita diabetes, kemungkinan untuk sembuh akan berbeda dengan

orang tanpa diabetes. Rocksy menerangkan, penderita diabetes yang terserang

bell’s palsy akan sembuh sekitar 60 persen saja, karena kemampuan

penyembuhannya relatif tak sebaik orang tanpa diabetes. Biasanya wajahnya masih

akan terlihat sedikit mencong.

Bell’s palsy diperkirakan disebabkan oleh infeksi virus dari syaraf muka.

Virus yang paling mungkin adalah virus herpes simplex. Diagnosis dibuat ketika

tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi. Nama-nama lain untuk kondisi

ini adalah “idiopathic facial palsy” atau Antoni’s palsy.

Bell’s palsy biasanya adalah kondisi yang hilang sendiri, tidak mengancam

nyawa yang secara spontan hilang dalam waktu enam minggu. Kejadiannya adalah

15-40 kasus-kasus baru per 100,000 orang per tahun. Tidak ada umur yang

diutamakan atau kecenderungan rasial; bagaimanapun ia adalah 3.3 kali lebih

umum selama kehamilan dan sedikit lebih umum pada wanita-wanita menstruasi.

Pada umumnya, kejadian meningkat dengan umur yang berlanjut.

4.1.Gejala-gejala khas dari Bell’s palsy

1. Kelumpuhan akut unilateral dari otot-otot muka. Kelumpuhan melibatkan

semua otot-otot, termasuk dahi.

2. Kira-kira setengah dari waktu, ada mati rasa atau nyeri pada telinga, muka,

leher atau lidah.

33
3. Ada penyakit virus yang mendahuluinya pada 60% dari pasien-pasien.

4. Ada sejarah keluarga dari Bell’s palsy pada 10% dari pasien-pasien.

5. Kurang dari 1% dari pasien-pasien mempunyai persoalan-persoalan

bilateral.

6. Mungkin ada perubahan pada kepekaan pendengaran ( seringkali

kepekaan yang meningkat ).

4.2. Mekanisme luka dari syaraf muka pada Bell’s palsy

1. Infeksi virus primer ( herpes ) pada suatu waktu di masa lalu.

2. Virus hidup di syaraf (trigeminal ganglion) dari waktu berbulan-bulan

sampai bertahun-tahun.

3. Virus menjadi aktif kembali di kemudian hari.

4. Virus reproduksi dan berjalan sepanjang syaraf.

5. Virus menginfeksi sel-sel yang mengelilingi syaraf (Schwann cells)

berakibat pada peradangan.

6. Sistim imun merespon pada sel-sel Schwann yang rusak yang dan

menyebabkan peradangan dari syaraf dan kelemahan atau kelumpuhan

dari muka yang berikut.

7. Perjalanan dari kelumpuhan dan pemulihan akan tergantung pada derajat

dan jumlah kerusakan pada syaraf.

4.3. Kondisi-Kondisi Yang Mempengaruhi Syaraf Muka

1. Trauma: seperti trauma kelahiran, retak-retak dasar tengkorak, luka-luka

muka, luka-luka telinga bagian tengah, atau trauma operasi.

34
2. Penyakit Sistim Syaraf: termasuk Opercular syndrome, Millard-Gubler

syndrome.

3. Infeksi: dari telinga atau muka, atau Herpes Zoster dari syaraf muka

(Ramsey-Hunt syndrome).

4. Metabolik: diabetes mellitus atau kehamilan.

5. Tumor-Tumor: acoustic neuroma, schwannoma, cholesteatoma, tumor-

tumor parotid, tumor-tumor glomus.

6. Racun-Racun: alkoholisme atau keracunan carbon monoxide.

7. Bell’s Palsy: Juga disebut kelumpuhan syaraf muka idiopathic.

4.4. Mendiagnosa Penyebab-Penyebab Dari Disfungsi Syaraf Muka

Penyebab-penyebab dari penyakit syaraf muka bervariasi dari yang tidak

diketahui sampai yang mengancam nyawa. Adakalanya, ada perawatan spesifik

untuk persoalan. Karena itu, adalah penting untuk menginvestigasi mengapa

persoalan telah terjadi. Tes-tes spesifik yang digunakan untuk diagnosis akan

bervariasi dari pasien ke pasien, namun termasuk:

1. Tes-tes pengdengaran: Tes-tes pendengaran dilakukan untuk menilai status

dari syaraf auditory. Tes stapedial reflex dapat mengevluasi cabang dari

syaraf muka yang mensuplai serat-serat motor ke salah satu dari otot-otot pada

telinga bagian tengah.

2. Tes-tes keseimbangan: Akan membantu menemukan jika bagian dari syaraf

auditory terlibat.

3. Tes-tes air mata: Kehilangan kemampuan untuk membentuk air mata

mungkin membantu melokalisir tempat dan keparahan dari luka syaraf muka.

35
4. Tes-tes rasa: Kehilangan rasa pada bagian depan dari lidah mungkin

membantu melokalisir tempat dan keparahan dari luka syaraf muka.

5. Tes-tes pengeluaran air liur: Aliran air liur yang berkurang mungkin

membantu melokalisir tempat dan keparahan dari luka syaraf muka.

6. Studi-studi pencitraan: membatu menentukan jika ada infeksi, tumor, patah

tulang, atau kelainan lain apa saja. Studi-studi ini biasanya adalah CT scan

dan/atau MRI scan.

7. Tes-tes elektrik: Stimulasi dari syaraf oleh tes-tes arus listrik apakah syaraf

masih dapat menyebabkan otot-otot untuk berkontraksi. Ia dapat digunakan

untuk mengevaluasi kemajuan dari penyakit. Contohnya, jika pengujian

mengindikasikan respon otot yang sama pada kedua sisi muka, pasien dapat

diharapkan untuk mempunyai pemulihan sepenuhnya dari fungsi muka dalam

waktu tiga sampai enam minggu tanpa kelainan bentuk yang signifikan.

4.5. Opsi-Opsi Perawatan Dari Kelumpuhan Syaraf Muka

Kondisi-kondisi medis yang mendasari yang menjurus pada penyakit syaraf

muka dirawat secara spesifik menurut kondisi yang terdeteksi. Obat-obat cortisone

(corticosteroids) adalah perawatan yang terbaik untuk Bell’s palsy, dan

direkomendasikan bahwa semua pasien-pasien dirawat. Jumlah yang biasa adalah

satu miligram per kilogram berat badan dari prednisone (atau alternatif steroid) per

hari. Baru-baru ini, obat-obat antivirus seperti acyclovir (Zovirax) diberikan

dalam dosis dari 200-400 miligram lima kali per hari untuk lima hari telah

ditunjukan meningkatkan pemulihan. Setelah perawatan lima hari, jika kelumpuhan

membaik, acyclovir dihentikan dan steroids dapat disusutkan (dihentikan secara

36
berangsur-angsur) melalui waktu lima hari berikutnya. Jika kelumpuhan masih

sepenuhnya setelah lima hari, maka dosis yang sama dari kedua obat-obat

diteruskan untuk lima hari berikutnya, kemudian steroids disusutkan melalui lima

hari berikutnya.

Terapi fisik dan terapi elektro mungkin tidak mempunyai manfaat yang

signifikan. Dekompresi syaraf muka secara operasi adalah kontroversial pada Bell’s

palsy. Beberapa dokter-dokter merekomendasikan dekompresi secara operasi

selama dua minggu pertama pada pasien-pasien yang menunjukan degenerasi

syaraf yang paling parah.

4.6. Opsi-Opsi Rekonstruksi Secara Operasi Yang Tersedia

Opsi-opsi rekonstruktif untuk pasien-pasien dengan kelemahan atau

kelumpuhan syaraf muka termasuk satu atau lebih dari yang berikut:

1. Perbaikan syaraf atau pencangkokan syaraf: Regenerasi syaraf muka terjadi

pada kecepatan dari satu milimeter per hari. Jika syaraf telah dipotong atau

dikeluarkan, reparasi mikroskopik langsung adalah opsi yang terbaik.

2. Transposisi (Perubahan) syaraf: Seringkali syaraf lidah (hypoglossal nerve)

atau syaraf muka lain dapat dihubungkan pada syaraf muka yang ada.

Contonya, pasien dapat melatih mereka sendiri untuk menggerakan muka

mereka dengan menggerakan lidah mereka.

3. Muscle transposition atau sling procedures: Otot temporalis atau otot masseter

(beberapa dari hanya otot-otot pada muka yang tidak disuplai oleh syaraf

muka), dapat digerakan kebawah dan dihubungkan ke pojok mulut untuk

menyediakan gerakan dari muka.

37
4. Muscle transfers: Otot-otot yang bebas dari tungkai (gracilis) dapat

digunakan untuk menyediakan keduanya fungsi dan bagian terbesar dari otot.

Seringkali transposisi syaraf muka menyilang dilakukan untuk menyediakan

suplai syaraf yang serupa pada penutup otot donor.

5. Ancillary eyelid atau oral procedures: Sebagai tambahan pada salah satu yang

diatas, seringkali adalah perlu untuk memasukan pengangkatan alis (brow lift)

atau facelift, partial lip resection, reposisi kelopak mata (eyelid repositioning),

lower eyelid shortening, upper eyelid weights, atau eyelid springs.

4.7. Cara Pengobatan

Secara umum penyakit ini dapat disembuhkan, kendati tergantung dari derajat

kerusakan sarafnya. Pada minggu kedua perbaikan sudah mulai dirasakan dan

dalam 3-6 bulan wajah dapat kembali normal. Sekitar 80-85% kasus, dapat sembuh

spontan dalam 3 bulan. Akan tetapi beberapa penelitian mengatakan obat antivirus

dan antiinflamasi efektif mempercepat proses penyembuhan apalagi jika

pemberiannya sedini mungkin.

Sedangkan nyeri dapat diatasi dengan analgetik seperti parasetamol dan

ibuprofen, untuk pertumbuhan serabut saraf yang rusak dapat digunakan terapi

vitamin dengan menggunakan vitamin B6 dan B12. Evaluasi terhadap derajat

kerusakan saraf dapat dilakukan setelah melewati fase akut dengan menggunakan

pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada minggu kedua dengan memeriksa refleks

kedip (blink reflex). Dengan demikian pemeriksaan ini dapat digunakan untuk

memprediksi prognosis penyakit. Botolinum toxin type A atau yang lebih dikenal

dengan botox merupakan alternatif terapi yang dapat digunakan dan berfungsi

38
untuk relaksasi otot-otot wajah. Alternatif terapi lainnya berupa akupuntur,

stimulasi galvanik dan biofeedback. Selain terapi utama, hal penting yang menjadi

perhatian dalam tatalaksana penyakit ini adalah mata. Kelopak mata yang tidak

dapat menutup sempurna akan dapat menimbulkan masalah baru, iritasi serta

infeksi mata akan rentan terjadi jika tidak dilakukan perhatian khusus pada masalah

ini. Hal yang dapat dilakukan berupa pemberian air mata buatan, mengedipkan mata

secara manual, penggunaan pemberat kelopak mata hingga tindakan operatif.

Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi adalah

latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas

latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan wajah ini harus

dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat

dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-

otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu

yang dapat merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakan otot-

otot wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin.

Gerakan yang dapat dilakukan berupa:

1. Tersenyum

2. Mencucurkan mulut, kemudian bersiul

3. Mengatupkan bibir

4. Mengerutkan hidung

5. Mengerutkan dahi

6. Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual

7. Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari.

39
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower

motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara

akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf

pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

5.1.2. Penyebabnya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi

semacam virus herpes simpleks.

5.1.3. Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

Serabut somato motorik,

Serabut visero-motorik,

Serabut visero-sensorik,

Serabut somato-sensorik.

5.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari tentu banyak terdapat

kesalahan dan kekurangn dalam penusunan konsep makalah dan konsep askep

diatas. Untuk itu penulis sangat mengharapkan dukungan yang berupa kritik

dan masukan yang membangun agar kedepan lebih baik. Dan penulis juga

berharap, melalui makalah yang sangat sederhana ini, kita sebagai manusia

yang berakal dan mandiri harus menghindari diri dari fakto-faktor yang dapat

menimbulkan penyakit tersebut.

40
DAFTAR PUSTAKA

http://bosmanis86.wordpress.com/2013/01/28/bell-palsy/

http://kumpulanaskep-nurses.blogspot.com/2013/05/askep-bells-palsy.html\

http://boskliwon.blogspot.com/2012/03/bells-palsy-lumpuh-wajah-penyakit.html

http://www.scribd.com/doc/79465474/Askep-Bells-Palsy

Hendra moslem nurdin. 2010. bell palsy. diakses pada tanggal 1 desember 2013,

dari http:///bell%27s%20palsy/bell-palsy%20baru.htm

Fisioterapi div ums. 2009. Bell’s Palsy. Diakses pada tanggal 29 april 2011, dari

http://fisterdiv07ums.blogspot.com/

41

Anda mungkin juga menyukai