Anda di halaman 1dari 21

POTENSI PUTIH TELUR BEBEK DALAM MENGATASI

KERACUNAN TIMBAL SUBAKUT

MEILISA LIDYA MARGARITA

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Putih Telur
Bebek dalam Mengatasi Keracunan Timbal Subakut adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Meilisa Lidya Margarita


NIM B04100146
ABSTRAK
MEILISA LIDYA MARGARITA. Potensi Putih Telur Bebek dalam
Mengatasi Keracunan Timbal Subakut. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan
AULIA ANDI MUSTIKA.
Putih telur yang mengandung protein tinggi dapat mencegah penyerapan
timbal pada keracunan akut, namun potensinya mengatasi keracunan timbal
subakut belum banyak diketahui. Potensi dievaluasi dari gambaran darah dan
gejala klinis yang tampak. Pada penelitian digunakan 30 ekor tikus jantan yang
dibagi menjadi 6 kelompok dan 5 pengulangan, diantaranya tikus kontrol, tikus
yang hanya diberi timbal, tikus yang diberi timbal dan antidota masing-masing
berupa EDTA, 50% putih telur bebek, 75% putih telur bebek, dan 100% putih
telur bebek. Pencekokkan timbal dilakukan selama 15 hari dan pemberian antidota
15 hari setelahnya diikuti pemeriksaan parameter sel darah merah di akhir tiap
perlakuan. Keracunan timbal subakut tidak mempengaruhi kadar hemoglobin
namun menyebabkan penurunan eritrosit (p<0.05). Tikus yang diberi antidota
putih telur bebek 75% dan 100% mengalami peningkatan jumlah eritrosit dan
pulih lebih cepat. Potensi putih telur bebek dengan konsentrasi tinggi sangat baik
dalam mengatasi efek keracunan timbal subakut.
Kata kunci : potensi, putih telur bebek, subakut, timbal

ABSTRACT
MEILISA LIDYA MARGARITA. Potential of Duck Egg White Overcomed
With Subacute Lead Poisoning. Supervised by ANDRIYANTO and AULIA
ANDI M.
Egg white consist high protein has been known able to chelate lead from
acute poisoning but its potential hasn’t been studied a lot. The potential of duck
egg white was evaluated from red blood cell profile and clinical signs that shown.
The research used thirty male rats which were divided into 6 groups and 5
replications i.e. rats as control, rats administrated only with lead, rats
administrated with lead and antidote. Each treatment group (four groups) was
given one antidote i.e. EDTA, 50% egg white, 75% egg white, and 100% egg
white. Lead force feeding was conducted by 15 days as same as antidote and
completed by blood sampling in the end of each treatment. There’s no great
influence in hemoglobin but lead decreased total red blood cells (p<0.05) in
subacute lead poisoning. Rats were given with 75% and 100% duck egg white as
antidote showed increasing in total red blood cell and also faster recovery. High
concentration of duck egg white had a good result as antidote for subacute lead
poisoning.

Keywords: duck egg white, lead, potential, subacute


POTENSI PUTIH TELUR BEBEK DALAM MENGATASI
KERACUANAN TIMBAL SUBAKUT

MEILISA LIDYA MARGARITA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi: Potensi Putih Telur Bebek dalam Mengatasi Keracunan Timbal
Subakut
Nama : Meilisa Lidya Margarita
NIM : B04100146

Disetujui oleh


Drh Andriy �MSi
Pembimbing I

Tanggal Lulus: 0 1 SEP 2014


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat, perlindungan, dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan,
judul skripsi ini adalah Potensi Putih Telur Bebek dalam Mengatasi Keracunan
Timbal Subakut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ayah tercinta Condro Utomo, ibu
tercinta Daisy Tambajong, kakak tercinta Maria C. Shintauli dan Martina C.
Adriana serta segenap keluarga atas dukungan dan kasih sayang tiada henti.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan untuk Drh Andriyanto, MSi dan Drh
Aulia Andi M, MSi selaku pembimbing yang selalu dengan sabar membantu,
membina, dan meluangkan waktunya. Ucapan terima kasih untuk Drh Srihadi
Agungpriyono MSc PhD PAVet (K) selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu membimbing hingga akhir masa perkuliahan. Tidak lupa ucapan terima
kasih untuk Diah Nugrahani Pristihadi, SKH, Edwin Ligiasastra, SKH, dan Bapak
Dikdik Hadiwijaya dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium FKH IPB, yang
telah membantu selama penelitian dan pengambilan data, serta Drh Amrozi, PhD,
Drh Ade Ocktaviani dan teman- teman di Sorcherry Riding Club IPB yang selalu
memberi dukungan semangat dan moral. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
untuk perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Bogor, Agustus 2014

Meilisa Lidya Margarita


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 1
METODE 3
Tempat dan Waktu Penelitian 3
Bahan dan Alat Penelitian 3
Metode Penelitian 4
Peubah yang Diamati 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 9
RIWAYAT HIDUP 11
DAFTAR TABEL

1 Profil pemeriksaan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit 6


2 Gejala klinis yang tampak pada kelompok uji selama perlakuan 7
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kasus keracunan timbal (Pb) telah banyak dilaporkan terjadi pada manusia
dan hewan (Pokras dan Kneeland 2009). Pengolahan industri dan asap kendaraan
bermotor menjadikan timbal sebagai salah satu polusi lingkungan terbesar.
Keracunan timbal yang disebabkan oleh pekerjaan dapat terjadi dalam industri
baterai, cat, percetakan, pembuatan tembikar, dan proses peleburan timbal
(Mugahi et al. 2003). Paparan timbal dapat terjadi selama proses pembuatan
tangki, pemasangan pipa, dan peralatan lain yang membawa gas dan cairan yang
bersifat korosif superkonduktor, teknologi serat optik, selama magnetic resonance
imaging (MRI), dan obat-obatan nuklear. Tanpa disadari, timbal dapat
mengontaminasi tubuh melalui udara tercemar, timbal yang terhirup, kontak
dengan kulit, makanan dan minuman yang tercemar, serta benda-benda
mengandung timbal yang tertelan (Verheij et al. 2008; Sears 2013).
Akumulasi timbal dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan akut dan
kronis, bahkan kematian (Anonim 2013). Efek keracunan timbal secara akut dan
subakut sangat khas, berkaitan dengan paparan dosis yang relatif tinggi, waktu
paparan yang relatif singkat, baik dalam hitungan hari atau bulan. Efek keracunan
timbal secara akut juga dapat terjadi secara dramatis, kematian yang tiba-tiba,
kram perut yang parah, anemia, perubahan perilaku, dan kehilangan nafsu makan.
Pada kejadian keracunan timbal tidak semua efek yang telah dipaparkan muncul
secara lengkap, tetapi hanya sebagian efek saja yang teramati dengan jelas (Muller
et al. 2013).
Efek keracunan timbal kronis terjadi sebagai akibat paparan timbal yang
sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama, dapat terjadi pada kurun
waktu bulanan hingga tahunan. Efek keracunan timbal kronis biasanya
menimbulkan gejala yang tidak spesifik pada hampir semua sistem tubuh. Efek
negatif keracunan timbal kronis pada manusia menurut laporan penelitian Pokras
dan Kneeland (2009) terdiri atas penurunan libido dan kesuburan (jantan dan
betina), keguguran dan kelahiran prematur, masalah kecerdasan, hipertensi,
penyakit kardiovaskular, lebih agresif, serta gangguan fungsi ginjal.
Secara umum, terapi kelasi (chelation) menjadi tindakan medis unggulan
yang dipilih untuk mengurangi efek toksik dari logam berat termasuk timbal.
Agen kelasi mampu mengikat ion logam berat dari dalam sel dan luar sel,
membentuk struktur kompleks dan mudah dieksresikan keluar tubuh (Flora dan
Pachauri 2010). Agen kelasi dapat diberikan melalui pembuluh darah, otot,
inhalasi, ataupun oral, tergantung jenis obatnya. Terdapat berbagai macam agen
kelasi yang telah terbukti efektivitasnya. Asam kalsium disodium etilendiamin
tetraasetik (CaNa2EDTA), kalsium trisodium DTPA, british anti lewisite (BAL),
unithiol, etilendiamin tetraasetik (EDTA), penisilamin, dan sukimer merupakan
beberapa contoh agen kelasi (Flora dan Pachauri 2010; Mikirova et al. 2011).
Agen kelasi utama yang sering digunakan di rumah sakit biasanya diberikan
melalui parenteral (tidak diberikan secara oral) dengan penanganan ahli.
Sementara itu, agen kelasi oral dapat digunakan tanpa peralatan dan penanganan
khusus tetapi harus diperhatikan dosis pemakaiannya.
2

Sampai saat ini, agen kelasi umumnya memiliki harga yang mahal, tidak
dapat diperoleh tanpa resep dokter, tidak tersedia secara kontinu, dan dalam
jumlah yang mencukupi. Berdasarkan kendala yang telah dipaparkan tersebut
membuat manusia dan hewan yang mengalami keracunan timbal, tidak dapat
ditangani secara cepat dan tepat. Penundaan terapi keracunan timbal berisiko
meningkatkan absorpsi dan akumulasi timbal di dalam tubuh sehingga dapat
berakibat fatal, bahkan sampai terjadi kematian (Hernberg 2000).
Kemampuan protein berikatan dengan logam berat, menjadi dasar
masyarakat mulai mencari alternatif pengobatan keracunan logam berat yang
efektif, aman, murah, dan mudah didapat. Salah satu sumber protein alami yang
potensial untuk dijadikan sebagai agen kelasi logam berat adalah telur bebek.
Putih telur bebek dilaporkan memiliki kandungan protein yang lebih tinggi
dibandingkan telur ayam (Jalaludeen dan Churcil 2006). Selain itu, telur bebek
juga sudah biasa dikonsumsi dan digemari masyarakat dengan harga yang relatif
terjangkau. Oleh karena itu, penelitian untuk mempelajari potensi putih telur
bebek untuk mengatasi keracunan timbal perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi putih telur bebek dalam
mengatasi keracunan timbal secara subakut.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat


mengenai potensi putih telur bebek sebagai alternatif penanganan keracunan
timbal.

TINJAUAN PUSTAKA

Timbal diketahui tidak terkandung dalam tubuh makhluk hidup (Pokras dan
Kneeland 2009). Pada semua hewan dewasa, sebagian besar timbal diabsorbsi
melalui saluran pencernaan dan pernapasan. Timbal yang terserap selanjutnya
masuk ke dalam aliran darah dan berikatan dengan sel darah merah. Timbal
masuk ke dalam sistem pencernaan, bereaksi dengan asam lambung membentuk
garam yang dapat diserap oleh usus. Pada laki-laki dewasa 10-15% timbal yang
tertelan biasanya diserap dan sisanya dikeluarkan melalui feses. Pada anak-anak,
lebih dari 50% timbal yang tertelan diserap. Pada semua kelompok umur, absorpsi
dapat meningkat karena stres, seperti yang disebabkan oleh kehamilan, luka, dan
penyakit (Pokras dan Kneeland 2009).
Timbal memberikan efek pada asam aminolevulinik dehidratase (ALAD),
enzim penting pada sintesis hemoglobin. Inhibisi ALAD menghambat perubahan
koproporphirinogen III menjadi protoporphirin IX yang menyebabkan penurunan
produksi hemoglobin dan memperpendek masa hidup sel darah merah. Kerusakan
yang progresif pada sel darah merah karena ikatan dengan timbal menyebabkan
peningkatan kerentanan sel darah merah (Suradkar et al. 2009). Timbal juga
3

menurunkan aktivitas enzim ferrokelatase pada tahap terakhir sintesis heme.


Kondisi ini menstimulasi ALA sintetase, enzim pertama pada biosintesis heme
dengan penghambatan negative feedback. Selanjutnya terjadi peningkatan
akumulasi ALA dan penurunan pembentukan porphobilinogen. Akumulasi ALA
menginduksi reactive oxidative species (ROS) dan meningkatkan lipid peroksidasi
(Flora et al. 2008)
Kelasi berasal dari bahasa Yunani “chelos” yang artinya cakar, meliputi
ikatan suatu ion logam atau kation dengan suatu struktur cincin kompleks dari
molekul organik, agen kelasi. Cirinya, keberadaan atom donor-elektron pada
molekul kelasi seperti sulfur, nitrogen, dan atau oksigen (Sears 2013). Kekuatan
ikatan kimia dalam kompleks kordinasi yang terbentuk antara kelator dan ion
logam tergantung pada elemen yang terkait dan detail kimianya. Identitas logam
yang lebih dominan berikatan dengan agen kelasi tergantung pada kemampuan
kelator menembus jaringan, seberapa kuat logam yang berikatan dengan jaringan,
dan jumlah ionnya (Sears 2013).
Protein dapat berperan sebagai kelator. Secara alami protein terkandung
dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari seperti daging dan telur. Telur
ayam, bebek, puyuh, dan angsa merupakan telur unggas yang secara umum
ditemukan di lingkungan masyarakat. Telur bebek mengandung lemak dan protein
yang lebih tinggi dan telur ayam. Selain harganya yang terjangkau, telur bebek
juga cukup mudah ditemukan. Protein pada putih telur bermacam-macam
termasuk ovotransferin dan ovalbumin yang memiliki daya kuat dalam mengikat
logam (Hynek et al. 2012).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL),


Laboratorium Farmakologi, dan Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor selama Januari sampai dengan April 2014.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah 30 ekor tikus putih jantan
(Rattus norvegicus) galur sprague dawley, bagian putih telur bebek, timbal asetat
(Pb(CH3COO)2), Na-EDTA, aquades, dan reagen pemeriksaan darah. Alat yang
digunakan adalah kandang pemeliharaan, tabung reaksi, syringe 1, 3, dan 5 mL,
mangkuk, gelas plastik, kain lap, sonde lambung, kandang jepit tikus, timbangan
makro dan mikro, labu tera, alat tulis, tabung reaksi, ice box, kamar hitung,
mikroskop, pipa mikrokapiler, microcapillary hematocrit reader, dan
spektrofotometer.
4

Metode Penelitian

Pembuatan Timbal Asetat 1000 ppm


Larutan timbal asetat 1000 ppm dibuat dengan mengencerkan 1 g kristal
timbal asetat (Pb(CH3COO)2) dalam 1000 mL aquades. Kristal timbal asetat dan
aquades dicampur dalam tabung labu yang sudah ditera, kemudian diaduk hingga
larutan homogen.

Persiapan Tikus dan Pembagian Kelompok


Tiga puluh ekor tikus jantan dipilih dan dipelihara selama 2 minggu sebagai
tahap penyesuaian terhadap lingkungan (aklimatisasi) dan memiliki bobot badan
badan yang relatif seragam, yaitu antara 180 sampai dengan 240 g. Pakan tikus
yang diberikan adalah pakan standar dan minum diberikan secara ad libitum.
Tikus dibagi menjadi enam kelompok perlakuan yang masing-masing perlakuan
terdiri atas lima ekor tikus. Perlakuan 1 adalah tikus kontrol, yaitu tikus yang
tidak diberikan paparan timbal dan tidak diberikan putih telur bebek atau EDTA,
perlakuan 2 merupakan tikus yang mendapatkan paparan timbal (kontrol negatif),
perlakuan 3 merupakan tikus yang mendapatkan paparan timbal dan diberikan
EDTA (kontrol positif), perlakuan 4 merupakan tikus yang diberikan paparan
timbal dan diberi putih telur bebek konsentrasi 50%, perlakuan 5 merupakan tikus
yang diberikan paparan timbal dan diberi putih telur bebek konsentrasi 75%, dan
perlakuan 6 merupakan tikus yang diberikan paparan timbal dan diberi putih telur
bebek konsentrasi 100%.

Paparan Timbal
Pemberian paparan timbal dilakukan dengan mencekok tikus percobaan
dengan timbal asetat (konsentrasi 1000 ppm) selama 15 hari dengan dosis 15
mg/100 g BB secara force feeding. Penggunaan dosis dihitung menggunakan
konversi dosis berdasarkan Laurence dan Bacharah (1964). Setelah 15 hari
mendapatkan paparan timbal, tikus diberi EDTA dan putih telur bebek sesuai
dengan perlakuannya.

Pemeriksaan Darah Merah dan Pengamatan Gejala Klinis


Pemeriksaan darah dilakukan tiga kali yaitu sebelum perlakuan (hari ke-0),
setelah pemberian timbal asetat (hari ke-15 pascapemaparan timbal), dan setelah
pemberian EDTA dan putih telur (hari ke-15 pascaperlakuan). Pemeriksaan darah
meliputi perhitungan jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit.
Pengamatan gejala klinis keracunan timbal (letargi dan diare) dilakukan setiap
hari selama penelitian dan dievaluasi tiap minggu.
Pengambilan darah dilakukan melalui vena koksigea lateralis pada ekor
tikus yang ditempatkan pada kandang jepit. Sampel darah yang diperoleh
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi antikoagulan EDTA. Selanjutnya,
metode perhitungan eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit diuraikan
sebagai berikut.

Perhitungan Eritrosit
Perhitungan eritrosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer
(kamar hitung). Darah sebanyak 2,5 µL dihomogenkan dengan 0,5 mL Hayem
5

sehingga pengenceran 200 kali. Darah yang telah diencerkan diteteskan ke dalam
hemositometer dan diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
Jumlah eritrosit dihitung melalui 5 kotak eritrosit secara diagonal atau keempat
ujung dan tengah kotak perhitungan. Total eritrosit didapatkan dari mengalikan
jumlah eritrosit yang teramati dengan 10000/mm3.

Perhitungan Kadar Hemoglobin


Kadar hemoglobin diukur menggunakan metode cyanomethemoglobin.
Darah sebanyak 20 µL dicampurkan ke dalam 5 mL reagen cyanomethemoglobin
lalu dihomogenkan. Nilai absorbansnya dibaca menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 540 nm. Perhitungan kadar hemoglobin dilakukan
dengan mengalikan nilai absorbans dengan 36.8 g Hb/100 mL.

Perhitungan Kadar Hematokrit


Kadar hematokrit dihitung menggunakan metode pipet kapiler
(mikrokapiler). Pipet mikrokapiler yang telah berlapis heparin, dicelupkan ke
dalam darah yang akan diperiksa hingga 2/3 bagian pipet. Pipet kapiler berisi
darah disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Kadar hematokrit
didapatkan dengan menggunakan microcapillary haematocrit reader.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini terdiri atas gejala klinis yang
spesifik (letargi dan diare) dan gambaran darah merah (jumlah total eritrosit,
kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit).

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (analysis


of variance) dan dilanjutkan uji Duncan. Selain itu, data yang diperoleh dianalisis
dengan analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Anemia sebagai salah satu gejala klinis keracunan timbal dapat diketahui
dari pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat profil sel
darah merah setelah pencekokan timbal asetat dan setelah pemberian putih telur
bebek. Profil gambaran darah merah dipaparkan pada Tabel 1.
Hasil pemeriksaan darah pascapencekokan timbal menunjukkan jumlah
eritrosit tikus mengalami penurunan (p<0.05). Kadar hemoglobin tikus yang
diberi timbal saja berbeda nyata terhadap kelompok tikus lainnya. Nilai
hematokrit tidak berbeda nyata antar kelompok. Pascapemberian antidota, jumlah
eritrosit mengalami peningkatan kecuali pada tikus yang diberi timbal asetat dan
putih telur bebek 50% (p<0.05). Peningkatan jumlah eritrosit tikus yang diberi
6

putih telur bebek 100% lebih tinggi dari tikus yang diberi EDTA namun tidak
lebih tinggi dari tikus yang diberi timbal saja.
Penurunan jumlah sel darah merah diduga terjadi sebagai akibat masuknya
timbal dalam aliran darah dan mengganggu enzim hematopoiesis. Peningkatan
reactive oxidative species (ROS) akibat radikal bebas ion timbal dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel darah merah seperti yang dijelaskan oleh Weiss
dan Wardrop (2010). Hemoglobin cenderung tidak terpengaruh karena keracunan
timbal bersifat subakut sehingga tubuh memiliki cukup waktu untuk beregenerasi.

Tabel 1 Profil pemeriksaan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit


Parameter K K- K+ P50 P75 P100 p

Sebelum perlakuan (hari ke-0)


Eritrosit
8.2 ± 1.99a 8.3 ± 0.62a 7.4 ± 1.09a 6.9 ± 0.47a 7.7 ± 0.65a 8.2 ± 1.11a 0.327
(juta/mm3)
Hemoglobin a a a a a a
14.4 ± 2.67 14.7 ± 0.40 15.1 ± 1.01 14.1 ± 1.37 14.4 ± 0.74 14.4 ± 0.47 0.893
(g%)
Hematokrit a a a a a a
39.8 ± 2.08 39.3 ± 3.45 38.9 ± 3.88 41.4 ± 1.39 39.6 ± 2.13 37.6 ± 4.55 0.583
(%)
Pascapemberian timbal (hari ke-15)
Eritrosit
8.9 ± 0.79a 8.8 ± 1.62a 5.9 ± 1.35b 7.4 ± 1.31ab 6.6 ± 1.61b 7.8 ± 0.71ab 0.008
(juta/mm3)
Hemoglobin ab ab a a a ab
14.1 ± 1.02 12.9 ± 2.38 15.7 ± 1.74 15.2 ± 0.81 15.6 ± 1.21 14.7 ± 0.72 0.048
(g%)
Hematokrit a a a a a a
40.9 ± 1.49 41.0 ± 4.94 40.8 ± 3.16 38.1 ± 4.15 39.2 ± 2.62 42.3 ± 1.96 0.429
(%)
Pascapemberian putih telur bebek (hari ke-30)
Eritrosit
7.4 ± 0.14cd 8.9 ± 0.67a 8.0 ± 0.37bc 7.1 ± 1.01d 7.7 ± 0.39bcd 8.2 ± 0.40ab 0.001
(juta/mm3)
Hemoglobin
13.5 ± 1.17a 14.8 ± 0.47a 14.7 ± 0.49a 13.5 ± 0.42a 13.9 ± 2.32a 13.7 ± 0.39a 0.277
(g%)
Hematokrit b a ab ab ab c
40.8 ± 1.95 43.5 ± 1.62 42.3 ± 0.74 41.1 ± 2.42 43.1 ± 0.74 38.5 ± 1.97 0.001
(%)

Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
K : kelompok perlakuan yang tidak diberi timbal selama 15 hari dan putih telur bebek selama 15 hari
K- : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari tetapi tidak diberi putih telur bebek selama 15
hari
K+ : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan EDTA selama 15 hari
P50 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 50% selama 15
hari
P75 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 75% selama 15
hari
P100: Kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 100% selama 15
hari

Kadar hemoglobin tidak berkorelasi baik dengan tingkat timbal dalam


darah sehingga anemia yang umum terjadi karena keracunan timbal tidak muncul
pada tingkat timbal yang rendah (Froom et al. 1999). Pendapat Mugahi et al.
(2003) menjelaskan bahwa keracunan timbal dapat menyebabkan penurunan
jumlah eritrosit dan hemoglobin. Gambaran darah merah tikus yang diberi timbal
mengarah pada kondisi seperti yang dijelaskan oleh Froom. Hal ini diduga terjadi
karena jumlah timbal yang diberikan tidak begitu tinggi sehingga gejala
keracunan timbal akut tidak muncul.
Pengidentifikasian keracunan timbal subakut tidak mudah diketahui hanya
dari profil sel darah merah saja karena gambaran anemia tidak jelas terlihat.
Diagnosis keracunan timbal tidak dapat diteguhkan tanpa pemeriksaan lainnya
7

yang mendukung, seperti tingkat timbal dalam darah, pemeriksaan enzim asam
aminolevulek, dan enzim protoforpirin. Munculnya gejala klinis merupakan
pertanda adanya akumulasi timbal dalam tubuh minimal 200 mg/Kg BB pada
tikus (Elmenoufy 2012). Selanjutnya, pengamatan terhadap gejala klinis selama
penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 menginformasikan bahwa tikus kontrol tidak menunjukkan gejala
klinis keracunan timbal. Semua tikus yang diberi timbal selama 15 hari
menunjukkan gejala klinis letargi dan diare. Tikus yang menunjukkan gejala
letargi tampak lebih apatis dan lemah. Sebelumnya tikus tampak sangat aktif,
berlarian bahkan memberontak saat dilakukan handling. Gejala diare diketahui
melalui feses encer yang melekat dan mengotori bagian anus dan ekor tikus. Feses
encer juga tampak bercampur dengan alas kandang yang terbuat dari serbuk kayu,
menjadi bertumpuk-tumpuk dan melekat satu sama lain. Gejala klinis tidak
tampak setelah 7 hari pemberian putih telur bebek 75 dan 100%. Letargi masih
terlihat pada tikus yang diberi timbal saja, tikus yang diberi timbal dan EDTA,
serta tikus yang diberi timbal dan putih telur bebek 50%. Sementara itu, diare
masih terlihat hanya pada tikus yang diberi timbal saja.

Tabel 2 Gejala klinis yang tampak pada kelompok uji selama perlakuan
Gejala klinis K K- K+ P50 P75 P100
Hari ke-0
Letargi - - - - - -
Diare - - - - - -
Hari ke-7 pascapencekokan timbal
Letargi - - - - - -
Diare - - - - - -
Hari ke-15 pascapencekokan timbal
(hari ke-0 pemberian putih telur bebek)
Letargi - + (100%) + (100%) + (100%) + (100%) + (100%)
Diare - + (80%) + (60%) + (60%) + (80%) + (60%)
Hari ke-7 pascapemberian putih telur bebek
Letargi - + (40%) + (20%) + (40%) - -
Diare - + (20%) - - - -
Hari ke-15 pascapemberian putih telur bebek
Letargi - - - - - -
Diare - - - - - -
Keterangan: K : kelompok perlakuan yang tidak diberi timbal selama 15 hari dan putih telur bebek selama 15 hari
K- : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari tetapi tidak diberi putih telur bebek selama 15
hari
K+ : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan EDTA selama 15 hari
P50 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 50% selama 15
hari
P75 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 75% selama 15
hari
P100: kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 100% selama 15
hari

Diare memiliki korelasi dengan kadar hematokrit. Hemolisis dapat


menyebabkan nilai hematokrit akibat berkurangnya sel darah dalam plasma.
8

Diare dapat menyebabkan nilai hematokrit meningkat akibat hilangnya cairan


tubuh (Anonim 2011; Anonim 2014). Nilai hematokrit tikus berada pada kisaran
normal pascapencekokan timbal karena kombinasi hemolisis dan diare yang
terjadi pada tikus. Nilai hematokrit tikus meningkat pascapemberian putih telur
diduga terjadi karena terbentuknya sel-sel darah merah baru dalam sirkulasi darah
tikus.
Timbal dapat menggantikan posisi kalsium dan mengganggu kanal ion
kalsium dan kalium pada membran sel sehingga menyebabkan sel-sel usus tidak
menjalankan fungsi normalnya (Thuppil dan Kaushik 2012). Masuknya timbal
menyebabkan gangguan fungsi normal sel khususnya kontraksi otot polos dan
pelepasan neurotransmiter. Diare terjadi karena kurangnya penyerapan air di usus
besar akibat gangguan motilitas kolon sehingga jumlah air dalam feses meningkat.
Gangguan motilitas usus menyebabkan berkurangnya asupan nutrisi ke dalam sel
sehingga energi dalam tubuh tidak mampu menyokong seluruh aktivitas tikus.
Diare yang berkelanjutan menyebabkan meningkatnya cairan tubuh yang hilang
dan menyebabkan dehidrasi dan letargi. Letargi juga terjadi akibat gangguan
kontraksi otot lurik karena kurangnya kalsium sel.
Dari hasil penelitian ini, pemberian antidota dengan putih telur bebek 75
dan 100% mampu menghilangkan gejala klinis pada tikus lebih cepat. Protein
dalam telur bebek diduga mampu menangkap ion-ion timbal yang masih tersisa di
permukaan usus dan mencegahnya terserap ke darah. Lemak dan protein yang
terkandung pada putih telur bebek diduga berperan dalam membantu memasokan
energi pada tikus, sehingga tikus tidak letargi. Menurut Asosiasi Dietetik Amerika,
protein dan lemak dalam porsi tepat dapat menjadi terapi nutrisional bagi
penderita diare akut.
Gejala klinis keracunan timbal lainnya yang mencolok adalah kolik parah
namun gejala kolik tidak umum terlihat pada individu dewasa (Shiri et al. 2007).
Protein telur terutama lisozim, ovalbumin, dan ovotransferin merupakan kelator
logam berat terbaik dalam telur. Protein melalui ikatan sulphidril akan
memerangkap ion logam berat dan mencegah penyerapan logam berat dalam
saluran pencernaan (Amour dan Boshe 2012). Selain protein, lemak juga banyak
terkandung dalam putih telur bebek. Kandungan lemak dan protein putih telur
bebek lebih tinggi dari telur ayam dan rendah kolesterol (Jalaludeen dan Churcil
2006). Kurangnya asupan protein dilaporkan dapat mengakibatkan diare sehingga
asupan protein dari luar tubuh diharapkan dapat menanggulangi keadaan tersebut
(Gutiérrez et al. 2006).
Pada penelitian ini, gejala klinis kolik tidak teramati karena tikus yang
digunakan sudah mulai dewasa. Tikus dewasa hanya menyerap 10% timbal yang
masuk dan sisanya akan dieksresikan melalui urin dan feses (Pokras dan Kneeland
2009). Pemberian timbal pada penelitian ini menggunakan dosis 15 mg/100 g BB
selama 15 hari atau subakut sedangkan kejadian kolik biasanya banyak terjadi
pada kasus keracunan timbal akut pada individu muda. Keracunan timbal subakut
tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik sehingga memperluas pembanding
diagnosis.
9

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Putih telur bebek 75% dan 100% berpotensi sebagai antidota keracunan
timbal subakut. Putih telur bebek mampu meningkatkan jumlah eritrosit tikus
yang dicekok timbal (p<0.05). Putih telur bebek mengandung protein yang
mampu mengikat dan mencegah penyerapan ion logam timbal sehingga kerusakan
darah lebih lanjut tidak terjadi. Lemak dan proteinnya yang terkandung dalam
putih telur bebek diduga menjadi penyedia sumber energi tinggi yang dapat
mengatasi gejala klinis keracunan timbal subakut.

Saran

Penelitian lebih lanjut mengenai potensi putih telur bebek dalam


mengatasi keracunan timbal perlu dilakukan. Penelitian mengenai potensi telur
unggas lain dalam menangani keracunan timbal juga perlu dilakukan. Selain itu,
dibutuhkan formulasi putih telur bebek yang baik agar mudah dan aman dalam
pengaplikasian sebagai antidota keracunan timbal.

DAFTAR PUSTAKA

Amour M, Boshe J. 2012. Eggs: clearing the charges, exploring the potential! Dar
Es Salaam Medical Students’ Journal 19: 34-37.
American Dietetic Association. 2014. Nutritional therapy for diarrhea. [Internet].
[Diunduh 2014 Agus 25]. Tersedia pada: http://nutritioncaremanual.
org/vault/editor/Docs/DiarrheaNutritionTherapy_FINAL.pdf.
Anonim. 2011. Hematocrit range facts. [Internet]. [Diunduh 2014 Agus 25].
Tersedia pada: http://ic.steadyhealth.com/hematocrit_range_facts.html.
Anonim. 2013. WHO: 143.000 deaths per year from lead poisoning. [Internet].
[Diunduh 2014 Jul 08]. Tersedia pada: http://www.upi.com/ Health_News
/2013 /10/18 / WHO-143000- deaths-per-year- from -lead- poisoning/UPI-
11551382150700 /.
Anonim. 2014. Hematocrit levels-low, high, normal range. [Internet]. [Diunduh
2014 Agus 25]. Tersedia pada: http://medicalhub.hubpages.com/
hub/Hematocrit-levels-Low-High-Normal-Range.
Elmenoufy GAM. 2012. Bee honey dose-dependently ameliorates lead acetate-
mediated hepatorenal toxicity in rats. Life Science Journal 9(4): 780-788.
Flora SJS, Mittal M, Mehta A. 2008. Heavy metal induced oxidative stress and its
possible reversal by chelation therapy. Indian Journal Medicine Research
128: 501-523.
Flora SJS, Pancauri V. 2010. Chelation in metal intoxication. International
Journal of Environmental Research and Public Health 7(7): 2745-2788.
Froom P, Kristal-Bonch E, Benbassat J. 1999. Lead exposure in battery-factors
worker is not associated with anemia. Journal of Occupational and
Environmental Medicine 41: 120-3.
10

Guitérrez M, Carías D, Cioccia AM, Hevia P. 2006. Effect of diarrhea on nutrient


utilization in protein deficient or protein-calorie deficient rats.Archivos
Latinoamericanos de Nutrición 56(1): 43-50.
Hernberg S. 2000. Lead poisoning in a historical perspective. American Journal of
Industrial Medicine 38: 244-254.
Hynek D, Krejčová L, Křížková S, Ruttkay-Nedecky B, Pikula J, Adam V,
Hajkova P, Trnková L, Sochor J, Pohanka M et al. 2012. Metallomics
study of lead-protein interactions in albumen by electrochemical and
electrophoretic methods. International Journal of Electrochemical Science
7: 943-964.
Jalaludeen A, Churcil RR. 2006. Duck eggs and their nutritive values. Poultry
Line 35-39.
Laurence DR, Bacharach AL. 1964. Evaluation of Drug Activities:
Pharmacometrics. London (UK): Academic Press 135-179.
Mikirova N, Casciari J, Hunninghake R, Riordan N. 2011. EDTA chelation
therapy in the treatment of toxic metals exposure. Spatula DD 1(2): 81-89.
Mugahi MN, Heidari Z, Sagheb HM, Barbarestani M. 2003. Effects of chronic
lead acetate intoxication on blood indices of male adult rat. DARU Journal
of Pharmaceutical Science 11(4): 147-151.
Muller H, Regard S, Petriccioli N, Kherad O. 2013. Traditional medicine: a rare
cause of lead poisoning in western countries. F1000Research doi:
10.12688/f1000research.2-250.v1.
Pokras MA, Kneeland MR. 2009. Understanding lead uptake and effects across
species lines: a conservation medicine approach. Di dalam:Watson RT,
Fuller M, Pokras M, Hunt WG, editor. Ingestion of Lead from Spent
Ammunition: Implications for Wildlife and Humans. Idaho (US): The
Peregrine Fund. doi:10.4080/ilsa.2009.0101.
Sears ME. 2013. Chelation: Harnessing and enhancing heavy metal detoxification
[ulas balik]. The Scientific World Journal 2013 Article id 219840.
Shiri R, Ansari M, Ranta M, Falah-Hassani K. 2007.Lead poisoning and reccurent
abdominal pain. Industrial Health 45(3): 494-6.
Suradkar SG, Ghodasara DJ, Vihol P, Patel J, Jaiswal V, Prajapati KS. 2009.
Haemato-biochemical alterations induced by lead acetate toxicity in wistar
rats. Veterinary World 2(11): 429-431.
Thuppil V, Kaushik VS. 2012. Future of lead chelation-distribution and treatment.
Journal of Krishna Institute of Medical Science University 1(1): 6-23.
Verheij J, Voortman J, Nieuwkerk CMJ, Jarbandhan SVA, Mulder CJJ, Bloemena
E. 2009. Hepatic morphopathologic findings of lead poisoning in a drug
addict: a case report. Journal of Gastrointestinal and Liver Disease 18(2):
225-227.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 6th Edition.Iowa
(US): Blackwell Publishing.
11

RIWAYAT HIDUP

Meilisa Lidya Margarita lahir di Medan pada tanggal 17 Mei 1992


merupakan anak ketiga dari pasangan Condro Utomo dan Daisy Tambajong.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 2004 di SD
Katholik Cinta Rakyat 2 Pematang Siantar. Penulis masuk ke Sekolah Menengah
Pertama pada tahun 2004 dan menyelesaikannya tahun 2007 di SMP Katholik
Cinta Rakyat 1 Pematang Siantar. Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh
penulis di SMA Katholik Budi Mulia Bogor. Tahun 2010 penulis diterima di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Tulis Masuk
IPB (UTMI).
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif sebagai anggota Himpro
Satwaliar FKH IPB. Penulis juga aktif sebagai perawat anjing SRC FKH IPB
untuk memperdalam ketertarikan penulis terhadap anjing. Selain itu penulis juga
selalu mengikuti magang himpro selama libur dan magang mandiri untuk
mengenal dunia veteriner.

Anda mungkin juga menyukai