ABSTRACT
MEILISA LIDYA MARGARITA. Potential of Duck Egg White Overcomed
With Subacute Lead Poisoning. Supervised by ANDRIYANTO and AULIA
ANDI M.
Egg white consist high protein has been known able to chelate lead from
acute poisoning but its potential hasn’t been studied a lot. The potential of duck
egg white was evaluated from red blood cell profile and clinical signs that shown.
The research used thirty male rats which were divided into 6 groups and 5
replications i.e. rats as control, rats administrated only with lead, rats
administrated with lead and antidote. Each treatment group (four groups) was
given one antidote i.e. EDTA, 50% egg white, 75% egg white, and 100% egg
white. Lead force feeding was conducted by 15 days as same as antidote and
completed by blood sampling in the end of each treatment. There’s no great
influence in hemoglobin but lead decreased total red blood cells (p<0.05) in
subacute lead poisoning. Rats were given with 75% and 100% duck egg white as
antidote showed increasing in total red blood cell and also faster recovery. High
concentration of duck egg white had a good result as antidote for subacute lead
poisoning.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Disetujui oleh
�
Drh Andriy �MSi
Pembimbing I
DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 1
METODE 3
Tempat dan Waktu Penelitian 3
Bahan dan Alat Penelitian 3
Metode Penelitian 4
Peubah yang Diamati 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 9
RIWAYAT HIDUP 11
DAFTAR TABEL
Latar Belakang
Kasus keracunan timbal (Pb) telah banyak dilaporkan terjadi pada manusia
dan hewan (Pokras dan Kneeland 2009). Pengolahan industri dan asap kendaraan
bermotor menjadikan timbal sebagai salah satu polusi lingkungan terbesar.
Keracunan timbal yang disebabkan oleh pekerjaan dapat terjadi dalam industri
baterai, cat, percetakan, pembuatan tembikar, dan proses peleburan timbal
(Mugahi et al. 2003). Paparan timbal dapat terjadi selama proses pembuatan
tangki, pemasangan pipa, dan peralatan lain yang membawa gas dan cairan yang
bersifat korosif superkonduktor, teknologi serat optik, selama magnetic resonance
imaging (MRI), dan obat-obatan nuklear. Tanpa disadari, timbal dapat
mengontaminasi tubuh melalui udara tercemar, timbal yang terhirup, kontak
dengan kulit, makanan dan minuman yang tercemar, serta benda-benda
mengandung timbal yang tertelan (Verheij et al. 2008; Sears 2013).
Akumulasi timbal dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan akut dan
kronis, bahkan kematian (Anonim 2013). Efek keracunan timbal secara akut dan
subakut sangat khas, berkaitan dengan paparan dosis yang relatif tinggi, waktu
paparan yang relatif singkat, baik dalam hitungan hari atau bulan. Efek keracunan
timbal secara akut juga dapat terjadi secara dramatis, kematian yang tiba-tiba,
kram perut yang parah, anemia, perubahan perilaku, dan kehilangan nafsu makan.
Pada kejadian keracunan timbal tidak semua efek yang telah dipaparkan muncul
secara lengkap, tetapi hanya sebagian efek saja yang teramati dengan jelas (Muller
et al. 2013).
Efek keracunan timbal kronis terjadi sebagai akibat paparan timbal yang
sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama, dapat terjadi pada kurun
waktu bulanan hingga tahunan. Efek keracunan timbal kronis biasanya
menimbulkan gejala yang tidak spesifik pada hampir semua sistem tubuh. Efek
negatif keracunan timbal kronis pada manusia menurut laporan penelitian Pokras
dan Kneeland (2009) terdiri atas penurunan libido dan kesuburan (jantan dan
betina), keguguran dan kelahiran prematur, masalah kecerdasan, hipertensi,
penyakit kardiovaskular, lebih agresif, serta gangguan fungsi ginjal.
Secara umum, terapi kelasi (chelation) menjadi tindakan medis unggulan
yang dipilih untuk mengurangi efek toksik dari logam berat termasuk timbal.
Agen kelasi mampu mengikat ion logam berat dari dalam sel dan luar sel,
membentuk struktur kompleks dan mudah dieksresikan keluar tubuh (Flora dan
Pachauri 2010). Agen kelasi dapat diberikan melalui pembuluh darah, otot,
inhalasi, ataupun oral, tergantung jenis obatnya. Terdapat berbagai macam agen
kelasi yang telah terbukti efektivitasnya. Asam kalsium disodium etilendiamin
tetraasetik (CaNa2EDTA), kalsium trisodium DTPA, british anti lewisite (BAL),
unithiol, etilendiamin tetraasetik (EDTA), penisilamin, dan sukimer merupakan
beberapa contoh agen kelasi (Flora dan Pachauri 2010; Mikirova et al. 2011).
Agen kelasi utama yang sering digunakan di rumah sakit biasanya diberikan
melalui parenteral (tidak diberikan secara oral) dengan penanganan ahli.
Sementara itu, agen kelasi oral dapat digunakan tanpa peralatan dan penanganan
khusus tetapi harus diperhatikan dosis pemakaiannya.
2
Sampai saat ini, agen kelasi umumnya memiliki harga yang mahal, tidak
dapat diperoleh tanpa resep dokter, tidak tersedia secara kontinu, dan dalam
jumlah yang mencukupi. Berdasarkan kendala yang telah dipaparkan tersebut
membuat manusia dan hewan yang mengalami keracunan timbal, tidak dapat
ditangani secara cepat dan tepat. Penundaan terapi keracunan timbal berisiko
meningkatkan absorpsi dan akumulasi timbal di dalam tubuh sehingga dapat
berakibat fatal, bahkan sampai terjadi kematian (Hernberg 2000).
Kemampuan protein berikatan dengan logam berat, menjadi dasar
masyarakat mulai mencari alternatif pengobatan keracunan logam berat yang
efektif, aman, murah, dan mudah didapat. Salah satu sumber protein alami yang
potensial untuk dijadikan sebagai agen kelasi logam berat adalah telur bebek.
Putih telur bebek dilaporkan memiliki kandungan protein yang lebih tinggi
dibandingkan telur ayam (Jalaludeen dan Churcil 2006). Selain itu, telur bebek
juga sudah biasa dikonsumsi dan digemari masyarakat dengan harga yang relatif
terjangkau. Oleh karena itu, penelitian untuk mempelajari potensi putih telur
bebek untuk mengatasi keracunan timbal perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi putih telur bebek dalam
mengatasi keracunan timbal secara subakut.
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Timbal diketahui tidak terkandung dalam tubuh makhluk hidup (Pokras dan
Kneeland 2009). Pada semua hewan dewasa, sebagian besar timbal diabsorbsi
melalui saluran pencernaan dan pernapasan. Timbal yang terserap selanjutnya
masuk ke dalam aliran darah dan berikatan dengan sel darah merah. Timbal
masuk ke dalam sistem pencernaan, bereaksi dengan asam lambung membentuk
garam yang dapat diserap oleh usus. Pada laki-laki dewasa 10-15% timbal yang
tertelan biasanya diserap dan sisanya dikeluarkan melalui feses. Pada anak-anak,
lebih dari 50% timbal yang tertelan diserap. Pada semua kelompok umur, absorpsi
dapat meningkat karena stres, seperti yang disebabkan oleh kehamilan, luka, dan
penyakit (Pokras dan Kneeland 2009).
Timbal memberikan efek pada asam aminolevulinik dehidratase (ALAD),
enzim penting pada sintesis hemoglobin. Inhibisi ALAD menghambat perubahan
koproporphirinogen III menjadi protoporphirin IX yang menyebabkan penurunan
produksi hemoglobin dan memperpendek masa hidup sel darah merah. Kerusakan
yang progresif pada sel darah merah karena ikatan dengan timbal menyebabkan
peningkatan kerentanan sel darah merah (Suradkar et al. 2009). Timbal juga
3
METODE
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah 30 ekor tikus putih jantan
(Rattus norvegicus) galur sprague dawley, bagian putih telur bebek, timbal asetat
(Pb(CH3COO)2), Na-EDTA, aquades, dan reagen pemeriksaan darah. Alat yang
digunakan adalah kandang pemeliharaan, tabung reaksi, syringe 1, 3, dan 5 mL,
mangkuk, gelas plastik, kain lap, sonde lambung, kandang jepit tikus, timbangan
makro dan mikro, labu tera, alat tulis, tabung reaksi, ice box, kamar hitung,
mikroskop, pipa mikrokapiler, microcapillary hematocrit reader, dan
spektrofotometer.
4
Metode Penelitian
Paparan Timbal
Pemberian paparan timbal dilakukan dengan mencekok tikus percobaan
dengan timbal asetat (konsentrasi 1000 ppm) selama 15 hari dengan dosis 15
mg/100 g BB secara force feeding. Penggunaan dosis dihitung menggunakan
konversi dosis berdasarkan Laurence dan Bacharah (1964). Setelah 15 hari
mendapatkan paparan timbal, tikus diberi EDTA dan putih telur bebek sesuai
dengan perlakuannya.
Perhitungan Eritrosit
Perhitungan eritrosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer
(kamar hitung). Darah sebanyak 2,5 µL dihomogenkan dengan 0,5 mL Hayem
5
sehingga pengenceran 200 kali. Darah yang telah diencerkan diteteskan ke dalam
hemositometer dan diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
Jumlah eritrosit dihitung melalui 5 kotak eritrosit secara diagonal atau keempat
ujung dan tengah kotak perhitungan. Total eritrosit didapatkan dari mengalikan
jumlah eritrosit yang teramati dengan 10000/mm3.
Peubah yang diamati pada penelitian ini terdiri atas gejala klinis yang
spesifik (letargi dan diare) dan gambaran darah merah (jumlah total eritrosit,
kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit).
Analisis Data
Anemia sebagai salah satu gejala klinis keracunan timbal dapat diketahui
dari pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat profil sel
darah merah setelah pencekokan timbal asetat dan setelah pemberian putih telur
bebek. Profil gambaran darah merah dipaparkan pada Tabel 1.
Hasil pemeriksaan darah pascapencekokan timbal menunjukkan jumlah
eritrosit tikus mengalami penurunan (p<0.05). Kadar hemoglobin tikus yang
diberi timbal saja berbeda nyata terhadap kelompok tikus lainnya. Nilai
hematokrit tidak berbeda nyata antar kelompok. Pascapemberian antidota, jumlah
eritrosit mengalami peningkatan kecuali pada tikus yang diberi timbal asetat dan
putih telur bebek 50% (p<0.05). Peningkatan jumlah eritrosit tikus yang diberi
6
putih telur bebek 100% lebih tinggi dari tikus yang diberi EDTA namun tidak
lebih tinggi dari tikus yang diberi timbal saja.
Penurunan jumlah sel darah merah diduga terjadi sebagai akibat masuknya
timbal dalam aliran darah dan mengganggu enzim hematopoiesis. Peningkatan
reactive oxidative species (ROS) akibat radikal bebas ion timbal dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel darah merah seperti yang dijelaskan oleh Weiss
dan Wardrop (2010). Hemoglobin cenderung tidak terpengaruh karena keracunan
timbal bersifat subakut sehingga tubuh memiliki cukup waktu untuk beregenerasi.
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05)
K : kelompok perlakuan yang tidak diberi timbal selama 15 hari dan putih telur bebek selama 15 hari
K- : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari tetapi tidak diberi putih telur bebek selama 15
hari
K+ : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan EDTA selama 15 hari
P50 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 50% selama 15
hari
P75 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 75% selama 15
hari
P100: Kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 100% selama 15
hari
yang mendukung, seperti tingkat timbal dalam darah, pemeriksaan enzim asam
aminolevulek, dan enzim protoforpirin. Munculnya gejala klinis merupakan
pertanda adanya akumulasi timbal dalam tubuh minimal 200 mg/Kg BB pada
tikus (Elmenoufy 2012). Selanjutnya, pengamatan terhadap gejala klinis selama
penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 menginformasikan bahwa tikus kontrol tidak menunjukkan gejala
klinis keracunan timbal. Semua tikus yang diberi timbal selama 15 hari
menunjukkan gejala klinis letargi dan diare. Tikus yang menunjukkan gejala
letargi tampak lebih apatis dan lemah. Sebelumnya tikus tampak sangat aktif,
berlarian bahkan memberontak saat dilakukan handling. Gejala diare diketahui
melalui feses encer yang melekat dan mengotori bagian anus dan ekor tikus. Feses
encer juga tampak bercampur dengan alas kandang yang terbuat dari serbuk kayu,
menjadi bertumpuk-tumpuk dan melekat satu sama lain. Gejala klinis tidak
tampak setelah 7 hari pemberian putih telur bebek 75 dan 100%. Letargi masih
terlihat pada tikus yang diberi timbal saja, tikus yang diberi timbal dan EDTA,
serta tikus yang diberi timbal dan putih telur bebek 50%. Sementara itu, diare
masih terlihat hanya pada tikus yang diberi timbal saja.
Tabel 2 Gejala klinis yang tampak pada kelompok uji selama perlakuan
Gejala klinis K K- K+ P50 P75 P100
Hari ke-0
Letargi - - - - - -
Diare - - - - - -
Hari ke-7 pascapencekokan timbal
Letargi - - - - - -
Diare - - - - - -
Hari ke-15 pascapencekokan timbal
(hari ke-0 pemberian putih telur bebek)
Letargi - + (100%) + (100%) + (100%) + (100%) + (100%)
Diare - + (80%) + (60%) + (60%) + (80%) + (60%)
Hari ke-7 pascapemberian putih telur bebek
Letargi - + (40%) + (20%) + (40%) - -
Diare - + (20%) - - - -
Hari ke-15 pascapemberian putih telur bebek
Letargi - - - - - -
Diare - - - - - -
Keterangan: K : kelompok perlakuan yang tidak diberi timbal selama 15 hari dan putih telur bebek selama 15 hari
K- : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari tetapi tidak diberi putih telur bebek selama 15
hari
K+ : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan EDTA selama 15 hari
P50 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 50% selama 15
hari
P75 : kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 75% selama 15
hari
P100: kelompok perlakuan yang diberi timbal selama 15 hari dilanjutkan putih telur bebek 100% selama 15
hari
Simpulan
Putih telur bebek 75% dan 100% berpotensi sebagai antidota keracunan
timbal subakut. Putih telur bebek mampu meningkatkan jumlah eritrosit tikus
yang dicekok timbal (p<0.05). Putih telur bebek mengandung protein yang
mampu mengikat dan mencegah penyerapan ion logam timbal sehingga kerusakan
darah lebih lanjut tidak terjadi. Lemak dan proteinnya yang terkandung dalam
putih telur bebek diduga menjadi penyedia sumber energi tinggi yang dapat
mengatasi gejala klinis keracunan timbal subakut.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Amour M, Boshe J. 2012. Eggs: clearing the charges, exploring the potential! Dar
Es Salaam Medical Students’ Journal 19: 34-37.
American Dietetic Association. 2014. Nutritional therapy for diarrhea. [Internet].
[Diunduh 2014 Agus 25]. Tersedia pada: http://nutritioncaremanual.
org/vault/editor/Docs/DiarrheaNutritionTherapy_FINAL.pdf.
Anonim. 2011. Hematocrit range facts. [Internet]. [Diunduh 2014 Agus 25].
Tersedia pada: http://ic.steadyhealth.com/hematocrit_range_facts.html.
Anonim. 2013. WHO: 143.000 deaths per year from lead poisoning. [Internet].
[Diunduh 2014 Jul 08]. Tersedia pada: http://www.upi.com/ Health_News
/2013 /10/18 / WHO-143000- deaths-per-year- from -lead- poisoning/UPI-
11551382150700 /.
Anonim. 2014. Hematocrit levels-low, high, normal range. [Internet]. [Diunduh
2014 Agus 25]. Tersedia pada: http://medicalhub.hubpages.com/
hub/Hematocrit-levels-Low-High-Normal-Range.
Elmenoufy GAM. 2012. Bee honey dose-dependently ameliorates lead acetate-
mediated hepatorenal toxicity in rats. Life Science Journal 9(4): 780-788.
Flora SJS, Mittal M, Mehta A. 2008. Heavy metal induced oxidative stress and its
possible reversal by chelation therapy. Indian Journal Medicine Research
128: 501-523.
Flora SJS, Pancauri V. 2010. Chelation in metal intoxication. International
Journal of Environmental Research and Public Health 7(7): 2745-2788.
Froom P, Kristal-Bonch E, Benbassat J. 1999. Lead exposure in battery-factors
worker is not associated with anemia. Journal of Occupational and
Environmental Medicine 41: 120-3.
10
RIWAYAT HIDUP