Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skabies

2.1.1 Definisi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
tungau Sarcoptes Scabiei varian hominis dan produknya pada tubuh. Di Indonesia
skabies sering disebut kudis, orang jawa menyebutnya gudik. Penyakit ini mudah
menular dan sangat gatal terutama pada malam hari. Factor yang mempengaruhi
penyakit ini adalah hygiene yang kurang baik.(3)

2.1.2 Epidemiologi

Di negara berkembang dilaporkan bahwa angka prevalensi skabies


mencapai 6-27% dengan insidens terbesar di kalangan anak-anak dan remaja.
Berdasarkan hasil penelitian Ma’rufi pada tahun 2005, ditemukan bahwa
prevalensi skabies di tempat yang padat penduduk seperti pesantren pada kelompok
yang higiene-nya buruk mencapai 73,7%. Sedangkan pada kelompok yang higiene-
nya baik, angka prevalensi skabies hanya berkisar antar 2-3.(7) Skabies ditemukan
diseluruh dunia dengan angka prevalensi bervariasi yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi higiene perseorangan yang buruk, tingkat
sosial ekonomi yang rendah, kebiasaan berganti-ganti pasangan seksual, dan juga
kepadatan penduduk.(8)

2.1.3 Etiologi

Skabies disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis yang


termasuk dalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo acarina, super-famili
Sarcoptoidea, famili Sarcoptidae, genus Sarcoptes. Secara morfologik merupakan
tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata.
Ukuran betina berkisar antara 330- 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan
jantan berkisar 200- 240 mikron x 150- 200 mikron. Larva memiliki enam kaki, dan
dewasa memiliki delapan kaki. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang
kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina

1
berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir
dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.(9)

Gambar 2.1 Tungau Sarcoptes scabiei

2.1.4 Siklus Hidup

Sarcoptes scabiei hidup di lapisan terluar epidermis manusia, tungau ini


menggali permukaan epidermis hingga terbentuk terowongan dan kemudian
bertelur. Karena lapisan kulit epidermis terus menerus mengelupas dan tumbuh
secara cepat, terowongan yang dibuat tungau ini hanya terdapat pada bagian
epidermis yang sudah mengeras. Tungau ini akan melakukan pembuahan/kopulasi
di permukaan kulit atau di dalam terowongan.(3)
Setelah kopulasi (perkawinan), yang jantan akan mati, kadang-kadang
masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina.
Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum,
dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4
butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini
dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari,
dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam
terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus
hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12
hari. Tungau dewasa muncul di permukaan kulit setelah sekitar 2 minggu, dan
setelah kawin, mereka reinfect kulit inang atau dari manusia lain.(9)

2
Gambar 2.2 Siklus Hidup dan Cara Penularannya

2.1.5 Patogenesis

Infestasi dari infeksi Sarcoptes scabiei dimulai saat tungau betina yang
sudah dibuahi berada diatas permukaan kulit. Kemudian tungau betina akan
menggali terowongan pada stratum corneum untuk meletakan telurnya. Munculnya
tungau dan produk-produknya yang berupa air liur yang bersifat iritan akan
merangsang sistem imun tubuh untuk mengeluarkan mediator- mediator
imunitas.(2)
Pada pertama infeksi Sarcoptes scabiei, perlawanan yang dilakukan berasal
dari sistem imun non- spesifik. Tanda pada kulit berupa gatal, kemerahan, panas,
nyeri dan bengkak. Hal tersebut terjadi karena aktivasi sel mast mengaktifasi
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, kinin dan triptamin. Namun
apabila proses inflamasi yang dilakukan oleh sistem imun non spesifik belum dapat
mengatasi infestasi tungau dan produknya, maka imunitas spesifik akan teraktivasi.
Mekanisme pertahanan spesifik yang dilakukan oleh sel limfosit.(10)

3
Penelitian sebelumnya melaporkan keterlibatan rekasi hipersensitivitas tipe
I dan tipe IV. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, terjadi pertemuan imunoglobulin
E dengan antigen tungau yang berlangsung di epidermis sehingga mengakibatkan
terbentuknya degranulasi sel mast yang mengakibatkan peningkatan antibodi IgE.
Sedangkan keterlibatan rekasi hipersensitivitas tipe IV akan muncul setelah 10-30
hari dari sensitisasi tungau, yang ditandai dengan perubahan histologik dan
kenaikan jumlah sel limfosit T pada infiltrat kutaneus.(11)
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sellkreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.(12)

2.1.6 Diagnosis
Terdapat empat tanda kardinal skabies. Diagnosis dapat ditegakkan bila
memnuhi dua dari empat tanda cardinal.(10)
1) Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
tungau penyebabnya lebih aktif di malam hari, suhu yang lebih lembab, dan
panas.
2) Penyakit ini menyerang secara berkelompok. Misalnya dalam sebuah
keluarga atau kelompok bermain terdapat satu anak yang terkena skabies, maka
biasanya akan ada anggota kelompok lain yang menderita penyakit tersebut
pula. Terdapat istilah pembawa (carrier) yakni penderita yang terkena infestasi
tungau skabies tetapi tidak memberikan gejala klinis.
3) Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang dicurigai
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata
1 centi meter, pada ujung terowongan ditemukan papula (tonjolan padat) atau
vesikel (kantung cairan). Jika ada infeksi sekunder, timbul poli morf
(gelembung leokosit).
4) Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik tetapi paling sulit
pula. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

4
2.1.7 Diagnosis Banding

Gejala yang ditimbulkan pada infeksi skabies umumnya tidak spesifik


karena lesi awal pada pasien biasanya berupa papul dan vesikel dengan gejala
subjektif berupa rasa gatal. Terlebih lagi umunya pasien datang ke rumah sakit
setelah terjadi infeksi sekunder sehingga sulit menilai penyakit yang mendasari
pada keluhan pasien. Sehingga pada kasus skabies dapat timbul beberapa diagnosis
banding diantaranya : (13,14)

a. Dermatitis Atopik
b. Prurigo
c. Pedikulosis korporis
d. Impetigo
e. Psoriasis
f. Folikulitis

2.1.8 Penatalaksanaan

Syarat obat yang ideal :


1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau.
2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.
3. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
4. Mudah diperoleh dan harganya murah.
Pengobatan melibatkan seluruh anggota keluarga yang harus diobati
(termasuk penderita yang hiposensitisasi) guna mencegah penularan lebih lanjut.(9)
Jenis obat topikal : (15,16)
1) Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salap
atau krim. Preparat ini karena tidak efektif terhadap stadium telur, maka
penggunanya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya yang lain ialah
berbau dan mengotori pakain dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat
dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2) Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan
setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering member iriasi,
dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.

5
3) Gama benzena heksa klorida (gameksan) kadarnya 1% dalam krim atau losio,
termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan, dan jarang member iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak di
bawah 6 tahun dan wanita hamil, karena toksik terhadap susunan saraf pusat.
Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu
kemudian.
4) Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari
mata, mulut dan uretra.
5) Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik disbanding gameksan,
efektivitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila
belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi di bawah
umur 2 bulan.

1.1.9 Pencegahan

Adapun dalam pencegahan penyakit skabies ini, dapat dilakukan hal-hal


berikut:
1. Gunakan air bersih untuk mandi, cuci, kakus, dan kepentingan lain.
2. Menjaga kebersihan diri, pakaian, dan lingkungan.
3. Menghindari kontak dengan penderita.
4. Menghindari saling meminjam pakaian, sarung, selimut, dan handuk.

1.1.10 Prognosa

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

6
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudirman. T. Skabies : Masalah Diagmosis dan Pengobatan. Majalah


Kesehatan Damianus. 2006; 5. p.177-190.

2. Richard W, John H, John S, Mark D. Clinical Dermatology. 4th ed.


Singapore: Blackwell Publishing; 2008.

3. Djuanda. A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Cetakan kedua.
Jakarta: FKUI; 2007.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional.


Jakarta: 2010.
5. Subramaneyaan M, Rustagi S, Bhattacharya SN, Tripathi AK, Banerja BD,
Ahmed RS. Effect of antioxidant supplementation of free radical
scavenging system and immune response in lindane treated scabies patients.
Pesticide Biochemistry and Physiology. 2012; 102. p. 91-4.
6. Romani L, Steer AC, Whitfeld MJ, Kaldor JM. Prevalence of scabies and
impetigo worldwide: a systematic review. Embargo. 2015; 15: p.132-2.

7. Ma’rufi. I. 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan Terhadap


Prevalensi Penyakit Skabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005; 2: p.11-
18.

8. Mansyur. M. 2007. Pendekatan Kedokteran Keluarga Pada Penatalaksanaan


Skabies Anak Usia Pra-Sekolah. Majalah Kedokteran Indonesia. 2007; 57:
p.63-67.

9. Handoko, R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

10. L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, Wollf K. Fitzpatrick's


Dermatology in General Medicine. New York: McGraw-Hill Companies;
2012. p. 2569-73.

11. Burns D. Disease caused by arthropods and other noxious animals. In Burns
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of Dermatology. 8th
ed. UK: Blackwell Publishing; 2010. p. 1830-40.

12. Alexandra K, Golant O, Jacob O, Levitt. Scabies: A review of diagnosis and


management based on mite biology. Pediatric in Review. 2012; 3. p. 48-56.

13. Leung D, Eichenfield L, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis (Atopic


Eczema). In Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. New York: McGraw Hill; 2012. p. 165.

7
14. Craft N. Superficial Cutaneous Infections. In Goldsmith L, Katz S, Gilchrest
B. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw Hill; 2012. p. 2128-34.

15. Pourhasan A, Goldust , Rezaee E. Treatment of scabies, permethrin 5%


cream vs. crotamiton 10% cream. Annals of Parasitology. 2013; 59. p. 143-
7.

16. Salavastru O, Chosidow, Boffa MJ, Janier M, Tiplica GS. Guideline


European Guideline For The Management Of Scabies. 2017; 10. p.1111-
10.

Anda mungkin juga menyukai