Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan awal yang digunakan untuk menentukan
adanya suatu penyakit. Perawat memiliki peran dalam melakukan pemeriksaan fisik.
Terkadang dibutuhkan juga pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan diagnostik
yang dapat lebih memastikan penyakit yang diderita oleh pasien. Memahami anatomi
fisiologi leher dan payudara sangat penting dalam pemeriksaan leher dan payudara.
Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara thoraks dan
caput.
Payudara sebagai kelenjar subkutis mulai tumbuh sejak minggu keenam masa
embrio yaitu berupa penebalan ektodermal sepanjang garis yang disebut garis susu yang
terbentang dari aksila sampai regio inguinal. Mulai maraknya penyakit payudara seperti
kanker yang banyak tidak menimbulkan banyak keluhan, tanda dan gejala. Oleh karena
itu, diperlukan pemeriksaaan fisik yang bermanfaat untuk mengetahui leher dan
payudara yang abnormal sejak dini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi leher?
2. Bagaimana melakukan pemeriksaan fisik leher?
3. Bagaimana anatomi dan fisiologi payudara?
4. Bagaimana melakukan pemeriksaan fisik pada payudara?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Dengan mempelajari pemeriksaan fisik diharapkan mahasiswa mampu melakukan
pemeriksaan fisik khususnya pemeriksaan leher dan payudara.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui anatomi leher sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan fisik
leher.
b. Mengetahui teknik pemeriksaan fisik leher
c. Mengetahui anatomi dan fisiologi payudara
d. Mengetahui teknik pemeriksaan fisik payudara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Fisik Leher


1. Anatomi dan Fisiologi Leher
Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara thoraks dan
caput. Batas di sebelah cranial adalah basis mandibula dan suatu garis yang ditarik
dari angulus mandibula menuju ke processus mastoideus, linea nuchae suprema
sampai ke protuberantia occipitalis eksterna. Batas kaudal dari ventral ke dorsal
dibentuk oleh incisura jugularis sterni, klavicula, acromion dan suatu garis lurus yang
menghubungkan kedua acromia.
Jaringan leher dibungkus oleh tiga fascia. Fascia koli superficialis membungkus
musculus Sternokleidomastoideus dan berlanjut ke garis tengah di leher untuk
bertemu dengan fascia sisi lain. Fascia koli media membungkus otot-otot pratrakeal
dan bertemu pula dengan fascia sisi lain di garis tengah yang juga merupakan
pertemuan dengan fascia coli superficial. Ke dorsal fascia koli media membungkus
arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus vagus jadi satu. Fascia koli
profunda membungkus musculus prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fascia
koli media. Leher dibagi oleh muskulus sternokleidomastoideus menjadi trigonum
anterior dan trigonum posterior atau lateral.
a. Trigonum anterior : di anterior dibatasi oleh sternokleidomastoideus, linea
mediana leher dan mandibulae, terdiri dari :
1) Trigonum muscular : dibentuk oleh linea mediana, musculus omohyoid
venter superior, dan musculus sternokleidomastoideus.
2) Trigonum caroticum : dibentuk oleh musculus omohyoid venter superior,
musculus sternokleidomastoideus, musculus digastricus venter posterior.
3) Trigonum submentale : dibentuk oleh venter anterior musculus digastricus,
os. hyoid dan linea mediana.
4) Trigonum submandibulare : dibentuk oleh mandibula, venter superior
musulus digastricus, dan venter anterior musculus digastricus
b. Trigonum posterior : dibatasi superior oleh musculus sternokleidomastoideus,
musculus trapezius dan clavicula, terdiri dari :
1) Trigonum supraclavicular : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,
clavicula dan musculus sternokleidomastoideus.
2) Trigonum occipitalis : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,
musculus trapezius dan musculus sternokleidomastoideus.

Bagain-bagian leher
a. Tulang Leher
Tulang leher terdiri dari tujuh ruas, mempunyai badan ruas kecil dan lubang
ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang tempat lajunya saraf yang
disebut foramen tranvertalis. Ruas pertama vertebra serfikalis disebut atlas yang
memungkinkan kepala mengangguk. Ruas kedua disebut prosesus odontois (aksis)
yang memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan. Ruas ketujuh
mempunyai taju yang disebut prosesus prominan. Taju ruasnya agak panjang.
Tulang-tulang yang terdapat pada leher:
1) Os. Hyoideum adalah sebuah tulang uang berbentuk U dan terletak di atas
cartylago thyroidea setinggi vertebra cervicalis III.
2) Cartygo thyroidea
3) Prominentia laryngea, dibentuk oleh lembaran-lembaran cartylago thyroidea
yang bertemudi bidang median. Prominentia laryngea dapat diraba dan
seringkali terlihat.
4) Cornu superius, merupakan tulang rawan yang dapat diraba bilamana tanduk
disis yang lain difiksasi.
5) Cartilagocricoidea, sebuah tulang rawan larynx yang lain, dapat diraba di
bawah prominentia laryngea
6) Cartilagines tracheales, teraba dibagian inferior leher.
7) Cincin-cincin tulang rawan kedua sampai keempat tidak teraba karena
tertutup oleh isthmus yang menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister
glandulae thyroideae.
8) Cartilage trachealis I, terletak tepat superior terhadap isthmus.

b. Otot Leher
Otot bagian leher dibagi menjadi tiga bagian:
1) Muskulus platisma yang terdapat di bawah kulit dan wajah. Otot ini menuju ke
tulang selangka dan iga kedua. Fungsinya menarik sudut-sudut mulut ke bawah
dan melebarkan mulut seperti sewaktu mengekspresikan perasaan sedih dan
takut, juga untuk menarik kulit leher ke atas.
2) Muskulus sternokleidomastoideus terdapat pada permukaan lateral
proc.mastoidebus ossis temporalis dan setengah lateral linea nuchalis superior.
Fungsinya memiringkan kepala ke satu sisi, misalnya ke lateral (samping),
fleksi dan rotasi leher, sehingga wajah menghadap ke atas pada sisi yang lain;
kontraksi kedua sisi menyebabkan fleksi leher. Otot ini bekerja saat kepala
akan ditarik ke samping. Akan tetapi, jika otot muskulus platisma dan
sternokleidomastoideus sama-sama bekerja maka reaksinya adalah wajah akan
menengadah.
3) Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan semispinalis kapitis.
Fungsinya adalah laterofleksi dan eksorositas kepala dan leher ke sisi yang
sama.
4) Ketiga otot tersebut terdapat di belakang leher yang terbentang dari belakang
kepala ke prosesus spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala
belakang dan menggelengkan kepala.

c. Arteri
Arteri merupakan pembuluh yang bertugas membawa darah menjauhi
jantung.Tujuannya adalah sistemik tubuh, kecuali a.pulmonalis yang membawa
darah menuju paru untuk dibersihkan dan mengikat oksigen. Arteri terbesar yang
ada dalam tubuh adalah aorta, yang keluar langsung dari ventrikel kiri jantung.
Aorta yang keluar keluar dari ventrikel kiri jantung sebagai aorta
ascendens.Kemudian, aorta ascendens mengalami percabangan yaitu arcus aorta
sebelum melanjutkan diri sebagai aorta descendens. Arcus aorta memiliki tiga
percabangan yaitu:
1) A.brachiocephalic/a.anonyma. Arteri ini akan bercabang menjadi
a.carotiscommunis dextra, a.subclavia dextra dan a.thyroidea ima (yang
mendarahi kelenjar thyroid bagian inferior).
2) A.carotis communis sinistra.
3) A. subclavia sinistra.

Setiap a.carotis communis (baik dextra maupun sinistra) akan bercabang menjadi
a. carotis interna (yang mendarahi otak) dan a.carotis externa (yang mendarahi
wajah, mulut, rahang dan leher) . Sedangkan setiap a.subclavia (baik dextra dan
sinistra) akan bercabang antara lain menjadia.vertebralis (mendarahi otak dan
medula spinalis). Kedua a.vertebralis (dextra dan sinistra) akan menyatu menjadi
arteri-arteri spinal yang segmental, dan sebelum naik ke otak akan membentuk
a.basilaris. A.basilaris lalu bercabang menjadi a.cerebralis posterior dan
beranastomosis dengan a.communicating posterior dan a.cerebralis anterior
membentuk circulus Willisi yang khas di otak.

2. Teknik Pemeriksaan Fisik Leher


Tujuan pengkajian leher secara umum adalah untuk mengetahui bentuk leher
serta organ-organ penting yang berkaitan.
a. Inspeksi
1) Anjurkan pasien untuk melepas baju.
2) Atur pencahayaan yang baik.
3) Lakukan inspeksi leher mengenai bentuk leher, warna kulit, adanya
pembengkakan, jaringan parut dan adanya massa. Inspeksi dilakukan secra
sistematis mulai dari garis tengah sisi depan leher, dari samping dan dari
belakang. (bentuk leher yang panjang dan ramping umumnya ditemukan pada
orang berbentuk ektomorf, orang dengan gizi jelek atau orang dengan TBC
paru, leher pendek dan gemuk di dapatkan pada orang berbentuk endomorph
atau obesitas). Warna kulit leher normalnya sama dengan kulit sekitarnya.
Dapat menjadi kuning pada semua jenis ikterus, dan merah, bengkak, panas
dan nyeri tekan bila mengelami peradangan.
4) Inspeksi tiroid dengan cara pasien disuruh menelan dan amati gerakan
kelenjar tiroid pada takik suprasternal. Normalnya gerakan kelenjar tiroid
tidak dapat dilihat kecuali pada orang yang sangat kurus.
b. Palpasi
Palpasi pada leher dilakukan terutama untuk mengetahui keadaan dan lokasi
kelenjar limfe, kelenjar tiroid dan trakea. Kelenjar limfe sulit dipalpasi pada
orang yang sehat atau orang gemuk. Sebaliknya pada orang yang kurus akan
lebih mudah ditemukan. Pembesaran kelenjar limfe dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit misalnya peradangan akut/kronis dikepala, orofaring, kulit
kepala atau daerah leher. Juga terjadi pada beberapa kasus infeksi seperti
tuberkulose, atau spilis. Pembesaran limfe disebut adenopati limfe. Palpasi
kelenjar tiroid dilakukan untuk mengetahui adanya pembesaran tiroid (gondok)
yang biasanya disebabkan oleh kekurangan gram zodium. Bentuk kelenjar tiroid
dapat diketahui jika kepala pasien ditengadahkan sambil pasien disuruh menelan
ludah (air), sementara perawat melakukan palpasi kelenjar tersebut.
Kedudukan trakea perlu dikaji karena dapat sebagai petunjuk terhadap adanya
gangguan misalnya trakea yang bergeser ke salah satu sisi dapat merupakan
petunjuk adanya proses desak ruang atau fibrosis pada paru-paru maupun
mediastinum. Trakea akan tertarik pada keadaan terjadi proses fibrosis dan akan
terdorong pada keadaan terjadi pendesakan ruang.

Cara kerja palpasi kelenjar limfe, kelenjar tiroid dan trakea adalah :
1) Duduklah di hadapan pasien
2) Anjurkan pasien untuk menengadah ke samping menjauhi perawat pemeriksa
sehingga jaringan lunak dan otot-otot akan relaks.
3) Lakukan palpasi secara sistematis dan determinasikan menurut lokasi, batas-
batas ukuran, bentuk dan nyeri tekan pada setiap kelompok kelenjar limfe
yang terdiri dari :
a) Preaurikular – di depan telinga.
b) Posterior aurikuler – superficial terhadap prosesus mastoidius.
c) Osipital – di dasar posterior tulang kepala.
d) Tonsilar – disudu mandibula.
e) Submaksilaris – ditengah-tengah antara sudut dan ujung mandibula.
f) Submental – papa garis tengah beberapa cm di belakang ujung mandibula.
g) Servikal superficial – superficial terhadap sternomastoidius.
h) Servikal posterior – sepanjang tepi anterior trapesius.
i) Servikal dalam – dalam sternomastoid dan sering tidak dapat dipalpasi.
j) Supraklavikula – dalam suatu sudut yang terbentuk oleh klavikula dan
sternomastoidius.
4) Lakukan palpasi kelenjar tiroid dengan cara :
a) Letakkan tangan anda pada leher pasien
b) Palpasi pada fossa suprasternal dengan jari penunjuk dan jari tengah.
c) Suruh pasien menelan atau minum untuk memudahkan palpasi.
d) Palpasi dapat pula dilakukan dengan perawat berdiri di belakang pasien,
tangan diletakkan mengelilingi leher dan palpasi dilakukan dengan jari
kedua dan ketiga.
e) Bila teraba kelenjar tiroid maka determinasikan menurut bentuk, ukuran,
konsistensi dan permukaannya.
5) Lakukan palpasi trakea dengan cara berdiri di samping kanan pasien.
Letakkan jari tengah pada bagian bawah trakea dan raba trakea ke atas, ke
bawah dan kesamping sehingga kedudukan trakea dapat diketahui.
c. Mobilisasi leher
Pengkajian mobilisasi leher dilakukan paling akhir pada pemeriksaan
leher.Pengkajian ini dilakukan baik secara aktif maupun pasif.Untuk
mendapatkan data yang akurat maka leher dan dada bagian atas harus bebas dari
pakaian dan perawat berdiri/duduk dibelakang pasien.
1) Lakukan pengkajian mobilitas leher secara aktif. Suruh pasien menggerakkan
leher dengan urut-urutan sebagai berikut:
a) Antefleksi, normalnya 45o
b) Dorsifleksi, normalnya 60o
c) Rotasi ke kanan, normalnya 70o
d) Rotasi ke kiri, normalnya 70o
e) Lateral fleksi ke kiri, normalnya 40o
f) Lateral fleksi ke kanan, normalnya 40o
2) Determinasikan sejauh mana pasien mampu menggerakkan lehernya.
Normalnya gerakan dapat dilakukan secara terkoordinasi, tanpa gangguan.
3) Bila diperlukan lakukan pengkajian mbilitas secara pasif dengan cara kepala
pasien dipegang dengan dua tangan kemudian digerakkan dengan urut-urutan
yang seperti pada pengkajian mobilitas leher secara aktif.

3. Cara Mengukur Tekanan Vena Jugularis


Tekanan vena jugularis atau Jugular Venous Pressure (JVP) adalah gambaran
tekanan pada atrium dextra dan tekanan diastolic pada ventrikel dextra, Pulsasi pada
vena jugularis dapat menyatakan abnormalitas konduksi dan fungsi katup
trikuspidalis. JVP menggambarkan volume pengisian dan tekanan pada jantung
bagian kanan. Tekanan pada vena jugularis sama dengan level yang berhubungan
dengan tekanan pada atrium kanan (vena sentral).
Tekanan vena jugularis atau Jugular Venous Pressure (JVP) adalah salah satu
pengukuran pada sistem vena secara tidak langsung. Secara langsung, tekanan vena
sentral dapat diukur dengan memasukkan Central Venous Cathether (CVC) line
melalui vena subclavia dan ujungnya langsung bermuara ke vena cava superior. Cara
tersebut adalah cara invasive sehingga mungkin banyak hal yang harus
dipertimbangkan sebelum dilakukan tindakan invasive tersebut. Jika memang cara
tersebut tidak dilakukan, maka bisa diukur dengan cara yang tidak invasive. Cara
tersebut salah satunya adalah dengan pengukuran Jugular Venous Pressure (JVP).
Vena jugularis mungkin tidak terlihat pada orang sehat dengan posisi tegak. Namun,
vena jugularis mungkin baru bisa terlihat saat seseorang dalam posisi berbaring di
sepanjang permukaan musculus sternocleidomastoideus. Peningkatan JVP
merupakan tanda dari gagal jantung kanan. Pada gagal jantung kanan, bendungan
darah di ventrikel dextra akan diteruskan ke atrium dextra dan vena cava superior
sehingga tekanan pada vena jugularis akan meningkat. Sedangkan pada gagal jantung
kiri, bendungan di ventrikel sinistra akan diteruskan ke atrium sinistra dan vena
pulmonalis sehingga terjadi bendungan paru. Akan tetapi, tekanan pada vena
jugularis tidak akan meningkat. Peningkatan JVP dapat terlihat sebagai adanya
distensi vena jugularis, yaitu JVP akan tampak hingga setinggi leher, jauh lebih
tinggi daripada normal.
Contoh beberapa penyakit yang bisa menyebabkan peningkatan JVP
diantaranya gagal jantung, endocarditis, myocarditis, perikarditis, stenosis mitralis,
hipertensi dan lain-lain.

Cara Mengukur Jugularis Vein Pressure (JVP) :


a. Alat dan Bahan
1) 2 buah mistar
2) Spidol/bolpoin
3) Penlight/senter

b. Prosedur Pemeriksaan :
1) Persiapkan alat untuk pengukuran JVP
2) Lakukan cuci tangan.
3) Jaga privacy pasien.
4) Pemeriksa hendaknya berdiri di samping kanan bed pasien.
5) Jelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan, kemudian minta persetujuan
pasien untuk dilaksanakan tindakan pemeriksaan.
6) Posisikan pasien senyaman mungkin.
7) Atur posisi tempat tidur/bed pasien pada posisi semifowler (antara 30-45
derajat).
8) Anjurkan pasien untuk menengok ke kiri.
9) Identifikasi vena jugularis.
10) Tentukan undulasi pada vena jugularis (titik teratas pada pulsasi vena
jugularis). Caranya adalah bendung vena dengan cara mengurut vena
kebawah lalu dilepas.
11) Tentukan titik angel of Louis pada sternum. Titik tersebut letaknya dekat
dengan angulus Ludovici.
12) Dengan mistar pertama proyeksikan titik tertinggi pulsasi vena secara
horizontal ke dada sampai titik manubrium sterni.
13) Kemudian mistar kedua letakkan vertikal dari angel of Louis pada sternum.
14) Lihatlah hasil pengukuran dengan melihat hasil angka pada mistar vertikal
(pertemuan antara mistar horizontal dan vertical). Hasil pembacaan
ditambahkan dengan angka 5 cm, karena diasumsikan jarak antara angel of
Louis dengan atrium kanan adalah sekitar 5 cm.
15) Nilai normal dari pengukuran JVP adalah kurang dari 8 cmH2O.
16) Setelah selesai, dokumentasikan hasil, kemudian bereskan alat dan setelah
itu lakukan cuci tangan.
17) Lakukan terminasi ke pasien.

B. Pemeriksaan Fisik Payudara


1. Anatomi dan Fisiologi Payudara
Payudara sebagai kelenjar subkutis mulai tumbuh sejak minggu keenam masa
embrio yaitu berupa penebalan ektodermal sepanjang garis yang disebut garis susu
yang terbentang dari aksila sampai regio inguinal. Beberapa hari setelah lahir, pada
bayi dapat terjadi pembesaran unilateral atau bilateral diikuti dengan sekresi cairan
keruh (mastitis neonatorum), yang disebabkan oleh berkembangnya sistem duktus
dan tumbuhnya asinus serta vaskularisasi pada stroma yang dirangsang secara tidak
langsung oleh tingginya kadar estrogen ibu di dalam sirkulasi darah bayi.
a. Anatomi
Normalnya kelenjar payudara rudimenter pada anak-anak dan laki-laki.Pada
wanita pertumbuhan mulai saat pubertas. Kelenjar susu bentuknya bulat,
merupakan kelenjar kulit atau apendiks kulit yang terletak di fasia pektoralis.
Payudara kiri biasanya lebih besar daripada payudara kanan.Pada bagian lateral
atas, jaringan kelenjar ini keluar dari bulatannya ke arah aksila, disebut
penonjolan Spennce atau ekor payudara.Setiap payudara terdiri dari 15-20 lobulus
kelenjar, yang menyalurkan ekskresinya ke duktus laktiferus pada papila mamae.
Kelenjar lemak memenuhi di antara kelenjar susu dan fasia pektoralis serta di
antara kulit dan kelenjar, sehingga kelenjar sulit untuk teraba. Di antara lobulus
tersebut ada jaringan ikat yang disebut ligamentum Cooper yang memberi rangka
untuk payudara.Papila mamae bentuknya silinder dan letaknya di tengah
payudara.Papila mamae dikelilingi oleh areola mamae.Warna kulit areola mamae
berkerut dan lebih berpigmen tergantung dari jenis warna kulit individu.
Penyaliran limfe dari payudara kurang lebih 75% ke aksila, sebagian lagi ke
kelenjar parasternal, terutama dari bagian yang sentral dan medial dan ada pula
penyaliran ke kelenjar interpektoralis. Di aksila terdapat rata-rata 50 buah kelenjar
getah bening yang berada di sepanjang arteri dan vena brakhialis.Saluran limfe
dari payudara ke aksila, menyalir ke kelompok anterior aksila, kelompok sentral
aksila, kelenjar aksila bagian dalam, dan berlanjut ke kelenjar servikal bagian
kaudal dalam di supraklavikular.
b. Fisiologi
Payudara mengalami perubahan mulai dari masa hidup anak melalui masa
pubertas, fertilitas dan klimakterium-menopause.Sejak pubertas, pengaruh
estrogen dan progesteron yang diproduksi ovarium dan hormon hipofise telah
menyebabkan duktus dan asinus berkembang.Perubahan semasa masa fertilitas
sesuai dengan siklus menstruasi.Sekitar hari kedelapan menstruasi payudara
menjadi lebih besar dan pada beberapa hari sebelum menstruasi berikutnya terjadi
pembesaran maksimal.Kadang-kadang timbul benjolan yang nyeri dan tidak
rata.Waktu pemeriksaan payudara yang tepat berdasarkan siklus fisiologis wanita
adalah setelah menstruasi, dimana payudara tidak tegang dan nyeri dan mencegah
pemeriksaan yang false positif.Pada kehamilan dan menyusui, payudara menjadi
besar karena kelenjar mengalami hipertropi.
2. Teknik Pemeriksaan Fisik Payudara
Pemeriksaan fisik payudara adalah pemeriksaan yang dilakukan pada daerah
torakal yang terletak secara bilateral pada dinding anterior diantara spasium
interkostalis kedua sampai keenam atau ketujuh dengan diinspeksi dan dipalpasi.
Inspeksi payudara dan puting susu serta palpasi payudara dan area nodus limfe.
Payudara dibagi dalam empat kuadran oleh garis horisontal dan vertikal yang
melalui papilla mamae (kuadran kanan atas, kanan bawah, kiri atas dan kiri bawah).
Untuk menunjukkan lokasi lesi pada payudara dapat ditunjuk dengan jam dan dengan
jarak tertentu dalam sentimeter dari papila mamae.
Alat untuk pemeriksaan fisik payudara :
a. Senter
b. Bantal kecil
c. Kain dan handuk yang dilipat
d. Penggaris
e. Fiksasi sitologis
f. Slide untuk rabas putting

Langkah-langkah melakukan pemeriksaan fisik payudara :


a. Pada Wanita
1) Inspeksi
a) Posisi duduk tegak, kedua lengan menggantung di samping badan.
b) Amati payudara secara keseluruhan :
(1) Bentuk kedua payudara
(2) Ukuran dan simetrinya, apakah terdapat perbedaan ukuran mamae,
areola mamae dan papila mamae.
(3) Warna kulit, adakah penebalan atau udem, adanya kulit berbintik seperti
kulit jeruk, ulkus, gambaran pembuluh darah vena.
(4) Adakah tampak massa, retraksi/lekukan, tonjolan/benjolan.
(5) Papila mamae diamati :
(a) Ukuran dan bentuk
(b) Arahnya
(c) Ujud kelainan kulit atau ulserasi
(d) Discharge
c) Posisi mengangkat kedua lengan di atas kepala dan Posisi kedua tangan di
pinggang. Kedua posisi ini adalah untuk melihat lebih jelas adanya kelainan
retraksi atau benjolan. Amati sekali lagi bentuk payudara, perubahan posisi
dari papila mamae, lokasi retraksi, benjolan
d) Posisi duduk/berdiri dengan membungkukkan badan ke depan, bersandar
pada punggung kursi atau lengan pemeriksa. Posisi ini diperlukan jika
payudara besar atau pendular. Payudara akan bebas dari dinding dada,
perhatikan adakah retraksi atau massa.
2) Palpasi

Penderita diminta berbaring, jika payudara tidak mengecil, tempatkan bantal


tipis di punggung, sehingga payudara terbentang rata dan lebih memudahkan
menemukan suatu nodul.Palpasi dilakukan menggunakan permukaan volar tiga
jari yang ditengah, dengan gerakan perlahan-lahan.memutar menekan secara
halus jaringan mamae terhadap dinding dada. Lakukan palpasi pada setiap
kuadran, payudara bagian perifer, kauda aksilaris dan areola mamae,
bandingkan payudara kanan dan kiri. Bila ditemukan adanya nodul perhatikan
dan catat :
a) Lokasi, dengan cara menggunakan kuadran atau jam dengan jarak berapa
centimeter dari papila mamae.
b) Ukuran (cm)
c) Bentuk, bulat/pipih, halus/berbenjol-benjol
d) Konsistensi, kenyal/keras
e) Batas dengan jaringan sekitar, jelas atau tidak
f) Nyeri tekan atau tidak
g) Mobilitas terhadap kulit, fascia pektoralis dan dinding dada di sebelah
bawahnya.
Palpasi papila mamae, tekan papila dan areola mamae sekitar dengan ibu jari
dan telunjuk, perhatikan adakah pengeluaran discharge. Jika dijumpai
discharge atau riwayat mengeluarkan discharge, coba cari asalnya dengan
menekan areola mamae dengan ibu jari dan telunjuk dan pada sebelah radial
sekitar papila mamae. Perhatikan adakah discharge yang keluar dari salah satu
duktus papila mamae.

b. Pada Pria
Karena rudimenter, pemeriksaan payudara pada pria lebih mudah daripada
wanita. Prinsip pemeriksaannya sama dengan wanita. Pembesaran payudara bisa
terjadi pada laki-laki mulai dari usia muda sampai tua, yang biasanya disebabkan
karena pengaruh hormonal. Pemeriksaan :

a) Inspeksi
Inspeksi papila mamae dan areola mamae, adakah ulserasi, nodul atau
pembengkakan.
b) Palpasi
Palpasi areola mamae, adakah nodul ditemukannya karsinoma mamae,
kemungkinan sudah terjadi metastasis ke limfe nodi regional.Posisi penderita
duduk, kedua lengan rikleks di samping badan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemeriksaan fisik leher Pemeriksaan fisik payudara adalah pemeriksaan yang
dilakukan pada daerah torakal yang terletak secara bilateral pada dinding anterior
diantara spasium interkostalis kedua sampai keenam atau ketujuh dengan di inspeksi
dan di palpasi. Inspeksi payudara dan puting susu serta palpasi payudara dan area nodus
limfe.
Payudara dibagi dalam empat kuadran oleh garis horisontal dan vertikal yang
melalui papilla mamae (kuadran kanan atas, kanan bawah, kiri atas dan kiri bawah).
Untuk menunjukkan lokasi lesi pada payudara dapat ditunjuk dengan jam dan dengan
jarak tertentu dalam sentimeter dari papila mamae.
Normalnya kelenjar payudara rudimenter pada anak-anak dan laki-laki.Pada wanita
pertumbuhan mulai saat pubertas. Kelenjar susu bentuknya bulat, merupakan kelenjar
kulit atau apendiks kulit yang terletak di fasia pektoralis. Papila mamae bentuknya
silinder dan letaknya di tengah payudara.Papila mamae dikelilingi oleh areola
mamae.Warna kulit areola mamae berkerut dan lebih berpigmen tergantung dari jenis
warna kulit individu.Payudara mengalami perubahan mulai dari masa hidup anak
melalui masa pubertas, fertilitas dan klimakterium-menopause.Sejak pubertas, pengaruh
estrogen dan progesteron yang diproduksi ovarium dan hormon hipofise telah
menyebabkan duktus dan asinus berkembang.Perubahan semasa masa fertilitas sesuai
dengan siklus menstruasi.

B. Saran
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, perawat harus mampu mengenali tanda-tanda
dari fungsi fisiologis organ yang dikaji, sehingga mampu membedakan tanda-tanda
normal dan abnormal serta mampu menilai secara kuantitas dan kualitas terhadap
hasil/respon yang diperoleh.Perawat juga sebaiknya memodifikasi lingkungan dengan
baik sehingga mendukung jalannya pemeriksaan fisik. Keakuratan data sangat
mempengaruhi proses keperawatan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Buku Manual Skills LabKetrampilan Pemeriksaan Fisik Sistem


Kardiovaskuler. Surakarta: Tim Ilmu Penyakit Jantung Universitas Sebelas Maret.

Anonim. 2012. Modul Pemeriksaan Fisik Sistem Kardiovaskuler. Purwokerto: Fakultas


Kedokteran Universitas Jendral Soedirman.

Audrey, Berman, dkk. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Ed.5. Jakarta: EGC.

Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates
Ed.5.Jakarta: EGC.

Burnside, John W. dan Thomas J. McGlynn.1995. Diagnosis Fisik Ed.17.Jakarta: EGC.

Ganong, William. 2005. Medical Physiology. San Fransisco : Lange

Gleadle, Jonathan. 2005. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Goodner, Brenda. 1995. Panduan Tindakan Keperawatan Klinik Praktis. Jakarta: EGC.

Guyton dan Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC

Potter, Patricia A. 1996. Pengkajian Kesehatan Ed.3.Jakarta: EGC.

______. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Ed.4.
Jakarta: EGC.

Priharjo, Robert. 2007. Pengkajian Fisik Keperawatan Ed.2.Jakarta: EGC.

Swartz, Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik.Jakarta: EGC.

DAFTAR PUSTAKA

Albert, Todd J dan Alexander R. Vaccaro. 2013. Pemeriksaan Fisik Saraf Spinal.

Jakarta: Erlangga.
Bontrager, Kenneth L dan John P. Lampignano. 2014. Textbook of Radiographic
Positioning and Related Anatomy. St Louis: Elsevier Mosby.
Ciaccio, E. Di, dkk. 2012. Herniated Lumbar Disc Treated With Global Postural
Reeducation. A Middle-term Evaluation. European Review For Medical and
Pharmalogical Sciences, 16:1072-1077.

DepKes. 2013. Peraturan MenKes No. 80 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan


Praktik Fisioterapi. Jakarta.

Early, Mary Beth. 2013. Physical Dysfunction Practile Skill for the Occupational
Therapy Assistant. USA: Elsevier Mosby.

Eidelson, G Stewart. 2014. Anatomy Thoracic Spine. Diakses 14 juni 2014.


http://www.spineuniverse.com/anatomy/thoracic-spine.

Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy. Eleventh edition. Blackwell: Australia


Fairchild, Sheryl L. 2013. Principles & Techniques of Patient Care. China: Elsevier

Mosby.
Gibson, John. 2003. Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Helmi Zairin, N, 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba


Medika.

Jhonson, Joshua. 2012. Funcional Rehabilitation of Low Back Pain With Core
Stability Exercise: Suggestion for Exercise and Progressions in Athletes.
Tesis. Logan, Utah State University.

Kisner, Carolyn. 2007. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques. USA:


Philadelphia.

Lotke, Paul A dkk. 2008. Lippincott’s Primary Care Orthopaedics. China:


Philadelphia.

Magee, David J. 2014. Ortopedic Physical Assesment. Canada: Elsevier Mosby.


Moore, Keith L dan A. M. R. Agur. 2013. Clinically Oriented Anatomy.

Philladhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.


Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Norris, Christopher M. 2008. Back Stability. USA: Human Kinetics.

Parjoto S,2006 ; Terapi Listrik Untuk Modulasi Nyeri. Semarang ; IFI


Semarang Paulman, Paul M dkk. 2012. Signs and Symptoms in Family
Medicine. Phyladelphia:
Elsevier Mosby.
Pooler, Charlotte. 2009. Porth Pathophysiology: Concepts of Altered Health
States.

Wolters Kluwer Health: Lippincott Williams & Wilkins.


Reese, Nancy Berryman dan William D. Bandy. 2010. Joint Range of Motion
Muscle Length Testing. Canada: Elsevier Mosby.

Schenck, Robert C. 2005. Athletic Training and Sports Medicine. USA:


American Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Silverthorn, Dee Unglaub. 2013. Fisiologi Manusia. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
Singh, Jagmohan. 2011. Manual of Practical Electrotherapy. USA: Jaypee
Brothers Medical Publishers.

Uripi, Vera. 2005. Menu Untuk Penderita Kanker. Jakarta:


Puspa Swara. Pearce, Colby. 2009. Basic Science of Spinal
Diseases. Canada: Jeepe.

Putz, R dan Pabst R. 2012. Atlas Anataomi Manusia Sobota. Dialih


Bahasakan oleh Y Joko S, Jakarta : EGC.
Wardhani, Indah Retno dkk. 2011. Kekuatan Otot dan Mobilitas Usia Lanjut
Setelah LatihanPenguatan Isotonik Quadriceps Femoris di Rumah.
Jakarta: Maj. Kedokt Indon.

William, Lippincot dan Wilkins. 2008. Occupational Therapy for


Physical Dysfunction. USA: Phyladelphia.

William, Lippincott dan Wilkins. 2008. Lippincott’s Primary Care


Orthopaedics.

USA: Philadelphia.
Wiyanto, Bambang T. 2012. Instrument pemeriksaan fisioterapi dan
penelitian kesehatan. Yogyakarta: Nuha medika

Anda mungkin juga menyukai