Anda di halaman 1dari 13

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus yang terletak di bel

akang rongga hidung diatas tepi bebas palatum molle yang berhubungan denganrongg
a hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustasius. Atap
nasofaringterbentuk dari dasar tengkorak dan tempat keluar dan masuknya syaraf otak
dan pembuluh darah. Nasofaring diperadarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yait
ufaringeal ascenden dan descenden serta cabang faringeal arteri sfeno palatine. Darah
venadari pembuluh darah balikfaring pada permukaanluar dinding muskulermenuju
pleksus pterigoid dan vena jugularis interna.

Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring


dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia (Soepardi et. al, 2001). KNF dapat terjadi pada
setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah usia 20 tahun dan usia
terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan
perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika
Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Syarikat adalah kurang
dari 1 dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009). Disebahagian provinsi di
Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per 100.000 penduduk.
Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou,dilaporkan
sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden tetap tinggi untuk
keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini
menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan
dengan lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Nasional
Cancer Institute, 2009). Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar
tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang
Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan KNF (Nasir, 2009). Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980
menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun
(Punagi,2007).
Punagi AQ. 2007. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Receptor
(VEGFR) danLatent Membrane Protein (LMP-1) pada Karsinoma Nasofaring.
Otorhinolaryngologica Indonesia, Vol. XXXVII (4): 31-6.

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan


terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih
menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA
(human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka
berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir,
2009) .

Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan


berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang
menyempit yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring
merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris
dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada
dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior
merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius,
sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada
supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur
nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor
faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian
anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago
yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis
karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena
merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel,
1989).

Gustafson, RO dan Neel, HB 1999, Cancer of the nasopharynx, IN: Myers


EN, Suen JY, ed. Cancer of the head and neck, 2nd ed, Churcill livingstone,
New York, pp. 494-508
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi
tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran
histologinya karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel
berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah
diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat
heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas.
Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa
keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan
mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis
karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif
dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida,
2007 dan Nasir, 2009).

Roezin A. 1995. Deteksi dan Pencegahan Karsinoma


Nasofaring.Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker. Perhimpunan
Onkologi Indonesia: 274-88.

KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan


pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida,
2007). Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini
merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang
telinga dengan akibat gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009). Gejala pada hidung adalah epistaksis
akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini
biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur
dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung
yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan
menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan
hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena
juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita
radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009 ).

Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan

dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr

(Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis

kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial

ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi

kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat

dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan

titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).

EFIATY ARSYAD SOEPARDI & NURBAITI ISKANDAR. BUKU


AJAR ILMU KESEHATAN : TELINGA HIDUNG TENGGOROK
KEPALA LEHER. JAKARTA : BALAI PENERBIT FKUI; 2001
Virus Epstein-Barr (EBV), juga disebut Human herpes virus 4 (HHV-4), adalah suatu
virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan
Cytomegalovirus),yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam
manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi
biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. EBV dinamai menurut
Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan Bert Achong,
memukan virus tahun 1964. EBV adalah suatu virus herpes yang replikatreplikat
utamanya ada di beta-lymphocytes tetapi juga ada di dalam sel epitelium
kerongkongan dan saluran parotid. Penyebaran infeksi ini biasanya melalui air liur,
dan masa inkubasinya adalah empat-delapan minggu. Untuk infeksi akut, antibodi
heterophile yaitu dengan melekatkan eritrosit domba yang dihasilkan. Proses ini
merupakan dasar pembentukan perpaduan getah Monospot cepat Antibodi kepada
antigen kapsid viral (yaitu., VCA-IGG dan VCA-IgM) dihasilkan sedikit lebih cepat
dari antobodi heterophile dan lebih spesifik untuk infeksi EBV. Viral VCA-IgG
sebelumnya ada untuk infeksi akut dan penkembangan imunitas.

Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui
saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. (16,17). Kegagalan
imunitas spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang
berkaitan dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa
manifestasi klinik.

Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel
yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai
protoonkogen yang merangsang sel menjalani dan gen penekan tumor (TSGs)
yang menghambat penghentian proses siklus sel.

. Virus dapat melaksanakan banyak program yang terpisah secara jelas dan
ekspresi gen yang dapat tersebar luas yang digolongkan menjadi siklus
lisis atau siklus tersembunyi. Siklus tersembunyi atau infeksi produktif
mengakibatkan ekspresi yang sudah dijadwalkan sebelumnya akan terjadi
sejumlah besar protein-protein viral dimana sasaran terakhirnya akan
menghasilkan virion-virion yang cepat menyebar. Secara formal, tahap
infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan dari terjadinya lisis dari
sel tuan rumah (host) ketika virion-virion EBV dihasilkan oleh pertunasan
dari siklus sel. Siklus tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic) dimana
program-program mereka tidak mengakibatkan produksi virion-virion.
Sangat dibatasi, himpunan terpisah dari protein-protein viral dihasilkan
selama infeksi siklus yang tersembunyi. Ini termasuk Epstein-Barr antigen
nuklir (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA- 3A, EBNA-3B, EBNA-3C, EBNA-LEADER protein
(EBNA-LP) dan protein-protein selaput tersembunyi (LMP)-1, LMP-2A dan
LMP-2B dan Epstein-Barr menyandi RNAs (EBERS). Sebagai tambahan, EBV
mengkode untuk sedikitnya dua puluh microRNAs yang dinyatakan di dalam
studi-studi tentang sel. Dari studi ekspresi gen EBV yang terinfeksi
secara tersembunyi di dalam lini sel limfoma yang dibiakkan Burkitt,
sedikitnya terdapat tiga program: • Hanya EBNA1 (group I) • EBNA1 + EBNA2
(group II) • Siklus protein-protein tersembunyi (group III). Hal ini juga
mendalilkan bahwa suatu program di mana semua ekspresi protein karena
virus ditutup. Saat EBV terinfeksi B-lymphocytes in vitro, lini sel
limfoblastoid pada akhirnya muncul yang membuat pertumbuhan yang tak
tentu. Perubahan bentuk pertumbuhan lini sel ini sebagai konsekuensi dari
ekspresi protein viral. EBNA-2, EBNA-3C dan LMP-1 adalah penting bagi
perubahan bentuk selama EBNA-LP dan EBERs itu bukan. protein EBNA-1 adalah
penting bagi pemeliharaan virus genome. Didalilkan bahwa dalam hal untuk
mengikuti infeksi alami EBV, virus melaksanakan sebagian besar atau semua
repertoire ekspresi program gen untuk menetapkan suatu infeksi yang
sebenarnya. Absennya imunitas host/tuan rumah, daur lisis menghasilkan
sejumlah virus untuk menginfeksi yang lain (kiranya) Blymphocytes di
dalam program-program host. Program tersembunyi muncul lagi dan mematikan
B-lymphocytes yang terinfeksi untuk berkembang biak serta membawa sel-sel
yang terinfeksi di lokasi-lokasi di mana virus terdapat. Pada akhirnya,
ketika imunitas host berkembang, virus tetap pada tuntutannya untuk
mematikan hampir semua (atau mungkin semua) gen, hanya adakalanya virus
aktif untuk menghasilkan virion-virion segar. Suatu keseimbangan pada
akhirnya diserang antara pengaktifan kembali virus dan virus host karena
keseimbangan pada akhirnya diserang antara selsel yang dilepaskan dan sel
host aktif yang kebal viral mengaktifkan kembali ekspresi gen.
Tempat-tempat keberadaan EBV ada di sumsum tulang. Pasien-pasien yang
positif EBV pasti mempunyai sumsum tulang mereka sendiri yang digantikan
dengan sumsum tulang penderita EBV-negative dipastikan bahwa EBV-akan
negative setelah pencangkokan.

Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta.

Virus Epstein-Barr (VEB) diidentifikasi pertama kali tahun 1964 oleh


Anthony Epstein. Achong dan Yvonne Barr pada cell line dari spesimen
Burkit’s lymphoma dengan menggunakan mikroskop elektron. Kemudian
ditemukan Burkit bahwa serum penderita dengan limfoma, mempunyai titer
antibodi lebih tinggi terhadap VEB dibandingkan dengan kontrol tanpa
limfoma (Thomson et al, 2004). Virus Epstein-Barr (VEB) adalah herpes
virus umum yang merupakan penyebab infeksi mononucleosis akut dan salah
satu factor etiologi pada karsinoma nasofaring, karsinoma gaster, dan
limfoma Burkitt. Genom DNA VEB adalah double-stranded, mengandung 173 kbp
dan memiliki kandungan guanine-plus-sitosin sebesar 60%. VEB mempunyai
komponen inti, kapsul dan selaput pembungkus. Didalam inti terdapat DNA,
dan inti dikelilingi oleh kapsul yang disebut kapsomer. Inti dan kapsul
dikelilingi selaput pembungkus glikoprotein yang disebut envelope
(Zurhausen et al, 1970; Pathmanan dan Raab-Traub, 1999). VEB merupakan
virus yang terdapat dimana-mana dan menyebar melalui penularan antar
manusia. Infeksi primer oleh virus Epstein-Barr terjadi pada masa
kanak-kanak, menimbulkan gejala yang ringan seperti demam dan faringitis
dan dapat sembuh dengan sendirinya. Biasanya virus Epstein-Barr setelah
menginfeksi akan hidup secara menetap di dalam sel induk (Thomson et al,
2004)

Berdasarkan struktur dan sifat imunologinya virus Epstein-Barr


digolongkan ke dalam keluarga Human Herpes Virus, sub famili Gamma Herpes
Virus dan Genus Lymphokriptovirus. Epstein-Barr Virus (VEB) dimasukkan
dalam genus tersebut karena mempunyai kemampuan untuk menginfeksi dan
menetap di sel limfosit hostnya serta menginduksi proliferasi sel yang
terinfeksi secara laten (Paul, 2001). Struktur VEB adalah toroid, dengan
panjang 184 kb, nukleokapsid, protein tegument dan envelop di bagian
luarnya. Protein envelop yang paling banyak adalah bp 350/220. Genom VEB
berupa DNA berbentuk linier dan double stranded dan dapat mengkode kurang
lebih 100 macam protein. Kapsid dibentuk dari kulit protein (C protein)
yang ikosahedral. Kapsid ini dikelilingi oleh lapisan lipid yang saling
berdekatan dan mengandung tiga protein (E1, E2, dan E3). Didalam kapsid
terdapat nukleokapsid dengan 162 kapsomer, tiap-tiap kapsomer terdiri
dari protein. Tegumen terdapat di luar nukleokapsid merupakan lapisan
amorf dengan struktur yang fibrous. Tegumen ini berada diantara
nukleokapsid dan envelop. Di luar permukaan envelop mengandung banyak
spike yang terdiri dari glikoprotein (Thomson et al, 2004).

VEB dapat berbentuk linear pada virion yang matur dan bentuk episomal
sirkuler pada sel yang terinfeksi secara laten. Waktu VEB menginfeksi sel,
maka DNA sel akan menjadi bentuk episome sirkuler dengan sejumlah
pengulangan pada terminal, tergantung dari jumlah pengulangan terminal
dalam gen induk. Jika infeksi meluas, maka terjadi infeksi laten tetapi
tidak terjadi replikasi (Thompson et al, 2004).

VEB menginfeksi hanya dua bagian tipe sel utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel darah putih jenis limfosit B. Infeksi VEB pertama
berkembang di dalam kelenjar saliva. Jumlah virus banyak dilepas ke dalam
saliva, dan dapat menyebar dari satu orang ke orang lainnya. Infeksi di
dalam sel B mengakibatkan virus berproliferasi. Proses proliferasi sel
virus ini dikontrol oleh sistem imun sel T sitotoksik (CTL). Ini dapat
mengakibatkan infeksi mononukleosis yang biasanya terjadi pada dewasa
muda. Jika respon imun bekerja tidak baik, maka pada individu yang
terinfeksi dengan VEB ini merupakan resiko untuk terbentuknya sel kanker
(Margaret, 2001).

Pengetahuan mengenai siklus hidup VEB penting untuk lebih mengerti


dan mengetahui gejala klinis serta diagnostik VEB. Setelah masuk ke dalam
tubuh melalui kontak saliva virus Epstein-barr akan menginfeksi sel B dan
virus akan mengalami proliferasi dan dapat mempertahankan hidupnya di sel
B. VEB seperti golongan virus Herpes lainnya menghasilkan infeksi yang
lisis dan juga dapat menetap di dalam tubuh yang terinfeksi dengan
menginfeksi secara laten (Damania, 2004).

VEB menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B melalui reseptor


reseptor CR2 (complemen receptor type 2) atau molekul CD21 yang dapat
berikatan atau menangkap VEB (Young et al, 1986). Molekul-molekul
reseptor untuk setiap jenis virus berbeda-beda yaitu berupa protein atau
oligosakarida, dan terdapat pada membrane sel. Ada atau tidaknya reseptor,
memainkan peran penting dalam menentukan pathogenesis virus. Pengikatan
reseptor dianggap menggambarkan homologi konfigurasi antara struktur
permukaan virus dan komponen permukaan sel. VEB dapat dikultur dari darah
tepi dan dapat juga dideteksi pada cairan saliva selam bertahun-tahun.
VEB akan melakukan replikasi di dalam sel epitel orofaring, kelenjar
parotis dan servik uteri (Billaut et al, 1989). Percobaan invitro
membuktikan bahwa virus ini merupakan activator proliferasi poliklonal
sel B, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal,
selanjutnya mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon
seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA
tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebut lah yang
dapat memperantarai penolakan terhadap tumor ganas tersebut in vivo
(Jawetz et al, 1996). Oleh sebab itu, untuk mengatasi infeksi VEB
diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi
respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara
laten mengalami transformasi ganas (Abbas dan Lichtman, 2000). VEB
dihubungkan dengan beberapa tumor ganas pada manusia dan berhubungan erat
serta konsisten dengan KNF (Anim et al, 1991; Vasef et al, 1997; Popat
et al, 2000).

Pada infeksi primer VEB, diproduksi tiga antibodi yaitu IgG, IgM, IgA
untuk melawan Viral Capsid Antigen (VCA) dari VEB, dua antibodi IgG dan
IgA diproduksi untuk melawan Early Antigen (EA) D, serta satu antibodi
IgG untuk merespon Early Antigen (EA) R (Thompson and Kurzrock, 2004).Pada
masa laten, VEB menghasilkan enam protein nuklear antigen (EBNA 1, 2, 3A,
3B, 3C, dan LP), dan tiga Laten membran Protein (LMP1, 2A, 2B), serta dua
VEB NonPolyadenylated RNAs (EBERs) (Zheng et al, 2007). Didalam sel
limfosit B, setelah VEB berikatan dengan reseptor CD21, maka VEB akan
masuk ke dalam sel host dan akan mengalami penetrasi secara komplit. Virus
akan keluar dari sel yang mati dan akan menginfeksi sel yang lain.

Di dalam sel tersebut virus mengalami replikasi dan akan dihasilkan


genom virus dengan double strand yang linier, dimana sebelumnya genom
virus berbentuk sirkuler. Fase lisis ini ditandai oleh ekspresi dari
transkripsi protein virus yaitu salah satunya adalah viral capsid antigen
(VCA) (Damania, 2004).

Infeksi laten berasal dari kontak saliva, dimana VEB akan menginfeksi
sel limfosit B dan akan menghasilkan sejumlah protein laten yaitu EBNA-1,
EBNA-2, EBNA- 3 dan tiga protein membrane yaitu LMP-1, LMP-2A, dan LMP-2B
(Paul, 2001). Infeksi VEB pada sel B dimulai dengan penyerangan virus
membran dengan 350/220 bp yang mengandung glikoprotein terhadap komplemen
reseptor (molekul CD21) limfosit. Sebagai ko reseptor masuknya EBV ke
dalam sel B adalah Major Histocompatibility Complex (MHC) molekul kelas
B. Setelah penyerangan ini kompleks CD 21 menjadi cross link, mentrigger
sinyal aktifasi yang diduga untuk mempersiapkan sel yang terinfeksi EBV.
EBV yang berikatan dengan CD21 segera mengaktifkan tirosin kinase lck dan
memobilisasi kalsium. Hal ini akan diikuti oleh meningkatnya sintesis
dari mRNA, pembentukan sel blast, adhesi sel homotypik dan ekspresi CD23
ke permukaan sel limfosit kemudian akan dihasilkan interleukin (IL)-6.
Genom virus kemudian menjadi tidak mempunyai penutup (uncoating) dan akan
menuju nukleus yang merupakan tempat virus bersirkulasi. Sirkulasi dan
ekspresi dari W promoter memulai cascade untuk mengekspresikan protein
EBNA dan dua protein membran laten (LMP). Gen virus yang diekspresikan
ini mempertahankan genom virus tetap hidup di dalam sel limfosit B. Di
dalam sel limfosit B EBV akan hidup secara laten untuk kelangsungan
hidupnya (latensi II) dan dapat juga hidup secara persisten (latensi I)
(Christian et al, 2000).

Thompson, M.P. et al., 2004. Epstein-Barr Virus and Cancer


Epstein-Barr Virus and Cancer. , pp.803–821.

Zur Hausen, H., H. Schulte-Holthausen, G. Klein, W. Henle, G. Henle,


P. Clifford & L. Santesson., (1970). EBV DNA in biopsies of Burkitt tumors
and anaplastic carcinomas of the nasopharynx. Nature 228: 1056-1058.

Fachiroh J., Schouten T., Hariwiyanto B., Paramita D.K., Harijafi A.,
Haryana S.M., Mun H., & Middledorp J.M. 2004. Molecular Diversity of
Epstein-Barr Virus IgG and IgA antibody Responses in Nasopharyngeal
carcinoma. 190, pp: 53-62.

Damania, B. 2004. Human Gammanherpesviruses: EBV and HHV-8. Fields


Virology, 4th edition, chapter 74, 75, and 82. Nature. 2:656.

Busson, P., R. McCoy, R. Sadler, et al., (1992). Consistent


transcription of the EpsteinBarr virus LMP2 gene in nasopharyngeal
carcinoma. Journal of Virology 66(5): 3257-3262.

Ordonez, B. P., (2007). An update on Epstein-Barr virus and


nasopharyngeal carcinogenesis. Head and Neck Pathology 1: 141-145
Christopher W. Dawson, Rebecca J. Port, Lawrence S. Young., (2012).
The role of the EBV-encoded latent membrane proteins LMP1 and LMP2 in
the pathogenesis of nasopharyngeal carcinoma (NPC). Seminars in Cancer
Biology 22: 144–153.

Polymerase Chain Reaction adalah teknik biologi molekuler untuk


mengamplifikasi sekuen DNA spesifik menjadi ribuan sampai jutaan kopi
sekuen DNA. Teknik ini menggunakan metode enzimatis yang diperantarai
primer. Prinsip dasar PCR adalah sekuen DNA spesifik diamplifikasi
menjadi dua kopi selanjutnya menjadi empat kopi dan seterusnya. Pelipat
gandaan ini membutuhkan enzim spesifik yang dikenal dengan polimerase.
Polimerase adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal,
membentuk untaian molekul DNA yang panjang. Enzim ini membutuhkan primer
serta DNA cetakan seperti nukleotida yang terdiri dari empat basa yaitu
Adenine (A), Thymine (T), Cytosine (C) dan Guanine (G) (Gibbs 1990).
Reaksi amplifikasi ini dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan
yang berantai ganda menjadi rantai tunggal, kemudian suhu diturunkan
sehingga primer akan menempel (annealing) pada DNA cetakan yang berantai
tunggal. Setelah proses annealing, suhu dinaikkan kembali sehingga enzim
polimerase melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru. Rantai DNA
yang baru tersebut selanjutnya sebagai cetakan bagi reaksi polimerase
berikutnya.

Proses amplifikasi RNA didahului dengan siklus reverse transcriptase


(RT) yang berlangsung pada suhu 42-55oC. Proses PCR dibagi menjadi tiga
tahap. Pertama, denaturasi cetakan DNA beruntai ganda pada suhu di atas
90oC sehingga menjadi DNA cetakan berantai tunggal. Kedua, penempelan
(annealing) primer oligonukleotida ke DNA cetakan beruntai tunggal
biasanya pada suhu 50-60oC sehingga primer akan membentuk jembatan
hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan
sekuen primer. Suhu dimana primer annaeling biasanya diistilahkan dengan
Tm. Ketiga, perpanjangan atau ekstensi fragmen DNA dengan enzim
polimerase dan primer untuk menghasilkan kopi DNA yang dapat berfungsi
sebagai DNA cetakan untuk siklus selanjutnya yang berlangsung pada suhu
70-78oC. Kedua DNA cetakan asli dan target yang teramplifikasi
selanjutnya berfungsi sebagai substrat untuk proses denaturasi,
penempelan primer dan perpanjangan fragmen DNA. Berdasarkan teori, setiap
siklus akan menggandakan jumlah kopi target DNA sehingga terjadi
amplifikasi geometri. Amplifikasi DNA target sebanyak 25 siklus akan
menghasilkan 33 juta kopi. Setiap penambahan 10 siklus menghasilkan 1024
lebih kopi. Rataan perubahan suhu atau tahapan lamanya inkubasi di setiap
suhu dan jumlah waktu setiap siklus yang diulang, dikontrol dengan suatu
program dari alat thermal cycler. Jumlah siklus amplifikasi PCR harus
dioptimasi tergantung pada konsentrasi awal DNA target

Hewajuli, Dyah Ayu. & Dharmayanti. 2014. Perkembangan Teknologi


Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction dalam Mengidentifikasi
Genom Avian Influenza dan Newcastle Disease. Balai Besar Penelitian
Veteriner. Vol 24(1), pp. 16-26.

Anda mungkin juga menyukai