Anda di halaman 1dari 6

Menjelang semarak pesta rakyat dalam upaya menyukseskan Pilkada

Serentak 15 Februari 2017, banyak fenomena yang muncul.


Kemunculannya diprakarsai oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab.

Selain itu, praktik-praktik kecurangan Pilkada mulai bertebaran


menghiasi. Dimulai dari kampanye hitam, KTP-el ganda, dan adanya
kongkalikong penyelenggara pilkada.

Bahkan kreativitas dalam kecurangan meningkat, tidak hanya dilakukan


oleh para kontestan dan tim sukses, namun melibatkan oknum KPU
daerah hingga pemerintah. Praktik seperti ini rupanya tak pernah lepas
dari iklim demokrasi Indonesia.

Hampir setiap pesta rakyat digelar, kecurangan tersebut selalu terjadi.


Modus yang masih sama, yakni semata-mata memenuhi kepuasaan
semu dalam bentuk bagi-bagi kaos, uangm dan sembako kepada warga
yang bertujuan demi menyukseskan salah satu paslon.

Sayangnya tindakan tersebut melanggar asas pemilu dan etika


demokrasi. Apalagi, pada masa tenang ini, masih terdapat tangan-
tangan usil yang menyerang sesama calon.

Padahal seharusnya momen-momen ini menjadi bahan renungan dan


pertimbangan rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu
menyelesaikan problem Indonesia, khususnya di 101 wilayah peserta
Pilkada Serentak 2017.

Tulisan singkat ini akan memaparkan bagaimana mewujudkan pesta


rakyat yang berkualitas dan tetap menjunjung asas-asas pemilu untuk
mewujudkan pilkada yang aman, damai, dan tentram. Harapannya agar
pemilih baik pemula maupun dewasa tidak terjebak dengan berbagai
macam praktik kecurangan, istilahnya kembali membangun ruh
demokrasi melihat pemilu menjadi salah satu indikator prinsip-prinsip
demokrasi.

Semua kalangan begitu mengidamkan pesta rakyat kali ini diwarnai


antusiasme warga untuk menggunakan hak pilih, tidak golput, dan tetap
damai hingga penyelenggaraan pemilu usai. Terpenting, semua
kalangan baik kontestan, tim sukses, penyelenggara pemilu dan
masyarakat tetap memegang teguh asas pemilu LUBER JURDIL
“Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta Jujur, Adil”.

Semarak politik menjelang pilkada seolah menjadi sandiwara demokrasi


yang tak kunjung usai. Isu SARA terus mengakar dalam setiap momen-
momen sebelum pesta rakyat digelar.

Maka mulailah bertebaran istilah Islam garis keras, antikebinekaan,


sikap plin-plan pemerintah, dan isu terkait pernyataan memilih atas
dasar agama melanggar atau tidaknya konstitusi menghias jagat media
negeri dan dipandang sebagai black campaign.

Anehnya fokus dan lokus atmosfer seperti ini terpusat hanya di Pilkada
DKI Jakarta dan diklaim sebagai sumber kegaduhan politik. Ini lantaran
status Jakarta sebagai ibu kota yang menggambarkan sebagian
pelaksanaan politik Indonesia.

Jejak demokrasi
Apabila kembali kita memaknai jejak-jejak demokrasi, pemilu menjadi
ajang pesta rakyat dan bentuk ekspresi negara penganut demokrasi.
Sudah saatnya kita memutus berbagai macam penodaan demokrasi dan
kembali mewujudkan konsolidasi demokrasi.

Berbagai macam kecaman, hujatan dan istilah tak layak mengenai


upaya melemahkan eksistensi demokrasi harus diminimalisasi. Bentuk
tuduhan terkait intoleran, mengancam Pancasila, dan memecah belah
persatuan menjadi PR semua kalangan. Disusul isu hoax, money
politics, black campaign yang ikut mewarnai riuh rendah pilkada menjadi
momok terbesar bagi atmosfer demokrasi di negeri ini harus diperangi
oleh semua.

Robert A. Dahl dalam bukunya "On Democracy" mengemukakkan


karakteristik hakekat demokrasi salah satunya pemilihan yang bebas
dan fair. Lalu, Profesor Mirriam Budiardjo memaparkan bahwa pemilu
yang bebas menjadi ciri demokrasi konstutusional.

Hal ini menjadi patokan negara-negara demokrasi wajib menerapkan


kebabasan dan sikap fair (tidak memihak, sportif dan adil) dalam pesta
rakyat tahunan. Terutama bagi kelas-kelas menengah ke atas yang
sudah membekali pendidikan demokrasi dan paham dinamika politik
negeri sudah sepatutnya menghindari kecurangan dalam demokrasi.
Berbeda dengan kalangan kelas bawah yang selalu tergiur akan rayuan
semu menjelang pemilihan perlu dicerdaskan.

Salah satu tugas bersama untuk mewujudkan demokrasi substansial


dalam rangka konsolidasi demokrasi adalah mengokohkan ruh
demokrasi yang sempat melemah. Istilah ini mengindikasikan selama ini
yang berjalan hanya pada tatanan demokrasi elektoral salah satunya
terselenggaranya pemilu.

Namun pada tahap demokrasi substansial masih banyak kecacatan


karena kecurangan dalam pemilu telah mendarah daging dan seolah-
olah menjadi agenda rutin tahunan. Untuk mengembalikkan dan
membangun ruh demokrasi dapat diawali dengan pagelaran pesta
rakyat pilkada serentak secara bebas dan fair.

Hak pilih

Usahakan kita tidak golput. Karena satu suara warga sangat berharga
dibanding seribu pemilih golput. Bahkan disebut sebagai pihak
pecundang karena menjadi warga yang tidak ikut campur menentukan
praktik politik dan pemerintahan beberapa tahun kedepan.

Berdasarkan data KPU, pada penyelenggaraan pilkada serentak 2015


angka golput cukup tinggi sekitar 27,88 persen. Hal ini menandakan
banyak warga yang kurang peduli akan pelaksanaan demokrasi.

Biasanya golput disebabkan akibat faktor kemalasan, akses ke TPS


yang jauh, dan instruksi dari tokoh berpegaruh ormas tertentu. Pilihan
anda menentukan Indonesia ke depan.

Mulai saat ini diharapkan masyarakat mengingat dan menimbang visi


dan misi serta program kerja para pasangan calon. Buka pikiran dan
mata hati Anda lalu mulai tentukan pilihan tepat demi kemajuan dan
perbaikan negeri ini di masa mendatang.
Hindari isu-isu SARA, fanatisme identitas dan rayuan-rayuan maut
oknum anonim yang menyebarkan informasi palsu terkait paslon.
Terpenting ingat untuk hadir dan menggunakan hak pilih pada 15
Februari 2017 dan jangan lupa bawa surat keterangan (suket) pemilih
dan menunjukkan kepada panitia.

Berbagai macam kecurangan menjelang hari H akan terus terjadi dan


biasanya rakyat kelas bawah menjadi sasaran empuk para timses nakal.
Serangan fajar menjadi momok terbesar pemilu yang bebas dan fair.

Paling parah apabila masih ada kampanye hitam seperti pembagian


kupon gratis, embel-embel pelatihan gratis, dan tawaran uang yang
menggiurkan. Sikap kita seharusnya tetap konsisten dan tidak mencoba
memanfaatkan kesempatan dalam waktu yang sempit ini.

Tetaplah bersikap fair dan menjaga nilai-nilai dan etika pemilu. Pemilu
atau disebut pesta rakyat berarti momen di mana rakyat berbahagia dan
ikut terlibat dalam praktek demokrasi elektoral.

Maka sebisa mungkin hindari keburukan menjelang pemilihan dan pasca


Pemilu. Tepatnya pelaksanaan pemilu ini penuh kegaduhan politik dan
hukum akibat kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu
kepala daerah.

Disusul dengan berbagai aksi yang mengatasnamakan identitas


tertentu. Bahkan banyak survei yang menyatakan bahwa pilkada
cenderung akan terjadi dalam dua putaran, khususnya DKI Jakarta. Hal
ini ditakutkan akan terjadi persaingan yang sengit di kalangan kontestan
tersisa dan berdampak pada pendukung paslon.
Harapannya setelah pelaksaan pemilu semua kembali pada kondisi
aman, damai dan tentram serta semua sentimen identitas dan kalangan
tertentu memudar.

Masih tersisa sehari menjelang pesta rakyat digelar. Kaji dan tinjau
kembali semua visi-misi dan program kerja nyata para paslon dan
terpenting sambut dan berbahagia di momen indah nan langka ini.

Anda adalah hal berharga bagi republik ini, maka pilihlah pemimpin yang
mampu menyelesaikan permasalahan di depan mata, bukan yang
pandai berjargon atau menawarkan janji politik yang manis. Tapi pilihlah
pemimpin yang siap kerja nyata dan siap membuat republik ini berharga
di mata dunia.

Anda mungkin juga menyukai