Anda di halaman 1dari 17

REAKSI OBAT YANG TIDAK DIKEHENDAKI

DAN UJI KLINIK OBAT BARU


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi Terapan

Di Susun Oleh : Kelompok VIII (A)


Finti Muliati : 14340104
Yolanta Mogi Rema : 14340105
Nora Novita Ritonga : 14340106
Kiki Rizki Amelia : 14340107
Hulisra : 14340108

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FMIPA INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA SELATAN
MEI 2015

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“REAKSI OBAT YANG TIDAK DIKEHENDAKI DAN UJI KLINIK OBAT
BARU”. Dalam penyusunan makalah ini kami memperoleh bantuan dari beberapa
literatur yang kami dapat, dan kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen kami Ibu Dra. Sulina K, MS., Apt. yang telah memberikan
kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pembelajaran dan penulisan
makalah masih terdapat kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna
itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini dan dalam penyusunan
makalah selanjutnya.

Jakarta, Mei 2015


Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................... 1
I.1. Latar Belakang..................................................................................... 1
I.2. Tujuan.................................................................................................. 2
I.3. Rumusan Masalah................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 3
II.1. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (Adverse Drug Reactions).... 3
II.2. Uji Klinik Obat Baru.......................................................................... 7

BAB III KESIMPULAN.......................................................................... 13


III.1. Kesimpulan....................................................................................... 13
III.2. Saran.................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang 1, 3, 4


Keputusan penggunaan obat selalu memiliki pertimbangan antara
manfaat dan risiko. Salah satu tanggung jawab profesi seorang farmasis
adalah memberikan layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien, yang
disebut dengan pharmaceutical care (asuhan kefarmasian). Dalam terapi obat
pasien, seorang farmasis diharapkandapat mengidentifikasi masalah- masalah
yang berkaitan dengan penggunaan obat (Drug Related Problems) baik yang
telah terjadi atau yang berpotensi untuk terjadi, kemudian mengupayakan
penanganannya dan pencegahan terhadap masalah yang teridentifikasi.
Perkembangan pengetahuan dan ditemukannya obat-obat baru untuk
pengobatan, pencegahan, maupun diagnosis menuntut kita untuk lebih
mengetahui lebih banyak mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik dari
obat serta perlu dikakukan uji klinik untuk obat baru tersebut.
Selain efek yang diharapkan pada saat pemberian obat kepada pasien,
dapat pula terjadi reaksi yang tidak diinginkan, dengan kata lain adverse drug
reaction (ADR). Adverse drug reaction dapat timbul dari yang paling ringan
hingga dapat menjadi sangat berat yang dapat menimbulkan kematian.
Adverse drug reaction yang terjadi dapat memperburuk penyakit dasar
yang akan kita obati, menambah permasalahan baru dan bahkan kematian.
Keracunan dan syok anafilaktik merupakan contoh ADR yang berat yang
dapat menyebabkan kematian, sedangkan sebagai contoh yang ringan adalah
rasa gatal dan mengantuk.
Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan
efektifitas penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama
Apoteker dalam hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua
pasien mendapatkan pengobatan yang optimal.

1
I.2. Tujuan
1. Untuk mengetahui tipe reaksi obat yang tidak dikehendaki serta faktor
yang menyebabkan timbul reaksi obat yang tidak dikehendaki.
2. Untuk mengetahui bagaimana uji klinis pada suatu obat baru serta metode
uji klinis obat baru.

I.3. Rumusan Masalah


1. Bagamaiana tipe reaksi obat yang tidak dikehendaki dan apa faktornya?
2. Bagaimana metode pengujian suatu obat baru untuk mengetahui efek
terapinya?

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (Adverse Drug Reactions)


a. Definisi 4, 5
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) merupakan respon terhadap
obat adalah respon terhadap obat yang sering berbahaya dan tidak diharapkan
dan muncul pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk profilaksis,
diagnosis, terapi penyakit, atau modifikasi fungsi fisiologi.
Edward dan Aronson, 2000, ADR adalah reaksi yang berbahaya atau tidak
mengenakkan akibat penggunaan produk medis yang memperkirakan adanya
bahaya pada pemberian berikutnya sehingga mengharuskan pencegahan, terapi
spesifik, pengaturan dosis atau penghentian obat.

b. Insidensi 4, 6
Insiden yang dilaporkan efek samping bervariasi tergantung pada metode
pengumpulan data yang digunakan. Dalam berbagai kelompok, prevalensi efek
samping berkisar antara 1 dan 30%. Diperkirakan bahwa antara 1 dan 3% dari
semua pasiendi rumah sakit adalah karena reaksi obat yang merugikan. Jumlah
reaksi yang menyebabkan kematian juga sulit untuk diukur. Dalam kebanyakan
kelompok beberapa 6-10 obat yang paling sering terlibat dalam kejadian ini
pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Obat yang sering terlibat sebagai penyebab reaksi obat yang tidak
dikehendaki.
Antibiotik Heparin
Aspirin Insulin
Digoxin Prednison
Diuretik Warfarin

Banyak mekanisme ADR yang diperkirakan, tetapi mekanisme pasti reaksi


obat yang menimbulkan ADR belum jelas diketahui. Hal ini menyebabkan
sangat sulit untuk membedakan antara alergi obat dengan bentuk lain reaksi

3
obat serta dalam menilai insiden alergi obat, mengevaluasi faktor risiko dan
menentukan panatalaksanaannya.

c. Epidemiologi 6
Beberapa faktor penentu dari reaksi obat yang tidak dikehendaki yaitu :
1. Umur dan jenis kelamin
Efek samping yang lebih mungkin terjadi pada orang tua dan orang muda,
mungkin karena ketidakmampuan relatif mereka untuk merespon obat.
Efek samping pada wanita dan pria dalam rasio 2:1. Hal ini mungkin,
sebagian, bisa dihubungkan dengan penggunaan kontrasepsi steroid, tapi
ada kecenderungan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencari
bantuan medis dan dengan demikian mereka menerima obat.
2. Riwayat alergi Sebelumnya
Efek samping obat yang lebih mungkin terjadi pada pasien dengan riwayat
abreaksi sebelumnya untuk obat lain. Dalam beberapa survei reaksi yang
merugikan, hingga 25% dari pasien sebelumnya menunjukkan reaksi yang
merugikan terhadap terapi obat.
3. Pengaruh penyakit
Penyakit yang diberikan obat dapat mengubah respon pasien. Sebuah obat
yang berpotensi beracun yang penggunaannya dapat diterima dalam
pengelolaan situasi yang mengancam kehidupan, tidak boleh digunakan
untuk indikasi yang relatif sepele (misalnya kloramfenikol pada demam
tifoid dibandingkan penggunaannya pada infeksi saluran kemih).
4. Kehamilan
Kehamilan mengubah respon dari ibu terhadap obat-obatan tertentu serta
mengekspos janin ke agen yang berpotensi membahayakan. Misalnya,
tetrasiklin dalam dosis besar telah terlibat sebagai penyebab kerusakan hati
pada kehamilan, tetapi tidak pada waktu lain; itu juga merusak tulang dan
gigi pada janin. Kebanyakan obat yang diberikan kepada ibu dapat segera
ditransfer melalui plasenta ke janin tergantung pada kelarutan obat dalam
lipid. Setelah obat mencapai janin dan dapat menyebabkan cacat
perkembangan. Selama persalinan, obat penenang dan analgesik yang

4
diberikan kepada ibu mungkin lolos ke janin dan dapat mengganggu
timbulnya pernapasan spontan setelah persalinan. Obat dapat
diekskresikan dalam ASI dalam konsentrasi yang cukup untuk
menimbulkan efek toksik pada neonatus. Obat tersebut termasuk
karbimazol, phenobarbitone, diazepam dan beberapa obat pencahar.
Menariknya, antikoagulan oral warfarin, tidak diekskresikan dalam ASI
dan dapat digunakan dengan aman pada ibu yang menyusui. Panduan
referensi khusus harus dikonsultasikan untuk informasi yang jelas.
5. Dosis obat
Reaksi obat idiosinkrasi tidak berhubungan dengan dosis, tetapi pada
orang lain yang terkait dengan perubahan dalam penanganan obat oleh
tubuh.
6. Waktu reaksi
Efek samping terapi obat dapat terjadi pada setiap tahap selama
pengobatan atau setelah selesai. Reaksi anafilaksi khas terjadi ketika
pasien telah terkena sebelumnya, sementara yang lain mungkin tidak
diamati selama berbulan-bulan setelah obat telah ditarik (misalnya
peritonitis dengan practolol).
7. Terapi Beberapa obat
Semakin besar jumlah obat yang diberikan, semakin tinggi kejadian efek
samping karena jumlah interaksi obat akan lebih besar.

d. Jenis Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki 6


Reaksi negatif terhadap obat dapat dibagi menjadi dua jenis utama :
1. Tipe A
Tipe ini efek samping dapat diprediksi dan tergantung dosis obat,
angka kematian yang dihasilkan biasanya rendah. Karena sebagian
besar reaksi ini hanyalah perpanjangan dari aksi farmakologi obat,
berarti faktor yang mempengaruhi reaksi-reaksi ini adalah mereka
yang memodifikasi efek terapeutik obat.

5
2. Tipe B
Penyebabnya dapat berasal dari obat maupun pasien, angka kematian
lebih tinggi. Contoh, out-of-date tetrasiklin dapat menjadi ke
tetrasiklin anhidrat dan epiandrotetracycline terutama di iklim hangat
dan dapat menghasilkan sindrom Fanconi pada pasien. Reaksi
merugikan dari tipe ini kadang-kadang digambarkan sebagai alergi.
Mekanisme alergi tergantung pada interaksi untuk menjembatani
obat (atau obat-protein kompleks) dan antibodi host atau kepekaan
limfosit. Bukan obat asli yang bertindak sebagai alergen tetapi
metabolit yang menjadi erat terikat makromolekul besar yang
bertindak sebagai antigen. Antigen bereaksi dengan limfosit T untuk
memulai respon imun, dan diikuti oleh aktivasi limfosit B untuk
membentuk antibodi anti-drug. Antigen harus memiliki kemampuan
membentuk jembatan antara terikat molekul sel antibodi sehingga
menghasilkan perubahan konformasi dalam membran sel. Reaksi
dengan komplemen dan pelepasan berbagai peptida vasoaktif terjadi.
Dua manifestasi reaksi merugikan tipe B adalah :
 Reaksi anafilaksis
Reaksi obat ini dimediasi atau diperantai oleh antibodi IgE
dan terjadi sangat cepat setelah pemberian obat. Reaksi
mungkin terjadi di kulit (urtikaria akut), pada saluran
pernapasan (asma), atau dalam saluran pencernaan (sakit
perut dan muntah). Reaksi umum anafilaksis dapat
mengancam nyawa. Ini biasanya terjadi pada awal
pengobatan pada pasien yang sebelumnya telah terkena.
Penisilin merupakan penyebab umum dari jenis reaksi yang
cenderung lebih sering terjadi pada individu atopik.
 Serum sickness
Reaksi ini adalah bentuk yang kurang akut (sub akut) yang
merupakan hasil kerusakan oleh sirkulasi kompleks imun
(antigen-antibodi). Teori saat ini adalah bahwa hal itu terjadi
ketika antigen tetap dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang

6
lama, ketika antibodi (biasanya IgG atau IgM) pertama kali
dibentuk, antigen beredar bereaksi dengan itu membentuk
kompleks antigen-antibodi. Jika antibodi dalam jumlah
berlebih, kompleks kecil dalam pembuluh darah
menyebabkan peradangan lokal dan respon sistemik umum.
Reaksi alergi obat dapat berupa banyak bentuk dan dapat
melibatkan mekanisme selain dua yang dijelaskan di atas. Elemen
yang terbentuk dari darah sering terlibat mungkin karena antigen
(obat) kompleks antibodi yang diserap pada permukaan sel,
komplemen diaktifkan, dan hemolisis atau sel terjadi kerusakan.

II.2. Uji Klinik Obat Baru 2, 6, 7


Pada dasarnya uji klinik memastiksn efikasi, keamanan, dan gambaran
efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat.
Uji klinik itu sendiri terdiri dari uji fase I sampai fase IV.
Misalnya, beta-adrenoseptor obat blocking baru dapat dibandingkan
dengan plasebo untuk menunjukkan bahwa menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi, atau dengan beta blocker yang ada untuk melihat apakah
obat baru itu lebih (atau kurang) efektif daripada obat yang sudah ada.
Pada pelaksanaan pengujian, individu yang akan diuji (pasien) terlebih
dahulu diseleksi. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi
objek pengujian, seperti tidak memiliki riwayat penyakit tertentu atau tidak
berada dalam kondisi hamil. Setelah terpilih orang-orang yang memenuhi
kriteria. Tidak lupa dilaksanakan informed consent agar tidak terjadi
pelanggaran secara hukum. Dalam informed consent, pasien telah bersedia
untuk menjadi objek percobaan.
Uji klinik fase I merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama
kalinya pada manusia. Tujuan fase ini ialah menetukan besarnya dosis
maksimal yang dapat ditoleransi yakni dosis sebelum timbul efek toksik
yang tidak dapat diterima. Pada fase ini diteliti tentang keamanan,
farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Jumlah subyek pada
fase ini bervariasi antara 20-50 orang.

7
Uji klinik fase II, obat dicobakan untuk pertama kalinya pada pasien
yang kelak akan diobati dengan obat ini. Tujuannya ialah melihat apakah obat
ini memeliki efek terapi. Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki
efek terapi, perlu dilakukan perbandingan dengan plasebo atau dengan obat
standar. Pada fase ini tercakup juga studi kisaran dosis untuk menetapkan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, dan penelitian lebih lanjut
tentang eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek pada fase ini
antara 100-200 orang.
Uji klinik fase III, dilakukan untuk memastikan efikasi terapi dari obat
baru dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standar.
Pada fase ini juga dilakukan perbandingan dengan plasebo atau juga dengan
obat standar. Jika hasil uji klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru ini
cukup aman dan efektif, maka obat dapat diberikan izin pemasaran. Jumlah
pasien yang diikutsertakan pada fase ini paling sedikit 500 orang.
Uji klinik fase IV, sering disebut post-marketing drug surveillance
karena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan untuk menentukan pola penggunaan obat dimasyarakat serta pola
efektivitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya.

 Komponen Uji Klinik


Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja didasarkan
pada hasil yang diperoleh dari uji klinik, tetapi juga perlu mengingat faktor -
faktor lain yang secara objektif dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu uji
klinik. Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen
berikut :
1. Seleksi/pemilihan subjek
Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria pemilihan pasien,
yaitu : kriteria inklusi, syarat - syarat yang secara mutlak harus dipenuhi
oleh subjek untuk dapat diikutsertakan dalam penelitian. Meliputi antara
lain kriteria diagnostik, baik klinis maupun laboratoris, derajat penyakit,
asal pasien umur dan jenis kelamin. Disamping itu ditetapkan juga
kriteria yang tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek dalam

8
penelitian. Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian besar
uji klinik obat tidak menggunakan wanita hamil mengingat resiko yang
mungkin lebih besar dibanding manfaatnya. Dalam pemilihan pasien
hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang dipilih benar –
benar merupakan indikasi utama pemakaian obat yang diujikan.
2. Rancangan uji klinik
Untuk memperoleh hasil optimal perlu disusun rancagan atau disain
penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan etis
dengan tetap mengutamakan keselamatan dan kepentingan pasien. Dua
rancangan uji klinik yang baku dan umum digunakan yaitu rancangan
parallel atau Randomized controlled trial (RCT) dan rancangan silang
atau Randomized controlled trial crossover- design (RCT-cross over
design).
3. Jenis perlakuan atau pengobatan dan pembandingnya
Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya harus
didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan meliputi
jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan, waktu dan
cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Perlakuan
pembanding juga harus dijelaskan, apakah pembanding positif (obat
standar) atau pembanding negatif (Plasebo).
4. Pengacakan (randomisasi)
Perlakuan Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan
dalam uji klinik terkendali (randomized-controlled trial-RCT) dengan
tujuan utama menghindari bias.
5. Besar sampel
Besar sampel, ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : derajat kepekaan
uji klinik, keragaman hasil dan derajat kebermaknaan statistik.
6. Penyamaran/pembutaan (blinding)
Penyamaran adalah merahasiakan bentuk terapi yang diberikan. Dengan
penyamaran, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang
mana obat yang diuji dan yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk
obat yang diuji dan pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama

9
penyamaran ini adalah untuk menghindari bias pada penilaian respons
terhadap obat yang diujikan. Penyamaran dapat dilakukan secara :
(1) Single blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien,
(2) Double blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak
diberitahu obat yang diuji meupun pembandingnya, (3) Triple blind, jika
pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analasis tidak
diberitahu identitas obat yang diuji dan pembandingnya.
Kesehatan dan keselamatan pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh
penanggung jawab medik, sehingga sewaktu - waktu terajdi hal - hal
yang tidak diharapkan (adverse effect) dapat segara dilakukan
penanganan secara medik.
 Double blind studies
Pasien akan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan
akan dialokasikan untuk mengontrol atau untuk kelompok
pengobatan aktif secara acak. Karena kedua dokter dan pasien
mampu secara keyakinan yang dimiliki sebelumnya, dengan
menggunakan pencocokan kapsul plasebo pada pasien dan dokter
akan mengetahui sifat yang tepat dari pasien. Jika dua perawatan
aktif (A dan B) dibandingkan, teknik "model ganda" dapat
digunakan.
7. Penilaian respon
Penilaian respon pasien terhadap proses terapi yang diberikan harus
bersifat objektif, akurat dan konsisten. Karena itu respon yang diukur
harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh jika yang diuji obat anti
hipertensi, maka penurunan tekanan darah hendaknya diukur secara
objektif dengan alat ukur yang sama, pemeriksa yang sama dan dengan
metode serta kondisi yang sama.
Ketika uji klinis obat dilakukan, sangat penting untuk mendapatkan
penilaian yang akurat dari efek terapinya. Hal ini mudah jika obat
hipotensi atau antikoagulan yang sedang dipelajari. Penurunan tekanan
darah adalah ukuran yang cukup obyektif meskipun bahkan di sini
langkah yang tepat diperlukan untuk mengurangi bias pengamat. Di

10
daerah-daerah tertentu obat memiliki efek yang hanya dapat dinilai
dengan ukuran subjektif dan penilaian klinis kurang dapat diandalkan.
Dalam penilaian obat aktif SSP seperti antidepresan dan obat penenang,
"skala rating” telah dikembangkan yang membutuhkan tenaga terampil
untuk melakukannya. Skala analog visual dapat sangat berguna untuk
menilai berbagai sensasi subjektif seperti nyeri dan mengantuk. Pasien
menempatkan tanda pada baris yang sesuai dengan penilaian nyeri yang
diderita, dan ini diulang pada setiap pemeriksaan, 'nilai' yang diukur.
Metode penilaian yang sangat akurat, berulang dan relatif bebas dari
kesalahan pengamat. Metode yang sama dapat diterapkan pada penilaian
dampak buruk. Sebuah contoh menunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skala analog visual untuk digunakan dalam kajian nyeri

8. Protokol uji klinik


Protokol uji klinik diperlukan sebagai : (1) Petunjuk pelaksanaan uji
klinik (operation manual), yang mencakup penjelasan mengenai prosedur
dan tatalaksana penelitian hingga cara penilaian hasil serta analisis data.
(2) Rancangan ilmiah (scientific design), yang terutama mencakup latar
belakang, tujuan khusus, kepentingan uji klinik hingga rancangan uji
dasar ilmiah penggunaan rancangan yang bersangkutan.
9. Analisis dan interpretasi data
Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung pada
metode statistik yang digunakan. Metode statistik yang akan digunakan
harus sudah disiapkan saat pengembangan protokol penelitian. Sebagai
contoh, bila kriteria untuk penilaian hasil diekspresikan dalam bentuk ya
atau tidak maka salah satu uji stratistiknya adalah kai kuadrat
(Chi-square).

11
10. Etika uji klinik
Setiap uji klinik perlu memegang prinsip-prinsip dasar etika penelitian
yang secara garis besar menjamin bahwa segi kesehatan dan keselamatan
pasien akan menjadi pertimbangan dan perhatian utama peneliti. Dengan
kata lain, tujuan uji klinik lebih diutamakan bagi kepentingan pasien dari
pada sekedar uji coba obat. Etika uji klinik antara lain mencakup,
protokol uji klinik telah mendapat izin kelaikan etik (ethical clearance)
dari komisi etik penelitian biomedik pada manusia, menjamin kebebasan
pasien untuk ikut secara sukarela dan mengizinkan pasien bila
mengundurkan diri dari uji klinik. Keikutsertaan pasien dalam uji klinik
harus dinyatakan secara tertulis (written - informed consent). Menjamin
kerahasiaan identitas dan segala informasi yang diperoleh pasien.
Pertimbangan statistik sering akan membantu dalam desain sidang,
terutama dalam mengetahui berapa banyak pasien. Semakin kecil
perbedaan yang diharapkan antara dua perlakuan yang lebih banyak
pasien akan diminta untuk menunjukkan hasil yang signifikan. Banyak
percobaan yang diberikan tidak sah oleh kegagalan untuk pasien yang
cukup.
Dalam menjalankan setiap uji klinis aspek etika adalah sangat penting.
Saat ini semua protokol sidang harus diteliti oleh kajian badan
independen. Setiap peserta dalam penelitian harus memiliki rincian
persidangan menjelaskan kepada mereka dan mereka harus memberikan
persetujuan tertulis mereka diberitahu untuk mengambil bagian dalam
studi ini. Persetujuan ini harus disaksikan oleh pihak ketiga. Setiap
pasien memasuki sebuah studi klinis harus, tentu saja, bebas untuk
meninggalkan studi kapan saja.

12
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
1. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) merupakan respon terhadap
obat adalah respon terhadap obat yang sering berbahaya dan tidak
diharapkan dan muncul pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk profilaksis, diagnosis, terapi penyakit, atau modifikasi fungsi
fisiologi. Jenis reaksi obat yang tidak dikehendaki terdiri dari tipe A dan
tipe B.
2. Uji klinik memastiksn efikasi, keamanan, dan gambaran efek samping
yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik
itu sendiri terdiri dari uji fase I, II, III dan IV. dapat menggunakan metode
double blind studies.
3. Setiap obat baru yang dilakukan uji klinik perlu penilaian klinik serta ada
etika uji klinik.

III.2. Saran
Dalam pembuatan makalah ini hanya terbatas membahas reaksi obat yang
tidak dikehendaki serta jenisnya dan uji klinik obat baru. Diharpkan untuk
pembuatan makalah selanjutnya dapat membahas lebih jelas mengenai reaksi obat
yang tidak dikehendaki dan uji klinik obat baru.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Christianie. Merry dkk. (2008). Kejadian Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
yang Menyebabkan Pasien Usia Lanjut Dirawat Di Ruang Perawatan Penyakit
dalam Instalasi Rawat Inap B Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta:
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 3, Desember 2008, 138 – 149 ISSN :
1693-9883.
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. (2007). Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: FKUI.
3. Katalog Dalam Terbitan. Departemen Kesehatan RI 615.109 2 Ind.
Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. (2008). Buku Saku Tanggung Jawab Apoteker terhadap
Keselamatan Pasien (Patient Safety ). Jakarta : Departemen Kesehatan RI,
2008-07-18.
4. Mariyono H. (2008). Adverse Drug Reaction. J Penyakit Dalam, Volume 9.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah, Denpasar.
5. Nebeker, J., Barach, P., & Samore, M. (2004). Clarifying Adverse Drug
Events: A Clinician's Guide to Terminology, Documentation, and Reporting.
Ann Intern Med, 140, 795-801.
6. Orme M.L.E and Breckenridge A. Principles of Clinical Pharmacology and
Therapeutics. In Edited by D.J. Weatherall, J.G.G. Ledingham, D.A. Warrell.
(1996). Oxford Textbook of Medicine Volume 1.
7. Rahmatini. (2010). Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik).
Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34.

14

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Hadir Peserta Penyuluhan Apotek
    Daftar Hadir Peserta Penyuluhan Apotek
    Dokumen5 halaman
    Daftar Hadir Peserta Penyuluhan Apotek
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • DIFTERI
    DIFTERI
    Dokumen1 halaman
    DIFTERI
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • Bahasa K.B
    Bahasa K.B
    Dokumen4 halaman
    Bahasa K.B
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab IV. 3
    Bab IV. 3
    Dokumen1 halaman
    Bab IV. 3
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab IV. 3
    Bab IV. 3
    Dokumen7 halaman
    Bab IV. 3
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab IV. 3
    Bab IV. 3
    Dokumen7 halaman
    Bab IV. 3
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat
  • ACNE Makalah
    ACNE Makalah
    Dokumen13 halaman
    ACNE Makalah
    Ukhtidestiyusuf
    Belum ada peringkat