Anda di halaman 1dari 29

INFORMED CONSENT (PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS) DALAM

PROSES PERSALINAN

I. PENDAHULUAN
Walaupun bukan merupakan hal yang baru di dalam profesi kedokteran tetapi
persetujuan tindakan medis (Informed Consent) merupakan piranti hukum kedokteran
yang sangat rumit untuk dipahami, diterapkan, dan menjadi alat bukti kesepahaman
pasien-penolong. Peraturan Menteri Kesehaatan RI No. 585 tahun 1989 menggunakan
istilah persetujuan tindakan medik (pasal 1 ayat a) sebagai pengganti informed consent.1
Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia di bidang kedokteran atau Patient
Rights, ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap
warga profesi kedokteran. Selanjutnya, sesuai dengan perkembangan kehidupan
masyarakat, maka informed consent yang semula lebih terkait pada kewajiban etik,
kemudian berkembang menjadi kewajiban administrasi dan badan hukum. Informed
consent terhadap pengobatan adalah suatu keharusan yang tidak selalu diterapkan oleh
para dokter sepanjang sejarah kedokteran, diakibatkan karena sikap paternalistik banyak
dokter.1
Tidak ada prosedur medis yang boleh dilakukan tanpa informed consent dari pasien
kecuali pada kasus-kasus inkompetensi legal. Penderita memiliki niatan yang paling
murni dalam pengambilan keputusan mengenai kepentingan hidupnya. Orang lain
mungkin akan memiliki pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai
kepentingan hidupnya. Penderita harus bebas dan mampu dalam pemberian informed
consent. Informed consent memerlukan penjelasan mengenai kondisi sebenarnya dari
dokter, pengertian mengenai penjelasan tersebut oleh pasien, pengambilan keputusan
secara sukarela, kompetensi legal dari pasien, rekomendasi untuk jalur tindakan yang
terbaik, keputusan terakhir oleh pasien, dan pemberian kewenangan oleh pasien untuk
membuat keputusan setelah menimbang pilihan dokter dan pilihan dari perawatan.
Informed Consent dapat dilakukan dalam bentuk pasien mendelegasikan pengambilan
keputusan atau pasien sendiri mengambil keputusan.1
Pentingnya etika dalam pelayanan praktek kedokteran telah dibukikan di sepanjang
sejarah. Bahkan sejak 2500 tahun lalu Hipocrates telah menekankan kebijakan yang
diharapkan menjadi ciri dan petunjuk perilaku dokter. Pada paruh terakhir abad ke-20,
teknologi kedokteran berkembang demikian cepat, sehingga dokter obstetri dan
ginekologi menghadapi pertanyaan-pertanyaaan etik yang kompleks, seperti teknologi

1
reproduksi berbantu, diagnosis prenatal, aborsi selektif, masalah awal dan akhir
kehidupan, dan penggunaan informasi genetik.2
Masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan pengetahuan kedokteran
semata. Keputusan-keputusan di bidang ini bergantung pada pertimbangan yang dalam
dari unsur-unsur nilai, kepentingan, tujuan , serta hak dan kewajiban orang-orang yang
terlibat yang peduli dengan etika kedokteran.2
Etika dan hukum mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti
saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing. Norma hukum dibuat secara resmi
oleh negara dan dapat dipaksakan berlakunya pada masyarakat , sehingga dapat terwujud
masyarakat yang tertib dan damai. Etika dikatakan sebagai nilai-nilai perilaku sehingga
memerlukan tuntunan jika terjadi pelanggaran, sedangkan hukum merupakan nilai-nilai
masyarakat sehingga dapat menimbulkan tuntutan jika terjadi pelanggaran.2
Pengambilan keputusan etik dalam bidang klinik tidak dapat secara khusus
mengandalkan pendekatan tunggal etika secara biomedis. Masalah klinik yang sering
terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan aturan sederhana atau aplikasi yang kaku dari
prinsip-prinsip etik. Kebijakan seperti kehati-hatian, kejujuran, dan kepercayaan, yang
memungkinkan prinsip-prinsip etik digunakan secara efektif pada situasi di mana terdapat
konflik prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Kebijakan khusus yang ditekankan mungkin
bervariasi dari satu keadaaan ke yang lainnya, tetapi pada penanganan kesehatan
perempuan, harus ada kepekaan khusus untuk kebutuhannya. Selanjutnya, pada hampir
setiap situasi sulit yang membutuhkan wawasan etik, terdapat tekanan antara keadaan dan
kepentingan individual pasien dan kepentingan komunitas. Dokter harus mengambil
keputusan untuk bertindak, yang mungkin saja benar menurut analisa rasional tertentu.
Pengambilan keputusan mempunyai dasar yang rapuh, yang tidak mudah untuk
dipertahankan apabila keputussan ini ternyata membawa masalah baru.2
Seringkali lebih dari satu cara tindakan dapat dibenarkan secara moral. Namun,
pada suatu saat tidak ada yang dapat diterima, karena menghasilkan kerugian secara
bermakna. Meskipun demikian, salah satu dari pilihan yang tersedia harus ditentukan dan
pilihannya didukung oleh pertimbangan etik. Usaha untuk menyelesaikan masalah harus
dilakukan dengan analisis rasional dari bermacam-macam faktor yang terlibat.2
Dengan mengingat bahwa ilmu kedokteran atau kedokteran gigi bukanlah ilmu
pasti, maka keberhasilan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi bukan pula suatu
kepastian, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat berbeda-beda dari satu

2
kasus ke kasus lainnya. Sebagai masyarakat yang beragama, perlu juga disadari bahwa
keberhasilan tersebut ditentukan oleh izin Tuhan Yang Maha Esa.3
Dewasa ini pasien mempunyai pengetahuan yang semakin luas tentang bidang
kedokteran, serta lebih ingin terlibat dalam pembuatan keputusan perawatan terhadap diri
mereka. Karena alasan tersebut, persetujuan yang diperoleh dengan baik dapat
memfasilitasi keinginan pasien tersebut, serta menjamin bahwa hubungan antara dokter
dan pasien adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan.3
Jadi, proses persetujuan tindakan kedokteran merupakan manifestasi dari
terpeliharanya hubungan saling menghormati dan komunikatif antara dokter dengan
pasien, yang bersama-sama menentukan pilihan tindakan yang terbaik bagi pasien demi
mencapai tujuan pelayanan kedokteran yang disepakati.3
Departemen Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Persetujuan Tindakan Medik pada tahun 1989, dan kemudian pada tahun 2004
diundangkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang
juga memuat ketentuan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi.
Lebih jauh Undang-Undang tersebut memandatkan agar diterbitkan Permenkes untuk
mengaturnya lebih lanjut.3
Sejalan dengan itu, Konsil Kedokteran Indonesia menerbitkan buku pelaksanaan
Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi, yang untuk selanjutnya dalam
buku ini akan disebut sebagai “Persetujuan Tindakan Kedokteran.”3

II. INFORMED CONSENT (PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK)


Saat ini informed consent adalah suatu keharusan etis, yang harus diterima
sepenuhnya oleh para dokter. Informed consent berasal dari kata “informed” yang berarti
telah mendapatkan penjelasan dan “consent” yang berarti persetujuan. Dengan demikian,
persetujuan tindakan medik atau informed consent dalam profesi kedokteran adalah
adanya persetujuan dari pasien terhadap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
dirinya. Persetujuan diberikan setelah pasien tersebut diberikan penjelasan yang lengkap
dan objektif tentang pemeriksaan yang akan dilakukan, diagnosis penyakit, upaya
penyembuhan, tujuan dan pilihan yang akan dilakukan, termasuk prognosis penyakit.2
Dilihat dari segi yuridis, informed consent menunjukkan kepada peraturan hukum
yang menentukan hak dan kewajiban para dokter dalam interaksi dengan pasien. Juga
dapat memberikan sanksi dalam keadaan tertentu apabila dokternya menyimpang dari apa
yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari sudut doktrin etika, maka informed consent

3
adalah pencetusan dan berakar dalam nilai-nilai otonomi di dalam masyarakat yang
diyakini sebagai hak-hak mereka dalam menentukan nasibnya sendiri apabila akan
dilakukan tindakan medik. Di dalam hubungan antar personal dimana profesi dokter
berhubungan dengan pasien dalam memilih cara tindakan pengobatan yang cocok untuk
pasiennya.2
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan
dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek
hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih kearah persetujuan
sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.2
Informed consent memiliki tiga elemen, yaitu:2
1. Treshhold Elements
Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (kapasitasnya untuk
membuat keputusan). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten)
apabila telah dewasa, sadar, dan berada dalam keadaan mental yang tidak di
bawah pengampunan.
2. Information Elements
Elemen ini terdiri atas dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Pengertian “berdasarkan pemahaman yang adekuat
membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi
(disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang
adekuat.
3. Consent Elements
Elemen ini juga terbagi dua bagian, yaitu voluntarines (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak
adanya tipuan, mispresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari
tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan
apabila tidak menyetujui tawarannya.

Ada beberapa unsur pokok yang harus diperhatikan di dalam proses pembuatan
persetujuan tindakan medik (informed consent) yaitu:2
a) Pihak yang menyampaikan penjelasan
Unsur pertama yang perlu diperhatikan adalah kewenangan dan tanggung
jawab pihak yang menyampaikan penjelasan kepada pasien. Menurut ketentuan,

4
pihak tersebut ialah klinisi atau dokter yang akan melakukan tindakan. Apabila
akibat keadaan tertentu atau kedaruratan, dokter tersebut berhalangan, maka tugas
penjelasan dapat diwakilkan kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter
yang bersangkutan. Pendelegasian wewenang kepada perawat hanya dibenarkan
apabila tindakan kedokteran tersebut bukan merupakan tindakan bedah atau
tindakan invasif lainnya.
b) Penjelasan yang harus disampaikan
Penjelasan yang akan disampaikan harus berkisar pada lima hal yang pokok,
yaitu:
- Penjelasan tentang tujuan tindakan medis yang akan dilakukan
- Penjelasan tentang cara tindakan yang akan dilakukan
- Penjelasan tentang risiko yang mungkin akan dihadapi
- Penjelasan tentang tindakan medik alternatif dan risiko dari masing-masing
tindakan.
- Penjelasan tentang prognosis apabila tindakan tersebut dilakukan atau tidak
dilakukan.
c) Cara Menyampaikan Penjelasan
Secara umum, penjelasan ini dibedakan atas: penjelasan yang disampaikan
secara lisan dan yang disampaikan secara tertulis. Sangat dianjurkan untuk
memberi penjelasan secara lisan. Penjelasan tertulis hanya sebagai pelengkap dari
penjelasan yang telah disampaikan secara lisan.
d) Pihak yang berhak Menyampaikan Persetujuan
Sesuai dengan asas persetujuan yang mandiri maka pihak yang berhak
menyatakan persetujuan tersebut adalah pasien sendiri. Melalui penjelasan yang
disampaikan oleh dokter, pasien diharapkan mengerti dan memahami tahapan
dan pengaruh prosedur terhadap dirinya. Berdasarkan pemehaman tersebut,
pasien menetapkan keputusan mandiri, yang menurut pertimbangannya adalah
terbaik bagi dirinya (adequate decision). Pasien harus berada dalam kondisi layak
untuk mengambil keputusan sesuai Treshold Elements yaitu pemberi consent
haruslah sesorang yang kompeten. Apabila kondisinya tidak memungkinkan
(misalnya tidak sadar, gangguan mental, belum dewasa) maka keputusan tersebut
di wakilkan pada pihak ketiga (wali atau kurator). Jika walinya berhalangan maka
keputusan diwakili oleh keluarga terdekat. Tetapi jika semua yang berwenang
untuk mengambil keputusan tidak dapat dihadirkan, dalam keadaaan darurat demi

5
kepentingan pasien maka dokter dapat segera melakukan tindakan tanpa adanya
persetujuan tersebut (sesuai kaidah dasar bioetik/moral “Non-malificience”)
e) Cara Menyatakan Persetujuan
Pernyataan persetujuan terhadap tindakan medik yang akan dilakukan, dibagi
menjadi:
- Persetujuan yang dinyatakan (expressed consent). Yaitu dinyatakan secara
tertulis, cara ini umumnya diperlukan apabila tindakan medik yang akan
dilakukan mengandung risiko yang tinggi dan persetujuan yang dinyatakan
secara lisan, cara ini diperlukan apabila tindakan medik yang akan dilakukan
tidak mengandung risiko tinggi.
- Persetujuan yyang tidak dinyatakan (implied consent). Pasien tidak
menyatakan, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah
laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini
tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak
dilakukan dalam praktek sehari-hari (misalnya seseorang yang menggulung
lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya
untuk pemeriksaan laboratorium)

Sekalipun gagasan informed consent bersumber dari kalangan luar kedokteran,


tetapi prinsip-prinsip informed consent bagi kalangan kedokteran, bukanlah merupakan
hal yang baru. Dengan mengacu pada tujuan akhir yang ingin dicapai oleh informed
consent yakni terselenggaranya pelayanan kedokteran yang terbaik bagi pasien, maka
prinsip-prinsip yang seperti ini telah lama dikenal. Secara sederhana, prinsip-prinsip dasar
tersebut dapat dibedakan atas tiga macam yaitu:2
1. Prinsip bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung jawab orang
(pasien) itu sendiri. Apabila kondisi seseorang cukup layak untuk mengambil
keputusan tentang perlu tidaknya suatu prosedur pengobatan/tindakan medik, maka
semua akibat yang timbul, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan.
2. Prinsip bahwa tindakan medik (sebagai upaya terapi), merupakan upaya yang tidak
wajib menerima tindakan medik yang ditawarkan, harus mengacu pada
keselamatan seseorang atau pasien. Bila penolakan tersebut tidak membahayakan
dirinya atau orang di dalam tanggung jawabnya. Keputusan tersebut seyogianya
dihormati. Pemaksaan sangat bertentangan dengan sifat ketidakpastian hasil suatu
upaya, yang merupakan salah satu ciri dari pelayanan kedokteran.

6
3. Prinsip bahwa hasil dari tindakan kedokteran akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna apabila terjalin kerjasama yang baik antara pasien dan dokter. Prinsip
kerjasama yang baik pada dasarnya merupakan salah satu syarat pelayanan
kedokteran yang baik pula, yakni dalam rangka meningkatkan hubungan dokter
pasien (doctor-patient relationship). Dampak positifnya adalah berkurangnya kadar
ketidakpastian hasil pelayanan kedokteran. Kerjasama tersebut membuat dokter
dan pasien dapat saling mengisi dan melengkapi.

Bila melihat kembali bagaimana informed consent pada era abad pertengahan 18 di
Inggris dimana penentuan klaim berdasarkan hukum, diberlakukan secara tidak legal
dalam memberikan pendekatan untuk suatu tindakan pada seseorang atau pasien.
Informed consent termasuk baru di Amerika Serikat, mulai muncul pada tahun 1950.
Klaim informed consent biasanya didasarkan pada kekhawatiran akan kelalaian dan
berpusat pada apakah informasi yang diberikan cukup untuk pasien untuk membuat
keputusan dalam pelayanan kesehatan seseorang. Informed consent adalah lebih dari
sekedar membuat pasien untuk dapat menandatangani izin untuk prosedur bedah, tapi
sebuah proses komunikasi antara dokter dan pasienlah yang menghasilkan keputusan oleh
pasien dalam menjalani prosedur.4
Persetujuan tindakan sebenarnya tidak sepenuhnya sama dengan informed consent.
Definisi dari informed consent itu sendiri adalah memberikan kewenangan kepada dokter
setelah mengerti sepenuhnya dan mendapat informasi mengenai manfaat dan risiko
tindakan yang akan dilakukan, termasuk prosedur dan tindakan alternatif atau pengobatan
lainnya. Pada prinsipnya harus tetap memegang teguh dari segi etika, terutama hak pasien
untuk mendapat manfaat dan informasi sejujurnya. Pasien berhak untuk menolak tawaran
tindakan. Dalam melakukan proses mendapat persetujuan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu:4
a. Siapa yang mengambil keputusan. Hal ini penting diperhatikan karena pada
pasien wanita seringkali suaminya menjadi dominan. Sebenarnya pasien berhak
untuk menentukan nasibnya. Bila pasien masih di bawah umur maka harus ada
wali.
b. Ciri pasien, latar belakang pendidikan serta bahasa perlu diperhatikan oleh
dokter. Informasi yang sejujurnya berkaitan dengan bukti berdasar prakatik
(evidence based practice) harus disampaikan dengan cara yang dapat dterima
dan tidak menakutkan.

7
c. Emosi, perasaan dan ketakutan dari pasien jangan ditimbulkan, berikan
bayangan yang wajar dan tidak mengelabui.

Dalam pengambilan keputusan hendaknya dihindarkan dengan adanya konflik


kepentingan. Dokter mungkin menyarankan pemeriksaan (tes laboratorium, pencitraan)
atau tindakan yang lebih menguntungkan rumah sakit atau pribadinya, yang sedapat
mungkin dihindarkan atau ada alternatif lain yang lebih baik bagi pasien.4
Contoh pada seksio sesarea. Semua persetujuan bedah harus dibuat pada formulir
tertulis yang mengandung alternatif tindakan, prosedur secara singkat dan pernyataan
bahwa pasien sudah memahami sepenuhnya untuk memberikan kewenangan.4

III. INFORMED CONSENT BERKAITAN DENGAN PERHATIAN


TERHADAP PASIEN
Pada perkembangan suatu literatur menekankan tentang keterlibatan aktif pasien
dalam pengambilan keputusan ketika pasien terlibat dalam tindakan yang berisiko. Hal ini
paling baik dijelaskan dengan informed consent dari dokter kepada pasien yang ingin
menjalani tindakan medis, maka pentingnya mendapat permintaan pasien untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan, begitu juga dalam hal edukasi kesehatan.5
Kualitas keseluruhan informed consent dan lebih khusus lagi pada berapa banyak
pasien, ada yang dapat memahami informasi kesehatan dan mengingatnya setelah
menyelesaikan proses persetujuan, namun tetap masih merupakan hal yang kontroversi.
Dua alasan yang berkaitan dengan fenomena tersebut. Pertama, pasien mungkin
mengalami kesulitan dalam membuat keputusan, terutama jika kualitas informasi kurang
dan keputusan yang terlalu rumit atau melibatkan beberapa pilihan, atau jika kondisi
pasien mengganggu kemampuannya untuk memahami dan berkomunikasi secara efektif.
Kedua, penyedia layanan kesehatan mungkin kurang dalam pemahaman yang memadai
tentang kinerjanya yang relatif terhadap rekan-rekan mereka karena pelatihan yang tidak
memadai, atau dibatasi oleh aturan dan larangan yang mutlak karena konflik keuangan
atau kepentingan, terutama bila dokter tersebut melakukan penelitian yang disponsori.
Dalam perawatan klinis, semakin berisiko suatu prosedur, semakin tinggi kebutuhan akan
informed consent yang efektif.5
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan informed consent. Dua
faktor masing-masing menanggung pertimbangan khusus. Faktor pertama adalah
kepercayaan umum pasien terhadap suatu institusi, peneliti, dan penyedia layanan

8
kesehatan. Kepercayaan yang bagusdari pasien, rentan dan tidak mudah diperoleh. Jika
diperoleh, maka dapat meningkatkan kepercayaan pasien untuk terlibat dalam penelitian
medis dan mematuhi nasihat medis. Namun, jika kepercayaan tidak diperoleh, partisipasi
sukarela akan langka, penelitian klinis tidak bisa maju, sehingga tidak masyarakat dari
manfaat potensial. Dalam konteks empiris, kepercayaan telah diperlakukan dengan cara
yang berbeda, tergantung pada apakah kepercayaan diasumsikan variabel dependen atau
eksogen, atau apakah itu represor endogen, represor dinamis, atau regressor statis.5
Faktor kedua adalah satu pengungkapan yang lengkap akan informasi yang
berkaitan dengan tingkat keparahan risiko perawatan. Namun, ini tidak berarti bahwa
informasi tersebut akan menjamin meningkatkan pemahaman pasien. Masalah
pemahaman telah menjadi fokus dari banyak penelitian baru-baru ini dan berada di atas
cakupan makalah ini. Kurangnya informasi sangat terkait dengan kurangnya informasi
biaya. Sebagai contoh, rumah sakit yang berbeda dapat mengajukan tagihan yang berbeda
untuk operasi yang sama. Sebuah jajak pendapat tahun 2006 menunjukkan bahwa 84%
responden ingin melihat harga perawatan kesehatan yang diterbitkan. Selain itu, dalam
survei skrining kanker pasien dengan penyedia mereka, 90% melaporkan bahwa penyedia
telah membahas sejalan, tetapi hanya 19% sampai 30% dilaporkan tidak sejalan.5

IV. INFORMED CONSENT DALAM PANDANGAN HUKUM DI INDONESIA

Di Indonesia, informed consent diatur dalam permenkes 585/1989 yang mengatur


hubungan antara dokter dan pasien sehubungan dengan tindakan medis yang akan
dilakukan.6
Berbagai kasus dalam praktek kedokteran yang menyebabkan dokter terkena
gugatan perdata atau sanksi pidana selama ini mendorong perlunya peraturan hukum
antara dokter dan pasien dalam apa yang disebut persetujuan tindakan medis. Oleh karena
itu, masalah perlunya informed consent tadi tidak hanya menyangkut hak-hak pasien,
tetapi sekaligus melindungi dokter dalam menjalankan profesinya sehaari-hari. Seperti
dikemukakan oleh dr. Kartono Muhammad, PB IDI, informed consent yang lebih
dikaitkan dengan pengertian hukum pada dasarnya juga mempunyai landasan etik. Dasar
etik yang terkuat dalam informed consent ini adalah keharusan bagi setiap dokter untuk
menghormati kemandirian (otonomi) pasiennya. 6

9
4.1. Pengaturan Informed Consent7
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam :7
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Penjelasannya.
3. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
7. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.
Adapun pernyataan IDI tentang informed consent tersebut adalah:7
a. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan
tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk
kepentingan pasien sendiri.
b. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan
informed consent secara lisan maupun tertulis.
c. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan
adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya
pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis
yang bersangkutan serta risikonya.
d. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan
lisan atau sikap diam.
e. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila
dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan
pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga
terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan
pasien, kehadiran seorang perawat atau paramedik lain sebagai saksi adalah
penting.

10
f. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.

V. INFORMED CONSENT DALAM PANDANGAN KONSEP ETIKA


Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah sebuah konsep etika yang
telah menjadi bagian utuh dari etika kedokteran kontemporer dan praktek medis. Sebagai
pengakuan atas pentingnya etika informed consent , para ahli dalam komite etika dari
American College of Obstetricians and Gynekologist ( ACOG ) menegaskan tujuh
pernyataan berikut :8
1. Perlunya memperoleh informed consent untuk perawatan medis, dan berpartisipasi
dalam penelitian medis bila diimungkinkan atau untuk berpartisipasi dalam latihan
mengajar yang melibatkan mahasiswa dan masyarakat merupakan prasyarat etis yang
sebagian tercermin dalam doktrin hukum dan sesuai persyaratan.
2. Mencari informed consent, mengungkapkan rasa hormat bagi pasien sebagai pribadi,
serta menghormati hak pasien secara moral untuk integritas tubuhnya, untuk
menentukan nasib sendiri mengenai kehidupan dan kapasitas reproduksi, dan
mendukung kebebasan pasien untuk membuat keputusan dalam hubungan kepedulian.
3. Informed consent tidak hanya menjamin perlindungan pasien terhadap pengobatan
yang tidak diinginkan, tetapi juga memungkinkan keterlibatan aktif pasien dalam
perencanaan medis dan perawatan.
4. Komunikasi diperlukan jika informed consent ingin diwujudkan, dan dokter harus
dapat membantu menemukan cara-cara untuk memfasilitasi komunikasi tidak hanya
dalam hubungan individu dengan pasien, tetapi juga dalam konteks terstruktur dalam
lembaga perawatan medis.
5. Informed consent seharusnya dipandang sebagai proses lebih dari sekedar
penandatanganan pada formulir consent. Proses ini meliputi saling berbagi informasi
dari waktu ke waktu antara dokter dan pasien untuk memfasilitasi autonomi pasien
dalam proses membuat dan memutuskan pilihan yang akan terjadi.
6. Persyaratan etika untuk mencari informed consent tidak perlu menimbulkan
pertentangan dengan dokter dalam keseluruhan kewajiban etis dalam memberikan hal
terbaik untuk pasien yaitu dokter harus melakukan segala upaya untuk
menggabungkan komitmen untuk izin tertulis dalam komitmen yang memberikan
manfaat medis untuk pasien.

11
7. Ketika informed consent oleh pasien mustahil untuk dilakukan, maka perlu untuk
mencari pembuat keputusan pengganti untuk mewakili keinginan pasien atau
kepentingan yang terbaik. Dalam situasi darurat, profesi kesehatan mungkin harus
bertindak sesuai dengan persepsi mereka terhadap kepentingan terbaik pasien, dalam
kasus yang jarang terjadi, mungkin harus melupakan memperoleh persetujuan oleh
pasien dan keluarganya karena beberapa kewajiban etis lainnya lebih utama, seperti
melindungi kesehatan pasien agar situasi darurat bisa terlewati menjadi lebih baik.
Pada tahun 1980, Komite Etik Kedokteran mengembangkan pernyataan pada
informed consent. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa, "Pertimbangan Etis Terkait
dengan Informed Consent," kemudian disetujui dan diterbitkan pada tahun 1980 sebagai
pernyataan kebijakan oleh Badan Eksekutif ACOG. Pernyataan tersebut oleh komite etik
mencerminkan apa yang sekarang umumnya diakui sebagai pergeseran paradigma dalam
pemahaman tentang etika hubungan dokter-pasien.8

5.1. Pendapat Komite Etika Terhadap Hubungan Ibu-janin9

Dalam konteks suatu kerangka kerja yang mengakui keterkaitan dari wanita
hamil dan janin dan menekankan kepentingan mereka bersama, pendapat tertentu yang
sebelumnya diterbitkan oleh Komite Etika ACOG sangat relevan. Hal ini termasuk:
• Informed Consent,
• Pilihan Pasien dalam Hubungan Ibu dan Janin,
• Risiko terhadap Penggunaan Obat terlarang: Isu Etika dalam Praktek Obstetri dan
Ginekologi.
Salah satu kewajiban etis profesional yang fundamental pada perawatan
kesehatan adalah untuk menghormati pengambilan keputusan autonomi pasien dan untuk
mematuhi persyaratan dalam proses informed consent untuk intervensi medis. Pada
Januari 2004, Komite Etika menerbitkan edisi revisi dari "Informed Consent" di mana
poin-poin berikut yang membela dalam hal: 9
 Kebutuhan akan informed consent merupakan ekspresi penghormatan terhadap
pasien sebagai pribadi, selain itu sangat menghormati hak moral pasien untuk
keutuhan atau integritas tubuhnya, serta menentukan nasib sendiri mengenai
seksualitas dan kapasitas reproduksi, dan dukungan kebebasan pasien dalam
hubungan kepedulian.

12
 Persyaratan etika informed consent tidak perlu bertentangan dengan keseluruhan
kewajiban etis dokter untuk memperhatikan prinsip beneficience, yaitu, segala upaya
harus dilakukan untuk memasukkan komitmen pada informed consent hal ini
berkaitan dalam komitmen untuk memberikan manfaat medis pasien dan dengan
demikian menghormati mereka secara keseluruhan dan perwujudan seseorang.
Kehamilan tidak meniadakan atau membatasi persyaratan untuk memperoleh
informed consent. Intervensi atas nama janin harus dilakukan melalui tubuh dan dalam
konteks kehidupan wanita hamil, dan karena persetujuannya untuk perawatan medis yang
diperlukan, terlepas dari indikasi pengobatan. Namun, kehamilan menyajikan satu
masalah khusus. Hal yang terkait dengan penolakan informasi perawatan oleh wanita
hamil dibahas dalam jajak pendapat di bulan Januari 2004 dengan tema "Pilihan Pasien
dalam Hubungan Ibu-janin.” 9
Pendapat ini menyatakan bahwa dalam kasus-kasus penolakan ibu terhadap
pengobatan demi janin, dalam putusan hukum memerintahkan campur tangan terhadap
keinginan wanita hamil jarang jika pernah diterima. Dokumen ini menyajikan tinjauan
pertimbangan etis umum yang berlaku untuk wanita hamil yang tidak mengikuti saran
dari dokter mereka atau tampaknya tidak membuat keputusan demi kepentingan terbaik
dari janin mereka.9
Meskipun kemungkinan intervensi oleh badan hukum yang memerintahkan yang
dapat dibenarkan tidak sepenuhnya dikesampingkan, dokumen menyajikan beberapa
rekomendasi yang sangat tidak menyarankan tindakan pemaksaan, Tanggapan dokter
kandungan untuk keengganan pasien dalam bekerja sama dengan nasihat medis. Harus
menyampaikan dengan jelas alasan untuk memberikan rekomendasi kepada wanita hamil,
memeriksa hambatan untuk berubah seiring dengannya, dan mendorong perkembangan
perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan. 9

VI. INFORMED CONSENT DALAM TINDAKAN PERSALINAN


Selama edukasi mengenai perawatan prenatal, ada peluang yang sangat besar untuk
mencapai semua atau paling tidak sebagian informasi persetujuan untuk informed consent
yang diperlukan untuk proses persalinan. Ada juga keuntungan dalam mengamankan
dokumentasi informed consent yang tepat untuk pengelolaan persalinan dan prosedur
obstetri yang mungkin terkait, intervensi risiko dan manfaat ketika telah mulai
prosedurnya didapatkan lalu ditinjau dan dibahas bersama.10

13
Persetujuan untuk anestesi juga dapat diperoleh sebelum masuk. Risiko seperti
laserasi derajat ketiga dan keempat dengan episiotomy dan persalinan operatif yang tepat
juga harus dibahas, serta manfaat dari jarak kelahiran dan pilihan kontrasepsi. Manfaat
kesehatan ibu, bayi, dan keluarga telah dikaitkan dengan jarak kelahiran optimal, yang
diperkirakan sekitar 2 sampai 5 tahun. Interval kehamilan yang jaraknya pendek
berhubungan dengan peningkatan berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, dan hasil
kehamilan yang merugikan lainnya dikaitkan dengan penurunan cadangan maternal
sedangkan jarak kelahiran berkepanjangan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
kanker payudara, preeklamsia, dan bayi lahir mati.10
Manfaat dari menjarak usia kelahiran perlu ditekankan oleh praktisi kesehatan dan
harus disebarluaskan. Hal ini terkait dengan peningkatan kesehatan ibu (penurunan risiko
ruptur uterus, endometritis, perdarahan antepartum, anemia, depresi), meningkatkan
kesehatan anak (penurunan penyakit anak-anak, cedera, kematian, meningkatkan
pendidikan), dan meningkatkan kesehatan keluarga, fungsi, dan status sosial ekonomi.
Meskipun pilihan kontrasepsi yang banyak, ligasi tuba adalah metode yang paling umum
di Amerika Serikat. Jika ligasi tuba ditawarkan, risiko, manfaat, dan alternatif postpartum
dibandingkan ligasi selang harus didiskusikan.10
Manfaat khusus dan risiko kelahiran normal setelah operasi caesar sangat penting
untuk dibahas sebelum persalinan, dan itu adalah umum untuk mendokumentasikan
kedua komponen dari proses informed consent serta pilihan pasien sehubungan dengan
alur persalinan. 10

6.1. Persiapan Sebelum Melahirkan


Pengenalan edukasi bagaimana cara dan proses melahirkan dan konsumerisme
telah memiliki dampak yang signifikan terhadap praktek kebidanan. Keberhasilan praktek
kebidanan dalam mencegah bahaya, telah memungkinkan untuk menarik fokus pada
kualitas persalinan dan pengalaman perinatal. Penelitian telah menunjukkan
bahwapersiapan dalam proses persalinan dapat memiliki efek menguntungkan pada
persalinan.10
Periode prenatal harus menjadi salah satu di mana pasien mendapat informasi
tentang kehamilan, persalinan normal dan kelahiran, anestesi dan analgesia, komplikasi
obstetrik, dan operasi obstetri (misalnya, episiotomi, sesar, dan persalinan dengan forceps
atau vakum). Klinik prenatal adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan informed
consent dari pasien untuk perawatan dan manajemen intrapartum, dan untuk membahas

14
keprihatinan dan pengetahuan tentang persalinan. Tentu saja, hal ini dapat memberi
dukungan dari faktor lingkungan yang lebih baik, tenang, dan bebas rasa sakit
dibandingkan dengan mempertimbangkan keadaan dalam serangkaian persalinan.
Sementara edukasi yang disebutkan di atas biasanya dapat disampaikan oleh dokter
kandungan pada kunjungan awal atau melalui serangkaian kunjungan balik, pasien datang
untuk mengharapkan keterlibatan lebih secara pribadi daripada diberi buku berupa
panduan untuk membaca.10
Tujuan perawatan prenatal adalah untuk memastikan sebanyak mungkin,
kehamilan dan persalinan tidak rumit untuk bayi hidup yang sehat. Ada bukti bahwa ibu
dan anak yang menerima perawatan prenatal memiliki risiko komplikasi yang lebih
rendah. Ada juga bukti bahwa keadaan emosional ibu selama kehamilan dapat memiliki
efek langsung pada janinnya. Dalam satu studi, dilaporkan bahwa kecemasan dalam
persalinan berkorelasi positif dengan kadar epinefrin plasma, yang, pada gilirannya,
tampaknya menghasilkan pola denyut jantung janin abnormal dan skor Apgar rendah.
Demikian pula, penelitian lain, yang diukur kecemasan pada wanita pada trimester ketiga,
mencatat bahwa pada bayi baru lahir pada ibu yang mengalami kecemasan, dalam waktu
5 menit Apgar skor secara signifikan lebih rendah.11
Idealnya, seorang wanita berencana untuk memiliki anak harus memiliki evaluasi
medis sebelum ia menjadi hamil. Hal ini memungkinkan dokter untuk menetapkan
berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium keseluruhan
kebugaran pasien untuk masuk dalam proses persalinan. Ini adalah waktu yang ideal
untuk menekankan dan edukasi ibu hamil terhadap bahaya merokok, alkohol dan
penggunaan narkoba, dan paparan teratogen pada ibu hamil. Instruksi diet yang tepat dan
kebiasaan olahraga juga dapat diberikan. Vitamin, terutama asam folat, diambil 3 bulan
sebelum pembuahan mungkin bermanfaat (mengurangi kejadian defek pada tabung saraf)
Sayangnya, sebagian besar pasien tidak mencari perawatan selama prakonsepsi, dan
kunjungan prenatal awal dijadwalkan baik setelah kehamilan berlangsung.11
Alasan umum mengapa wanita hamil mungkin tidak menerima perawatan prenatal
yang memadai, akibat ketidakmampuan untuk membayar untuk perawatan kesehatan,
takut atau kurangnya kepercayaan pada para tenaga profesional perawatan kesehatan,
kurangnya kepercayaan diri, penundaan akan kecurigaan kehamilan atau dalam
melaporkan kehamilan kepada orang lain pada individu yang berbeda atau persepsi
budaya akan pentingnya perawatan prenatal, perasaan negatif pada awal kehamilan, dan

15
larangan agama atau budaya. Faktor-faktor ini harus diskrining untuk segera ditangani
sebelum terjadi kesalaahpahaman dalam proses persalinan.11

6.2. Persiapan Sebelum Tindakan Persalinan


Dasar asuhan persalinan normal adalah asuhan yang bersih dan aman selama
persalinan dan setelah bayi lahir, serta upaya pencegahan komplikasi terutama perdarahan
pasca persalinan, hipotermia, dan asfiksia bayi baru lahir. Sementara itu, fokus utamanya
adalah mencegah terjadinya komplikasi. Hal ini merupakan suatu pergeseran paradigma
dari sikap menunggu dan menangani komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi. Pencegahan komplikasi selama persalinan dan setelah bayi lahir akan
mengurangi kesakitan dan kematian ibu serta bayi baru lahir. Penyesuaian ini sangat
penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Hal ini
dikarenakan sebagian besar persalinan di Indonesia masih terjadi di tingkat pelayanan
kesehatan primer dengan penguasaan keterampilan dan pengetahuan petugas kesehatan di
fasilitas tersebut masih belum memadai.2
Tujuan dari asuhan persalinan normal adalah mengupayakan kelangsungan hidup
dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya
yang terintegrasi dan lengkap serta intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan
kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang optimal.2
Kegiatan yang tercakup dalam asuhan persalinan normal, adalah sebagai berikut:2
1. Secara konsisten dan sistematik menggunakan sarung tangan sesuai dengan yang
diharapkan, menjaga lingkungan yang bersih bagi proses persalinan dan kelahiran
bayi, serta menerapkan standar proses peralatan.
2. Memberikan asuhan rutin dan pemantauan selama persalinan dan setelah bayi
lahir, termasuk penggunaan partograf. Partograf digunakan sebagai alat bantu
untuk membuat suatu keputusan klinik, berkaitan dengan pengenalan dini
komplikasi yang mungkin terjadi dan memilih tindakan yang sesuai.
3. Memberikan asuhan saying ibu secara rutin selama persalinan, pascapersalinan,
dan nifas, termasuk menjelaskan kepada ibu dan keluarganya mengenai proses
kelahiran bayi dan meminta para suami dan kerabat untuk turut berpartisipasi
dalam proses persalinan dan kelahiran bayi.
4. Menyiapkan rujukan bagi setiap ibu bersalin atau melahirkan bayi.

16
5. Menghindari tindakan-tindakan berlebihan atau berbahaya, seperti episiotomi
rutin, amniotomi, kateterisasi, dan penghisapan lendor secara rutin sebagai upaya
untuk mencegah perdarahan pascapersalinan.
6. Memberikan asuhan bayi baru lahir, termasuk mengeringkan dan menghangatkan
tubuh bayi, member ASI secara dini, mengenal sejak dini komplikasi dan
melakukan tindakan yang bermanfaat secara rutin.
7. Memberikan asuhan dan pemantauan ibu dan bayi baru lahir, termasuk dalam
masa nifas dini secara rutin.
Segera setelah masa nifas telah lama diakui sebagai waktu yang tepat untuk
membahas keluarga berencana, meskipun diskusi ini idealnya harus dimulai selama
kehamilan. Keputusan pencegahan kehamilan dan pengendalian kelahiran harus
dilakukan sebelum pemulangan dengan perawatan yang memenuhi syarat oleh dokter
atau asisten dokter atau dengan bantuan media untuk edukasi pasien tentang macam-
macam kontrasepsi yang dapat dipilih oleh pasien berdasarkan penjelasan oleh dokter
kandungan atau bidan tersebut. Jadi tergantung oleh autonomi pasien dalam memilih
tindakan kontrasepsi yang diinginkan dalaam hal menjarak kehamilan, menunda
kehamilan dan atau sterilisasi (Kontrasepsi Mantap).11

6.3. Pertimbangan Tindakan dalam Proses Persalinan

Tidak seharusnya wanita yang hamil harus diberi mandat untuk menjalani
percobaan persalinan. Pada persalinan normal atau pervaginam, tahap pertama persalinan
dievaluasi oleh laju perubahan penipisan serviks, dilatasi serviks, dan turunnya kepala
janin. Frekuensi dan durasi kontraksi uterus saja bukan merupakan ukuran yang memadai
kemajuan persalinan. Tahap kedua persalinan dimulai setelah dilatasi serviks penuh.
Kemajuan tahap ini diukur dengan keturunan, fleksi, dan rotasi dari bagian presentasi
janin. Persalinan normal merupakan proses yang berkesinambungan yang telah dibagi
menjadi tiga tahap untuk tujuan studi, dengan tahap pertama kemudian dibagi lagi
menjadi dua fase, fase laten dan fase aktif.11
Wanita paling mungkin mengalami kehamilan dan persalinan normal yang dapat
terjadi pada semua wanita yang mendapat perawatan kehamilan yang memadai tanpa
adanya komplikasi secara signifikan pada janin dan pada usia kehamilan 36 minggu atau
lebih. Setiap kali seorang wanita hamil dievaluasi untuk proses persalinannya, faktor-
faktor berikut harus dinilai dan dicatat yaitu:11

17
 Waktu onset dan frekuensi kontraksi, keadaan selaput ketuban, riwayat perdarahan,
dan gerakan janin.
 Riwayat alergi, penggunaan obat-obatan, dan waktu, jumlah, dan isi dari asupan
nutrisi terakhir.
 Catatan Prenatal dengan perhatian khusus melihat hasil laboratorium yang
berddampak langsung dengan kehamilan selama intrapartum dan manajemen
postpartum (misalnya, human immunodeficiency virus [HIV] dan status hepatitis B).
 Tanda-tanda vital ibu, protein urin dan glukosa, dan pola kontraksi uterus.
 Tingkat denyut jantung janin, presentasi, dan estimasi klinis berat janin.
 Status membran, dilatasi serviks dan penipisan (kecuali kontraindikasi, misalnya, oleh
plasenta previa), dan stasiun bagian presentasi.
Persalinan aktif dibagi menjadi tiga fase atau kala yang berbeda. Kala satu
persalinan mulai ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan frekuansi, intensitas, dan
durasi yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan dilatasi serviks yang progresif.
Kala satu persalinan selesai ketika serviks sudah membuka lengkap (sekitar 10 cm)
sehingga memungkinkan kepala janin lewat. Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut
stadium pendataran dan dilatasi serviks. Kala dua persalinan dimulai ketika dilatasi
serviks sudah lengkap, dan berakhir ketika janin sudah lahir. Kala dua persalinan disebut
juga sebagai stadium ekspulsi janin. Kala tiga persalinan dimulai segera setelah janin
lahir dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Kal tiga persalinan
disebut juga sebagai pemisahan dan ekspulsi plasenta.12
Ibu hamil juga harus diberi penjelasan tentang persalinan dengan proses induksi
dan augmentasi persalinan bila terdapat indikasi. Induksi persalinan adalah proses
memulai kelahiran dengan cara buatan, augmentasi adalah rangsangan buatan persalinan
yang dimulai secara spontan. Induksi persalinan harus dilakukan hanya setelah penilaian
kondisi yang tepat dari ibu dan janin. Selain itu, risiko, manfaat, dan alternatif untuk
induksi dalam setiap kasus harus dievaluasi dan menjelaskan kepada pasien. Dengan ada
tidaknya indikasi medis untuk induksi, kematangan janin harus dikonfirmasi melalui
tenggang waktu kehamilan yang tepat, pertama pengukuran USG setiap trimester, dan
atau analisis cairan ketuban.11
Evaluasi status serviks dalam hal penipisan dan pelunakan penting dalam
memprediksi keberhasilan induksi dan sangat dianjurkan sebelum induksi elektif. Secara
umum, induksi harus dilakukan dalam menanggapi indikasi tertentu misalnya pada ibu

18
indikasinya seperti terjadinya preeklampsia, penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung
pada ibu, dan riwayat kehamilan yang cepat, sedangkan pada bayi diindikasikan apabila
terjadi persalinan kala I lama, gangguan janin, ketuban pecah dini, curiga Intrauterine
Growth Restriction (IUGR), dan insufisiensi plasenta. Sedangkan kontraindikasi induksi-
augmentasi seperti terjadinya plasenta previa, bekas parut pada rahim riwayat SC
sebelumnya, riwayat myomectomy, dan presentasi lintang.11
Selain itu, keputusan tindakan kala kedua persalinan oleh forceps atau ekstraksi
vakum ditunjukkan dalam kondisi apapun mengancam ibu atau janin yang mungkin akan
memudahkan persalinan. Beberapa indikasi ibu termasuk penyakit jantung, cedera paru
atau kompresi, infeksi intrapartum, kondisi neurologis tertentu, kelelahan, atau persalinan
kala dua yang memanjang. Yang terakhir ini didefinisikan oleh American College of
Obstetricians dan Gynecologists (2002), bahwa lebih dari 3 jam dan dengan lebih dari 2
jam tanpa analgesia regional pada wanita nulipara. Pada wanita yang partus (melahirkan),
dengan kala dua yang memanjang didefinisikan sebagai lebih dari 2 jam dengan dan lebih
dari 1 jam tanpa analgesia regional.13
Perlunya memberikan informasi tentang kemungkinan resiko terburuk dalam
persalinan yaitu informed consent kematian ibu oleh berbagai macam penyebab.
Diperkirakan dari setiap ibu yang meninggal dalam kehamilan, persalinan, atau nifas, 16-
17 ibu menderita komplikasi yang memepengaruhi kesehatan mereka, umumnya
menetap. Penyebab utama kematian ibu yaitu perdarahan, infeksi, dan hiperstensi dalam
kehamilan, partus macet, dan aborsi. Sebaliknya, risiko dan manfaat dari percobaan
terhadap perslinan dibandingkan dengan kelahiran secara operasi atau SC (Sectio
Cesarea) yang berulang, harus didiskusikan kepada ibu hamil dengan parut uterus
sebelumnya. Keputusan akhir untuk mencoba melahirkan melalui vagina harus
diputuskan oleh pasien atas informasi dari dokternya. The American Academy of
Pediatrics dan American College of Obstetricians dan Gynecologists (2002) membahas
dan merekomendasikan hal-hal berikut bahwa:14,15
1. Keuntungan dari keberhasilan persalinan pervaginam, misalnya, perawatan
postpartum selama tinggal di rumah sakit tidak lama, kurang menimbulkan rasa sakit
post partum, pemulihan yang lebih cepat, dan lain-lain.
2. Kontraindikasi untuk mendapatkan persalinan secara pervaginam, misalnya tindakan
sectio cesaria sebelumnya , plasenta previa, dan lain-lain.
3. Risiko ruptur uterus.

19
4. Peningkatan risiko ruptur uterus dengan lebih dari satu kali SC sebelumnya, upaya
pematangan serviks atau induksi persalinan.
5. Dalam hal terjadinya ruptur, ada 10 sampai 25 persen risiko gejala sisa janin yang
merugikan.
6. Meskipun ruptur uteri merupakan bencana yang dapat menyebabkan kematian
perinatal atau cedera neonatal permanen namun jarang terjadi, lebih sering pada 1
per 1.000 upaya persalinan VBAC (melakukan persalinan pervaginam setelah
operasi Sectio Sesarea atau persalinan normal dengan parut uterus ), hal itu terjadi
meskipun sumber daya terbaik yang tersedia, dan harus diobservasi di rumah sakit
dengan fasilitas dan sarana yang memadai.

6.4. Indikasi Sectio Cesaria


Indikasi untuk persalinan sesar pada ibu hamil, relatif sedikit dan dapat dianggap
sebagai tindakan medis atau mekanik secara alami meskipun agak diperdebatkan. Kondisi
jantung ibu tertentu seperti penyakit arteri koroner stabil iskemik dan aorta melebar
dengan sindrom Marfan telah dianggap indikasi untuk operasi sesar. Diagnosa ini dapat
menimbulkan risiko bagi memburuknya kondisi ibu dengan stres dalam persalinan.
Penyakit pernapasan serius yang memerlukan ventilasi dan kondisi yang mengakibatkan
perubahan status mental dibantu mungkin juga penetapan keputusan harus sesar. Kelainan
sistem saraf pusat di mana peningkatan tekanan intrakranial akan tidak diinginkan seperti
menyertai kala dua persalinan juga telah menyebabkan beberapa ahli untuk
merekomendasikan operasi sesar.16

Tabel I. Indikasi Persalinan Sesar16


Maternal Janin Ibu-Janin
 Penyakit jantung tertentu (sindrom  Status janin yang  Disproporsi
Marfan, penyakit arteri koroner stabil) mengkhawatirkan sefalopelvik
 Penyakit pernapasan spesifik dan (Gawat Janin)  Solusio plasenta
penyakit Sindrom Guillian-Barré  Sungsang atau  Plasenta Previa
 Kondisi yang berhubungan dengan melintang  Pilihan untuk
peningkatan tekanan intrakranial  Herpes Maternal melahirkan secara
 Obstruksi mekanik dari segmen bawah  Anomali sesar
uterus (tumor, fibroid) kongenital
 Obstruksi mekanik vulva (kondiloma)

Mayoritas kelahiran sesar dilakukan untuk kondisi yang mungkin menimbulkan


ancaman bagi ibu dan janin jika persalinan pervaginam terjadi. Plasenta previa dan
solusio plasenta dengan potensi perdarahan adalah contoh yang jelas. Distosia

20
menyajikan risiko untuk kedua trauma janin dan ibu langsung. Hal ini juga dapat
membahayakan janin oksigenasi dan status metabolik.16
Meskipun kegagalan untuk membuat kemajuan cukup dalam fase aktif persalinan,
telah dikaitkan dengan adanya kekurangan dalam aktivitas kontraksi uterus, kegagalan
untuk kemajuan persalinan dapat juga berpotensi dari berbagai pendekatan oleh dokter
untuk pengelolaan persalinan itu sendiri. Lama waktu yang tepat untuk stimulasi
oksitosin yang memadai pada gangguan penggambaran tidak terdefinisi, dengan sebagian
besar praktisi yang memungkinkan "beberapa jam." Karena telah terbukti oksitosin yang
belum bekerja sama sekali dalam banyak kelahiran sesar dilakukan untuk distosia, dapat
disimpulkan bahwa uji coba yang tidak memadai pada stimulasi oksitosin dapat menjadi
faktor yang signifikan dalam beberapa tindakan sesar yang tidak perlu.10

6.5. Komplikasi Sectio Cesaria


Komplikasi yang paling umum yang dihasilkan dari operasi sesar adalah
perdarahan postpartum, endometritis, dan infeksi luka. Pemberian antibiotik profilaksis
dan memastikan hemostasis sebelum penutupan perut telah membantu mengurangi
kejadian komplikasi ini. Faktor utama yang mempengaruhi penyembuhan insisi uterus
adalah hemostasis, ketepatan posisi, kualitas dan jumlah bahan jahitan, dan menghindari
infeksi dan strangulasi jaringan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa semakin lama
prosedur operasi, semakin besar kemungkinan komplikasi pasca operasi. Bencana pada
bedah sesar jarang terjadi, ada beberapa hal jelas kadang tidak dapat dicegah. Lainnya
adalah akibat langsung dari kesalahan teknik bedah, terutama kurangnya perhatian
terhadap hemostasis, anestesi tidak kompeten dan perilaku buruk yang dipilih,
penggantian produk darah yang tidak memadai atau transfusi darah yang tidak cocok, dan
diagnosis tertunda atau kesalahan manajemen infeksi.17
Selain itu komplikasi intraoperatif juga dapat terjadi sebagai resiko dari tindakan SC,
termasuk perdarahan dan timbulnya kerusakan pada bagian tubuh atau organ-organ
sekitar, misalnya laserasi uteri, cedera pada buli-buli (Bladder Injury), luka pada ureter,
luka pada sistem gastrointestinal, atonia uteri, plasenta akreta, bahkan kematian pada ibu
dapat terjadi. Komplikasi juga dapat timbul pada pasca SC, seperti endomyometritis,
infeksi pada luka pasca operasi, penyakit tromboemboli, serta Septic Pelvic
Thrombophlebitis.10

21
6.6. Contoh Informed Consent Dalam Persalinan:
1. Informed Consent Persalinan Sectio Cesaria18
 Kondisi
Sungsang Kembar Post SC
Plasenta Previa Lain-lain

 Perencanaan Sectio Cesaria


Sebelum tindakan persalinan sectio cesarea, perawat atau bidan akan
mempersiapkan pasien sebelum operasi. Pasien akan diberikan pengobatan untuk
mengurangi asam lambung. Hal ini akan mencegah asam lambung masuk ke sistem
pernafasan atau langsung ke paru-paru dan menyebabkan masalah. Sistem pencernaan
pasien akan dibersihkan.
Anestesi akan diberikan sehingga pasien tidak merasakan sakit selama operasi.
Pasien akan diberikan anestesi umum, dengan blok epidural atau blok tulang belakang/
spinal. Jika anestesi umum digunakan, pasien tidak akan terjaga selama proses
persalinan, tapi ini hal yang biasa.
Blok epidural mematikan bagian bawah tubuh. Injeksi dilakukan pada ruang di
tulang belakang di punggung bawah pasien. Sebuah tabung kecil dapat dimasukkan ke
dalam ruang ini sehingga lebih banyak obat dapat diberikan melalui tabung nanti, jika
diperlukan. Dengan begitu, pasien tidak perlu diberikan suntikan lain.
Blok Saraf tulang belakang/Spinal (SAB) mirip dengan blok epidural. Hal ini
juga mematikan bagian bawah tubuh. Pasien menerima obat dengan cara yang sama,
tapi obat yang disuntikkan langsung ke dalam cairan tulang belakang. Jenis anestesi
yang digunakan tergantung pada banyak faktor, termasuk kondisi ibu dan bayi. Dokter
akan berbicara dengan pasien tentang jenis anestesi dan mencatat keinginan atau
pilihan pasien ke dokumentasi.
Setelah anestesi diberikan, kateter (tabung) kemudian ditempatkan di dalam
kandung kemih pasien. Menjaga kandung kemih kosong mencegah melukai kandung
kemih selama operasi. Bebat khusus dipasang pada tungkai bawah pasien, yang
membantu mencegah pembentukan gumpalan darah.
Dokter akan membuat sayatan melalui kulit dan dinding perut. Sayatan kulit
mungkin melintang (horisontal) atau vertikal, tepat di atas garis rambut kemaluan.
Otot-otot di perut juga akan dipindah dan, dalam banyak kasus, tidak perlu dipotong.

22
Sayatan lain akan dibuat di dinding rahim (uterus). Sayatan pada dinding rahim juga
akan dilakukan secara melintang atau vertikal.
Jika memungkinkan, sayatan melintang di dalam rahim lebih baik karena
dilakukan di bawah, lebih tipis dari bagian rahim dan tidak timbul banyak. Hal ini juga
membuat proses penyembuhan lebih baik. Namun, terkadang sayatan vertikal
diperlukan-misalnya, jika ibu mengandung bayi prematur sangat dan kepala bayi tidak
berada di vertex (kepala di bawah) posisi.
Bayi akan dilahirkan secara berturut melalui sayatan, tali pusat akan dipotong,
dan kemudian plasenta juga dikeluarkan/ dilahirkan. Rahim akan ditutup dengan
jahitan yang akan langsung diserap tubuh. Lalu dengan menggunakan plester akan
menutupi kulit dan luka.
 Kemungkinan Komplikasi
•Rahim, organ panggul terdekat, atau sayatan kulit bisa terinfeksi.
•Pasien dapat kehilangan darah, kadang-kadang akan memerlukan transfusi
darah.
•Pasien dapat mengalami bekuan darah di kaki, organ panggul, atau paru-paru.
•Usus atau kandung kemih bisa terluka.
• Pasien dapat mengalami reaksi alergi terhadap obat atau jenis anestesi yang
digunakan.
 Setelah Melahirkan
Jika pasien terjaga selama operasi, pasien mungkin bisa menggendong bayinya
segera. Kemudian akan dibawa ke ruang pemulihan atau langsung ke kamar pasien.
Tekanan darah, denyut nadi, kecepatan napas, dan perut akan diperiksa secara teratur.
Jika pasien berencana untuk menyusui, jangan khawatir karena meskipun
melahirkan sesar tidak berarti ibu tidak akan dapat menyusui bayinya. Ibu harus dapat
mulai menyusui segera.
Ibu bayi mungkin harus tinggal di tempat tidur untuk sementara waktu. Hanya
beberapa kali ibu boleh bangun dari tempat tidur, perawat atau orang dewasa lain
(keluarga) akan membantu.
Segera setelah operasi, kateter akan dilepas dari saluran kemih. Pasien akan
mendapat cairan melalui infus setelah melahirkan, sampai pasien mampu untuk makan
dan minum. Sayatan perut akan terasa sakit untuk beberapa hari. Dokter dapat
memberikan resep obat sakit bagi pasien untuk diberikan setelah obat bius telah

23
berkurang. Ada banyak cara yang berbeda untuk mengontrol rasa sakit. Pasien perlu
untuk tetap berbicara tentang pilihannya sendiri.
Masa perwatan setelah melahirkan sesar di rumah sakit biasanya 2-4 hari. Lama
waktunya tergantung pada alasan untuk kelahiran sesar dan berapa lama waktu yang
dibutuhkan bagi tubuh pasien untuk pulih. Ketika pasien pulang, mungkin perlu
berhati-hati dari diri sendiri dan termasuk sering membatasi aktivitasnya.
 Edukasi Di Rumah
Pasca operasi akan memakan waktu beberapa minggu luka perut untuk sembuh.
Meskipun pulih, ibu mungkin akan mengalami:
• Kram ringan, terutama jika sedang menyusui
• Perdarahan atau bercak (lokia) selama sekitar 4-6 minggu
• Perdarahan dengan gumpalan dan bisa timbul kram
• Nyeri pada luka bekas operasi
 Pemantauan (follow up)
Dokter akan menganjurkan pasien untuk kontrol 2 minggu dan 6 minggu setelah
melahirkan. Pada pertemuan pertama, luka pasca bedah akan diperiksa, dokter ingin
tahu bagaimana proses pemulihan dari operasi, dan bagaimana dengan kedaan bayi
dan proses menyusuinya. Pada kunjungan kedua, pemeriksaan yang lebih lengkap
akan dilakukan dan dokter dan akan berbicara kepada pasien tentang pengendalian
kelahiran (kontrasepsi) dan kunjungan rutin tindak lanjut.
 Apa yang harus diperhatikan
Pastikan pasien mengetahui tanda-tanda peringatan dari masalah yang berkaitan
dengan operasi. Dianjurkan menghubungi dokter jika mengalami salah satu dari gejala
berikut:
• Muntah
• Pingsan
• sakit perut parah atau kram
• Pendarahan berat
• keputihan abnormal
• Demam atau kedinginan
• timbulnya peradangan dari sayatan
• Sesak napas atau nyeri dada

24
Saya telah berbicara dengan dokter saya dan membaca penjelasan rinci tentang
prosedur saya. Saya memahami risiko, manfaat, dan alternatif dari Caesar.

TANDATANGAN PASIEN________________
Silahkan Tandatangan
TANDATANGAN DOKTER_______________

TNDATANGAN SAKSI ___________________


Silahkan Tandatangan

TANGGAL_____________________
NO_____________________________

25
2. Informed Consent Persalinan Pervaginam (Normal)19
Berikut ini telah menjelaskan kepada saya secara umum dan aku mengerti bahwa:
Prosedur persalinan yang alami untuk melahirkan bayi melalui jalan lahir dengan
kemungkinan penggunaan forceps atau ekstraksi vakum. Episiotomi (berupa usaha
melebarkan jalan lahir dalam ruang antara jalan lahir dan tempat pembuangan
kotoran dengan cara menggunting jaringan antara jalan lahir dan tempat pembuangan
kotoran) dapat dilakukan sebagai bagian dari persalinan pervaginam/ normal.
Bila melalui persalinan normal tidak berhasil, maka persalinan dengan operasi
caesar dengan insisi/ membuka perut bagian bawah dengan diiris, dibantu oleh ahli
anestesi (dokter bius) dengan tepat mungkin diperlukan.
Sebagai hasil dari prosedur persalinan yang dilakukan, dapat timbul risiko, yaitu:
Dapat terjadi infeksi, reaksi alergi, jaringan parut, kehilangan darah, mungkin di
kemudian hari dapat timbul disfungsi dasar panggul, nyeri dan ketidaknyamanan,
cedera pada saluran kemih, dan kemungkinan cedera pada bayi (laserasi atau luka
pada kepala bayi, hematoma atau perdarahan dalam jaringan di kepala, fraktur/ patah
tulang tengkorak, cedera saraf dan cedera otak).
Saya memahami dan menerima bahwa ada komplikasi, termasuk risiko dari yang
kecil hingga terburuk atau kematian atau cacat serius, yang dapat terjadi pada saya
dan bayi saya.
Saya sadar bahwa dalam kebanyakan kasus, persalinan pervaginam / normal
hasilnya dapat berhasil pada kesehatan ibu dan bayi, namun saya menyadari bahwa
tidak ada jaminan.
Saya setuju secara sukarela untuk memungkinkan ____________________ atau
dokter yang ditunjuk atau dipilih oleh pasien dan semua tenaga medis di bawah
pengawasan langsung dan kontrol dokter tersebut untuk melakukan prosedur yang
dijelaskan atau disebutkan di atas.

______________________ _______________
Tanda Tangan Pasien Waktu dan Tanggal

________________________ ________________
Tanda Tangan Saksi Waktu dan Tanggal

________________________ ________________
Tanda Tangan Dokter Waktu dan Tanggal

26
VII. KESIMPULAN
Dari uraian tentang prinsip-prinsip serta latar belakang informed consent
sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum informed consent memang
mempunyai arti yang amat penting bagi dokter dalam menyelenggarakan pelayanan
kedokteran. Kepentingan yang dimaksud jika disederhanakan dapat dibedakan atas lima
macam yaitu:1
1. Membantu lancarnya tindakan kedokteran
Informed consent menjamin jalinan kerjasama antara dokter dengan pasien,
sehingga memperlancar tindakan klinik yang akan dilakukan. Keadaan ini
menyebabkan efisiensi waktu dalam berbagai upaya pengobatan atau tindakan
gawat darurat.
2. Mengurangi efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi
Tindakan klinik yang tepat dan segera, akan sangat mengurangi kejadian efek
samping dan komplikasi. Kondisi ini sangat mengurangi beban dokter dalam
menangani akibat efek sampingan suatu tindakan klinik.
3. Mempercepat proses pemulihan dan Penyembuhan Penyakit
Akibat pemahaman yang cukup terhadap tindakan klinik yang akan dilakukan,
maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat.
4. Meningkatkan mutu pelayanan
Peningkatan mutu yang disebabkan oleh tindakan klinik yang lancar, minimnya
efek samping dan komplikasi, cepatnya proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit, tentunya akan sangat menguntungkan dokter.
5. Melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Bila tindakan medik yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah
apapun, maka tidak ada hal yang dikhawatirkan oleh dokter. Jika timbul efek
samping dan atau komplikasi, maka kondisi ini sangat berbeda dengan kelalaian
ataupun kesalahan tindakan (malpraktek)
Informed Consent atau persetujuan tindakan medik (setelah pasien tersebut
mendapatkan penjelasan lengkap dan objektif) sesungguhnya identik dengan prinsip-
prinsip pelayanan kedokteran. Apabila informed consent dilakukan dnegan baik,
manfaatnya akan dirasakan oleh semua pihak. Sebagai dokter, mempunyai kewenangan
besar untuk menjelaskan kepada pasien maupun keluarganya, sangat perlu berpikir
cermat dan cepat dalam mengambil keputusan, baik dalam keadaan darurat maupun
dalam kondisi bukan darurat termasuk dalam tindakan pada proses persalinan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Mappeware NA. Informed Consent. In: Mappeware NA, editor. Pengantar


Bioetika Hukum Kedokteran Dan Hak Asasi Manusia. Makassar: FK UMI; 2009.
p. 28-34.
2. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Kebidanan Dalam Masa Lampau, Kini Dan
Kelak. In: Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, editors. Ilmu Kebidanan. 4th ed.
Jakarta: Tridasa Printer; 2010. p. 10-15.
3. Utja AS, Rafly A, Sarsito AS, Purwadito A, Et a. Manual Persetujuan Tindakan
Kedokteran. In. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006. p. 1-40.
4. Avery DM. Summary of Informed Consent and Refusal. American Journal of
Clinical Medicine 2009;6:28-29.
5. Khedhiri M, Adlan AA, Abolfotouh MA. Informed Consent in Clinical Care:
Models of Patients' Satisfaction and Attitude Based on General Trust and Risks
Disclosure. International Journal of Medicine and Medical Sciences
2013;46:1271-1277.
6. Samil RS. Informed Consent. In: Samil RS, editor. Etika Kedokteran Indonesia.
Jakarta: YBP-SP; 2001. p. 45-48.
7. Wardhani RK. Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Di RSUP Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro; 2009.
8. Opinion AC. Informed Consent. The American College of Obstetricians and
Gynecologists 2009:1-8.
9. Ethics ACo. Maternal Decision Making, Ethics and the Law. The American
College of Obstetricians and Gynecologists 2005:1-12.
10. Gabbe SG. Genetic Counseling, Screening, And Prenatal Diagnosis. In: Gabbe
SG, Niebyl JR, Simpson JL, editors. Gabbe: Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies. 5th ed. Philadelphia, USA: Churchill Livingstone; 2007. p. 1-13.
11. DeCherney AH. Normal Pregnancy And Prenatal Care. In: DeCherney AH,
Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis & Treatment
Obstetrics & Gynecology. 10th ed. USA: McGraw Hill; 2007. p. Chapter 9. p1-
30.
12. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Fisiologi dan Mekanisme Persalinan Normal.
In: Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, editors. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta:
Tridasa Printer; 2010. p. 296-298.

28
13. Cunningham FG. Labor And Delivery, Forceps Delivery And Vacuum
Extraction. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, John C. Hauth, Et a,
editors. Williams Obstetric. 27th ed. USA: McGraw Hill; 2007. p. Chapter 23,
Section IV p20.
14. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Kematian Ibu Hamil. In: Rachimhadhi T,
Wiknjosastro GH, editors. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta: Tridasa Printer; 2010.
p. 53-55.
15. Cunningham FG. Prior Cesarean Delivery. In: Cunningham FG, Leveno KJ,
Bloom SL, John C. Hauth, Et a, editors. Williams Obstetric. 27th ed. USA:
McGraw Hill; 2007. p. Chapter 26, Section IV. p1-23.
16. Gabbe SG. Cesarean Delivery. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, editors.
Gabbe: Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. 5th ed. Philadelphia, USA:
Churchill Livingstone; 2007. p. Chapter 19. Section III p1-20.
17. DeCherney AH. Operative Delivery. In: DeCherney AH, Nathan L, Goodwin
TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
10th ed. USA: McGraw Hill; 2007. p. Chapter 30.p27.
18. Fung Lam, Callen KR, Wiggins D, Fang J, Et a. Cesarean Section Informed
Consent. Available at: URL: www.medfusion.net. Accessed March 20, 2014.
19. Hospital AV. Vaginal Birth Informed Consent. Available at: URL:
www.aspenvalleyhospital.org. Accessed March 20, 2014.

29

Anda mungkin juga menyukai