Anda di halaman 1dari 31

REFARAT

DELIRIUM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSD MADANI PALU

Oleh :
LUH DITA YULIANDINA
N 111 17 043

PEMBIMBING KLINIK:
dr. Nyoman Sumiati, M.Biomed, Sp.KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RSD MADANI PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Delirium merupakan gangguan fungsi otak dengan gangguan kognitif dan


perilaku, penyakit ini merupakan penyakit yang sering terjadi dan sudah dijelaskan
selama berabad-abad, namun sering tidak terdiagnosis atau salah diagnosis dan
berpotensi untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas.1
Delirium adalah gangguan kesadaran dan gangguan kognitif akut yang umumnya
terjadi pada usia lanjut. Telah dilaporkan prevalensi delirium di USA pada pasien
berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-87%. Di Indonesia,
prevalensi delirium bervariasi yaitu 14-56%, dengan angka kematian di rumah sakit
sekitar 25-30%. 1,2
sindrom delirium menerminkan disfungsi otak yang diakibatkan oleh penyakit sistemik,
penyakit serebral, putus zat atau intoksikasi obat-obatan/ zat psikoaktif. Delirium yang
disebabkan oleh obat-obatan diperkirakan berkisar 12-39% dari seluruh kasus
delirium.1,2
Dalam revisi DSM IV-TR edisi ke-4, delirium “ditandai oleh gangguan kesadaran
serta perubahan kognisi yang timbul dalam waktu singkat”. Gejala penanda delirium
yang utama adalah hendaya kesadaran, biasanya terjadi pada hendaya fungsi kognitif
secara menyeluruh. Abnormalitas mood, persepsi, dan perilaku merupakan gejala
psikiatri yang lazim dijumpai; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi, dan
inkontinensia urin adalah gejala neurologis yang umumnya ditemui. Secara klasik,
delirium memiliki awitan mendadak (dalam hitungan jam atau hari), perjalanan yang
singkat dan berfluktuasi, serta perbaikan cepat bila faktor kausatif diidentifikasi serta
dieliminasi, namun tiap gambaran khas ini dapat bervariasi secara individual.
Komplikasi delirium meliputi cedera aksidental akibat kesadaran pasien yang berkabut
atau hendaya koordinasi atau karena penggunaan alat pengekang yang tidak perlu.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Delirium


Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan
kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak
penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan
tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.4,5
Delirium merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang
terdiagnosis. Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama
lain yang bervariasi, contohnya keadaan bingung akut, sindrom otak akut,
ensefalopati metabolik, psikosis toksik, dan gagal otak akut.5
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau
hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor
penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik
tersebut dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada
berbagai tingkat usia namun tersering pada usia diatas 60 tahun. Menggigau
merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan
kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium
dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi
progresif kearah dementia

2.2 Epidemiologi
Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai. Prevalensi delirium di
USA pada pasien berusia lanjut di ruang Intensive Care Unit (ICU) berkisar 78-
87%.1 Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada polpulasi umum adalah
0,4% pada orang yang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1% pada usia 55 tahun ke
atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di rumah sakit
mengalami delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di atas 65
tahun mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia lainnya mengalami

3
delirium saat masuk rumah sakit. Menurut DSM-IV-TR, jenis kelamin laki-laki
merupakan faktor risiko independen terjadinya delirium.5
2.3 Etiologi
Kausa utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsi),
penyakit sistemik (seperti gagal jantung), serta baik intoksikasi maupun keadaan
putus atau withdrawal obat-obatan dari zat farmakologis atau toksik. Saat
mengevaluasi pasien delirium, klinisi harus menganggap bahwa obat apapun yang
dikonsumsi pasien dapat terkait secara kausatif dengan deliriumnya.[1,2]
Hipotesis neurotransmitter utama yang terlibat dalam delirium adalah
acetylcholine dan daerah utama neuroanatomi yang terkena adalah formation
reticularis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya
delirium adalah karena terjadi penurunan aktivitas acetylcholine dalam otak.[1]
Salah satu penyebab lain timbulnya delirium adalah toksisitas penggunan
obat dengan aktivitas antikolinergik. Obat-obat dengan aktivitas antikolinergik
tersebut antara lain amitryptiline, doxepin, imipramine, thioridazine, dan
chlorpromazine yang merupakan obat-obat yang sering digunakan dalam
psikiatrik. Neurotransmiter lain yang juga berperan adalah serotonin dan glutamat.
Beberapa penyebab spesifik dari delirium tertera dalam Tabel 2.1.[1]

Tabel 2.1 Penyebab Delirium[1,3]


Efek atau interaksi obat-obatan
Anticholinergics (Benadryl, tricyclic antidepressants)
Narcotics (meperidine)
Sedative hypnotics (benzodiazepines)
Histamine-2 (H2) blockers (cimetidine)
Corticosteroids
Centrally acting antihypertensives (methyldopa, reserpine)
Anti-Parkinson drugs (levodopa)
Intoksikasi substansi atau withdrawal

4
Alkohol, heroin, kanabis, PCP, dan LSD
Infeksi
Infeksi SSP seperti meningitis
Encephalitis
HIV-related brain infections
Septisemia
Pneumonia
Urinary tract infections
Perubuhan struktural
 Cedera kepala atau cerebral hemorrhage
 Cerebrovascular accidents, seperti cerebral
infarction, subarachnoid hemorrhage, dan hypertensive
encephalopathy
 Tumor otak primer atau metastasis
 Abses otak
Metabolic disarray
Keseimbangan asam-basa
Dehidrasi
Malnutrisi
Kondisi defisiensi vitamin (khususnya tiamin dan
sianokobalamin)
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Abnormalitas glukosa darah (hipoglikemia)
Hipoksia atau Carbo dioxide narcosis
Gagal ginjal atau hati
Uremic encephalopathy
Hepatic encephalopathy
Endokrinopati terkait tiroid dan paratiroid
Cerebrovascular insufficiency:

5
Gagal jantung kongesti
Hipovolemia
Aritmia
Anemia berat
Iskemia transien
Acute CVA
Disfungsi endokrin
Postoperative states; Postcardiotomy delirium
Faktor lingkungan; Intensive care unit psychosis
Sleep deprivation

Meskipun banyak faktor risiko telah dijelaskan, penelitian terbaru


mengidentifikasi 5 faktor risiko penting yang independen:[3]
1. Penggunaan physical restraints
2. Malnutrisi
3. Penggunaan kateter kandung kemih
4. Setiap peristiwa iatrogenik
5. Penggunaan 3 atau lebih obat
Selain itu, demensia adalah salah satu faktor risiko yang kuat dan paling
konsisten. Demensia yang mendasari diamati pada 25-50% pasien. Adanya
demensia meningkatkan risiko delirium 2-3 kali. Tingkat pendidikan yang rendah,
mungkin menjadi indikator cognitive reserve yang rendah, yang mana
berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap delirium. Mood yang
dysphoric dan keputusasaan juga menjadi faktor risiko untuk insiden delirium.[3]

6
2.4.PATOFISIOLOGI
GANGGUAN KOGNITIF

Delirium dapat disertai dengan gangguan kognitif, maka gangguan


kognitif dapat diartikan sebagai gangguan kemampuan berpikir dan memberikan
rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan
memperhatikan. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena
kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak. Fungsi
otak berdasarkan tiap lobusnya adalah sebagai berikut:

1. Lobus Frontalis
Pada bagian lobus ini berfungsi untuk :

- Proses belajar

- Abstraksi

- Alasan

2. Lobus Temporal
Secara umum berfungsi untuk :

- Diskriminasi bunyi

- Prilaku verbal

- Bicara

3. Lobus Parietal
Berfungsi untuk :

- Diskriminasi waktu

- Fungsi somatik

- Fungsi motorik

7
4. Lobus Oksipitalis
Berfungsi untuk :

- Diskriminasi visual

- Diskriminasi beberapa aspek


memori

5. Sisitim Limbik
Hal ini akan berpengaruh pada
fungsi :

- Perhatian

- Flight of idea

- Memori

- Daya ingat

Secara umum apabila terjadi gangguan pada otak, maka seseorang akan

mengalami gejala yang berbeda, sesuai dengan daerah yang terganggu yaitu :

1. Gangguan pada lobus frontalis , akan ditemukan gejala-gejala sebagai


berikut :
- Kemampuan memecahkan masalah berkurang

- Hilang rasa sosial dan moral

- Impulsif

- Regresi

2. Gangguan pada lobus temporalis akan ditemukan gejala sebagai berikut:

8
- Amnesia

- Demensia

3. Gangguan pada lobus parietalis dan oksipitalis akan ditemukan gejala


gejalayang hampir sama, tapi secara umum akan terjadi disorientasi
4. Gangguan pada sistim limbik akan menimbulkan gejala yang bervariasi
antara lain :
- Gangguan daya ingat

- Memori

- Disorientasi

Dua jaringan saraf utama yang mendasari perhatian, pertama keberadaan


difus, dengan melibatkan jalur thalamic dan bihemispheric, dan yang kedua
keberadaan fokal, dengan melibatkan korteks frontal dan parietal di bagian
hemisper kanan. Terdapat gangguan yang luas dari fungsi kortikal yang lebih
tinggi pada delirium, dengan bukti adanya disfungsi pada beberapa area otak-
struktur subkortikal, batang otak dan thalamus, lobus parietal nondominant,
fusiform, dan korteks pre-frontal, serta korteks motorik primer. Lesi sisi kanan
telah diduga sebagai hal yang penting pada jalur akhir yang umum untuk delirium
dan infraksi pada arteri serebral kanan dan arteri serebral tengah yang mana
berhubungan dengan agitasi pada delirium.6
Terdapat bukti untuk defisiensi kolinergik pada delirium. Pertama, faktor
resiko delirium termasuk metabolisme dan kelainan otak struktural berhubungan
dengan penurunan aktivitas asetilkolin. Kedua, aktivitas antikolinergik serum
yang tinggi terkait dengan keparahan delirium. Ketiga, terdapat bukti bersifat
anekdot menunjukkan bahwa obat antikolinesterase yang digunakan dalam
pengobatan penyakit Alzheimer mungkin juga bermanfaat dalam mengobato
gejala delirium.6

9
Gambar 2.1 Patofisiologi Delirium7
2.5 Manifestasi klinis delirium
Gambaran klinis delirium meliputi terganggunya kesadaran, seperti
penurunan tingkat kesadaran; terganggunya atensi yang mencakup berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan atensi; hendaya
dalam bidang fungsi kognitif lain yang dapat bermanifestasi sebagai disorientasi
(khususnya terhadap waktu dan tempat) dan penurunan fungsi memori; awitan yang
relatif cepat (biasanya dalam hitungan jam atau hari); durasi singkat (biasanya
selama beberapa hari atau minggu); dan seringkali fluktuasi keparahan serta
manifestasi klinis lain yang nyata dan tidak dapat diramalkan terjadi sepanjang hari,
kadang memburuk di malam hari (senja), terkadang dengan hendaya kognitif serta
disorganisasi yang cukup parah.8
Gambaran klinis terkait sering muncul dan menonjol, meliputi disgorganisasi
proses pikir (berkisar dari tangensialitas ringan hingga inkoherensi nyata),
gangguan persepsi seperti ilusi dan halusinasi, hiperaktivitas dan hipoaktivitas
psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun (gejala yang sering berupa tidur yang

10
terfragmentasi di malam hari, dengan atau tanpa rasa kantuk di siang hari),
perubahan mood (dari iritabilitas sampai disforia, ansietas, atau bahkan euforia
yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi neurologis yang terganggu (contoh:
hiperaktivitas atau instabilitas otonom, kejang mioklonik, dan disartria).6

2.6.Diagnosis
Diagnosis delirium berdasarkan gambaran klinis dan tidak ada uji
laboratorium yang dapat mendiagnosa delirium. Memperoleh riwayat menyeluruh
sangatlah penting untuk diagnsosis delirium. Gejala klinis delirium terdiri atas
adanya gangguan kesadaran dan kognisi, harus diingat bahwa delirium bukan
merupakan penyakit tetapi merupakan gejala, sehingga dalam menentukan adanya
delirium harus berdasarkan penyebabnya. Untuk itu delirium terbagi atas:[1,3]
1. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum
2. Delirium yang diinduksi oleh zat
3. Delirium yang berkaitan dengan berbagai penyebab.
Sindrom delirium hampir selalu disebabkan oleh satu atau lebih penyakit
sistemik atau serebral yang mempengaruhi fungsi otak. DSM-IV-TR memberikan
kriteria diagnosis yang berbeda untuk delirium akibat kondisi medik umum (Tabel
2.2), untuk delirium terkait kondisi medis sistemik atau kondisi serebral primer,
delirum pada intoksikasi zat (Tabel 2.3), delirium pada keadaan putus zat (Tabel
2.4), delirium akibat etiologi multipel (Tabel 2.5), dan delirium yang tidak
tergolongkan (Tabel 2.6) untuk delirium akibat penyebab yang tidak diketahui
atau akibat kausa yang tidak terdaftar, seperti deprivasi sensorik. Namun, sindrom
utamanya sama, tanpa memandang penyebabnya.2
Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR untuk Delirium Akibat Kondisi
Medik Umum2
A. Gangguan kesadaran (misalnya, berkurangnya kejernihan kesiagaan
terhadap lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, atau mengalihkan atensi.

11
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh
demensia yang telah ada sebelumnya, telah ditegakkan sebelumnya, atau
sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi
fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum.
Catatan pengkodean: jika delirium terjadi bersamaan pada demensia vaskular
yang telah ada sebelumnya, nyatakan delirium dengan kode demensia
vaskular, dengan delirium.
Catatan pengkodean: sertakan nama kondisi medis umum pada Aksis I,
contoh: Delirium akibat ensefalopati hepatik, juga kode kondisi medis
umum pada Aksis II.

Tabel 2.3 Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR untuk Delirium pada Intoksikasi


Zat2
A. Gangguan kesadaran (misalnya, berkurangnya kejernihan kesiagaan
terhadap lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, atau mengalihkan atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh
demensia yang telah ada sebelumnya, telah ditegakkan sebelumnya, atau
sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium adanya poin (1) atau (2):

12
(1) Gejala pada Kriteria A dan B timbul saat intoksikasi zat.
(2) Penggunaan obat secara etiologis berkaitan dengan gangguan*
Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat untuk menggantikan diagnosis
intoksikasi zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan
oleh sindrom intoksikasi dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan
perhatian klinis tersendiri.
*Catatan: Diagnosis sebaiknya dicatat sebagai delirium terinduksi zat bila
berkaitan dengan penggunaan obat.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Amfetamin [atau zat yang menyerupai amfetamin]; Kanabis; Kokain;
Halosinogen; Inhalan; Opioid; Fensiklidin [atau zat yang menyerupai
fensiklidin]; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat lain [atau yang tidak
diketahui] [contoh: simetidin, digitalis, benztropin]).

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR untuk Delirium pada Keadaan


Putus Zat2
A. Gangguan kesadaran (misalnya, berkurangnya kejernihan kesiagaan
terhadap lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, atau mengalihkan atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan
oleh demensia yang telah ada sebelumnya, telah ditegakkan
sebelumnya, atau sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya
dalam hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang
hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau
temuan laboratorium bahwa gejala pada Kriteria A dan B timbul
selama, atau segera setelah suatu sindrom putus zat.

13
Catatan: Diagnosis ini sebaiknya dibuat sebagai ganti diagnosis keadaan
putus zat hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan
oleh sindrom putus zat dan bila gejala cukup parah hingga
memerlukan perhatian klinis tersendiri.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat lain [atau yang tidak
diketahui]).

Tabel 2.5 Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR untuk Delirium Akibat Etiologi


Multipel2
A. Gangguan kesadaran (misalnya, berkurangnya kejernihan kesiagaan
terhadap lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan,
mempertahankan, atau mengalihkan atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan
oleh demensia yang telah ada sebelumnya, telah ditegakkan
sebelumnya, atau sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya
dalam hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang
hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau
temuan laboratorium bahwa delirium tersebut memiliki lebih dari
satu etiologi (contoh: lebih dari satu kondisi medis umum sebagai
etiologi, satu kondisi medis umum plus intoksikasi zat atau efek
samping obat).
Catatan pengkodean: Gunakan kode multipel yang mencerminkan
delirium spesifik dan etiologi spesifik, contoh: Delirium akibat
ensefalitis viral; Delirium pada keadaan putus alkohol.

14
Tabel 2.6 Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR untuk Delirium yang Tak
Tergolongkan2
Kategori ini sebaiknya hanya digunakan untuk mendiagnosis delirium
yang tidak memenuhi kriteria untuk salah satu dari delirium tipe
spesifik yang telah dijelaskan di bagian ini.
Contohnya meliputi:
1. Tampilan klinis delirium yang dicurigai diakibatkan oleh suatu
kondisi medis umum atau penggunaan zat namun belum ada cukup
bukti untuk menetapkan etiologi yang spesifik.
2. Delirium akibat kausa yang tidak terdaftar di bagian ini (contoh:
Deprivasi sensorik)

Pedoman diagnosis delirium menurut PPDGJ-III dimasukkan dalam Axis I,


yaitu Gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik) (F00-
F09) dan Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-
F19). Pedoman diagnostik delirium (bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif
lainnya) pada F00-F09 dapat diamati pada Tabel 2.7. Adapun, pedoman
diagnostik delirium (akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya) pada F10-F19
dapat diamati pada Tabel 2.8.6

Tabel 2.7 Pedoman Diagnostik Delirium pada Axis I, Gangguan Mental


Organik (Termasuk Gangguan Mental Simtomatik) (F00-F09)2
F05 DELIRIUM, BUKAN AKIBAT ALKOHOL DAN ZAT
PSIKOAKTIF LAINNYA

Pedoman Diagnostik
 Gangguan kesadaran dan perhatian

15
- dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma;
- menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian;
 Gangguan kognitif secara umum:
- distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkali visual;
- hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa
waham yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat
inkoherensi yang ringan;
- hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat
jangka panjang relatif masih utuh;
- disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi
tempat dan orang.
 Gangguan psikomotor:
- hipo- atau hiper-aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak
terduga dari satu ke yang lain;
- waktu bereaksi yang lebih panjang;
- arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang;
- reaksi teperanjat meningkat;
 Gangguan siklus tidur-bangun:
- insomnia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali
atau terbaliknya siklus tidur-bangun; mengantuk pada siang hari;
- gejala yang memburuk pada malam hari;
- mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut
menjadi halusinasi setelah bangun tidur;
 Gangguan emosional:
- misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis,
atau rasa kehilangan akal.
 Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang-timbul sepanjang
hari, dan keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan.

16
Diagnosis banding: - Sindrom organik lainnya, Demensia (F00-F03)
- Gangguan psikotik akut dan sementara (F23.)
- Skizofrenia dalam keadaan akut (F20.-)
- Gangguan afektif + “confusional features” (F30-F39)
- Delirium akibat alkohol/zat psikoaktif lain (F1x.4)
(F1x.03)

F05.0 Delirium, Tak Bertumpang-Tindih dengan Demensia


 Delirium yang tidak bertumpang tindih dengan demensia yang sudah ada
sebeumnya.
F05.1 Delirium, Bertumpang-Tindih dengan Demensia
 Kondisi yang memenuhi kriteria delirium di atas tetapi terjadi pada saat
sudah ada demensia
F05.8 Delirium Lainnya
F05.9 Delirium YTT

Tabel 2.8 Pedoman Diagnostik Delirium pada Axis I, Gangguan Mental dan
Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F10-F19)7
F1x.03 Intoksikasi Akut Dengan Delirium

F1x.0 Intoksikasi Akut

Pedoman Diagnostik
 Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan: tingkat dosis zat yang
digunakan (dose-dependent), individu dengan kondisi organik
tertentu yang mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati)
yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat

17
yang tidak proporsional.
 Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial perlu
dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau
upacara keagamaan).
 Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul
akibat penggunaan alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku,
atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya.
Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada
akhirnya efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi.
Dengan demikian orang tersebut akan kembali ke kondisi semula,
kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi lainnya.

F1x.4 Keadaan Putus Zat dengan Delirium

Pedoman Diagnostik
 Suatu keadaan putus zat (F1x.3) disertai komplikasi delirium (lihat
kriteria umum delirium pada F05.-).
 Termasuk: Delirium Tremens, yang merupakan akibat dari putus
alkohol serta absolut atau relatif pada pengguna yang
ketergantungan berat dengan riwayat penggunaan yang lama. Onset
biasanya terjadi sesudah putus alkohol. Keadaan gaduh gelisah
toksik (toxic confusional state) yang berlangsung singkat tetapi
adakalanya dapat membahayakan jiwa, yang disertai gangguan
somatik.
 Gejala prodromal khas berupa: insomnia, gemetar dan ketakutan.
Onset dapat didahului oleh kejang setelah putus zat.
Trias yang klasik dari gejalanya adalah:
- kesadaran berkabut dan kebingungan;

18
- halusinasi dan ilusi yang hidup (vivid) yang mengenai salah
satu pancaindera (sensory modality), dan
- tremor berat.

Biasanya ditemukan juga waham, agitasi, insomnia atau siklus tidur


yang terbalik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan.

Diagnosis keadaan putus zat dengan delirium dapat ditentukan dengan


penggunaan kode lima karakter berikut:
F1x.40 Tanpa konvulsi
F1x.41 Dengan konvulsi

F1x.3 Keadaan Putus Zat


 Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom
ketergantungan dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus
dipertimbangkan
 Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila
hal ini merupakan alasan rujukan dan cukup parah sampai
memerlukan perhatian medis secara khusus.
 Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan.
Gangguan psikologis (misalnya anxietas, depresi dan gangguan
tidur) merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat ini.
Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat
akan merada dengan meneruskan penggunaan zat.

19
Tabel 2.9 Kriteria DSM-V Untuk Withdrawal Delirium (Delirium Tremens)8

2.7.PEMERIKSAAN FISIK
Delirium biasanya didiagnosis di bangsal rawat dan ditandai oleh awitan
gejala yang mendadak. Pemeriksaan status mental di bangsal rawat- contohnya
Mini-Mental State Examination (MMSE)-dapat digunakan untuk
mendokumentasikan hendaya kognitif serta untuk memberikan landasan untuk
mengukur perjalanan klinis pasien. Pemeriksaan fisik sering mengungkapkan
petunjuk penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang telah diketahui atau
riwayat trauma kepala atau ketergantungan alkohol atau zat lain membantu
menegakkan diagnosis.[2]
Beberapa langkah-langkah yang digunakan untuk mengidentifikasi delirium
meliputi berikut ini:[3]

20
1. Confusion Assessment Method (CAM)

Gambar 2.2 Confusion Assessment Method (CAM & CAM-ICU)[6]

Gambar 2.3 Brief Confusion Assessment Method (bCAM) Flow Sheet6

2. Delirium Symptom Interview (DSI)

21
3. Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit (CAM-ICU)
4. Intensive Care Delirium Screening Checklist (ICDSC)

Tabel 2.10 Intensive Care Delirium Screening Checklist (ICDSC)[6]


1. Altered level of consciousness
2. Inattention
3. Disorientation
4. Hallucinations
5. Psychomotor agitation or retardation
6. Inappropriate speech
7. Sleep/wake cycle disturbances
8. Symptom fluctuation
Skor 1 poin untuk setiap komponen yang ada
• Skor 1-3 = Delirium Subsyndromal
• Skor ≥ 4 = Delirium

Keparahan gejala delirium dapat dinilai dengan Delirium Detection Scale (DDS)
dan Memorial Delirium Assessment Scale (MDAS).3

2.8.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium pasien delirium sebaiknya mencakup uji standar
dan pemeriksaan tambahan sesuai indikasi situasi klinis. Pada delirium, EEG
secara karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas secara umum dan dapat
berguna untuk membedakan delirium dengan depresi atau psikosis. EEG pasien
delirium kadang-kadang menunjukkan area hiperaktivitas fokal. Pada kasus
jarang, mungkin sulit untuk membedakan delirium terkait epilepsi dengan
delirium terkait penyebab lain. Pungsi lumbal diindikasikan ketika infeksi SSP
diduga sebagai penyebab delirium atau ketika sumber infeksi sistemik belum
dapat ditentukan. Pulse oximetry digunakan untuk mendiagnosa hipoksia sebagai

22
penyebab delirium. Elektrokardiogram digunakan untuk mendiagnosa penyebab
iskemik dan aritmia.2,3
Tes laboratorium yang dapat membantu untuk diagnosis meliputi:3
1. Hitung sel darah lengkap dengan diferensial: bermanfaat untuk
mendiagnosa infeksi dan anemia
2. Elektrolit: untuk mendiagnosa kadar rendah atau tinggi
3. Glukosa: untuk mendiagnosa hipoglikemia, ketoasidosis diabetes, dan
kondisi hiperosmolar nonketotic
4. Tes fungsi ginjal dan hati: untuk mendiagnosa gagal hati dan ginjal
5. Penelitian fungsi tiroid: untuk mendiagnosa hipotiroidisme
6. Analisis urin: digunakan untuk mendiagnosa infeksi saluran kemih
7. Pemeriksaan urin dan obat darah: digunakan untuk mendiagnosa penyebab
toksikologi
8. Kadar tiamin dan vitamin B-12: digunakan untuk mendeteksi keadaan
defisiensi vitamin ini
9. Tes untuk etiologi bakteriologis dan virus: untuk mendiagnosa infeksi
10. Laju endap darah
11. Screen obat termasuk kadar alkohol
12. Tes HIV
13. Pengujian penyebab infeksi lainnya jika diperlukan atau ada indikasi klinis
(tes ini tidak dilakukan secara rutin, meskipun 30-40% dari pasien rawat
inap dengan infeksi HIV mengembangkan delirium selama rawat inap)
14. Penanda serum (marker serum) untuk delirium: protein pengikat kalsium
(calcium-binding protein) S-100 B bisa menjadi penanda serum delirium.
Kadar yang lebih tinggi terlihat pada pasien dengan delirium dibandingkan
dengan pasien tanpa delirium
Pemeriksaan imaging, dapat meliputi:[3]
1. Neuroimaging
a. CT scan kepala

23
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala dapat membantu dalam
diagnosis stroke, perdarahan, dan lesi struktural.
2. Electroencephalogram (EEG)
a. Pada delirium, umumnya, perlambatan ritme dominan posterior dan
peningkatan generalisasi aktivitas slow-wave yang diamati pada
rekaman electroencephalogram (EEG).
b. Pada delirium akibat putus alkohol/obat penenang, peningkatan
aktivitas fast-wave EEG terjadi.
c. Pada pasien dengan ensefalopati hepatik, terjadi pelambatan difus
EEG.
d. Jenis pola yang diamati meliputi gelombang triphasic pada toksisitas
atau gangguan metabolik, discharges kontinyu pada status epileptikus
nonconvulsive, dan aktivitas delta lokal pada lesi fokal.
3. Rontgen dada digunakan untuk mendiagnosis pneumonia atau gagal jantung
kongestif.

2.9. Diagnosa Banding


a. Demensia
Onset demensia terjadi secara perlahan, berbeda dengan delirium yang terjadi
secara mendadak. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya kognitif,
perubahan pada demensia lebih stabil dengan berjalannya waktu dan tidak
berfluktuasi sepanjang hari.5
Tabel 2.11 Perbedaan Gambaran Klinis Delirium dan Demensia1
Delirium Demensia
Gangguan daya ingat +++ +++
Gangguan proses pikir ++ +++
Gangguan daya nilai +++ +++
Kesadaran berkabut +++ -
Major attention deficits +++ +

24
Fluktuasi perjalanan penyakit +++ +
(1 hari)
Disorientasi +++ ++
Gangguan persepsi jelas ++ -
Inkoherensi ++ +
Gangguan siklus tidur-bangun ++ +
Eksaserbasi nokturnal ++ +
Insight/ tilikan ++ +
Awitan akut/subakut ++ -

Tabel 2.12 Perbedaan Delirium dan Demensia3


Delirium Demensia
Onset Biasanya tiba-tiba Biasanya perlahan
Lama Biasanya singkat/ < 1 bulan biasanya lama dan
progressif.
Paling banyak dijumpai
pada usia > 65 th.
Stressor Racun, infeksi, trauma, Hipertensi, hipotensi,
Hipertermia anemia. Racun, defisit
vitamin, tumor atropi
jaringan otak
Perilaku Fluktuasi tingkat kesadaran Hilang daya ingat
- Disorientasi - Kerusakan penilaian
- Gelisah - Perhatian menurun
- Agitasi - Perilaku sosial tidak sesuai
- Ilusi - Afek labil
- Halusinasi - Gelisah
- Pikiran tidak teratur - Agitasi

25
-Gangguan penilaian dan
pengambilan keputusan
- Afek labil

b. Gangguan psikotik dan Depresi


Beberapa pasien gangguan psikotik seperti skizofrenia atau episode
manik mungkin mengalami periode perilaku yang sangat kacau yang sulit
dibedakan dengan delirium. Namun, umumnya halusinasi dan waham pada
pasien psikotik akut lebih konstan dan lebih teratur dibandingkan dengan
delirium. Pasien psikotik akut biasanya tidak mengalami perubahan tingkat
kesadaran atau orientasi. Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan
tampak serupa dengan pasien depresi berat namun dapat dibedakan berdasarkan
EKG.5

2.10. Tatalaksana
a. Nonfarmakologis
Tatalaksana non farmakologis yang penting adalah memberikan
dukungan fisik, sensorik, dan lingkungan. Dukungan fisik dibutuhkan agar
pasien delirium tidak terjebak dalam situasi yang mencelakai dirinya
sendiri. Pasien delirium sebaiknya tidak mengalami deprivasi sensorik
maupun dirangsang secara berlebihan oleh lingkungan. Mereka biasanya
akan terbantu dengan adanya teman atau saudara di ruangan yang sama atau
orang yang biasa dekat dengannya. Orientasi yang teratur terhadap orang,
tempat, dan waktu dapat membantu membuat pasien delirium merasa
nyaman.5

26
b. Farmakologis
Delirium yang menyebabkan cedera pada pasien atau orang lain
harus diobati dengan obat. Obat yang paling umum digunakan adalah
neuroleptik. Benzodiazepin sering digunakan untuk keadaan withdrawal.
Neuroleptik adalah obat pilihan dalam pengobatan gejala psikotik.
Neuroleptik tua seperti haloperidol, merupakan antipsikotik yang berpotensi
tinggi, berguna tetapi memiliki banyak efek samping neurologis.
Neuroleptik baru seperti risperidone, olanzapine, quetiapine dan
meringankan gejala dan meminimalkan efek samping. Dosis awal mungkin
perlu lebih tinggi dari dosis pemeliharaan. Gunakan dosis yang lebih rendah
pada pasien yang sudah lanjut usia. Selain itu, penghentian obat-obat ini
haruslah sesegera mungkin.3
Short-acting sedative diberikan untuk delirium yang disebabkan oleh
kejang atau pasien putus alkohol atau sedatif hipnotik. Penggunaan bersama
dengan neuroleptik dipertimbangkan hanya pada pasien yang mentoleransi
baik dosis rendah obat atau memiliki kecemasan atau agitasi yang
mencolok. Benzodiazepin lebih dipilih dari neuroleptik untuk pengobatan
delirium akibat putus alkohol atau obat sedatif hipnotik. Dapat pula
digunakan ketika zat yang tidak diketahui telah tertelan dan dapat
membantu pada delirium akibat intoksikasi halusinogen, kokain, stimulan,
atau toksisitas PCP. Gunakan langkah antisipasi khusus apabila
menggunakan benzodiazepin karena dapat menyebabkan depresi
pernafasan, terutama pada pasien yang sudah lanjut usia, orang-orang
dengan masalah paru, atau pasien lemah.3
Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat pilihan untuk psikosis
adalah haloperidol (Haldol), yaitu obat antipsikotik golongan butirofenon.
Bergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis awal
dapat bekisar dari 2-10 mg yang diberikan secara intramuskular, diulang
dalam satu jam bila pasien masih teragitasi. Segera setelah pasien tenang,

27
pengobatan oral dalam bentuk konsentrat cair atau tablet harus dimulai. Dua
dosis oral per hari biasanya mencukupi, sepertiganya diberikan pada pagi
hari dan dengan dua-pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk mencapai
efek terapeutik yang sama, dosis oral sebaiknya sekitar 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan dosis parenteral. Total dosis harian haloperidol yang efektif
dapat berkisar dari 5-50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.
Droperidol (Inapsine) adalah butirofenon yang tersedia sebagai alternatif
bentuk intravena, meski diperlukan pemantauan elektroensefalogram ketat
pada pengobatan jenis ini. Golongan fenotiazin sebaiknya dihindari pada
pasien delirium. Obat tersebut dikaitkan dengan aktivitas antikolinergik
yang signifikan.1,2
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine yang
memiliki waktu paruh yang pendek atau menengah seperti lorazepam 1-2
mg sebelum saat tidur. Benzodiazepin dengan waktu paruh yang panjang
dan barbiturat sebaiknya dihindari kecuali bila digunakan sebagai bagian
pengobatan penyakit yang mendasari (contohnya keadaan putus alkohol).
Terdapat laporan kasus perbaikan atau remisi keadaan delirium akibat
penyakit medis yang menetap dengan terapi elektrokonvulsif (ECT).
Walapun dikatakan bahwa terapi kejang listrik (ECT) dapat memperbaiki
delirium, tetapi sebaiknya tidak digunakan. Meski terapi elektrokonvulsif
jarang disarankan oleh konsultan yang ahli melakukan prosedur tersebut,
pertimbangan untuk melakukan terapi elektrokonvulsif secara rutin untuk
delirium tidak disarankan. Jika delirium disebabkan oleh nyeri hebat atau
dispena, dokter sebaiknya tidak menunda pemberian opioid baik utnuk efek
analgesik maupun sedatifnya.1,2
Pedoman pengobatan delirium:6
1. Tidak ada evidence yang dipublikasikan bahwa pengobatan dengan
haloperidol mengurangi durasi delirium pada pasien ICU dewasa (Tidak
ada evidence).

28
2. Antipsikotik atipikal dapat mengurangi durasi delirium di pasien ICU
dewasa (C).
3. Tidak direkomendasikan pemberian rivastigmine untuk mengurangi
durasi delirium pada pasien ICU (-1B).

2.11.KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:[3]
1. Malnutrisi, gangguan cairan dan elektrolit
2. Pneumonia aspirasi
3. Pressure ulcers
4. Kelemahan, penurunan mobilitas, dan penurunan fungsi
5. Jatuh dan perilaku agresif yang mengarah ke cedera dan patah tulang
6. Berkeliaran dan tersesat
7. Gangguan kognitif jangka panjang: Bukti yang terkumpul
menunjukkan bahwa delirium tidak hanya sementara, kebingungan
akut reversibel, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan kognitif
jangka panjang terus-menerus.

2.12.PROGNOSIS
Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan
perasaan takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah
diketahui dan dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan hilang
dalamwaktu 3-7 hari dan akan hilang seluruhnya dalam waktu dua minggu.6

Berkembangnya delirium menjadi demensia belum dapat dibuktikan


pada studi yang sangat terkontrol meski banyak klinisi yang yakin bahwa
mereka pernah menyaksikan progresi semacam itu. Namun, sebuah
pengamatan klinis yang telah disahkan oleh beberapa studi, menunjukkan
bahwa periode delirium terkadang diikuti oleh depresi atau gangguans stress
pascatrauma.2

29
BAB III
KESIMPULAN

1. Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan
kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium memiliki banyak
penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan
dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.
2. Delirium merupakan sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak
kausa, yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan
tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.
3. Delirium ditandai oleh kebingungan jangka pendek serta gangguan kognisi.
4. Terdapat empat subkategori delirium berdasarkan sejumlah penyebab: (1)
kondisi medis umum, seperti infeksi; (2) terinduksi obat, seperti kokain, opioid,
fensiklidin; (3) etiologi multipel seperti trauma kepala dan penyakit ginjal; dan
(4) delirium yang tak tergolongkan di tempat lain, seperti kurang tidur.
5. Dalam mengobati delirum, tujuan utamanya adalah mengatasi penyebab yang
mendasari. Komponen manajemen delirium termasuk terapi suportif dan
manajemen farmakologis.
6. Semakin tua pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium, semakin lama
waktu yang dibutuhkan delirium untuk mereda.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Pisani, Margaret et al. Benzodiazepine and Opioid Use and The Duration of ICU
Delirium in an Older Population. Crit Care Med. 2009; 37(1): 177–183.
2. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
420/Menkes/SK/ii/2010. Pedoman Layanan Terapi Dan Rehabilitasi
Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan Napza Berbasis Rumah Sakit. 2010
Hal: 1-92
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa/Psikiatri. PP PDSKJI. 2012.
4. Sadock & Virginia. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook Clinical Psychiatry.
2nd edition. Jakarta: EGC. 2010.
5. Nevid, J. S., et al. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. 2008.
6. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. (4th ed.,textrevision). Washington D. C. 2000
7. Gunther M, Morandi A, Ely W. Pathophysiology of Delirium in the Intensive
Care Unit. Crit Care Clin. 2008. 45–65.

31

Anda mungkin juga menyukai