Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi
1. HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus
yang termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan
menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus
DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus
lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan
utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya.
Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk
mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan
CD4+ dan limfosit (Nursalam, 2007 dalam Neferi, 2016).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup,
yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS,
tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2
banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam
golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang
mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk
menginfeksi sel mamalia (Finch, 2007 dalam Neferi, 2016).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai

1
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (Widoyo, 2011).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel
mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara
lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-
masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing
subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas
di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006 dalam Neferi, 2016).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan
jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya
keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006 dalam Neferi, 2016).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak
sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai
jenis penyakit lain (Yatim, 2006 dalam Neferi, 2016).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler
pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat
supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya
(Laurentz, 2005 dalam Neferi, 2016).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome
dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan

2
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV
(Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun
manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi
dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel
ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu
menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak
dapat lagi mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan
terhadap berbagai jenis penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami
AIDS apabila sistem pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan
infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut (Widoyo, 2011).

B. Sejarah HIV
Sejarah tentang HIV dan AIDS dimulai ketika tahun 1979 di
Amerika Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocystis
carini dan dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun
1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan
tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan yang pertama
tentang AIDS. Penelitian mengenai AIDS telah dilaksanakan secara
intensif, dan informasi mengenai AIDS sudah menyebar dan bertambah
dengan cepat. Selain berdampak negatif pada bidang medis, AIDS juga
berdampak negatif pada bidang lainnya seperti ekonomi, politik, etika, dan
moral (Widoyono, 2011).
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus
yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier
dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-
associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya
menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III). HIV
adalah anggota dari genus lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang
ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dai
selhost awal yang mengelilingi sebuah pusat protein atau RNA. Dua spesies
HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV- 2. HIV-1 adalah yang lebih
“virulent” dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari

3
kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih
tekurung di Afrika Barat. Kedua spesies berawal di Afrika Barat, melompat
dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai
zoonosis (Widoyono, 2011).
AIDS menarik perhatian komunitas kesehatan pertama kali pada tahun
1981 setelah terjadi secara tidak lazim, kasus-kasus pneumocystis carini
(PPC) dan Sarkoma Kaposi (SK) pada laki-laki muda homoseks di
California (Gottlieb, 1981) dalam (Silvia Anderson, 2006). Kasus pertama
AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara Belanda di Bali.
Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985
yang secara klinis sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga
kali diulang, menyatakan positif. Hanya hasil tes Western Blot, yang saat
itu di lakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan
sebagai kasus AIDS (Widoyono, 2011).

C. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili
lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid
yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen
yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih
dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis
penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus
yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh
makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005 dalam Neferi,
2016).

4
Penyebab AIDS adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV yang dulu disebut virus limfotrofik
sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah
suatu retrovirus manusia sitopatik dari family lentivirus. Retrovirus merubah
asam ribonukleat (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah
masuk kedalam sel penjamu, HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik,
dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia. (Silvia, 2006
dalam Neferi, 2016).
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak


ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak
ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

5
D. Manifestasi Klinis
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2
gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo (Neferi, 2016).
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-
tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan
kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi,
penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun
atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran
sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala
yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan

6
gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan
pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor.
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS
dapat dibagikan mengikut fasenya (Neferi, 2016).
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-
6 minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul
adalah demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi,
malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare,
meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous
ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam
kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi
melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa
minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap
virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami
limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini
virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat
pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat
RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih
cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat
RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

7
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri
(sindrom retroviral akut, demensia HIV), infeksi ofortunistik, atau kanker
yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap
berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.( Arif Mansjoer, 2000 )
1. Infeksi retroviral akut
Frekuensi gelaja infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran
klinis menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatoplemagali, nyeri
tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan, diare,
leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan
neorologi seperti mrningitis asepik, sindrom Gillain Barre, atau psikosis
akut. Sindrom ini biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan.
2. Masa asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan jegala,tetapi dapat terjadi
limfadenopati umum. Penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut
juga masa jendela (window period).
3. Masa gejala dini
Pada masa ini julah CD4 berkisar antar 100-300. Gejala yang
timbul adalah akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina,
sariawan, herped zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberkolosis paru. Masa
ini dulu disebut AIDS Related Complex(ARC)
4. Masa gejala lanjut
Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan ini
menyebabkan risiko tinggi rendahnya infeksi oportunistik berat atau
keganasan (Neferi, 2016).

E. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi

8
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya
(Widoyono, 2011).
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein
yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah
marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut
sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya
limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan
hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh
dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang
sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa
bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%.
Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain
karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh
berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar
yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan
penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun
sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis.
Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan
terhadap infeksi (Widoyono, 2011).

9
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi
antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan
HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak
membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada
saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali
organisme dan sasaran baru yang harus diserang (Heri, 2012 dalam Neferi
2016)
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode
jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun
kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif (Heri, 2012 dalam Neferi 2016)
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius (Heri, 2012 dalam Neferi 2016)

10
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi (Heri, 2012 dalam
Neferi 2016)
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster
dan jamur oportunistik) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya
terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
Cara penularan AIDS (Arif, 2000 dalam Neferi, 2016) antara lain
sebagai berikut :
1. Hubungan seksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan
seksual
2. Melalui darah, yaitu:
a. Transfusi darah yang mengandung HIV, risiko penularan 90-98%
b. Tertusuk jarum yang mengandung HIV, risiko penularan 0,03%
c. Terpapar mukosa yang mengandung HIV,risiko penularan 0,0051%
d. Transmisi dari ibu ke anak :
1) Selama kehamilan
2) Saat persalinan, risiko penularan 50%
3) Melalui air susu ibu(ASI)14%

F. Pemeriksaan Penunjang
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien
dapat tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi
orang lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan
virus dan protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan

11
virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi
sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3
hingga 6 minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif
(Swierzewski, 2010 dalam Neferi, 2016).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA
(enzyme-linked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling
umum dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA
sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi
segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa
minggu setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela,
seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika
hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes
Western blot adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana
protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke
kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat
antibodi, maka ia akan berikatan dengan protein virus terutama dengan
protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel secara
enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya
antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney,
2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk
mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit.
Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan tes Western blot (MacCann, 2008
dalam Neferi, 2016).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus,
manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini
dapat mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi
antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”.
HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah
salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran
HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama
setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak

12
tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain
(Swierzewski, 2010 dalam Neferi, 2016).

G. Penatalaksanaan
1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang
mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan
dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau
lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut
ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA
(contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan
reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut
sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan
kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada
sel tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita
yang mengidap HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama
masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran
dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang
wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua

13
pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari
ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang
dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan
bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu
rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36
minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai
pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC).
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan
membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba,
sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa
obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling
kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan
HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi
occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,
maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang
yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk
memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk
mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk
PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC
telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai
bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati.
Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu
dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk
mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka

14
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS
sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan
efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang
terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun
anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda
onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat
bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak
tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer (Brooks, 2005 dalam Neferi, 2016).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan
perawatan kritis

H. Pengkajian
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah
1. Riwayat: tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan
obat-obat.
2. Penampilan umum: pucat, kelaparan.
Gejala subyektif: demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri,
sulit tidur.
3. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
4. Sirkulasi.

15
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
5. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah,
menangis.
6. Elimiinasi.
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses
rektal.
7. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut,
kesehatan gigi / gusi yang buruk, dan edema.
8. Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan
respon melambat.
9. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan
rentang gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yang sakit.
10. Pernafasan.
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.
Pernapasan: dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot bantu
pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
11. Psikososial: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola
hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
12. Status mental: marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, with
drawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan proses pikir,
hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
13. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus,
ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia,
epsitaksis.
14. Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan, kaku kuduk, kejang, paraplegia.
15. Muskuloskletal: focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan
ADL.

16
16. Kardiovaskuler; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
17. GI: intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun,
diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
18. GU: lesi atau eksudat pada genital,
19. Integument: kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolar-kapiler
Nomor : 00030
Domain :3
Kelas :4
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus
berlebihan
Nomor : 00031
Domain : 11
Kelas :2
3. Kelelahan berhubungan dengan kelesuhan fisiologis (penyakit)
Nomor : 00093
Domain :4
Kelas :3
4. Ketidakseimbangan nutri berhubungan dengan faktor biologis
Nomor : 00163
Domain :2
Kelas :1
5. Diare berhubungan dengan fisiologis (malabsorpsi)
Nomor : 00013
Domain :3
Kelas :2
6. Kekurangan voleme cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
Nomor : 00027
Domain :2

17
Kelas :5
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
Nomor : 00118
Domain :3
Kelas :6
8. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh sekunder tidak
adekuat (imunosupresi).
Nomor : 000118
Domain :6
Kelas :3

18
J. Kriteria Hasil (NOC) dan Intervensi Keperawatan (NIC)

Rencana keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan Pertukaran gas NOC: NIC :

- Respiratory Status : Gas exchange 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


- Keseimbangan asam Basa, Elektrolit 2. Pasang mayo bila perlu
- Respiratory Status : ventilation 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Vital Sign Status 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Gangguan pertukaran pasien teratasi dengan 6. Berikan bronkodilator ;
kriteria hasi: - ………………….

- Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan - ………………….

oksigenasi yang adekuat 7. Barikan pelembab udara

- Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.

tanda tanda distress pernafasan 9. Monitor respirasi dan status O2

- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 10. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal

19
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 11. Monitor suara nafas, seperti dengkur
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas 12. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
dengan mudah, tidak ada pursed lips) hiperventilasi, cheyne stokes, biot
- Tanda tanda vital dalam rentang normal 13. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya
- AGD dalam batas normal ventilasi dan suara tambahan
- Status neurologis dalam batas normal 14. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus mental
15. Observasi sianosis khususnya membran mukosa
16. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang persiapan
tindakan dan tujuan penggunaan alat tambahan (O2,
Suction, Inhalasi)
17. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama dan denyut jantung
Bersihan Jalan Nafas tidak NOC: NIC

efektif  Respiratory status : Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.


 Respiratory status : Airway patency 2. Berikan O2 ……l/mnt, metode………
 Aspiration Control 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
Setelah dilakukan tindakan Keperawatan selama … 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dibuktikan dengan kriteria hasil: 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

20
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 8. Berikan bronkodilator :
(mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan - ………………………
mudah) indikator nilai 5 - ……………………….
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak 9. Monitor status hemodinamik
merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
dalam rentang normal, tidak ada suara nafas 11. Berikan antibiotik :
abnormal) indikator nilai 5 …………………….
3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor
12. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
yang penyebab indikator nilai 5
13. Monitor respirasi dan status O2
4. Saturasi O2 dalam batas normal indikator nilai 5
14. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan
sekre
15. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
Ketidakseimbangan nutrisi NOC: NIC :
kurang dari kebutuhan
a. Status Nutrisi : Asupan Nutrisi Manajemen nutrisi
tubuh
b. Status Nutrisi : asupan makanan dan cairan
1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk
- Setelah dilakukan tindakan keperawatan

21
selama….nutrisi kurang dapat teratasi dengan memenuhi kebutuhan gizi
indikator: 2. Kaji adanya alergi makanan
3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
- Asupan Nutrisi adekuat indikator nilai 5
dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
- Asupan makanan secara oral adekuat indikator
4. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
nilai 5
mencegah konstipasi
- Asupan cairan secara oral adekuat indikator nilai
5. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan
5
harian.
- Asupan cairan intravena adekuat indikator nilai
6. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
5
7. Monitor lingkungan selama makan
-
8. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam
makan
9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan
kadar Ht
11. Monitor mual dan muntah
12. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan
konjungtiva
13. Monitor intake nuntrisi

22
14. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat
nutrisi
15. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT / TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
16. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
17. Kelola pemberan anti emetik:.....
18. Anjurkan banyak minum
19. Pertahankan terapi IV line
20. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan
cavitas oval
Kelelahan - Tingkat kelelahan NIC :
- Konservasi energi
Energy Management

1. Monitor respon kardiorespirasi terhadap aktivitas (takikardi,


Setelah dilakukan tindakan keperawatan
disritmia, dispneu, diaphoresis, pucat, tekanan hemodinamik
selama….kelelahan dapat teratasi dengan indikator:
dan jumlah respirasi)
- kelelahan indikator nilai 5 (tidak ada) 2. Monitor dan catat pola dan jumlah tidur pasien
- kelesuhan indikator nilai 5 (tidak ada) 3. Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri selama bergerak

23
- kegiatan sehari-sehari (ADL) indikator nilai 5 dan aktivitas
(tidak terganggu) 4. Monitor intake nutrisi
- melaporkan kekuatan yang cukup untuk 5. Monitor pemberian dan efek samping obat depresi
beraktivitas indikator nilai 5 (secara konsisten 6. Instruksikan pada pasien untuk mencatat tanda-tanda dan
menunjukkan) gejala kelelahan
7. Ajarkan tehnik dan manajemen aktivitas untuk mencegah
kelelahan
8. Jelaskan pada pasien hubungan kelelahan dengan proses
penyakit
9. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
intake makanan tinggi energi
10. Dorong pasien dan keluarga mengekspresikan
perasaannya
11. Catat aktivitas yang dapat meningkatkan kelelahan
12. Anjurkan pasien melakukan yang meningkatkan
relaksasi (membaca, mendengarkan musik)
13. Tingkatkan pembatasan bedrest dan aktivitas
Batasi stimulasi lingkungan untuk memfasilitasi relaksasi

24
Kekurangan Volume Cairan NOC: NIC :

- - Fluid balance 1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat


- Hydration 2. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi
- Nutritional Status : Food and Fluid Intake adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. 3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN ,
defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil: Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein)
4. Monitor vital sign setiap 15 menit – 1 jam
- Mempertahankan urin output sesuai dengan usia
5. Kolaborasi pemberian cairan IV
dan BB, BJ urine normal,
6. Monitor status nutrisi
- Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas
7. Berikan cairan oral
normal
8. Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50 –
- Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor
100cc/jam)
kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada
9. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
rasa haus yang berlebihan
10. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
- Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
meburuk.
- Jumlah dan iramapernapasan dalam batas normal
11. Atur kemungkinan tranfusi
- Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal
12. Persiapan untuk tranfusi
- pH urin dalam batas normal
13. Pasang kateter jika perlu
- Intake oral dan intravena adekuat

25
14. Monitor intake dan urin output setiap 8 jam.
Diare NOC: NIC :

- - Bowl Elimination Diare Management


- Fluid Balance
1. Kelola pemeriksaan kultur sensitivitas feses
- Hidration
2. Evaluasi pengobatan yang berefek samping gastrointestinal
- Electrolit and Acid Base Balance
3. Evaluasi jenis intake makanan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….
4. Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan
diare pasien teratasi dengan kriteria hasil:
ulserasi
- Tidak ada diare 5. Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
- Feses tidak ada darah dan mukus 6. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat
- Nyeri perut tidak ada warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
- Pola BAB normal 7. Ajarkan pada pasien tehnik pengurangan stress jika perlu
- Elektrolit normal 8. Kolaburasi jika tanda dan gejala diare menetap
- Asam basa normal 9. Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
- Hidrasi baik (membran mukosa lembab, tidak 10. Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator
panas, vital sign normal, hematokrit dan urin dehidrasi
output dalam batas normal 11. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat

26
Gangguan body image NOC: NIC :

- - Body image Body image enhancement


- Self esteem
1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….
tubuhnya
gangguan
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
body image pasien teratasi dengan 3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan
prognosis penyakit
kriteria hasil :
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Body image positif 5. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal 6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi
tubuh
- Mempertahankan interaksi sosial
Resiko Infeksi - Immune Status Manjemen Nutrisi
- Knowledge : Infection control
1. Monitor kalori dan asupan makanan
- Risk control
2. Monitor kecenderungan terjadinya penurunan berat badan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3. Tentukan status gizi pasien
selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan

27
kriteria hasil: 4. Anjurkan pasien untuk memantau kalori dan intake
makanan
- Imunitas saat ini tidak terganggu indikator nilai
5. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet untuk
5
kondisi sakit.
- Tidak kehilangan berat badan indikator nilai 5
6. Pastikan diet mencakup makanan tinggi kandungan
- Secara konsisten memonitor perubahan status
vitamin
kesehatan indikator nilai 5

28
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek Gloria M (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th


Edition. Missouri: Mosby Elsevier

Moorhead Sue, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th
Edition. Missouri: Mosby Elsevier

NANDA International. 2015-2017. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan


Klasifikasi T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Sumarwati, Dan Nike
Budhi Subekti ; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Barrah Bariid, Monica Ester,
Dan Wuri Praptiani. Jakarta; EGC

Neferi Andria. 2016. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Hiv Dan Aids
Dengan Respon Masyarakat Terhadap Odha. Skripsi; Unuversitas Lampung

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga

29

Anda mungkin juga menyukai