Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Trauma Kepala
1. Pengertian Trauma Kepala
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Jadi, Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran.
Gambar 1.1 Trauma Kepala

Duniamaya.scribd.com

3
4

2. Klasifikasi Trauma Kepala


Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya trauma
kepala, dan morfologinya (Sastrodiningrat, 2009).
a. Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya trauma kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan trauma kepala tembus. Trauma kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan
benda tumpul. Sedang trauma kepala tembus disebabkan oleh peluru atau
tusukan.
b. Beratnya Trauma
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1) Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai trauma
kepala berat.
2) Trauma kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3) Trauma kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

Glasgow Coma Scale Nilai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
5

Kata-kata tidak teratur 3


Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon Motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota
badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi
abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi
abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

c. Morfologi Trauma
Secara morfologis trauma kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesi intrakranial.
1) Fraktur Cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan
CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon
eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS
(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
6

benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya


tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai trauma berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk
alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
2) Lesi intracranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok trauma otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
a) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya
dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-
oksipital atau fossa posterior.
Walaupun hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5%
dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma trauma kepala), harus
selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada
7

penderita pendarahan epidural berkaitan langsung dengan status


neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval”
yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-
tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens
yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai
planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel
ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan
dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.
b) Hematoma Subdural
Hematom Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah
perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH
lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain
itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi
akut dan kronis.
8

c) Kontusi atau Hematoma Intraserebral


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural
akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara
lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi
atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula
pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi
yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
d) Trauma Difusa
Trauma otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang
sering terjadi pada trauma kepala. Komosio cerebri ringan adalah
keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Trauma ini sering terjadi, namun karena ringan
kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.
Trauma komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung
disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad.
9

Komosio cerebri klasik adalah trauma yang mengakibatkan


menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.
Trauma naksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
trauma aksonal difus dan trauma otak kerena hipoksia secara klinis
tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi
bersamaan.

3. Prinsip Penanganan Trauma Kepala


a. Penanganan tekanan intra kranial (TIK)
1) Penanganan tekanan intra kranial (TIK) meninggi,dilakukan sejak
awal yaitu :
a) Menjaga suhu tubuh tetap normal ( < 37,50). Dapat diberikan
kombinasi acetaminophen, selimut dingin, dan lavage air es.
b) Tinggikan kepala 300, aksis tubuh netral.
c) Hiperventilasi ringan pertahankan Pa CO2 28-32 mmHg.
d) Keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cairan isotonis.
10

e) Jaga CPP > 70 mmHg.


f) Profilaktik antikonvulsan, minimal sampai minggu pertama setelah
cedera kepala, misalnya pada cedera kepala dengan resiko kejang
tinggi, seperti impresi fraktur, hematoma intrakranial, diberikan
phenitoin dengan dosis 15-20 mg/Kg BB bolus iv, pelan-pelan 50
mg/menit. Dilanjutkan 200-500 mg per hari iv atau per oral.
2. Jika usaha-usaha tersebut diatas belum berhasil, lakukan terapi primer,
yaitu :
a. Drainase cairan serebrospinal.
b. Tetapi sedativa (narkotika, benzodiazepine).
c. Terapi blokade neuromuskular.
3. Lakukan terapi sekunder jika usaha terapi primer belum berhasil yaitu:
a. Bolus mannitol, berikan 0,25 g/kg.BB, pemberian mannitol per
hari maksimal 200 gram, dan serum osmolaritas  310 mOsm/Kg,
jika ada gagal ginjal dosis diberikan lebih rendah.
b. Naikkan CPP.
4. Lakukan terapi tersier, jika usaha terapi sekunder tidak berhasil yaitu :
terapi supresiv metabolik dengan pemberian barbiturat dosis tinggi
atau propofol.
Cara pemberian barbiturat (fenobarbital) : bolus 10 mg/Kg BB
iv selama 30 menit, dilanjutkan 3 jam, lalu pertahankan pada kadar
3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol < 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan
bertahap selama 3 hari.
a. Cairan dan elektrolit.
Terapi cairan pada saat awal cedera kepala dibatasi untuk
mencegah bertambahnya edema serebri, kecuali jika ada tanda-
tanda shok hemorgik. Jumlah cairan diberikan 1500-2000
ml/hari berikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
hiperglikemi dapat menambah edema serebri. Keseimbangan
11

cairan tercapai jika tekanan darah stabil normal, denyut jantung


normal dan volume urine normal  30 ml/jam.
Pemberian cairan harus disesuaikan pada keadaan tertentu
misalnya pada pemberian diuretik, diabetes insipidus, SIADH,
perlu di pantau kadar elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin
dan osmolalitas darah.
b. Nutrisi
Kebutuhan energi pada cedera kepala meningkat rata-rata 40%,
protein diberikan 1,5-2 g/KgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, zice 12 mg/hari, kadar gula darah dipertahankan < 200
mg/hari. Zice diperlukan untuk proses penyembuhan luka,
sintesis protein, mempertahankan endotel vaskuler dan status
imunitas, juga sangat vital untuk fungsi normal otak pemberian
nutrisi peroral mulai diberikan pada hari ke 2 dengan memasang
pipa nasogastrik sebanyak 2000-3000 kalori.
c. Neuroproteksi
Adanya selang waktu antara terjadinya trauma dengan
timbulnya kerusakan jaringan. Dapat diberikan neuroprotektan
misalnya sitikolin dengan dosis 1-1,5 g/hari iv.
1) Profilaksis ulkus peptikum akibat stress ulcer, dengan
ranitidine 50 mg IV setiap 8 jam atau yang lain.
2) Antibiotik
3) Profilaksis trombosis vena dalam, dengan heparin 5000 unit
subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera.
4) CT Scan lanjutan untuk menilai perdarahan yang progresif atau
yang timbul belakangan. Namun biaya menjadi kendala.
b. Penanganan Epidural Hematoma
Penanganan pertama yang dilakukan untuk orang yang mengalami
epidural hematoma adalah dengan menstabilkan kondisi pasien.
Pengembalian tekanan darah dan tingkat kesadaran ke level normal
12

adalah beberapa hal yang biasanya dilakukan pada pasien.


Penggumpalan darah yang kecil dan tidak menimbulkan gejala akan
mengurai dengan sendirinya.
Anda dapat melalui serangkaian pemeriksaan fisik dan CT scan
secara berulang untuk mengawasi ukuran gumpalan darah serta gejala-
gejala epidural hematoma. Alat ventilator mungkin akan dipasang jika
pasien mengalami kesulitan bernapas. Kondisi Anda akan terus
dipantau untuk mengantisipasi hematoma bertambah besar serta
memburuknya gejala.
Jika dokter menemukan adanya peningkatan tekanan pada kepala,
maka obat-obatan dapat diberikan atau disusul dengan prosedur
operasi. Epidural hematoma yang membesar atau memburuk harus
diangkat, biasanya melalui prosedur kraniotomi. Prosedur
kraniotomi dilakukan dengan membuat lubang Burr di tulang
tengkorak. Kondisi pasien kemudian terus dipantau di ruang
perawatan intensif pascaoperasi.
Kraniotomi adalah prosedur di mana sebagian kecil tengkorak
diangkat untuk mengurangi tekanan di dalam otak dan mengangkat
gumpalan darah yang ada di epidural. Tengkorak kemudian
dikembalikan ke posisi semula, menempel dengan lapisan dura, lalu
ditutup.
Epidural hematoma yang ditangani segera bisa mengurangi
kerusakan otak permanen walaupun tetap ada kemungkinan hal
tersebut untuk terjadi, seperti kesulitan berbicara, kejang, atau
kelemahan pada salah satu sisi tubuh. Walau demikian, kondisi ini
dapat membaik dengan serangkaian terapi fisik atau obat-obatan.
Tingkat kesuksesan perawatan epidural hematoma juga akan
meningkat dan cenderung bagus jika pasien tidak kehilangan
kesadarannya sebelum operasi dilakukan dan sebaliknya. Prognosis
13

operasi akan lebih buruk pada pasien yang mengalami hilang


kesadaran sebelum prosedur operasi.
c. Pengobatan untuk perdarahan subdural
Pengobatan kondisi ini akan bergantung pada tingkat keparahan
penderitanya. Pada hematoma subdural dengan gejala yang ringan, dokter
mungkin akan rutin mengamati kondisi Anda dengan melakukan tes
pencitraan berulang (scan MRI atau CT scan) untuk memantau apakah
perdarahan yang Anda alami sudah membaik atau belum.
Seseorang yang mengalama trauma kepala ringan sebaiknya segera
berhenti beraktivitas dan tidak kembali melakukan aktivitas yang berisiko
trauma kepala (misalnya olahraga kontak fisik seperti basket, sepak bola,
atau bela diri; atau berkendara) selama beberapa waktu.
Untuk mengurangi rasa sakit, gunakan obat seperti paracetamol,
namun hindari konsumsi obat seperti ibuprofen dan aspirin, serta alkohol.
Namun, apabila Anda mengalami perdarahan subdural yang sudah parah,
pembedahan bisa jadi pilihan terbaik untuk mengurangi tekanan pada otak
d. Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT scan didapatkan
adanya daerah hiperdens yng disertai dengan edema disekitarnya (perifokal
edema)
Indikasi dilakukan operasi jika:
1) Single
2) Diameter lebih dari 3 CM
3) Perifer
4) Adanya pergeseran garis tengah
5) Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan
neurologis /lateralisasi
14

Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai


dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan
prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose
perdarahan subdura

B. Trauma Thorax
1. Pengertian Trauma Thorax
Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologi atau
emosional (Dorland, 2008). Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada
thorax dan dinding thorax,baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul.
(Hudak, 1999). Trauma thorak adalah trauma yang terjadi pada toraks yang
menimbulkan kelainanpada organ-organ didalam toraks (Brooker, Christine
2007) Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga
paru-paru dapat terjadi kolaps. Trauma adalah penyebab kematian utama pada
anak dan orang dewasa kurang dari 44tahun. Penyalahgunaan alkohol dan
obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja.(Smetltzer:2006)
2. Klasifikasi Trauma Thorax
Cedera kepala berdasarkan mekanismenya dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan (IKABI, 2004).
15

Ada pendapat dari para ahli yang mengatakan klasifikasi dibagi atas :
a. Trauma Thorax Spontan (Mackenzie and Gray, 2007).
1) Spontan Primer
Pneumotoraks atau Trauma Thorax ini merupakan pneumotoraks
yang terjadi pada paru-paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari
penyakit yang mendasari. Angka kejadian pneumotoraks spontan
primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per
100.000 wanita pertahun. Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang
bertubuh tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40 tahun.. Udara yang
terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa
disertai kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang
dinyatakan mengalami PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis.
Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok
meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini
2) Spontan Sekunder
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan
penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai
komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystits
pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit
intersisiel paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis,
langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis. Secara umum
udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang melebar
atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat
adanya kondisi komorbid.
b. Trauma Thorax Traumatik (Sharma, 2009)
1) Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenic merupakan pneumotoraks yang terjadi
akibat pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau
terapi invasif dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi
pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru perkutan,
16

bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspiasi transtoracic, dan


ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien
perlu lebih lama dirawat di rumah sakit. Penyebab utama terjadinya
pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi jarm halus transthoracic. Dua
faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan kedalaman
lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks
meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan kateter
vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupuntur transthoracic,
resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher.
2) Traumatik Non Iatrogenik
Jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura
viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara
dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau
memenuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.
Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru
perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks.
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis
terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba
menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan
kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke
rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau
mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada pleura
viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura.
3. Prinsip Penanganan Trauma Thorax
a. Trauma Tembus
Penanganannya, langkah awal dengan menutup luka. Gunakan kasa
steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti
ini diharapkan akan terjadi efek Flutter Type Valve dimana saat inspirasi
kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara, dari dalam.
Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar.
17

Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus
berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan
terkumpulnya udara didalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa
penutup sementara, yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau
Petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan
cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.
b. Trauma Tumpul
Segera lakukan intubasi apabila ada shock atau gejala dari depresi
pernafasan seperti :
1. Nafas yang sulit yang membutuhkan penggunaan otot-otot pernafasan
tambahan.
2. Respiratory rate > 35x/ menit atau < 8x/ menit.
3. Saturasi O2 < 90%, PaO2 < 60mmHg.

C. Trauma Abdomen
1. Pengertian Trauma Abdomen
Trauma adalah cedera fisik dan psikis atau kekerasan yang mengakibatkan
cedera. Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolism, kelainan imonologi dan gangguan fatal berbagai organ
(Nanda Nic Noc 2015 Jilid 3). Trauma abdomen adalah cedera pada
abdomen,dapat berupa trauma tumpul dan tembus sertatrauma yang disengaja
atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma perut merupakan luka pada isi
rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana
pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula
dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
Gambar 1.3 Trauma Abdomen
18

Senyumperawat.slideshare.com

2. Klasifikasi Trauma Abdomen


Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis, yaitu :
(Sjamsuhidayat, Dalam Nanda Nic Noc, 2015).
a. Trauma Penetrasi
Terdiri dari trauma tembak, trauma tusuk. Trauma penetrasi
merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ke trauma center.
Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma penetrasi
pada populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit hitam
pada umur 15-24 tahun. Penyebab lain trauma penetrasi adalah stab
wound, impalements, gigitan anjing, dan kecelakaan mesin. Oleh karena
kebanyakan trauma penetrasi pada abdomen biasanya memerlukan
tindakan pembedahan maka persiapan di ruang operasi harus simultan
dengan assessment pasien.
b. Trauma Non Penetrasi
Diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi
(hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi
(compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat
kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang
sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan
hematom subkapsular pada organ padat visera Hantaman juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan
19

menyebabkan rupture. Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada


populasi anak. Lebih dari 80% trauma pada anak adalah berupa trauma
tumpul dan kebanyakan berhubungan dengan kecelakan kendaraan
bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga oleh karena terjatuh
dan langsung mengenai dinding abdomen misalnya pada handlebar injuri.

3. Prinsip Penanganan Trauma Abdomen


Penanganan dari keadaan klien dengan trauma abdomen
sebenarnya sama dengan prinsip penanganan kegawatdaruratan, dimana
yang pertama perlu dilakukan primary survey. Penilaian keadaan penderita
dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital
dan mekanisme trauma pada penderita yang terluka parah terapi
diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara
cepat dan efisien. Pengelolaan primary survery yang cepat dan kemudian
resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini
merupakan ABC-nya trauma dan berusaha untuk mengenali keadaan
yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan
Berikut :
A. Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine
control).
B. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation
control).
C. Circulation dengan control perdarahan (bleeding control).
D. Disability : status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, Respon Pupil)
E. Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah
hipotermia.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali
dan resusitnya dilakukan saat itu juga. Penyajian primary survey di atas
dalam bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioritas dan agar lebih jelas,
20

namun dalam praktek hal-hal di atas sering dilakukan berbarengan


(simultan).
Tindakan keperawatan yang dilakukan tentu mengacu pada ABCDE.
Yakinkan airway dan breathing clear. Kaji circulation dan control
perdarahan dimana nadi biasanya lemah, kecil, dan cepat. Tekanan darah
sistolik dan diastole menunjukkan adanya tanda syok hipovolemik, hitung
MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera pasang intra venous line
berikan cairan kristaloid Ringer Laktat untuk dewasa pemberian awal 2
liter, dan pada anak 20cc/kg, bila pada anak sulit pemasangan intra
venous line bisa dilakukan pemberian cairan melalui akses intra oseus
tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya kurang dari 6 tahun. Setelah
pemberian cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Bila sudah pasti ada
perdarahan maka kehilangan 1 cc darah harus diganti dengan cairan kristaloid
3 cc atau bila kehilangan darah 1 cc maka diganti dengan darah 1 cc
(sejumlah perdarahan).
Setelah itu kaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien baik
dengan menilai menggunakan skala AVPU : Alert (klien sadar), Verbal (klien
berespon dengan dipanggil namanya), Pain (klien baru berespon dengan
menggunakan rangsang nyeri) dan Unrespon (klien tidak berespon baik
dengan verbal ataupun dengan rangsang nyeri).
Eksposure dan environment control buka pakaian klien lihat adanya
jejas, perdarahan dan bila ada perdarahan perlu segera ditangani bisa dengan
balut tekan atau segera untuk masuk ke kamar operasi untuk dilakukan
laparoto my eksplorasi.
Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara
head to toe, dan observasi hemodinamik klien setiap 15-30 menit sekali
meliputi tanda-tanda vital (TD,Nadi, Respirasi), selanjutnya bila stabil dan
membaik bisa dilanjutkan dengan observasi setiap 1 jam sekali.
Pasang cateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang
diberikan dan tentu saja hal penting lainnya adalah untuk melihat adanya
21

perdarahan pada urine. Pasien dipuasakan dan dipasang NGT (Nasogastrik


tube) utnuk membersihkan perdarahan saluran cerna, meminimalkan resiko
mual dan aspirasi, serta bila tidak ada kontra indikasi dapat dilakukan
lavage.
Observasi tstus mental, vomitus, nausea, rigid/kaku/, bising usus, urin
output setiap 15-30 menit sekali. Catat dan laporkan segera bila terjadi
perubahan secra cepat seperti tanda-tanda peritonitis dan perdarahan.
Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada
pasien bila memungkinkan atau kepada penanggung jawab pasien hal ini
dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat kecemasan klien dan keluarga.
Kolaborasi pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk melihat
status hidrasi klien, pemberian antibiotika, analgesic dan tindakan
pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung pada diagnosis seperti
laboratorium (AGD, hematology, PT,APTT, hitung jenis leukosit dll),
pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasikan setelah pasti untuk
tindakan operasi laparatomi eksplorasi.

Anda mungkin juga menyukai