Anda di halaman 1dari 92

ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI


KABUPATEN TERTINGGAL

OLEH
NUR SAIDAH
H14114015

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ANALISIS PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
KABUPATEN TERTINGGAL

Oleh

NUR SAIDAH
H14114015

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

NUR SAIDAH. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap


Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal (dibimbing oleh LUKYTAWATI
ANGGRAENI).

Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan meningkatkan kemandirian daerah.


Akan tetapi, setelah evaluasi pelaksanaan sepuluh tahun masih banyak daerah yang
dikategorikan sebagai daerah tertinggal (36,82 persen dari 497 kabupaten/kota).
Pertumbuhan, sebagai prasyarat pembangunan, yang relatif lebih kecil dapat
menghambat daerah tertinggal untuk menuju konvergensi dengan daerah yang
lebih maju. Belanja pemerintah merupakan salah satu ukuran yang memengaruhi
perekonomian dan merupakan bentuk stimulus yang dilakukan pemerintah pada
tahap awal perkembangan. Hal ini terkait bahwa belanja pemerintah mempunyai
peranan sebagai instrumen fiskal melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Pengalokasian belanja seharusnya lebih diutamakan pada fungsi-fungsi krusial
dibandingkan hanya belanja rutin.
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana karakteristik dan
perkembangan kinerja ekonomi 22 kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra menurut
aksesibilitas, sumber daya alam, sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi, dan
alokasi belanja pemerintah daerah per fungsi pada tahun 2007-2009. Tujuan kedua
adalah menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten tertinggal dan belanja fungsi apa yang memberikan pengaruh
terbesar terhadap pertumbuhan tersebut.
Data yang digunakan dalam menganalisis pengaruh belanja pemerintah
daerah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah data pertumbuhan ekonomi, belanja
pemerintah daerah per fungsi, dan jumlah angkatan kerja. Sumber data
pertumbuhan ekonomi dan angkatan kerja diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS), sedangkan data belanja pemerintah daerah per fungsi didasarkan pada
realisasi Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang diperoleh dari
Kementrian Keuangan. Metode yang digunakan adalah analisis data panel pada 22
kabupaten tertinggal melalui tahap pengujian dengan asumsi klasik, kemudian Uji
Chow dan Hausman, sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Random Effect
Model EGLS Weight cross-section SUR.
Sebagian besar kabupaten tertinggal memiliki aksesibilitas yang relatif
sulit, keterbatasan sumber daya alam, kualitas sumber daya manusia yang masih
rendah, ragam alokasi belanja yang masih lebih besar untuk belanja fungsi
pelayanan umum dan belum memprioritaskan pada belanja investasi yang
produktif, serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang masih relatif rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa variabel fungsi belanja
pelayanan umum dan lainnya, sebagai proksi dari konsumsi/belanja pemerintah,
mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Investasi
pemerintah yang signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah
adalah belanja fungsi kesehatan dan pendidikan. Variabel tenaga kerja tidak
memberikan pengaruh signikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan agar pemerintah kabupaten
tertinggal mengalokasikan dana secara bijaksana dengan memprioritaskan belanja
pembangunan pada fungsi kesehatan dan pendidikan. Alokasi belanja fungsi
ekonomi harus ditingkatkan mengingat rendahnya alokasi menyebabkan belanja
tersebut belum memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah daerah
tertinggal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja jajaran
pegawai, salah satunya dengan perampingan struktur organisasi pemerintahan.
Judul Skripsi : ANALISIS PENGARUH BELANJA
PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN
TERTINGGAL
Nama : Nur Saidah
NRP : H14114015

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Lukytawati Anggraeni, Ph.D


NIP. 19771213 200501 2 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D


NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal lulus:
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-


BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN
TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, November 2011

Nur Saidah
H14114015
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Surakarta pada tanggal 2 Juni 1981 dari pasangan


Mochammad As’ad dan Nuresan. Pemberian nama Nur Saidah mempunyai arti
bahwa penulis diharapkan dapat memberi cahaya kebahagiaan bagi sesama. Penulis
merupakan anak kedua dari lima bersaudara.
Penulis dibesarkan di Kota Surakarta, dan menyelesaikan pendidikan formal
dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah umum di kota tersebut.
Pendidikan dasar diawali di Sekolah Dasar Al-Islam 2 Jamsaren dan lulus pada tahun
1993, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Surakarta lulus pada tahun 1996, dan
Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Surakarta diselesaikan pada tahun 1999.
Pendidikan tinggi penulis ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta
dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebelum menempuh pendidikan pasca
sarjana penulis menjalani program alih jenis pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen
IPB.
Penulis diangkat sebagai CPNS pada Badan Pusat Statistik terhitung mulai
tanggal 1 Desember 2003 dan ditempatkan sebagai staf seksi Statistik Sosial di BPS
Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Setelah menjalani masa
kerja selama lebih dari delapan tahun, penulis dipindahkan di Seksi Statistik
Ketahanan Sosial BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mulai Februari 2011
sampai dengan saat ini.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan


rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Tertinggal” tepat pada waktunya. Meski demikian, penulis
sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan
dikarenakan berbagai keterbatasan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan penulisan skripsi ini.
Tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D sebagai sebagai pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan arahan sampai selesainya skripsi ini.
2. Ibu Dr. Wiwiek Rindayati dan Bapak Deni Lubis, MA dari Komisi Pendidikan
sebagai tim penguji, yang telah memberikan saran dan kritik yang berharga
dalam penyempurnaan tulisan ini.
3. Seluruh dosen, staf pengajar, dan karyawan/wati di Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.
4. Teman-teman di kelas khusus BPS-IE IPB Batch 4, antara lain Aisyah, Dwi,
Siswi, dan Mbak Yuni, dan semua yang tidak bisa penulis sebut satu per satu.
5. Kepala dan rekan BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah
mengijinkan dan mendukung penulis untuk menimba ilmu di IPB.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Teriring rasa terima kasih penulis yang tak terkira kepada orang tua dan
mertua, serta suami dan anak-anakku atas kasih sayang dan dukungannya selama ini.
Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2011

Nur Saidah
H14114015
ix

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiv
I. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang………………………………………………….... 1
1.2. Perumusan Masalah ..………………………………………........ 6
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………………… 7
1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………….. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 9
2.1. Tinjauan Teori .............................................................................. 9
2.1.1. Pembangunan Ekonomi …............................................. 9
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ................................................... 11
2.1.3. Pengeluaran/Belanja Pemerintah ..…………………… 14
2.1.3.1. Teori Pengeluaran Pemerintah ………...…… 15
2.1.3.2. Hubungan Kausalitas Pengeluaran Pemerintah
dan PDB ……………..…………………..…. 17
2.1.3.3. Jenis Pengeluaran/Belanja Pemerintah …….. 18
2.1.4. Daerah Tertinggal …………………………………….. 20
2.2. Penelitian Terdahulu....................................................................... 22
2.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 24
2.4. Hipotesis ……………………………………………………….. 26
III. METODE PENELITIAN …................................................................ 27
3.1. Jenis dan Sumber Data................................................................... 27
3.2. Definisi Operasional .................................................................... 28
3.3. Metode Analisis ………………..…………………………….. 28
3.3.1. Analisis Deskriptif …………………………………… 28
x

3.3.2. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap


Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 29
3.3.2.1. Pengujian untuk Memilih Model Terbaik …. 34
3.3.2.2. Pengujian Validitas Model .................................. 36
3.3.2.3. Pengujian Asumsi Klasik..................................... 37
3.4. Spesifikasi Model .............................................................................. 39
IV. ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL ................... 41
4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah ........................................................... 41
4.1.1. Aksesibilitas ....................................................................... 41
4.1.2. Sumber Daya Alam ………………………………… 43
4.1.3. Sumber Daya Manusia ........................................................ 44
4.1.4. Sarana dan Prasarana .......................................................... 46
4.2. Struktur Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal .......................... 48
4.2.1. Belanja Fungsi Pelayanan Umum ....................................... 49
4.2.2. Belanja Fungsi Ekonomi .................................................... 50
4.2.3. Belanja Fungsi Kesehatan .................................................. 52
4.2.4. Belanja Fungsi Pendidikan ................................................. 53
4.2.5. Belanja Fungsi Lainnya ...................................................... 54
4.3. Pertumbuhan Ekonomi ...................................................................... 55
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 60
5.1. Tahap Evaluasi Model ....................................................................... 60
5.1.1. Tahap Evaluasi Pemilihan Model ....................................... 60
5.1.2. Pengujian Asumsi Klasik.................................................... 60
5.2. Tahap Pemilihan Model Terbaik ....................................................... 63
5.2.1. Pengaruh Belanja Fungsi Pendidikan terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 65
5.2.2. Pengaruh Belanja Fungsi Kesehatan terhadap
Perumbuhan Ekonomi ........................................................ 66
5.2.3. Pengaruh Belanja Fungsi Pelayanan Umum terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 66
5.2.4. Pengaruh Belanja Fungsi Lainnya terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 67
xi

5.2.5. Pengaruh Belanja Fungsi Ekonomi terhadap


Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 67
5.2.6. Pengaruh Jumlah Angkatan Kerja terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 68
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 69
6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 69
6.2. Saran .................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1.1. Perbandingan Rata-rata PDB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi di
22 Kabupaten Tertinggal dengan Nasional Tahun 2007-2009 .........................3
3.1. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel Penelitian
dalam Analisis Regresi Data Panel .................................................................27
4.1. Perkembangan Ketersediaan Sarana dan Prasarana di antara 22
Kabupaten Tertinggal Tahun 2005 dan 2008 .................................................47
4.2. Perbandingan PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi pada 22
Kabupaten Tertinggal .....................................................................................56
5.1. Nilai Korelasi Antarvariabel dalam Pengujian Multikolinieritas ...................61
5.2. Hasil Pengolahan dengan Weighting Random Effect Model untuk
Menguji Heteroskedastisitas ...........................................................................62
5.3. Hasil Penetapan Model Menggunakan Random Effect Model dengan
Cross-section Weighting SUR ........................................................................64
xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1.1. Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal Menurut Pulau .............................. 2
1.2. Persentase Daerah Berdasarkan Karakteristik di 22 Kabupaten
Tertinggal ……………………………………………………………… 4
1.3. Rata-rata Alokasi Belanja Daerah Menurut Fungsi Tahun 2010 ……… 6
2.1. Grafik Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner ............... 17
2.2. Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................. 25
4.1. Persentase Desa dengan Jalan yang Dapat Dilalui Mobil dan Desa
dengan Jalan yang Diaspal Tahun 2008 ........................................................ 42
4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2007 45
4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2009 46
4.4. Struktur Alokasi Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal
Berdasarkan Fungsi Tahun 2009 ................................................................... 48
4.5. Alokasi Belanja Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2009 ................................ 50
4.6. Alokasi Belanja Fungsi Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2009 ….. 51
4.7. Alokasi Belanja Fungsi Kesehatan Menurut Kabupaten Tahun 2009 …. 52
4.8. Alokasi Belanja Fungsi Pendidikan Menurut Kabupaten Tahun 2009 ... 53
4.9. Alokasi Belanja Fungsi Lainnya Menurut Kabupaten Tahun 2009 …… 54
4.10. Plot PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertingal
Tahun 2007.................................................................................................... 57
4.11 Plot PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertingal
Tahun 2009.................................................................................................... 58
5.1. Pengujian Autokorelasi: Uji Durbin Watson ................................................ 62
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Daftar 22 Kabupaten Tertinggal di Pulau Sumatra yang Menjadi Fokus
Penelitian ........................................................................................................72
2. Hasil Output Model Analisis Data Panel dan Pemilihan Model ....................73
3. Hasil Pengujian Asumsi Klasik ......................................................................76
4. Output Penetapan Model Terbaik dengan Random Effect EGLS
Weighting Cross-section SUR ........................................................................78
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam

melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari

perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya.

Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat,

yang disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan

dalam jumlah dan kualitasnya. Menurut Sukirno (2004) dalam analisis makro,

tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari

perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah.

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional yang dilaksanakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah

menjadi perhatian pemerintah karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi

nasional merupakan agregasi pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan

ekonomi antardaerah di Indonesia sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi

salah satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju-tertinggal.

Pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan

UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah mulai 1 Januari 2001, yang kemudian diperbarui
2

dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004, memberikan kewenangan yang

lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan

keuangan daerah. Otonomi daerah mempunyai tujuan dalam rangka mencapai

kemandirian daerah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Hal

tersebut dimaksudkan bahwa daerah lebih mengerti kondisi daerahnya sehingga

pembangunan daerah akan dapat difokuskan pada prioritas kebutuhan dan potensi

yang dimiliki daerah masing-masing.

Selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak daerah

yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal (36,82 persen dari 497

kabupaten/kota se-Indonesia). Informasi tersebut berdasarkan SK Menteri

Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 44/KEP-M-PDT/2010. Pada Gambar 1.1

dapat dilihat bahwa Pulau Sumatra memiliki paling banyak daerah tertinggal

(25,14 persen), diikuti oleh Pulau Sulawesi dan Papua masing-masing 19,13

persen dan 18,58 persen.

tertinggal
36,82
Sumatra
4,92 8,74 19,13
Jawa Bali

15,3 Kalimantan

25,14 Sulawesi
18,58 Nusa
Tenggara
Maluku
2,73

Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 2010 (diolah)

Gambar 1.1. Persentase Jumlah Daerah Tertinggal Menurut Pulau


3

Masih banyaknya kabupaten di Pulau Sumatra yang tergolong sebagai

daerah tertinggal patut menjadi perhatian. Daftar 22 daerah tertinggal di Pulau

Sumatra yang menjadi fokus penelitian pada Lampiran 1. Kondisi perekonomian

22 daerah tertinggal di Sumatra jika dibandingkan dengan angka nasional relatif

kecil. Rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga

konstan (ADHK) 22 daerah tertinggal sangat kecil, bahkan hanya sekitar 33

persen dari rata-rata daerah secara nasional. Pertumbuhan ekonominya juga relatif

lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun

2007, pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal sebesar 6,2 persen, lebih rendah

dibandingkan pertumbuhan nasional yang sebesar 6,28 persen. Perbedaan ini

mengindikasikan bahwa masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang

cukup besar antardaerah.

Tabel 1.1. Perbandingan Rata-rata PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi


di 22 Kabupaten Tertinggal dengan Nasional Tahun 2007-2009

Rata-rata PDRB ADHK Pertumbuhan Ekonomi


Tahun (Miliar Rp) (persen)
Tertinggal Nasional Tertinggal Nasional
2007 1.352,45 4.281,21 6,20 6,28
2008 1.429,45 4.591,57 5,69 6,43
2009 1.508,31 4.794,41 5,52 4,74
Sumber: BPS, 2007-2009 (diolah)

Menurut hasil studi Bappenas (2007), perbedaan kondisi karakteristik

daerah tertinggal dengan daerah maju merupakan penyebab bervariasinya

keberhasilan pembangunan antar daerah. Pada umumnya kabupaten tertinggal

merupakan daerah yang relatif sulit dijangkau, memiliki potensi sumber daya
4

alam dan sumber daya manusia yang terbatas, keterbatasan sarana dan prasarana,

serta merupakan daerah rawan bencana atau konflik.

Pada Gambar 1.2 memperlihatkan keragaman karakteristik di antara 22

kabupaten tertinggal. Daerah tertinggal yang akses dari dan menuju daerah

tersebut tergolong masih sulit masih sebesar 45,45 persen, Separuh kabupaten

merupakan daerah rawan bencana sehingga menghambat pembangunan bahkan

merusak fasilitas yang telah dibangun. Sejumlah 72,73 persen kabupaten

mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang minimal dan belum dikelola dengan

baik. Kualitas SDM di 21 kabupaten (95,45 persen) masih di bawah angka Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) nasional.

100%

80% 95,45
persentase

60% 72,73

40% 50,00
45,45
20%

0%
hambatan Minim SDA Kualitas SDM rawan karakteristik
geografis Rendah Bencana/Konflik
Sumber: BPS (2008 dan 2010), diolah

Gambar 1.2. Persentase Daerah Berdasarkan Karakteristik di 22 Kabupaten


Tertinggal

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satu cara yang dapat

dilakukan daerah tertinggal adalah dengan meningkatkan belanja pemerintah

daerah. Sodik (2007) mengemukakan bahwa belanja pemerintah daerah (baik

belanja rutin maupun pembangunan) berpengaruh signifikan terhadap


5

pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk

rangsangan/stimulus yang dilakukan untuk memacu perkembangan perekonomian

daerah.

Kontribusi belanja pemerintah daerah terhadap PDRB berkisar antara 20-

25 persen, berbeda dengan nasional yang hanya sembilan persen terhadap PDB.

Campur tangan pemerintah daerah yang masih besar sesuai dengan tahap

perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Musgrave, yang masih berada di

tahap awal perkembangan. Pengelolaan keuangan pemerintah daerah tidak saja

mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong

pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana

tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks

desentralisasi fiskal itu dilaksanakan. Hasil pertumbuhan ekonomi diarahkan agar

dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan

sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.

Belanja pemerintah daerah masih didominasi dengan belanja

rutin/pegawai sebesar 45 persen, sedangkan belanja modal hanya 22 persen dari

total belanja. Oleh karena itu, peningkatan volume keuangan daerah belum

optimal digunakan untuk pembangunan. Menurut alokasi fungsi belanja tahun

2010 pada Gambar 1.3, yang terbesar adalah belanja fungsi pelayanan umum

yaitu 36 persen, yang terendah sebesar 8 persen merupakan belanja fungsi

kesehatan. Belanja pemerintah daerah untuk fungsi pendidikan sudah cukup tinggi

sebesar 26 persen, sedang untuk fungsi ekonomi masih 10 persen dari total

belanja.
6

lainnya
20
pelayanan umum
ekonomi 36
10

pendidikan
26
kesehatan
8

Sumber: Kementrian Keuangan, 2010 (diolah)

Gambar 1.3. Rata-rata Alokasi Belanja Daerah Menurut Fungsi Tahun 2010

1.2. Perumusan Masalah

Pemerintah merumuskan kegiatan Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam rangka mempercepat

pembangunan daerah (PP Nomor 32/2011). Hal tersebut bertujuan memberikan

akselerasi positif bagi pelaksanaan pembangunan di setiap wilayah, terutama

implikasinya bagi daerah tertinggal. Daerah tertinggal memerlukan program-

program yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya. Program

yang dicanangkan diharapkan dapat langsung mencapai sasaran permasalahan

yang ada di daerah tersebut.

Perkembangan desentralisasi di Indonesia berimplikasi pada keleluasaan

pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya, baik sisi penerimaan maupun

pengeluaran. Menurut Dumairy (1996), anggaran belanja merupakan salah satu

instrumen kebijakan fiskal yang dapat memengaruhi perekonomian melalui fungsi

anggaran dalam alokasi, distribusi, dan stabilisasi.


7

Berdasarkan pendekatan Keynes yang mengasumsikan bahwa hubungan

sebab akibat berlangsung dari pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan

ekonomi. Selain itu, penelitian Rahayu (2004) menunjukkan bahwa investasi

pemerintah (yang didekati dari belanja modal/pembangunan) memengaruhi

pertumbuhan ekonomi, sedangkan konsumsi pemerintah tidak berpengaruh

signifikan. Oleh karena itu, kondisi keragaman alokasi pengeluaran/belanja

antardaerah diasumsikan akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap

pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja

perekonomian di 22 daerah tertinggal.

2. Bagaimana pengaruh belanja per fungsi (sebagai proksi terhadap belanja

maupun investasi pemerintah daerah) terhadap kinerja pembangunan

(pertumbuhan ekonomi) di 22 daerah tertinggal.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka ditetapkan

tujuan penulisan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja

perekonomian 22 daerah tertinggal di Pulau Sumatra.

2. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi (sebagai proksi

terhadap belanja/konsumsi maupun investasi pemerintah daerah) terhadap


8

kinerja pembangunan daerah (pertumbuhan ekonomi) pada 22 daerah

tertinggal di Pulau Sumatra.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai

pihak terutama pemerintah daerah tertinggal, dalam mengambil kebijakan yang

dapat memberikan kemajuan pembangunan dalam rangka percepatan dan

pengentasan daerahnya. Pengalokasian belanja daerah lebih mendasarkan pada

pengembangan ekonomi lokal dan infrastruktur sebagai modal untuk dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Pembangunan Ekonomi

Pembangunan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berubah menjadi lebih

baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu

proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan

memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan

fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan

bagi penduduk suatu negara.

Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang

menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang.

Terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi,

yaitu:

a. Pembangunan sebagai suatu proses. Pembangunan sebagai suatu proses,

artinya bahwa pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh

setiap masyarakat atau bangsa. Setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap

perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.

b. Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita.

Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus

dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan

perkapita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat,


10

pemerintah, dan semua elemen untuk berpartisipasi aktif dalam proses

pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita

mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.

c. Peningkatan pendapatan perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang.

Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila

pendapatan perkapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Akan

tetapi, hal ini bukan berarti bahwa pendapatan perkapita harus mengalami

kenaikan terus-menerus.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan

ekonomi. Menurut Jhingan (2000), pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor

ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal,

dan keahlian atau kewirausahaan. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial

kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang

berkembang dan berlaku

Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti

kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat

memengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan

bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan

untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai

lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi).


11

Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan

nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar

merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara

kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.

Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah

bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk

menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang

modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi

karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.

Pembangunan ekonomi yang berlangsung di suatu negara membawa

dampak positif, yaitu bahwa melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan

kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat

proses pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi memungkinkan terciptanya

lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan

mengurangi pengangguran.

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi

(economic growth): pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi,

maupun sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan

ekonomi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan

kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan

pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi


12

apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi

merupakan salah satu indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam

perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah

pertumbuhan ekonomi dapatdipandang sebagai masalah makroekonomi dalam

jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa

akan meningkat dari satu periode ke periode berikutnya.

Menurut Kuznets dalam Jhingan (2000), pertumbuhan ekonomi

didefinisikan sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara

untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada

penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan

penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.

Definisi pertumbuhan ekonomi Kuznets mempunyai tiga komponen, yaitu:

pertama bahwa pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya

persediaan barang secara terus-menerus; kedua teknologi maju merupakan faktor

dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan

dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; dan ketiga penggunaan

teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang

kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu

pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.

Produk Domestik Bruto (PDB) pada dasarnya merupakan jumlah nilai

tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau
13

merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit

ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan

jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedang PDB

atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang

dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar

penghitungan.

Untuk menghitung angka PDB digunakan tiga pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Produksi. PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa

yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam

jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam

penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu:

pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih,

bangunan, pengangkutan, keuangan dan jasa.

b. Pendekatan Pendapatan. PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh

faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara

dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah

upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum

dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDB

mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung

dikurangi subsidi).

c. Pendekatan Pengeluaran. PDB adalah semua komponen permintaan akhir

yang terdiri dari: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta
14

nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto,

perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor).

2.1.3. Pengeluaran/Belanja Pemerintah

Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh

pengeluaran agregat. Pada umumnya pengeluaran agregat dalam suatu periode

tertentu adalah kurang dari pengeluaran agregat yang diperlukan untuk mencapai

tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan

para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam

perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak

akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full

employment.

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow, fungsi

produksi sederhana dari teori ini adalah (Mankiw, 2006):

Y=aK

dimana Y adalah output, a adalah konstanta yang mengukur jumlah output yang

diproduksi untuk setiap unit modal, sedangkan K adalah persediaan modal. Fungsi

produksi ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.

Modifikasi fungsi produksi Cobb-Douglas dalam Barro dan Sala-i-Martin

(1995) dinyatakan sebagai berikut:

Y = a L1-α Gα, dimana 0 < α < 1

persamaan ini menunjukkan bahwa produksi yang dilakukan pada constant return

to scale pada input L dan K . Asumsinya adalah angkatan kerja agregat (L) adalah

konstan. Modal (K) digantikan oleh Pengeluaran pemerintah (G) berada pada
15

diminishing return untuk modal agregat (K). Oleh karena itu, perekonomian

berada pada kondisi pertumbuhan ekonomi endogen.

Salah satu komponen dalam permintaan agregat (aggregate demand [AD])

adalah pengeluaran pemerintah. Pada Mankiw (2006) dinyatakan bahwa jika

pengeluaran pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Selain itu, peranan

pengeluaran pemerintah (G) di negara berkembang sangat signifikan mengingat

kemampuan sektor swasta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat

terbatas. Oleh karena itu, peranan pemerintah sangatlah penting. Peningkatan AD

berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari

PDB maka peningkatan pertumbuhan berarti peningkatan pendapatan.

2.1.3.1. Teori Pengeluaran Pemerintah

1. Model perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Rostow-Musgrave.

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang

menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap

pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada

tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap

total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan

prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap

menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap

ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar

pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan
16

menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus

menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.

Musgrave dalam Norista (2010) berpendapat bahwa dalam suatu proses

pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar

dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada

tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah

dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-

pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan

pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran

pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner

mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita

meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.

Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”.

Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju

(Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa

peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena

pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Wagner

mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis

mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah

sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 2.1 dimana kenaikan pengeluaran


17

pemerintah mempunyai bentuk ekponensial. Hukum Wagner diformulasikan

sebagai berikut:

dimana PkPP : pengeluaran pemerintah per kapita

PPK : pendapatan per kapita

1,2,…,n : jangka waktu (tahun)

Wagner

PkPP
PPk

0 waktu
Sumber: Dumairy (1996)

Gambar 2.1. Grafik Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner

2.1.3.2. Hubungan Kausalitas Pengeluaran Pemerintah dan PDB

a. PDB memengaruhi pengeluaran pemerintah. Hal ini berarti bahwa produk

domestik bruto memengaruhi pengeluaran pemerintah. Teori perkembangan

pengeluaran pemerintah yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan

bahwa produk domestik bruto (PDB) akan memengaruhi besarnya

pengeluaran pemerintah.
18

b. Pengeluaran pemerintah mempengaruhi PDB. Pemerintah dapat

mempengaruhi tingkat PDB nyata dengan mengubah persediaan berbagai

faktor yang dapat dipakai dalam produksi melalui program-program

pengeluaran pemerintah seperti pendidikan. Rahayu (2004) mengatakan

bahwa kegiatan yang dilakukan pemerintah yang mendorong besaran jumlah

pengeluaran negara mempunyai pengaruh terhadap perekonomian masyarakat.

Landau (1986) membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang militer

dan pendidikan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara

untuk pendidikan sendiri berkorelasi kuat dan investasi pemerintah berkorelasi

positif tetapi tidak signifikan. Lin (1994) mengatakan bahwa pengeluaran

pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (peningkatan PDB)

dengan laju yang semakin mengecil.

2.1.3.3. Jenis Pengeluaran/Belanja Pemerintah

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB), baik Negara maupun

daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), pengeluaran dibedakan menjadi:

1. Belanja Operasi. Rincian kegiatan belanja operasi antara lain digunakan untuk

belanja pegawai, belanja barang dan jasa, pemeliharaan, perjalanan dinas,

pinjaman, subsidi, hibah, dan belanja opeasional lainnya.

2. Belanja Modal. Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pembentukan aset

tetap seperti gedung, jalan (infrastruktur) dan aset tetap lainnya

3. Belanja Tak Terduga/Tersangka. Merupakan belanja tidak terduga yang

sebelumnya tidak dianggarkan seperti penanganan bencana.


19

Untuk mempermudah mengevaluasi penggunaan belanja/pengeluaran,

mulai tahun 2007 sistem penganggaran mulai diperjelas rinciannya menurut

fungsi/sektor, yaitu:

1. Fungsi pelayanan umum. Pengeluaran yang ditujukan dalam rangka

peningkatan pelayanan umum pemerintah terhadap masyarakat maupun pihak

swasta seperti untuk pembayaran gaji, akses layanan/perijinan, kemudahan

informasi, dan belanja operasi kebutuhan perkantoran sehari-hari.

2. Fungsi ekonomi. Pengeluaran ini digunakan untuk menciptakan lapangan kerja,

pembangunan sarana dan prasarana umum, serta memicu peningkatan kegiatan

perekonomian masyarakat. Pengeluaran ini ditujukan agar mempunyai

pengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat sekaligus mempunyai

multiplier effect yang besar.

3. Fungsi kesehatan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka

peningkatan kualitas kesehatan dan pelayanannya seperti pembelian obat,

fasilitas kesehatan (alat medis maupun penujang), dan gedung kesehatan.

4. Fungsi pendidikan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka

peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan

internet sekolah, maupun gedung sekolah.

5. Fungsi ketertiban dan keamanan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk

menambah kekuatan dan ketahanan dalam mendukung ketahanan dan

keamanan kondisi daerah.


20

6. Fungsi pariwisata dan lingkungan hidup. Merupakan pengeluaran untuk

peningkatan kegembiraan/hiburan bagi masyarakat seperti promosi dan

pemeliharaan tempat wisata sekaligus dalam mempertahankan kelestaian dan

kualitas lingkuangan hidup agar tercipta kenyamanan.

7. Fungsi perlindungan/jaminan sosial. Merupakan pengeluaran untuk jaminan

perlindungan masyarakat seperti penanganan bencana, permasalahan sosial dan

lingkungan (panti dan perlindungan orang terlantar).

2.1.4. Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah daerah Kabupaten yang relatif kurang

berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk

yang relatif tertinggal. Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya

terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan

berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah

yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh

tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan

kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal

tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan

keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah

maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah

tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.


21

Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan program pembangunan daerah

tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang

kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta

ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya.

Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis

terisolir dan terpencil seperti daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau

kecil, daerah pedalaman, serta daerah rawan bencana. Di samping itu, perlu

perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk

maju namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terjadinya konflik sosial

maupun politik.

Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa

faktor penyebab, antara lain :

a. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau

karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan,

pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya

sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media

komunikasi.

b. Sumber Daya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi

sumber daya alam, daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar namun

lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat

dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumber daya alam

yang berlebihan.
22

c. Sumber Daya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal

mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif

rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.

d. Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,

transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya

yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami

kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.

e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah

mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya

kegiatan pembangunan.

f. Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan

oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada

pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas

pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam

perencanaan dan pembangunan.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan Makrifah (2009) di kabupaten/kota se-Jawa

Timur bertujuan menganalisis pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap

pembangunan ekonomi (pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan IPM).

Pengelolaan keuangan yang bijak, mengedepankan kepentingan publik

mempunyai dampak meningkatkan PDRB (terdapat pertumbuhan ekonomi) dan

mengurangi kemiskinan. Untuk mengkaji pengaruh alokasi belanja daerah


23

terhadap pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, dan IPM digunakan

model Vector Auto Reggressive (VAR) dalam data time series.

Rahayu (2004) meneliti peranan sektor publik lokal dalam pertumbuhan

ekonomi regional. Sampel yang diteliti adalah 7 Kabupaten/Kota di Eks-

Karesidenan Surakarta selama periode 1987-2000. Penelitian mengidentifikasi

pengaruh investasi pemerintah daerah, laju pertumbuhan angkatan kerja,

pengeluaran (konsumsi) pemerintah daerah, dan penerimaan daerah terhadap

pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan teknik data panel. Metode

yang digunakan dalam penelitian adalah Pooled Least Square. Garis besar hasil

estimasi persamaan menunjukkan bahwa selama periode pengamatan, peranan

sektor publik lokal (investasi pemerintah dan PAD) mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Sodik (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Pengeluaran Pemerintah

dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia,

dengan mengambil sampel di 26 provinsi di Indonesia selama periode 1993-2003.

Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh investasi swasta, investasi pemerintah,

konsumsi pemerintah, tenaga kerja, dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi

terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Teknik analisis data yang digunakan

adalah fixed effect model General Least Square (GLS). Hasilnya untuk semua

variabel memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional kecuali

untuk variabel investasi swasta yang tidak memiliki pengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi.
24

Studi yang dilakukan Nurudeen dan Usman (2010) menganalisis pengaruh

belanja rutin dan pembangunan per sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di

Nigeria. Analisis dilakukan terhadap data time series dari tahun 1970 sampai

dengan 2008 dengan menggunakan model Error Cointegration Model (ECM),

Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa belanja rutin dan belanja sektor

pendidikan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan

belanja modal dan di sektor kesehatan berpengaruh signifikan positif terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Norista (2011) dalam penelitian tentang Pengaruh Belanja Modal dan

Belanja Operasi terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah

menggunakan data panel. Peneliti menggunakan model fixed effect dalam

menganalisis pengaruh belanja modal dan operasi/rutin terhadap pertumbuhan.

Kajian tersebut menghasilkan bahwa kedua variabel yaitu rasio belanja modal

maupun rasio belanja operasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.3. Kerangka Pemikiran

Pemberlakuan UU Otonomi Daerah berikut perubahannya (UU Nomor

22/1999 dirubah dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU Nomor 23/1999 dirubah dengan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) membawa dampak

terhadap pemerintahan dan tata kelola keuangan di Indonesia. Perubahan pola

pemerintahan daerah yang sentralistik menjadi desentralistik juga memberikan

kewenangan untuk memanfaatkan dan mengalokasikan keuangan.


25

Berdasarkan alur pemikiran tersebut, penelitian ini difokuskan dalam hal

sebagai berikut yang tergambar pada diagram kerangka pemikiran (Gambar 2.2):

OTONOMI DAERAH

Keleluasaan
Kewenangan

Pendapatan Alokasi Belanja Pemerintah


Pemerintah Daerah

Fungsi Fungsi Fungsi Fungsi Pelayanan Fungsi


Ekonomi Pendidikan Kesehatan Umum Lainnya

Pertumbuhan Ekonomi

Keterangan: Fokus kerangka pemikiran

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian


26

2.4. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Belanja pemerintah daerah (sebagai proksi konsumsi maupun investasi/modal

pemerintah) per fungsi diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi di 22

kabupaten tertinggal

2. Jumlah angkatan kerja diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

diambil dari publikasi resmi pemerintah. Data yang digunakan adalah data panel

yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Keuangan. Data

dari BPS berasal dari data Potensi Desa (Podes) 2005 dan 2008, publikasi PDRB

Kabupaten/Kota, serta Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dari tahun

2007 sampai dengan 2009. Data pengeluaran pemerintah daerah diperoleh dari

laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah

daerah yang diterbitkan Kementrian Keuangan.

Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel yang
Digunakan dalam Analisis Regresi

Nomor Variabel Penelitian Sumber Data Satuan


BPS (PDRB kabupaten/kota se-
1 Pertumbuhan Ekonomi Pulau Sumatra), tahun 2007- persen
2009
Belanja Fungsi Kemenkeu (Realisasi APBD),
2 juta rupiah
Pelayanan Umum tahun 2007-2009
Belanja Fungsi Kemenkeu (Realisasi APBD),
3 juta rupiah
Ekonomi tahun 2007-2009
Belanja Fungsi Kemenkeu (Realisasi APBD),
4 juta rupiah
Kesehatan tahun 2007-2009
Belanja Fungsi Kemenkeu (Realisasi APBD),
5 juta rupiah
Pendidikan tahun 2007-2009
Belanja Fungsi Kemenkeu (Realisasi APBD),
6 juta rupiah
Lainnya tahun 2007-2009
BPS (SAKERNAS),
7 Angkatan Kerja orang
tahun 2007-2009
28

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan untuk menjelaskan variabel dalam

penelitian ini antara lain:

a. Pertumbuhan Ekonomi (GRW) adalah nilai kenaikan output/perubahan nilai

riil berdasarkan PDRB ADHK dari tahun 2007-2009, dalam satuan persen.

b. Jumlah Angkatan Kerja (AK) adalah jumlah dari penduduk usia kerja (15

tahun keatas) yang bekerja maupun mencari pekerjaan, dalam satuan orang.

c. Alokasi Belanja Pemerintah Daerah menurut Fungsi adalah realisasi anggaran

belanja menurut kategori jenis belanja/pengeluaran pemerintah daerah

berdasarkan fungsi penggunaan, meliputi fungsi pelayanan umum (BLU),

ekonomi (BE), pendidikan (BP), kesehatan (BS), dan lainnya (seperti

ketertiban, pariwisata, lingkungan hidup dan perlindungan sosial (BL), dalam

satuan juta rupiah.

3.3. Metode Analisis

3.3.1. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang

sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi

dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan

untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi.

Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk

menggambarkan secara umum keragaan belanja daerah, pertumbuhan ekonomi

dan karakteristik kondisi (seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia) di
29

22 kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra periode 2007-2009. Penggambaran

keragaan pertumbuhan ekonomi antardaerah dilihat apakah perkembangannya

semakin konvergen atau timpang. Keragaan alokasi belanja pemerintah daerah

menurut fungsi dilihat proporsi struktur alokasi serta keragaman an prioritas

alokasi belanja pemerintah daerahnya.

3.3.2. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan


Ekonomi

Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti dalam penelitian ini

adalah pengaruh belanja pemerintah (sebagai proksi konsumsi dan investasi

pemerintah) terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal di Sumatra.

Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi model ini adalah pendekatan

ekonometrika dengan metode analisis data panel (pooled data). Menurut Baltagi

(2005), keunggulan penggunaan analisis data panel antara lain sebagai berikut:

a. Analisis data panel memiliki kontrol terhadap heterogenitas data individual

dalam suatu periode waktu.

b. Analisis data panel menyajikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi,

memiliki kolinearitas antar variabel yang kecil, memiliki derajat kebebasan

yang lebih besar, dan lebih efisien.

c. Analisis data panel lebih tepat dalam mempelajari dinamika penyesuaian

(dynamics of change).

d. Analisis data panel dapat lebih baik mengidentifikasi dan mengukur pengaruh-

pengaruh yang secara sederhana tidak dapat terdeteksi dalam data cross

section atau time series saja.


30

e. Model analisis data panel dapat digunakan untuk membuat dan menguji model

perilaku yang lebih kompleks dibandingkan analisis data cross section murni

atau time series murni.

f. Analisis data panel pada level mikro dapat meminimisasi atau menghilangkan

bias yang terjadi akibat agregasi data ke level makro.

g. Analisis data panel pada level makro memiliki time series yang lebih panjang

tidak seperti masalah jenis distribusi yang tidak standar dari unit root tests

dalam analisis data time series.

Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki keterbatasan dalam

penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh

dengan metode survei. Menurut Baltagi (2005), keterbatasan penggunaan analisis

data panel antara lain sebagai berikut:

a. Analisis data panel menimbulkan masalah dalam rancangan dan pengumpulan

data penelitian yang mencakup coverage, nonresponse, kemampuan daya

ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara akibat penggunaan

data yang relatif besar dengan melibatkan komponen cross section dan time

series.

b. Analisis data panel dapat menimbulkan distorsi dalam kesalahan pengamatan.

c. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah selektivitas seperti self

selectivity, nonresponse, dan attrition (jumlah responden yang terus berkurang

pada survei lanjutan)

d. Analisis data panel dapat menimbulkan dimensi series jangka pendek.


31

e. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah ketergantungan cross section

yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat

(missleading inference).

Analisis data panel dapat diestimasi mengunakan metode Ordinary Least

Square (OLS) jika memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)

atau dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) jika syarat

BLUE tidak dipenuhi. Menurut Gujarati (2003), terdapat 3 macam pendekatan

analisis data panel, antara lain:

1. Pooled Least Square

Metode pendekatan kuadrat terkecil ini pada dasarnya sama dengan

metode Ordinary Least Square (OLS) hanya saja data yang digunakan bukan data

time series saja atau cross section saja tetapi merupakan data panel (gabungan

antara time series dan cross section). Sesuai dengan namanya yaitu pooled yang

berarti dalam metode ini digunakan data panel dan least squares yang berarti

metode ini meminimumkan jumlah error kuadrat. Meminimumkan error kuadrat

dikarenakan error kuadrat kemungkinan besar jika dijumlahkan akan bernilai nol

dan jika error hanya dijumlahkan saja tanpa dikuadratkan maka terjadi

“ketidakadilan” karena nilai error yang besar dan yang kecil disamaratakan.

Persamaan pada estimasi menggunakan pooled least square dapat dituliskan

dalam bentuk sebagai berikut:

Yit = α + βj xjit+ µit

dimana i = 1, 2, …N (jumlah observasi populasi)

t = 1, 2, … T (tahun time series)


32

Dengan menggunakan metode Pooled Least Square, maka dapat dilakukan proses

estimasi secara terpisah untuk setiap individu cross section pada waktu tertentu

atau sebaliknya. Hal ini akan mengakibatkan akan didapatkan hasil dimana

terdapat T persamaan yang sama (individu sama, waktu berbeda) dan terdapat N

persamaan yang sama untuk setiap T observasi (periode waktu sama, individu

berbeda). Ini diakibatkan karena metode Pooled Least Square ini memiliki asumsi

bahwa baik intercept dan slope dari persamaan regresi dianggap konstan untuk

antar daerah dan antar waktu.

2. Fixed Effects Model

Untuk membuat agar estimasi berbeda-beda baik antar cross section dan

time series maka digunakanlah bentuk estimasi fixed effects model. Estimasi pada

data panel bergantung kepada asumsi yang diberikan pada intercept, koefisien

slope, dan error term. Beberapa kemungkinan asumsi adalah sebagai berikut:

a. Diasumsikan bahwa intercept dan koefisien slope konstan antar waktu dan

individu dan error term melingkupi perbedaan baik dalam waktu maupun

individu. Pendekatan yang paling sederhana adalah asumsi ini karena dengan

diberikan asumsi bahwa intercept dan slope konstan antar waktu dan individu

dan error term maka dimensi ruang dan waktu diabaikan dan bentuk

estimasinya seperti OLS.

b. Diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi intercept berbeda untuk

setiap individu.

c. Diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi intercept berbeda untuk

setiap individu antar waktu.


33

d. Diasumsikan bahwa semua koefisien baik intercept dan koefisien slope

berbeda untuk setiap individu.

e. Diasumsikan bahwa semua koefisien baik intercept dan koefisien slope

berbeda untuk setiap individu antar waktu.

Spesifikasi model yang akan dibahas di sini mengikuti asumsi poin (b), yaitu:

Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit

di mana i di sini menggambarkan bahwa intercept dari individu berbeda-beda,

tetapi model masih memiliki koefisien slope sama. Di dalam literatur, model di

atas dikenal sebagai Fixed Effects Model. Maksud Fixed Effects Model ini adalah

walaupun intercept dapat berbeda-beda antarindividu tetapi setiap intercept

individu tersebut tidak berbeda pada setiap waktu.

Untuk menjelaskan Fixed Effects ini digunakan variabel Dummy, yaitu

dengan differential intercept dummies. Penulisan model adalah sebagai berikut:

Yit= α1+ α2D2i+ α3D3i+ α4D4i+ β2X2it+ β3X3it+ uit

Variabel Dummy yang ditambahkan di model ini sama banyaknya dengan jumlah

data dari cross section yang dikurangi satu untuk menghindari adanya dummy-

variable trap (perfect collinearity). Model ini sering disebut juga sebagai Least-

Square Dummy Variable Model (LSDV). Kelemahan dari Fixed Effects Model

adalah terkadang variabel dummy yang ditambahkan tersebut tidak memiliki

informasi penuh dalam menjelaskan model aslinya.


34

3. Random Effects Model

Jika variabel dummy ternyata kurang memberikan informasi tentang model,

maka digunakanlah error term. Model ini sering disebut sebagai Error

Components Model (ECM) dengan ide dasar:

Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit

β1i = β1+ εi i = 1, 2, . . . ,N

Yit = β1 + β2X2it+ β3X3it+ εi+ uit= β1+ β2X2it+ β3X3it+ wit

wit= εi+ uit

εi~ N(0, δε2) = komponen cross section error

uit ~ N(0, δu2) = komponen time series error

E(εiuit) = 0 E(εiεj) =0 (i ≠ j )

E(uituis) = E(uitujt) = E(uitujs) =0 (i ≠ j ; t ≠ s)

Error secara individual dan error secara kombinasi diasumsikan tidak berkolerasi.

Tetapi dalam random effects juga terdapat kelemahan, yaitu adanya korelasi

antara error term dengan variabel independen.

3.3.2.1. Pengujian untuk Memilih Model Terbaik

Pengujian yang dapat dilakukan untuk memilih model yang paling tepat

dalam pengolahan data panel, antara lain:

1. Chow Test adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan

Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan

dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: Model Pooled Least Square (Restricted/common)


35

H1: Model Fixed Effect (Unrestricted)

Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan

menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:

(RRSS – URSS) / (N –1)


Chow =
URSS/(NT – N – K)

dimana:

RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS)

URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed)

N= Jumlah data cross section

T= Jumlah data time series

K=Jumlah variabel penjelas

Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu F(N-1, NT-N-K). Jika

nilai Chow Statistics (F Stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka

cukup bukti untuk penolakan terhadap H0 sehingga model yang kita

gunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.

2. Haussman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita

dalam memilih antara menggunakan model fixed effect atau model random

effect. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: Random Effects Model

H1: Fixed Effects Model

Sebagai dasar penolakan H0 tersebut digunakan dengan menggunakan

pertimbangan statistik chi square.


36

3.3.2.2. Pengujian Validitas Model

1. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi menunjukkan seberapa besar persentase variasi

variabel bebas dapat menjelaskan variasi variabel terikatnya. Nilai R2

berkisar antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol berarti

kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel terikat amat

terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variasi variabel terikat (Gujarati, 2003).

2. F-Statistic dan Probability

Untuk metode ordinary least squares nilai F-statistik dihitung dengan

formula:

R2/ (K –1)
F=
(1–R2)/(T – K)

Nilai F statistik yang besar lebih baik dibandingkan dengan nilai F statistik

yang rendah. Sedangkan nilai probabiltas F merupakan tingkat signifikansi

marginal dari F statistik.

Dengan menggunakan hipotesis :

H0: semua parameter yang kita duga sama dengan nol (tidak ada variabel

bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat)

H1 : minimal ada satu parameter yang kita duga tidak sama dengan nol

(minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel terikat)

Tolak H0 jika Prob Fstat < α


37

Jika nilai prob F kurang dari nilai alpha (α), maka dengan tingkat keyakinan

(1-α) kita dapat menyimpulkan bahwa minimal ada parameter yang kita

duga (tidak termasuk konstanta) adalah berbeda dengan nol.

3. Uji t (Partial test)

Pada uji t dilakukan pengujian kofisien regresi secara individu (masing-

masing variabel) untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel

terikat. Hipotesis yang digunakan untuk pengujian ini adalah:

H0 : semua parameter yang kita duga sama dengan nol

H1 : semua parameter yang kita duga tidak sama dengan nol

Berdasarkan hasil perhitungan dalam uji t, maka akan dipilih variabel bebas

yang signifikan secara statistik dimana probability value- nya kurang dari α.

3.3.2.3. Pengujian Asumsi Klasik

1. Multikolinearitas

Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier antara variabel

independennya. Setiap variabel dipastikan memiliki nilai korelasi. Uji masalah

multikolinier ini dilakukan dengan metode melihat hasil estimasi OLS, jika hasil

estimasi memiliki nilai R squared dan Adjusted R squared yang tinggi dan

memiliki nilai t yang signifikan maka model diabaikan dari masalah

multikolinear.Tetapi jika hasil estimasi memiliki nilai R squared dan Adjusted R

squared yang tinggi tetapi memiliki nilai t yang tidak signifikan maka model

memiliki masalah multikolinearitas. Dalam EViews, diujii dengan menggunakan


38

nilai korelasi antar semua variabel bebas. Jika nilai korelasi kurang dari 0,8 maka

variabel tersebut bebas dari multikolinearitas.

2. Heteroskedastisitas

Pengujian asumsi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan tiga metode, yakni:

a. Metode Grafik. Metode grafik dilakukan dengan membuat grafik garis dari

kuadrat residual. Apabila tidak terdapat pola khusus pada grafik tersebut maka

model adalah homoskedastik, namun apabila terdapat pola tertentu pada grafik

residual maka model adalah heteroskedastik.

b. White Test. White test dilakukan untuk menguji apakah model terbebas dari

asumsi heteroskedastisitas. Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai

berikut:

H0 : Model Homoskedastik

H1 : Model Heteroskedastik

Kemudian dilakukan penghitungan statistik White, yang dirumuskan sebagai:

WHITE = n x R2

Dasar penolakan Ho apabila nilai statistik White lebih besar dari χ tabel dengan

derajat bebas adalah jumlah variabel independen.

c. Membandingkan nilai R squared weighted dengan unweighted. Jika nilai R

squared weighted lebih besar dibandingkan dengan nilai R squared unweighted

maka model mengalami heteroskedastik. Model homoskedastik apabila nilai R

squared weighted sama atau lebih kecil dibandingkan dengan nilai R squared

unweighted.
39

3. Autokorelasi

Untuk masalah autokorelasi pengujiannya dilakukan dengan melihat

Durbin-Watson statistic (DW) yang nilainya telah disediakan dalam program

Eviews. Nilai DW berkisar pada angka 1,8 hingga 2,1 dan model dikatakan tidak

mengalami masalah autokorelasi jika nilai DW stat berkisar di angka 2. Masalah

autokorelasi sendiri dapat diatasi dengan 3 cara yaitu first differences, auto

regressive (AR), atau dengan menggunakan lag dari variabel dependen atau

variabel independen. Pada data panel, cara yang pertama dan kedua tidak dapat

langsung dilakukan di dalam Eviews, oleh karena itu ini dapat dilakukan dengan

menambah variabel lag pada model dan kemudian meregresinya.

3.4. Spesifikasi model

Rancangan model yang akan diajukan adalah model regresi linear berganda

dengan enam variabel bebas (belanja pemerintah daerah berdasarkan fungsi

pelayanan umum, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya, serta variabel

angkatan kerja), dengan variabel terikatnya adalah pertumbuhan ekonomi.

Variabel belanja fungsi pelayanan umum dan fungsi lainnya dikembangkan dari

hasil penelitian Rahayu (2004) dan Sodik (2007) sebagai pendekatan dari variabel

konsumsi/belanja pemerintah. Investasi pemerintah didekati dari belanja fungsi

ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang diadopsi dari hasil penelitian Nurudeen

dan Usman (2010).

Adapun data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut berbeda satuan

sehingga di-logaritmanatural-kan. Dengan model tersebut, diharapkan bahwa hasil


40

regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterprestasikan.

Model yang disusun dalam penelitian adalah sebagai berikut:

GRWit = α + β1ln(AKit) + β2ln(BLUit) + β3ln(BEit) + β4ln(BSit) + β5ln(BPit)

+ β6ln(BLit) + ε

dimana :

α = intercept

β 1,2,3,4,5,6 = konstanta masing-masing variabel bebas

ε = error term/derajat kesalahan model

GRWit = Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (dalam persen)

AKit = Jumlah angkatan kerja (dalam orang/jiwa)

BLUit = belanja fungsi pelayanan umum (dalam juta rupiah)

BEit = belanja fungsi ekonomi (dalam juta rupiah)

BSit = belanja fungsi kesehatan (dalam juta rupiah)

BPit = belanja fungsi pendidikan (dalam juta rupiah)

BLit = belanja fungsi lainnya seperti perlindungan sosial dan lingkungan

hidup (dalam juta rupiah)

i = data cross section, yaitu 22 kabupaten tertinggal

t = tahun penelitian, yaitu dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009
BAB IV

ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL

4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah

Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan

untuk mengetahui program pembangunan yang tepat dalam memajukan suatu

daerah. Karakteristik yang perlu dilihat lebih lanjut adalah kondisi aksesibilitas,

sumber daya alam (baik masih potensi maupun yang sudah dikembangkan),

sumber daya manusia (kuantitas maupun kualitasnya), dan perkembangan sarana

prasarana.

4.1.1. Aksesibilitas

Aksesibilitas sebuah daerah berperan penting dalam menyalurkan sumber

daya input produksi sekaligus sebagai jalur pemasaran/pendistribusian hasil

produksi tersebut. Kemudahan akses untuk keluar masuk barang jasa dalam suatu

daerah mampu mempercepat kinerja perekonomian. Mobilitas perpindahan

sumber daya akan mengalir ke tempat sumber daya tersebut lebih dibutuhkan.

Sulitnya akses dari dan menuju suatu wilayah menyebabkan harga barang dan jasa

menjadi relatif lebih mahal dikarenakan adanya tambahan biaya transport.

Kondisi geografis dari sebagian besar 22 kabupaten tertinggal terletak di

kepulauan dan pegunungan/perbukitan yang sulit diakses, daerah pesisir dan

daerah yang rawan bencana. Pada umumnya kabupaten tertinggal merupakan

daerah yang relatif sulit dijangkau. Untuk daerah yang sulit diakses dikarenakan
42

kepulauan antara lain Kabupaten Simeuleu, Nias Selatan, dan Nias. Untuk

kesulitan akses dengan kondisi perbukitan atau belum terbukanya akses jalan di

sebagian besar wilayah desanya adalah Kabupaten Simeuleu, Aceh Jaya, Pakpak

Bharat, Nias Selatan, Padang Pariaman, dan Way Kanan.

Sebagian besar daerah mempunyai kondisi rawan bencana (banjir, gempa,

tsunami, dan longsor) terutama yang terletak di wilayah Pantai Barat Sumatra

antara lain Kabupaten Simeuleu, Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya,

Nias, Nias Selatan, Padang Pariaman, Pasaman Barat, dan Mukomuko. Kondisi

daerah yang rawan bencana bukan hanya dapat menyebabkan pembangunan

terhambat, bahkan merusakkan pembangunan yang sudah terlaksana. Kerusakan

fasilitas, terutama jalan sebagai jalur transportasi, dapat menyebabkan sebuah

daerah terisolir.

100

80
persentase desa

60

40

20

0
Kabupaten
Simeuleu

Banyuasin
Lahat
Aceh Selatan
Aceh Besar

Solok Selatan

Ogan Ilir
Kaur
Solok

Pasaman Barat

Mukomuko
Nias

Nias Selatan

Way Kanan
Tapanuli Tengah

Lampung Barat
Aceh Barat Daya

Pakpak Bharat

Padang Pariaman

Lampung Utara
Aceh Jaya

Lebong

Desa dengan jalan dapat dilalui mobil Desa dengan jalan sudah diaspal

Sumber: BPS, Podes 2008 (diolah)

Gambar 4.1. Persentase Desa dengan Jalan yang Dapat Dilalui Mobil dan Desa
dengan Jalan yang Sudah Diaspal Tahun 2008
43

Kondisi jalan sebagai jalur transportasi di 22 kabupaten tertinggal masih

cukup memprihatinkan. Walaupun sebagian besar desa sudah dapat dilalui oleh

kendaraan roda empat (mobil), akan tetapi, hanya sekitar 61 persen yang sudah

diaspal, lebih banyak jalan yang kondisinya terbatas. Kondisi jalan yang diaspal

masih banyak yang berada di bawah rata-rata desa secara nasional (64 persen).

Kabupaten Aceh Jaya, Banyuasin, dan Way Kanan merupakan daerah yang

mempunyai persentase desa dengan jalan aspal yang paling rendah.

4.1.2. Sumber Daya Alam

Sumber daya alam merupakan salah satu faktor dalam pembangunan

ekonomi. Daerah tertinggal diindikasikan memiliki sumber daya alam yang

terbatas maupun berpotensi namun belum dikembangkan/dikelola dengan baik.

Potensi sumber daya alam kabupaten tertinggal biasanya bergantung pada sektor

primer. Beberapa daerah bahkan tidak memiliki potensi sumber daya alam, yang

sangat menggantungkan pembangunan daerahnya dari pajak dan dana

perimbangan, seperti Kabupaten Solok Selatan dan Lebong.

Daerah yang mempunyai potensi dari subsektor petanian pangan dan

palawija (berupa produk padi, jagung, cabai, dan singkong) adalah Kabupaten

Aceh Selatan, Aceh Besar, Pakpak Bharat, Padang Pariaman, Lahat, Banyuasin,

dan Lampung Utara. Di antara daerah tersebut, yang dapat dikatakan lebih mampu

mengelola potensinya adalah Lahat. Dengan program pertanian yang terpadu

dengan dinas pertanian terkait diharapkan mampu memacu perkembangan produk


44

pertanian. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan daerah penyangga

(dari OKU Timur) dalam kerangka ketahanan pangan nasional.

Sebagian besar daerah yang berpotensi pada produk perikanan masih

belum bisa mengelola sumberdaya perikanannya dengan baik (masih perikanan

tangkap, bukan budidaya). Daerah dengan produk perikanan seperti Nias dan Nias

Selatan sangat tergantung musim dan perairan. Daerah yang sudah mulai

mengembangkan pola budidaya dengan keramba dan tambak adalah Lampung

Barat. Dengan pengembangan budidaya maka akan relatif dapat memastikan

pasokan produk ke pasaran.

Adapun daerah yang memproduksi tanaman perkebunan seperti kopi dan

kelapa sawit belum bisa mengembangkan produksinya dengan maksimal

dikarenakan belum adanya industri lanjutan. Kabupaten Aceh Besar dan Aceh

Barat Daya merupakan penghasil Kopi Aceh (Kopi Gayo) yang terkenal,

meskipun produksinya belum massive. Kabupaten lain yang juga sebagai

produsen kopi antara lain Solok dan Lampung Barat. Kabupaten yang sedang

mengembangkan perkebunan kelapa sawit adalah Kaur dan Mukomuko.

4.1.3. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia juga perlu diperhatikan, selain sumber daya alam,

sebagai faktor pembangunan. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia

merupakan motor penggerak sekaligus sebagai objek pembangunan itu sendiri.

Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia daerah tertinggal mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, dengan peningkatan tersebut masih
45

relatif kecil dibandingkan angka nasional. Sehingga dapat disimpulkan percepatan

pembangunan sumber daya manusia masih kurang progesif.

Simeuleu
90 Aceh Besar
Aceh Selatan
80 Aceh Barat Daya
Aceh Jaya
Nias
70 Tapanuli Tengah
Pakpak Bharat
Nias Selatan
60
Padang Pariaman
TPAK

Solok
50 Solok Selatan
Pasaman Barat
Lahat
40 Banyuasin
Ogan Ilir
30 Kaur
Mukomuko
Lebong
20 Lampung Barat
64 66 68 70 72 74 Lampung Utara
ipm Way Kanan

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal
Tahun 2007

Perkembangan kuantitas dan pembangunan kualitas sumber daya manusia

tahun 2007-2009 dapat dilihat dari Gambar 4.2 dan 4.3. Seluruh kabupaten

mengalami peningkatan IPM pada 2009 dibandingkan dengan tahun 2007. Akan

tetapi, peningkatan kualitas 21 kabupaten masih berada di bawah IPM nasional

(2007 sebesar 70,59 dan pada 2009 menjadi sebesar 71,67), hanya Kabupaten

Aceh Besar yang berada di atas nilai IPM nasional. Kabupaten Nias Selatan

memiliki nilai IPM yang jauh tertinggal dibandingkan kabupaten lain.

Sebagian besar kabupaten juga mengalami peningkatan jumlah angkatan

kerja sejalan penambahan jumlah penduduk. Kabupaten yang memiliki Tingkat


46

Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) lebih tinggi dari nasional antara lain Aceh

Selatan, Lebong, Lahat, Ogan Ilir, dan Kaur. TPAK nasional tahun 2007 sebesar

66,99 persen dan meningkat di tahun 2009 menjadi 67,23 persen.

Simeuleu
80 Aceh Besar
Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
70 Aceh Jaya
Nias
Tapanuli Tengah
60 Pakpak Bharat
Nias Selatan
Padang Pariaman
TPAK

50 Solok
Solok Selatan
Pasaman Barat
40 Lahat
Banyuasin
Ogan Ilir
30 Kaur
Mukomuko
Lebong
20 Lampung Barat
Lampung Utara
64 66 68 ipm 70 72 74 Way Kanan
Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal
Tahun 2009

4.1.4. Sarana dan Prasarana

Pembangunan sarana dan prasarana ekonomi maupun sosial suatu daerah

merupakan investasi masa depan bagi daerah itu sendiri. Ketersediaan fasilitas

fisik yang memadai dan berkualitas mendorong pengembangan sumber daya

dengan efektif yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat. Begitu halnya

dengan ketersediaan infrastruktur energi (listrik) sangat perlu diperhatikan.

Pengembangan kegiatan ekonomi daerah berbasis industri kurang dapat menyebar

ke daerah tertinggal jika kapasitas produksi masih belum mencukupi kebutuhan.


47

Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kabupaten tertinggal cukup

memfokuskan pada pembangunan sarana sosial maupun ekonomi. Perkembangan

jumlah sarana kesehatan dan pendidikan yang meningkat, serta penambahan daya

listrik terpasang merupakan indikasi adanya pembangunan sarana yang krusial.

Tabel 4.1. Perkembangan Ketersediaan Sarana dan Prasarana di antara 22


Kabupaten Tertinggal Tahun 2005 dan 2008
Rasio Fasilitas Rasio SD dan Persentase
Kabupaten Kesehatan per SMP per 10.000 Keluarga
Tertinggal 10.000 penduduk penduduk Pengguna Listrik
2005 2008 2005 2008 2005 2008
Simeuleu 3,82 14,67 18,24 19,56 46,95 73,11
Aceh Besar 4,07 8,00 8,04 10,51 68,74 93,01
Aceh Selatan 5,05 4,71 12,68 13,28 65,40 75,37
Aceh Barat Daya 3,71 5,36 11,71 11,70 47,63 76,59
Aceh Jaya 5,94 7,28 13,30 19,05 42,91 65,79
Nias 2,64 3,79 11,70 12,85 26,69 47,95
Tapanuli Tengah 4,09 6,52 13,53 13,25 66,46 78,25
Pakpak Bharat 7,75 12,91 16,78 19,24 58,65 71,63
Nias Selatan 1,88 4,07 8,02 13,27 35,33 45,08
Padang Pariaman 3,72 4,24 11,47 12,37 80,71 82,80
Solok 3,50 6,07 11,18 11,78 68,96 78,79
Solok Selatan 3,61 5,38 10,28 13,40 58,13 73,87
Pasaman Barat 2,90 2,37 10,34 10,38 42,27 54,51
Lahat 5,35 6,17 17,77 12,36 48,53 71,41
Banyuasin 2,49 6,36 7,09 8,10 49,19 62,62
Ogan Ilir 1,83 9,91 9,96 10,57 46,85 73,40
Kaur 4,71 10,07 13,33 14,24 34,90 48,47
Muko-muko 5,12 11,40 11,40 11,33 35,39 65,24
Lebong 5,46 10,97 13,27 15,14 49,93 68,12
Lampung Barat 2,99 6,83 10,80 11,59 34,33 42,20
Lampung Utara 3,79 5,84 9,94 10,63 54,28 69,95
Way Kanan 3,64 6,74 11,58 12,36 24,19 50,44
Rata-rata
89,01 92,73
Nasional
Sumber: BPS, Podes (2005 dan 2008)

Badan Standar Pendidikan Nasional (BSPN) mencanangkan bahwa satu

SD terhadap maksimal menampung 200-300 anak usia 7-12 tahun atau maksimal
48

30 anak dalam satu kelas. Menurut Kementrian Kesehatan, sarana kesehatan yang

dibangun seyogyanya mampu melayani 30.000 penduduk di sekitarnya atau

dengan rasio sekitar 30. Kabupaten tertinggal memiliki rasio yang lebih rendah

dibandingkan nasional berdasarkan Tabel 4.1. Hal ini menunjukkan kapasitas

fasilitas kesehatan melebihi kapasitas ideal yang diharapkan.

4.2. Struktur Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal

Keterbatasan potensi dan PAD dari daerah tertinggal menyebabkan

terbatasnya kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran yang ada.

Anggaran sebagai instrumen fiskal dalam fungsi alokasi disesuaikan kebutuhan

dan prioritas masing-masing daerah. Keterpaduan alokasi yang tepat bertujuan

meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja daerah sehingga bermanfaat bagi

perekonomian kabupaten.

100,0
lainnya
80,0
persentese alokasi

pendidikan
60,0
kesehatan
40,0

20,0 ekonomi

0,0 pelayanan
Padang…

umum
Kaur
Simeuleu

Lahat

Mukomuko
Selatan Aceh

Nias

Banyuasin
Aceh Besar Aceh

Tapanuli Tengah
Pakpak Bharat
Nias Selatan

Solok Selatan

Ogan Ilir
Barat Daya

Lampung Barat
Solok

Way Kanan
Pasaman Barat

Lebong
Aceh Jaya

Lampung Utara

Kabupaten

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.4. Struktur Alokasi Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal


Berdasarkan Fungsi Tahun 2009
49

Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa struktur alokasi belanja pemerintah

daerah tertinggal hampir sama. Alokasi belanja terbesar masih didominasi belanja

fungsi pelayanan umum kemudian baru fungsi pendidikan. Alokasi belanja fungsi

pelayanan umum berkisar antara 22-40 persen dari total belanja. Belanja fungsi

kesehatan, ekonomi, dan lainnya relatif kecil, antara 5 persen sampai dengan 20

persen.

4.2.1. Belanja Fungsi Pelayanan Umum

Perkembangan belanja fungsi pelayanan umum dari tahun 2007-2009

bervariasi antardaerah, sebagian besar mengalami kenaikan. Kenaikan belanja

fungsi ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan gaji pegawai (baik dari segi nominal

maupun jumlah pegawai). Rekrutmen pegawai baru juga semakin memberikan

beban tersendiri karena semakin memperbesar pengalokasian.

Pada tahun 2009 Kabupaten Lahat mempunyai pengeluaran untuk fungsi

belanja pelayanan umum terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya untuk

kebutuhan yaitu sebesar 250.055,65 miliar rupiah atau 64,91 persen lebih tinggi

dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten yang ada yaitu

151.628,10 miliar rupiah. Belanja untuk kebutuhan pelayanan umum terkecil

adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang hanya 34.444,74 miliar rupiah atau 77,28

% lebih kecil dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten.

Pada Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa terdapat sepuluh kabupaten yang

mengalokasikan belanja fungsi alokasi yang lebih besar dibandingkan rata-rata

(32 persen). Sepuluh kabupaten tersebut adalah Simeuleu, Aceh Selatan, Aceh
50

Barat Daya, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Solok, Kaur, Lampung Barat, Lampung

Utara, dan Way Kanan.

50,0

40,0
alokasi anggaran

30,0

20,0

10,0

0,0

Banyuasin
Lahat
Simeuleu

Solok Selatan

Ogan Ilir
Kaur
Solok

Pasaman Barat

Mukomuko
Aceh Selatan

Nias

Nias Selatan

Way Kanan
Aceh Besar

Tapanuli Tengah

Lampung Barat
Pakpak Bharat

Padang Pariaman
Aceh Barat Daya

Lampung Utara
Aceh Jaya

Lebong
Kabupaten
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.5. Alokasi Belanja Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2009

4.2.2. Belanja Fungsi Ekonomi

Kenaikan belanja fungsi ekonomi antara lain digunakan untuk

pengembangan pelatihan kerja, peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat,

dan promosi potensi wilayah. Kabupaten Lahat memiliki belanja fungsi ekonomi

tertinggi dibandingkan daerah lain, dimana sedang memprioritaskan

pembangunan pada sektor pertanian.


51

alokasi anggaran 15,0

10,0

5,0

0,0
Simeuleu

Aceh Selatan

Nias

Nias Selatan

Banyuasin
Aceh Besar

Tapanuli Tengah

Solok Selatan

Lampung Barat
Pakpak Bharat

Solok

Pasaman Barat
Lahat

Way Kanan
Padang Pariaman

Ogan Ilir
Kaur
Aceh Barat Daya

Mukomuko
Aceh Jaya

Lebong

Lampung Utara
Kabupaten
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.6. Alokasi Belanja Fungsi Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2009

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi ekonomi adalah sebesar

9,5 persen. Alokasi fungsi ini relatif kecil untuk pengembangan ekonomi

masyarakat, dimana kebutuhan pembangunan infrastruktur/fasilitas umum

membutuhkan dana yang besar. Alokasi fungsi ekonomi antarkabupaten cukup

beragam, Nias Selatan merupakan kabupaten dengan alokasi terendah sebesar 6

persen, sedangkan Nias tertinggi sebesar 12 persen. Walaupun bersebelahan,

alokasi fungsi ekonomi memang berbeda dimana Nias Selatan masih lebih

berfokus kepada pemulihan terhadap kondisi setelah bencana.


52

4.2.3. Belanja Fungsi Kesehatan

Belanja fungsi kesehatan merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam

rangka peningkatan kualitas kesehatan dan produktivitas masyarakat. Contoh

pembelanjaan fungsi ini antara lain seperti pembelian obat, fasilitas kesehatan

(alat medis maupun penujang), dan gedung kesehatan.

15,00
alokasi anggaran

10,00

5,00

0,00

Kabupaten

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)


Gambar 4.7. Alokasi Belanja Fungsi Kesehatan Menurut Daerah Tahun 2009

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi kesehatan adalah sebesar

9,9 persen. Alokasi fungsi kesehatan digunakan dalam rangka peningkatan

pelayanan kesehatan masyarakat seperti peningkatan sarana prasarana kesehatan,

alat-alat kesehatan, dan obat-obatan. Keragaman alokasi belanja fungsi kesehatan

antardaerah cukup bervariasi. Kabupaten Simeuleu merupakan daerah dengan

alokasi terendah sebesar 5 persen, sedangkan Kabupaten Pakpak Bharat tertinggi

sebesar 11 persen. Pengalokasian belanja fungsi kesehatan secara efektif di

Kabupaten Kaur terbukti dapat menurunkan angka kejadian penyakit menular dan

endemik.
53

4.2.4. Belanja Fungsi Pendidikan

Belanja fungsi pendidikan merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam

rangka peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan

internet sekolah, maupun gedung sekolah. Alokasi belanja fungsi pendidikan

secara nasional untuk daerah dicanangkan minimal 20 persen.

40,00

30,00
alokasi anggaran

20,00

10,00

0,00

Kabupaten
Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.8. Alokasi Belanja Fungsi Pendidikan Menurut Kabupaten Tahun 2009

Pada Gambar 4.8 bahwa secara rata-rata belanja pemerintah daerah untuk

fungsi pendidikan cukup besar, yaitu 27,02 persen. Alokasi fungsi pendidikan

antarkabupaten cukup beragam, tapi dengan persentase yang lebih dibandingkan

alokasi fungsi yang lain. Kabupaten yang paling sedikit mengalokasikan belanja

pada fungsi pendidikan adalah Mukomuko (16,26 persen), sedangkan yang

terbesar adalah Solok. Belanja fungsi pendidikan difokuskan kepada peningkatan

prasarana sekaligus kualitas fasilitas pendidikan seperti buku, laboratorium,


54

peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), dan kualitas pengajar.

Perkembangan alokasi belanja fungsi pendidikan sedikit mengalami penurunan

pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Hal ini salah satunya

dikarenakan semakin banyaknya program intervensi dari pemerintah pusat seperti

peningkatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa pendidikan.

4.2.5. Belanja Fungsi Lainnya

Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka belanja fungsi lain

yang belum tercakup seperti perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Belanja

perlindungan sosial digunakan untuk biaya penanggulangan bencana yang

dianggarkan, jaminan sosial masyarakat, dan pendistribusian bantuan. Belanja

lingkungan hidup lebih diarahkan dalam pemeliharaan dan pelestarian kondisi

lingkungan terutama hutan.

20,00

15,00
alokasi anggaran

10,00

5,00

0,00

Kabupaten

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.9. Alokasi Belanja Fungsi Lainnya Menurut Kabupaten Tahun 2009
55

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi lainnya adalah sebesar

8,8 persen. Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa alokasi fungsi ekonomi antardaerah

sangat beragam. Lampung Utara merupakan daerah dengan alokasi terendah

sebesar 2,8 persen, sedangkan Lebong tertinggi sebesar 20,3 persen. Belanja

fungsi lainnya biasanya merupakan pengeluaran untuk perlindungan sosial dan

lingkungan hidup. Kabupaten Lebong mempunyai alokasi yang cukup tinggi pada

belanja ini, yang lebih menitikberatkan pada lingkungan hidup, dimana

pengembalian fungsi hutan mangrove, kelestarian terumbu karang, dan reboisasi

hutan sangat digalakkan oleh pemerintah daerahnya. Kabupaten Nias dan Nias

Selatan juga memiliki alokasi yang belanja fungsi lainnya yang tinggi terkait

fokusnya pada program revitalisasi pasca bencana.

4.3. Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan Tabel 4.2, pada tahun 2007 dari 22 kabupaten tertinggal

tersebut yang memiliki pertumbuhan tertinggi adalah Aceh Besar (Provinsi

Nangro Aceh Darusalam) sebesar 13,87 persen Tingginya pertumbuhan ekonomi

di beberapa daerah kabupaten di Aceh pada tahun tersebut lebih disebabkan

adanya pengembangan kawasan ekonomi terpadu Basajan (Banda Aceh, Sabang,

dan Jantho) sebagai kawasan wisata dan berikat serta pembangunan jaringan

telekomunikasi di sebagian besar wilayah NAD tersebut.


56

Tabel 4.2. Perbandingan PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi pada 22


Kabupaten Tertinggal
Kabupaten PDRB ADHK (Miliar Rp) Pertumbuhan Ekonomi (%)
Tertinggal 2007 2008 2009 2007 2008 2009
Simeuleu 225 236 246,66 11,59 4,83 4,68
Aceh Besar 2.135 2.258 2.405 13,87 5,77 6,50
Aceh Selatan 1.181 1.244 1.317 6,14 5,34 5,85
Aceh Barat Daya 582 608 635 4,57 4,50 4,44
Aceh Jaya 243 252 264,91 2,95 3,73 5,14
Nias 1.739 1.855 1.980,33 6,64 6,70 6,75
Tapanuli Tengah 1.000 1.062 1122,91 6,23 6,18 5,70
Pakpak Bharat 138 14 6 154,42 5,95 5,87 5,83
Nias Selatan 1.085 1.137 1.182,9 4,27 4,77 4,08
Padang Pariaman 2.490 2.645 2.749,34 6,11 6,24 3,94
Solok 1.812 1.927 2.047,62 6,24 6,35 6,27
Solok Selatan 546 579 614,81 6,02 6,04 6,18
Pasaman Barat 2.251 2.395 2.544,86 6,41 6,40 6,26
Lahat 2.292 2.433 2.562,84 5,92 6,09 5,40
Banyuasin 4.033 4.251 4.484,12 6,12 5,43 5,41
Ogan Ilir 1.493 1.568 1.651,28 5,01 5,07 5,29
Kaur 214 226,9 234,81 4,65 5,45 3,98
Mukomuko 488 510 533,78 4,97 4,55 4,65
Lebong 446 468 489,66 5,11 4,99 4,58
Lampung Barat 1.286 1.352 1.427,75 5,88 5,09 5,64
Lampung Utara 2.855 3.014 3.194,21 6,27 5,71 5,84
Way Kanan 1.220 1.278 1.337,66 5,52 4,74 4,69
Nasional 6.28 6,43 4,74
Sumber: BPS, 2007-2009

Pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Aceh Jaya dan Nias

Selatan yang hanya sebesar 2,95 dan 4,27 persen. Hal tersebut dikarenakan

pemulihan kondisi pasca bencana terdahulu belum maksimal. Walaupun

Kabupaten Aceh lainnya juga terkena dampak bencana, akan tetapi tidak separah

dan proses restrukturisasi daerah lebih cepat


57

16,00
Simeuleu
Aceh Besar
14,00 Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
12,00 Aceh Jaya
Nias
Pertumbuhan Ekonomi

Tapanuli Tengah
10,00
Nias Selatan
Padang Pariaman
8,00 Pakpak Bharat
Solok
6,00 Solok Selatan
Pasaman Barat
Lahat
4,00
Banyuasin
Ogan Ilir
2,00 Kaur
Mukomuko
0,00 Lebong
Lampung Barat
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00
Lampung Utara
PDRB Perkapita (juta rupiah) Way Kanan

Sumber: BPS, 2007 (diolah)

Gambar 4.10. Plot PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten


Tertinggal Tahun 2007

Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal walaupun turun

tapi lebih besar daripada pertumbuhan nasional. Hanya Kabupaten Padang

Pariaman dan Kaur yang jauh lebih kecil dengan pertumbuhan sebesar 3,94

persen dan 3,98 persen (nasional 4,74 persen). Hal tersebut salah satunya

dikarenakan terkena dampak bencana gempa yang cukup parah. Pertumbuhan

ekonomi yang tumbuh secara konsisten merupakan prasyarat agar kabupaten

tertinggal mampu mempercepat pemerataan pembangunan. Hal tersebut


58

berimplikasi menjadikan kabupaten tertinggal dapat menyejajarkan diri dengan

daerah yang lebih maju.

8,00
Simeuleu
Aceh Besar
7,00 Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
6,00 Aceh Jaya
Nias
Pertumbuhan Ekonomi

Tapanuli Tengah
5,00 Pakpak Bharat
Nias Selatan
4,00 Padang Pariaman
Solok
Solok Selatan
3,00
Pasaman Barat
Lahat
2,00 Banyuasin
Ogan Ilir
1,00 Kaur
Mukomuko
Lebong
0,00 Lampung Barat
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 Lampung Utara
PDRB Perkapita (juta rupiah) Way Kanan

Sumber: BPS, diolah

Gambar 4.11. Plot PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten


Tertinggal Tahun 2009

Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 menunjukkan perkembangan plot

pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita ke-22 daerah tertinggal berdasarkan

tipologi Klassen. Hasil analisis empat kuadran menunjukkan bahwa daerah

tertinggal hanya tersebar pada kuadran tiga (merupakan kabupaten berkembang

cepat) dan kuadran empat (merupakan kabupaten yang relatif tertinggal). Pada

tahun 2007, hanya empat kabupaten yang termasuk kategori daerah berkembang
59

cepat yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pasaman Barat, Nias, dan Simeuleu. Delapan

belas kabupaten lain termasuk kategori kabupaten relatif tertinggal.

Perkembangan kondisi perekonomian selama kurun dua tahun menjadikan

sebagian besar kabupaten tertinggal naik peringkat pada tahun 2009. Tersisa

delapan kabupaten yang masih terpuruk dalam kondisi ketertinggalan yaitu

Kabupaten Kaur, Simeuleu, Way Kanan, Mukomuko, Nias Selatan, Lebong, Aceh

Barat Daya, dan Padang Pariaman. Kabupaten Simeuleu mengalami penurunan

kelas tipologi masuk menjadi dalam kuadran empat. Hal tersebut berarti

pertumbuhan pada tahun 2007 tidak berkesinambungan dan hanya berupa shock

pertumbuhan.
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tahap Evaluasi Model

5.1.1. Tahap Evaluasi Pemilihan Model

Estimasi model, untuk mengetahui pengaruh belanja pemerintah daerah

per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan

analisis data panel, dilakukan melalui 3 pendekatan model estimasi, yaitu Pooled

Least Square Model, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model. Melalui

ketiga model tersebut, dapat diketahui besarnya pengaruh belanja pemerintah

daerah per fungsi dan variabel lain di dalam model terhadap pertumbuhan

ekonomi 22 kabupaten tertinggal.

Pada pengujian dengan menggunakan Chow dan Uji Hausman pada

Lampiran 2, diperoleh bahwa Random Effect Model merupakan pendekatan

analisis regresi data panel yang terbaik. Kemudian dilakukan pengujian asumsi

klasik terhadap model estimasi data panel Random Effect Model pada Lampiran 3

agar dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria BLUE.

5.1.2. Pengujian Asumsi Klasik

5.1.2.1.Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan koefisien

korelasi antar variabel independennya. Apabila nilai koefisien korelasinya lebih

rendah dari 0,80 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.
61

Hasil penghitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan EViews 6.0

menghasilkan output sebagai berikut:

Tabel 5.1. Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolonieritas


Korelasi a b c d e f
a 1 0.4975 0.6934 0.5606 0.2515 0.7832
b 0.4975 1 0.6355 0.5899 0.2203 0.5638
c 0.6934 0.6355 1 0.4513 0.3614 0.7396
d 0.5606 0.5899 0.4513 1 -0.1983 0.5055
e 0.2515 0.2203 0.3614 -0.1983 1 0.1766
f 0.7832 0.5638 0.7396 0.5055 0.1766 1
Keterangan: a. Ln variabel jumlah angkatan kerja
b. Ln variabel belanja fungsi ekonomi
c. Ln variabel belanja fungsi kesehatan
d. Ln variabel belanja fungsi lainnya
e. Ln variabel belanja fungsi pelayanan umum
f. Ln variabel belanja fungsi pendidikan

Nilai koefisien korelasi antarvariabel bebas semuanya kurang dari 0,80. Hal ini

dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas, sehingga kriteria bebas

multikolinearitas terpenuhi dalam model estimasi ini.

5.1.2.2. Uji Autokolerasi

Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Nilai Tabel Durbin-

Watson diperoleh dengan dL = 1,053 dan dU = 1,664, sehingga diperoleh selang

pengambilan keputusan pada Gambar 5.1:

Dengan hipotesis

H0 : Tidak terdapat autokorelasi

H1 : Terdapat autokorelasi

Karena diperoleh nilai Statistik Durbin-Watson sebesar 1,825976 berada dalam

selang dU < d < 4 – dU yaitu daerah non-autokorelasi, maka Ho tidak ditolak


62

sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria bebas autokorelasi terpenuhi dalam

model estimasi ini.

ada ada
autokorelasi tidak ada tidak ada autokorelasi
negatif keputusan keputusan positif

tidak ada korelasi

0 dL dU 2 4-dU 4-dL 4
Sumber: Gujarati (2003)

Gambar 5.1. Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson

5.1.2.3. Uji Heteroskedatisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan cross section

weighting. Hasil cross section weighting menggunakan EViews 6.0 menghasilkan

output sebagai berikut:

Tabel 5.2. Hasil Pengolahan dengan Weighting Random Effect Model untuk
Menguji Heteroskedastisitas
Weighted Statistics

R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423


Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949
S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332
F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976
Prob(F-statistic) 0.000826

Unweighted Statistics

R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788


Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918
63

Dengan melihat bahwa, nilai Sum squared residual Weighted Statistics

yang lebih kecil dibandingkan nilai Sum squared residual Unweighted Statistisc

dan nilai R-squared Weighted Statistic yang lebih besar dibandingkan nilai R-

squared Unweighted Statistic, maka dapat disimpulkan bahwa model estimasi

mengandung masalah heteroskedastisitas dimana varians tiap unsur error tidak

konstan.

Menurut Winarno (2007), heteroskedastisitas dapat menyebabkan

estimator tidak lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum,

perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena

estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan

pada uji F dan t tidak dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah ini, dengan

menggunakan metode cross-section weighting tersebut masalah sudah teratasi.

5.2. Tahap Pemilihan Model Terbaik

Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan memenuhi syarat, maka

dapat ditentukan bahwa model estimasi analisis data panel yang terbaik adalah

Random Effect Model dengan cross-section weighting SUR dengan hasil output

Eviews 6.0 pada Tabel 5.3.

Nilai R squared 0,313487 berarti variabel belanja pemerintah daerah per

fungsi (ekonomi, kesehatan, pendidikan, pelayanan umum, dan lainnya) serta

angkatan kerja mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi sebesar 31,35

persen. Variasi sisanya sebesar 68,65 persen dapat dijelaskan oleh variabel lain di

luar model.
64

Tabel 5.3. Hasil Penetapan Model Menggunakan Random Effect Model dengan
Cross-section Weighting SUR
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.670176 6.169529 0.432801 0.6667


LN_AK -0.089737 0.330677 -0.271373 0.7871
LN_LAYANAN -1.372154 0.394085 -3.481873 0.0009
LN_EKONOMI 0.137156 0.616474 0.222484 0.8247
LN_KESEHATAN 2.032626 0.908060 2.238428 0.0290
LN_PENDIDIKAN 0.858407 0.320087 2.681795 0.0095
LN_LAINNYA -1.312499 0.496796 -2.641930 0.0105

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 0.707650 0.2841


Idiosyncratic random 1.123350 0.7159

Weighted Statistics

R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423


Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949
S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332
F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976
Prob(F-statistic) 0.000826

Unweighted Statistics

R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788


Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918

Penggunaan Random Effect Model tersebut menyatakan bahwa minimal

terdapat satu di antara variabel belanja pemerintah daerah per fungsi maupun

angkatan kerja yang signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut

didasarkan dari nilai Prob(F-statistik) yang kurang dari α (5 persen).

Analisis secara parsial, bahwa masing-masing variabel belanja pemerintah

daerah fungsi pelayanan umum, fungsi kesehatan, fungsi pendidikan dan fungsi

lainnya berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel bebas

yang lain yaitu angkatan kerja dan belanja fungsi ekonomi tidak berpengaruh

signifikan pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal.


65

5.2.1. Pengaruh Belanja Fungsi Pendidikan terhadap Pertumbuhan


Ekonomi

Variabel belanja fungsi pendidikan memiliki koefisien sebesar 0,858407

dari hasil analisis regresi. Kenaikan satu persen belanja fungsi pendidikan akan

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,86 persen. Belanja fungsi

pendidikan, yang merupakan bentuk pendekatan pengeluaran investasi

pemerintah, digunakan dalam peningkatan kualitas pendidikan. Selain digunakan

untuk peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, juga digunakan dalam

penelitian pengembangan dan peningkatan kualitas pengajar dari keilmuan

maupun softskills.

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari segi pendidikan sangat

diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan ke depan bagi kabupaten tertinggal.

Dengan tenaga yang lebih terampil dan kreatif, diharapkan potensi sumberdaya

alam yang ada dapat dikembangkan untuk memajukan daerahnya. Produktivitas

individu maupun masyarakat secara umum memberikan perluasan kesempatan

kerja dan upaya perbaikan kesejahteraan. Dikarenakan mampu memberikan

pengaruh jangka panjang terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia,

maka sebaiknya alokasi fungsi ini ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Rahayu (2004) bahwa investasi pemerintah yang dikembangkan dari belanja

fungsi pendidikan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.


66

5.2.2. Pengaruh Belanja Fungsi Kesehatan terhadap Pertumbuhan


Ekonomi

Dari hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel belanja

fungsi kesehatan adalah sebesar 2,032626. Ini berarti bahwa kenaikan satu persen

dalam belanja fungsi kesehatan dapat langsung memengaruhi pertumbuhan

ekonomi 22 daerah tertinggal sebesar 2,03 persen. Pelaksanaan pembangunan

fasilitas kesehatan dan pengobatan yang merata akan dapat meningkatkan

pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Masyarakat yang sehat merupakan

modal yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan produktivitas kerja.

Upaya pemberantasan penyakit menular dan endemi, yang merupakan

masalah daerah tertinggal, dapat berhasil menurunkan angka kejadian. Program

pengobatan gratis juga sangat membantu masyarakat memperoleh akses obat yang

benar sekaligus berkualitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

Nurudeen dan Usman (2010).

5.2.3. Pengaruh Belanja Fungsi Pelayanan Umum terhadap Pertumbuhan


Ekonomi
Dari hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel belanja

fungsi pelayanan umum sebesar -1,372154. Hal ini diartikan bahwa kenaikan satu

persen alokasi belanja fungsi pelayanan umum justru akan menurunkan

pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal sebesar 1,37 persen

Belanja fungsi pelayanan umum pada dasarnya sebagian besar adalah

belanja gaji pegawai negeri dan operasional. Hal ini merupakan indikasi bahwa

belanja fungsi pelayanan umum merupakan pengeluaran yang tidak produktif.

Belanja fungsi ini tidak dapat memberikan dampak dalam peningkatan output.
67

5.2.4. Pengaruh Belanja Fungsi Lainnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dari hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel belanja

fungsi lainnya sebesar -1,3125 dan signifikan. Ini berarti bahwa belanja fungsi

lainnya berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal.

Peningkatan belanja fungsi lainnya sebesar satu persen hanya akan mengurangi

pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal sebesar 1,31 persen.

Pengaruh negatif dari belanja fungsi lainnya ini merupakan indikasi bahwa

belanja ini memang lebih banyak digunakan untuk pengeluaran perlindungan

sosial. Pengeluaran ini terutama terkait pemberian bantuan sosial seperti

operasional distribusi raskin dan bantuan sosial lain. Bantuan tersebut merupakan

usaha pemerintah daerah dalam mempertahankan kemampuan daya beli

masyarakat miskin. Pengembangan belanja fungsi pelayanan umum dan belanja

fungsi lainnya, sebagai pendekatan belanja/konsumsi pemerintah, yang

berpengaruh negatif sesuai dengan hasil penelitian Folster dan Henrekson (1999)

dan Barro (1990) dalam Sodik (2007).

5.2.5. Pengaruh Belanja Fungsi Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan hasil analisis regresi, disimpulkan bahwa variabel belanja

fungsi ekonomi tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hubungan

antara belanja fungsi ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi masih positif. Hal

tersebut bisa diartikan jika signifikan, maka kenaikan belanja fungsi tersebut akan

mendorong pertumbuhan ekonomi.

Belanja fungsi ekonomi yang sebenarnya lebih banyak diarahkan untuk

pembangunan ekonomi, dalam rangka penggerakan perekonomian termasuk


68

pembangunan fasilitas umum, seyogyanya memberikan pengaruh yang besar.

Setelah diteliti ternyata alokasi belanja fungsi ekonomi oleh pemerintah daerah

mempunyai porsi alokasi yang relatif kecil (rata-rata hanya sebesar 9 persen) dan

belum banyak diarahkan pembangunan modal investasi. Efek multiplier dari

belanja fungsi ekonomi (sebagai proksi investasi pemerintah) belum dirasakan

secara langsung. Proses pengalihan/transformasi sektor belum dirasakan, apalagi

stimulus dari pemerintah daerah masih belum optimal.

5.2.6. Pengaruh Jumlah Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dari hasil analisis regresi diperoleh bahwa angkatan kerja tidak

berpengaruh signifikan (dengan koefisien sebesar -0,089737) terhadap

pertumbuhan ekonomi. Walaupun tidak signifikan, arah pengaruhnya negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga kenaikan jumlah angkatan kerja justru

akan menurunkan pertumbuhan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian

terdahulu yaitu Sodik (2007) yang mengemukakan bahwa tidak semua angkatan

kerja yang ada dapat terserap ke sektor usaha.

Hal ini terjadi dikarenakan walaupun angkatan kerja merupakan faktor

produksi selain modal, akan tetapi, ketersediaan lapangan usaha tidak sebanding

dengan jumlah angkatan kerja yang ada. Masih banyak angkatan kerja yang

menganggur, yang justru menambah beban dalam proses pembangunan. Daerah

tertinggal masih bergantung pada sektor pertanian dan belum berekspansi pada

sektor modern. Hal inilah yang merupakan alasan terbatasnya jumlah ketersediaan

lapangan kerja baru.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai pengaruh belanja pemerintah daerah per

fungsi, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar daerah tertinggal merupakan daerah yang memiliki

keterbatasan sumber daya alam dengan karakteristik akses yang sulit

dijangkau. Perkembangan sumber daya manusia (kuantitas maupun kualitas)

juga relatif lebih rendah dari angka nasional.

2. Variabel yang signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah variabel

belanja fungsi pendidikan dan fungsi kesehatan (sebagai pendekatan investasi

pemerintah), serta belanja fungsi pelayanan umum dan lainnya (sebagai

pendekatan konsumsi pemerintah). Variabel belanja fungsi ekonomi dan

angkatan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

6.2. Saran

1. Pemerintahan kabupaten tertinggal diharapkan mengalokasikan dana secara

bijaksana dengan memprioritaskan belanja pembangunan pada fungsi

kesehatan dan pendidikan.

2. Alokasi belanja fungsi ekonomi harus ditingkatkan mengingat rendahnya

alokasi menyebabkan belanja belum signifikan memengaruhi pertumbuhan

ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di


Indonesia 2006-2010. Jakarta.

Baltagi, B.H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data Second Edition. Jhon
Wiley and Sons, ltd, London.

Bappenas, UNDP. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007.


Bappenas, Jakarta.

Barro, R. J., 1996. “Determinant of Economic Growth: a Cross Country


Empirical Study”, NBER Working Paper. 56: 98.

Barro, R. J. dan Sala-i-Martin, X. 1992. “Convergence”. Journal of Political


Economy. Volume 100, Nomor 21, University of Chicago, Chicago.

Davey, K. J. 1998. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek


Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga. Amanullah, dkk
[penerjemah]. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.

Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zain [penerjemah]. Jakarta.

Jhingan, M. L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. D. Guritno


[penerjemah]. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Landau, D. 1983. “Government Expenditure and Economic Growth: A Cross


Country Evidence”. Southern Economic Journal, Volume 49 (7): 83-97.

Lin, S.AY. 1994. “Government Spending and Economic Growth”. Applied


Economic. 26:83-94.

Makrifah, S. A. 2009. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya


terhadap Pembangunan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal [Tesis].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mankiw, N. G. 2006. Teori Makro Ekonomi Edisi Keenam. Imam Nurmawan


[penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Norista, G. P. 2010. Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Operasi terhadap Laju
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Nurudeen, A. dan Usman A. 2010. “Government Expenditure and Economic
Growth in Nigeria, 1970 – 2008: A Disaggregate Analysis”. Business and
Economics Journal, Volume 2010 (BEJ-4): 1-11.

Rahayu, S. A. T. 2004. “Peranan Sektor Publik Lokal dan Pertumbuhan Ekonomi


Regional di Wilayah Surakarta Tahun 1987-2000”. Jurnal Kinerja.
Volume 8 (2): 133-147.

Setiono, D. N. S. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Analisis. LP


FE-UI, Jakarta.

Sodik, J. 2007. “Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional”.


Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12 (1): 27-36. Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.

Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik


hingga Keynesian Baru. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Surat Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 44/KEP-M-


PDT/2010 Tentang Daftar Kabupaten Tertinggal dan Daerah Terentaskan.

Todaro, M. P dan Smith, S. C. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan.


Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Tadjudin, Z. M., Suharyo, W. I., dan Mishra, S., 2001. Regional Disparity and
Vertical Conflict in Indonesia. UNDP/UNSFIR (United National Special
Facility for Indonesian Recovery). Mimeo, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. UPP
STIM YKPM, Yogyakarta.

World Bank. 2010. Pedoman Praktis untuk Menganalisis Pengeluaran Publik di


Tingkat Daerah. Edisi Lokakarya, Jakarta.
Lampiran 1. Daftar Kabupaten Tertinggal di Pulau Sumatra yang Menjadi Fokus
Penelitian

No. Provinsi Kabupaten Tertinggal


1 Aceh Simeuleu
2 Aceh Besar
3 Aceh Selatan
4 Aceh Barat Daya
5 Aceh Jaya
6 Sumatra Utara Nias
7 Tapanuli Tengah
8 Pakpak Barat
9 Nias Selatan
10 Sumatra Barat Padang Pariaman
11 Solok
12 Solok Selatan
13 Pasaman Barat
14 Sumatra Selatan Lahat
15 Banyuasin
16 Ogan Ilir
17 Bengkulu Kaur
18 Muko-muko
19 Lebong
20 Lampung Lampung Barat
21 Lampung Utara
22 Way Kanan
Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 2010
Lampiran 2. Hasil Output Model Analisis Data Panel dan Pemilihan Model

HASIL OUTPUT MODEL ANALISIS DATA PANEL:

1. MODEL POOLED (OLS)

Dependent Variable: GROWTH


Method: Panel Least Squares
Date: 11/17/11 Time: 06:51
Sample: 2007 2009
Periods included: 3
Cross-sections included: 22
Total panel (balanced) observations: 66

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4.226313 6.828963 0.618881 0.5384


LN_AK -0.011104 0.409155 -0.027138 0.9784
LN_LAYANAN -1.373691 0.495807 -2.770615 0.0075
LN_EKONOMI 0.056302 0.685317 0.082155 0.9348
LN_KESEHATAN 2.176380 0.793085 2.744196 0.0080
LN_PENDIDIKAN 0.724188 0.595847 1.215392 0.2291
LN_LAINNYA -1.469339 0.447197 -3.285666 0.0017

R-squared 0.317080 Mean dependent var 5.658788


Adjusted R-squared 0.247630 S.D. dependent var 1.515378
S.E. of regression 1.314427 Akaike info criterion 3.484683
Sum squared resid 101.9354 Schwarz criterion 3.716919
Log likelihood -107.9945 Hannan-Quinn criter. 3.576451
F-statistic 4.565620 Durbin-Watson stat 1.420083
Prob(F-statistic) 0.000723

2. MODEL FIXED EFFECT

Dependent Variable: GROWTH


Method: Panel Least Squares
Date: 11/17/11 Time: 06:54
Sample: 2007 2009
Periods included: 3
Cross-sections included: 22
Total panel (balanced) observations: 66

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -61.54652 28.27107 -2.177014 0.0358


LN_AK 4.545556 2.281507 1.992348 0.0536
LN_LAYANAN -1.349496 0.606733 -2.224200 0.0322
LN_EKONOMI 0.735336 0.949171 0.774714 0.4433
LN_KESEHATAN 1.680241 0.988864 1.699163 0.0975
LN_PENDIDIKAN 1.285403 0.756305 1.699583 0.0974
LN_LAINNYA -1.001605 0.510717 -1.961174 0.0572
Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.678739 Mean dependent var 5.658788


Adjusted R-squared 0.450474 S.D. dependent var 1.515378
S.E. of regression 1.123350 Akaike info criterion 3.366925
Sum squared resid 47.95281 Schwarz criterion 4.295869
Log likelihood -83.10851 Hannan-Quinn criter. 3.733995
F-statistic 2.973471 Durbin-Watson stat 2.435462
Prob(F-statistic) 0.001043

3. MODEL RANDOM EFFECT

Dependent Variable: GROWTH


Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 11/17/11 Time: 06:56
Sample: 2007 2009
Periods included: 3
Cross-sections included: 22
Total panel (balanced) observations: 66
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.670176 7.592888 0.351668 0.7263


LN_AK -0.089737 0.456201 -0.196705 0.8447
LN_LAYANAN -1.372154 0.497044 -2.760630 0.0077
LN_EKONOMI 0.137156 0.701623 0.195483 0.8457
LN_KESEHATAN 2.032626 0.788666 2.577297 0.0125
LN_PENDIDIKAN 0.858407 0.602824 1.423975 0.1597
LN_LAINNYA -1.312499 0.434460 -3.020987 0.0037

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 0.707650 0.2841


Idiosyncratic random 1.123350 0.7159

Weighted Statistics

R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423


Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949
S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332
F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976
Prob(F-statistic) 0.000826

Unweighted Statistics

R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788


Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918
UJI UNTUK PEMILIHAN MODEL:

1. UJI CHOW
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: COBA2
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 2.037062 (21,38) 0.0277


Cross-section Chi-square 49.772075 21 0.0004

H0 : Model common effect (pooled)


H1 : Model fixed effect
Kesimpulan: Karena p value cross section chi square 0,0000 < α (0,05) ataupun
p value F test 0,0000 < α (0,05)
Maka keputusan H0 ditolak (yang dipilih adalah model fixed effect)

2. UJI HAUSMAN

Correlated Random Effects - Hausman Test


Equation: RANDOMFINAL
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 7.957563 6 0.2412

H0 : Model random effect


H1 : Model fixed effect
Kesimpulan: Karena p value F test 0,2412 > α (0,05)
Maka keputusan H0 tidak ditolak (yang dipilih adalah model random effect)
Lampiran 3. Hasil Pengujian Asumsi Klasik.

1. Normalitas

12
Series: Standardized Residuals
Sample 2007 2009
10 Observations 66

8 Mean -1.93e-17
Median -0.001986
Maximum 0.855810
6 Minimum -0.712200
Std. Dev. 0.315596
4
Skewness 0.175203
Kurtosis 3.124465

2 Jarque-Bera 0.380257
Probability 0.826853
0
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

Berdasarkan nilai prob 0,827 > α (0,05) berarti disimpulkan tolak H0 (residual
tersebar normal).

2. Autokorelasi
H0 : tidak ada korelasi serial
H1 : ada korelasi serial
H0 tidak ditolak jika p value obs R square < α,
atau nilai p value dari Durbin Watson terletak pada du < dw < 4-du
Kesimpulan: Karena p value Durbin Watson 1,825 dengan nilai du = 1,664 dan dL
= 1,053 sehingga nilainya terletak diantara 1,664 < 1,825 < 2,34 maka tidak tolak
H0 (tidak ada autokorelasi dalam model regresi)
3. Multikolinieritas
Korelasi a b c d e f
a 1 0.4975 0.6934 0.5606 0.2515 0.7832
b 0.4975 1 0.6355 0.5899 0.2203 0.5638
c 0.6934 0.6355 1 0.4513 0.3614 0.7396
d 0.5606 0.5899 0.4513 1 -0.1983 0.5055
e 0.2515 0.2203 0.3614 -0.1983 1 0.1766
f 0.7832 0.5638 0.7396 0.5055 0.1766 1
Keterangan: a. Ln variabel jumlah angkatan kerja
b. Ln variabel belanja fungsi ekonomi
c. Ln variabel belanja fungsi kesehatan
d. Ln variabel belanja fungsi lainnya
e. Ln variabel belanja fungsi pelayanan umum
f. Ln variabel belanja fungsi pendidikan

Dikarenakan nilai korelasi antara variabel bebas < 0,8 maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi multikolinieritas antara variabel bebas

4. HETEROSKEDASTISITAS

Heteroskedastisitas dilihat dengan membandingkan nilai sum square residu


weight < sum square residu unweight). Jika terjadi, maka harus dilakukan
metode random lain dengan weighted kemudian cross-section SUR sehingga
heteroskedastisitas diabaikan
Weighted Statistics

R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423


Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949
S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332
F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976
Prob(F-statistic) 0.000826

Unweighted Statistics

R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788


Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918
Lampiran 4. Penetapan Model Terbaik.

Random Effect EGLS Weighting Cross-section SUR


Dependent Variable: GROWTH
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 11/21/11 Time: 01:20
Sample: 2007 2009
Periods included: 3
Cross-sections included: 22
Total panel (balanced) observations: 66
Swamy and Arora estimator of component variances
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.670176 6.169529 0.432801 0.6667


LN_AK -0.089737 0.330677 -0.271373 0.7871
LN_LAYANAN -1.372154 0.394085 -3.481873 0.0009
LN_EKONOMI 0.137156 0.616474 0.222484 0.8247
LN_KESEHATAN 2.032626 0.908060 2.238428 0.0290
LN_PENDIDIKAN 0.858407 0.320087 2.681795 0.0095
LN_LAINNYA -1.312499 0.496796 -2.641930 0.0105

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 0.707650 0.2841


Idiosyncratic random 1.123350 0.7159

Weighted Statistics

R-squared 0.313487 Mean dependent var 3.823423


Adjusted R-squared 0.243672 S.D. dependent var 1.312949
S.E. of regression 1.141834 Sum squared resid 76.92332
F-statistic 4.490259 Durbin-Watson stat 1.825976
Prob(F-statistic) 0.000826

Unweighted Statistics

R-squared 0.312583 Mean dependent var 5.658788


Sum squared resid 102.6067 Durbin-Watson stat 1.368918

Anda mungkin juga menyukai