Anda di halaman 1dari 15

 CSZOEL CHALLE ASCHOOL

SISTEM SOSIAL INDONESIA


Posted by cszoel on Mei 23, 2012
Posted in: Uncategorized. Tinggalkan komentar
PENDAHULUAN

Setelah Indonesia merdeka, bangsa ini bukanya menjadi suatu bangsa yang dalam keadaan
damai, tentram, sejahtera dan bersatu sesuai dengan semangat bangsa yang berbunyi bhinneka
tunggal ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Melainkan dihadapkan pada keadaan yang
penuh dengan gejolak pertentangan dari berbagai tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sosial
politik.

Diantaranya peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1948, pemberontakan DI/TII,
pemberontakan PRRI-Permesta dan gerakan 30 September 1965. Kejadian itu membawa
dampak yang begitu beasar terhadap keutuhan bangsa ini. Persatuan dan kesatuan Negara dan
Bangsa Indonesia hampir menjadi korban dari keadaan ini.

Sungguh menyedihkan ketika menyadari bahwa pertentangan itu terjadi akibat perbedaan suatu
pendapat tentang pendirian falsafah Negara atau disebut “Konsensus Nasional” yang
seharusnya justru menjadi landasan bagi masyarakat Indonesia untuk berfikir, bertingkah laku
dan bergaul terhadap sesama warga Negara Indonesia.

Mereka semua seakan lupa dengan pengabdian mereka terhadap kepentingan kemerdekaan
bangsa dulu sebelum kemerdekaan, mereka lupa dengan persatuan yang mereka ciptakan
untuk bahu membahu mewujudkan sesuatu yang menjadi harapan setiap bangsa yang hidup
dalam keadaan terjajah, yaitu udara segar buah dari suatu kemerdekaan.

Dalam penulisan buku ini diceritakan suatu pengalaman dari penulis ketika beliau masih
menginjak usia kanak-kanak yang sudah dihadapkan pada suatu pertempuran.

Ketika itu beliau sedang duduk dikelas 3 Sekolah Dasar disuatu daerah diperbatasan jawa
tengah dan jawa barat. Ketika itu terjadi suatu penyerangan sepasukan Polisi Negara terhadap
pasukan Darul Islam yang mundur dari sebuah pertempuran yang terjadi sehari sebelumnya.
Yang namanya anak-anak tentunya tak terfikirkan rasa takut karena mereka belum menyadari
betapa bahayanya berada di area baku tembak. Mereka malah asyik menyaksikan pertempuran
itu, seolah menjadi suatu hiburan bagi mereka.
Bahkan sempat-sempatnya mereka bersenda gurau ketika suara brondongan peluru mengiringi
langkah mereka menuju rumah masing-masing karena bentakan dari salah seseorang yang
menyuruh mereka meyelamatkan diri dari keadaan tersebut.

Setelah baku tembak berhenti dan pasukan polisi Negara mundur dari penyerangan,
tertinggallah seorang korban yang merupakan teman sang penulis. Namun bukanlah suatu
kematian yang sia-sia, karena hidupnya berakhir dalam tugas mulia sebagai penunjuk jalan yang
berani bagi pasukan polisi.

Cerita ini hanya salah satu kisah yang menjelaskan tentang suatu keadaan ketika bangsa
Indonesia dihadakan pada suatu pertentangan dan konflik-konflik internal yang hampir memecah
belah keutuhan bangsa ini.

Pada masa itu, kalimat bhinneka tunggal ika masih menjadi suatu angan-angan dan impian bagi
warga Negara Indonesia. Kalimat itu masih menjadi sebuah cita-cita yang masih butuh
pengorbanan untuk mewujudkanya. Padahal Negara sudah merdeka, namun sungguh hal yang
aneh ketika kalimat itu masih menjadi sesuatu yang dianggap mimpi bagi Negara yang sudah
merdeka.

Sebenarnya konflik-konflik semacam itu tidak mustahil akan muncul dimasa yang akan datang.
Karena berbagai bentuk perbedaan selalu terjadi ketika suatu bangsa menghadapi suatu
perkembangan. Namun tidak semua bentuk-bentuk konflik atau gejala sosial mengakibatkan
suatu pertentangan sedemikian hebat layaknya ketika Indonesia baru mencapai
kemerdekaanya. Suatu konflik atau gejala sosial memiliki tingkat derajat dan pola masing-
masing, Itu karena sumber yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut mempunyai pola dan
ragam yang tidak sama pula.

Mungkin melalui tulisan ini luka-luka lama akan terusung lembali, tapi bukan maksud bagi
penulis untuk memunculkan luka-luka lama yang telah terpendam oleh waktu yang telah
mengubur dalam kenangan-kenagan kelam bangsa ini.

Tapi maksud dari penulis adalah agar kita tetap selalu waspada dengan sumber-sumber yang
mampu menimbulkan pertentangan dari berbagai kelompok masyarakat. Melalui pembelajaran
inilah diharapkan agar kita mampu memahami secara mendalam tentang sumber-sumber yang
menyebabkan suatu konflik-konflik sosial. Karena dengan pendalaman ilmu tersebutlah kita
sebagai penerus bangsa dituntut agar mampu menghindarkan bangsa ini dari suatu konflik
internal yang telah mampu memecah belah bangsa ini dimasa lalu. Jangan sampai luka lama
terjadi lagi dimasa yang akan datang. Jadikan suatu pengalaman sebagai guru yang paling
berharga.

PENDEKATAN TEORITIS

Dalam bab ini akan membahas mengenai sudut pendekatan yang mana harus dipahami
pembaca sebelum membahas tentang masalah konflik dan integrasi Indonesia. Pendekatan
yang dimaksud adalah fungsional-struktural approach atau pendekatan fungsionalisme struktural
dan pendekatan konflik.

1. PENDEKATAN STRUKTURAL FUNGSIONAL

Pendekatan fungsional stuktural ini dianggap berpengaruh dan sudah dipakai oleh kalangan ahli
sosiologi untuk meneliti sesuatu tentang masyarakat. Yang menghasilkan bahwa masyarakat
pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki suatu kemampuan untuk
mengatasi masalah perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan diantara para anggota
masyarakat. Pendekatan ini menganggap suatu masyarakat sebagai suatu sistem secara
fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk ekuilibrium.

Pendekatan ini muncul dari cara penglihatan terhadap masyarakat yang menganalogikan
masyarakat dengan organisme biologis atau disebut organismic approach. Dalam hal ini
dihubungkan dengan teori plato yang membandingkan kelas masyarakat menjadi 3 macam.
Yaitu kelas penguasa, milier dan kaum pekerja tangan, yang masing-masing kelas memiliki daya
piker, perasaan atau semangat dan nafsu. Kemudian berkembanglah falsafat-falsafat lain,
Auguste Comte yang memperkenalkan falsafat positifnya, Herbert Spencer dan Emile Durkheim
yang menerangkan hubungan antara konsep struktural dan fungsi, yang selanjutnya
berkembang lebih jelas mengenai pemikiran antropologi inggris seperti Bronislaw Malinowski
dan Red Cliffe-Brown yang berpengaruh di dalam sosiologi Amerika, khususnya dalam
pemikiran Talcott Parson dan pengikutnya yang melahirkan pendekatan ini (fungsionalisme
structural).

Pendekatan ini dapat dikaji melalui anggapan dasar mereka yang berbunyi:

1. Masyarakat haruslah dianggap sebagai suatu sistem yang setiap bagianya memiliki hubungan
satu sama lain.
2. Hubungan saling mempengaruhi diantara sistem tersebut merupakan filsafat ganda timbal
balik.
3. Sistem sosial selalu bergerak kearah ekuilibrium yang bersifat dinamis walaupun integrasi
sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna.
4. Berbagai macam konflik yang senantiasa terjadi lama kelamaan akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisme.
5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial terjadi pada secara gradual melalui pentesuaian,
bukan secara revolusioner.
6. Pada dasarnya perubahan sosial muncul karena; penyesuaian terhadap perubahan yang
datang dan pergi; pertumbuhan melalui proses differensiasi struktural dan fungsional; dan
penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7. Konsensus merupakan faktor terpenting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem
sosial.

Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa suatu sistem sosial muncul karena masyarakat
menilai suatu tindakan di atas standart penilaian umum sebagai patokan yang menghasilkan
suatu norma-norma sosial yang kemudian norma sosial tersebut membentuk struktur sosial.
Dengan adanya suatu komitmen terhadap norma-norma sosial akan melahirkan suatu daya
untuk mengatasi perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat.

David Lockwood menyatakan bahwa setiap situasi sosial terkandung dua hal yang berlawanan,
yaitu tata tertib sosial yang bersifat normatif dan substratum yang melahirkan konflik. Suatu tata
tertib sosial yang diciptakan bukan berarti hilangnya konflik-konflik yang ada di dalam
masyarakat, melainkan malah akan mencerminkan berbagai konflik-konflik yang tumbuh dalam
masyarakat tersebut. Jadi yang dibahas ketika membicarakan suatu tata tertib sosial, bukanlah
tentang berhasil atau tidaknya suatu tata tertib sosial terhadap konflik yang terjadi, melainkan
hanya seberapa besar derajat keberhasilan maupun kegagalan tata tertib tersebut mengatasi
suatu konflik.

Para penganut pendekatan fungsionalisme structural menganggap bahwa setiap disfungsi,


ketegangan dan penyimpangan sosial mengakibatkan terjadinya perubaha-perubahan
kemasyarakatan yang tercermin dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin
kompleks adalah akibat dari faktor-faktor yang datang dari luar. Namun anggapan di atas
dianggap mengabaikan kenyataan-kenyataan tentang:

1. Bahwa setiap struktur mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat


internal yang akan menjadi sumber terjadinya perubahan sosial.
2. Reaksi sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar bersifat adjustive.
3. Dalam waktu yang lama, dengan sendirinya sistem sosial akan mengalami konflik yang bersifat
visious circle.
4. Perubahan sosial terjadi tidak hanya terjadi secara gradual melainkan juga terjadi secara
revolusioner.

Karena para ahli sosiologi mengabaikan kenyataan-kenyataan diataslah yang menyebabkan


pendekatan fungsionalisme structural dipandang bersifat reaksioner yang dianggap kurang
mampu menganalis masalah perubahan-perubahan kemasyarakatan. Maksud penulis
menyampaikan hal tersebut adalah tidak lebih supaya kita mampu memperhitungkan tentang
pandangan-pandangan mereka apabila kita ingin melakukan suatu analis terhadap perubahan-
perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat yang disebabkan oleh faktor-faktor
internal yang ada pada suatu sistem sosial.

2. PENDEKATAN KONFLIK

Hal-hal diatas mendapat perhatian dari para penganut pendekatan konflik. Pendekatan konflik
dibedakan menjadi dua pendekatan kecil yang terdiri dari pendekatan structuralist-
arxist dantructuralist-non Marxist.

Pendekatan konflik berdasar pada anggapan-anggapan sebagai berikut:

1. Perubahan sosial merupakan hal melekat yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat.
2. Konflik adalah gejala sosial yang juga tak tepisahkan dalam kehidupan masyarakat.
3. Unsur-unsur yang ada dalam masyarakat membuka kemungkkinan terjadinya disintegrasi dan
perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi oleh penguasa atau orang yang memiliki dominasi .

Pendekatan konflik menganggap bahwa perubahan sosial adalah bersumber dari masyarakat itu
sendiri. Maksudnya adalah jika ada masyarakat maka perubahan sosial pun ada menyertai
keberadaan masyarakat tersebut. Hal tersebut diakibatkan karena perubahan sosial timbul dari
suatu keadaan yang mana unsur-unsur yang ada dalam masyarakat terjadi suatu pertentangan
akibat penbagian sumber-sumber otoritas atau kewenangan yang tidak merata.

Karena pembagian otoritas atau kewenangan yang tidak merata itulah yang menimbulkan
kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain. Maksudnya adalah terjadi suatu
kecemburuan antara pihak pemegang otoritas atau kewenangan dengan pihak yang tidak
memiliki otoritas atau kewenangan. Jadi intinya pendekatan konflik menganggap bahwa didalam
masyarakat akan selalu terdapat konflik antara kepentingan dari pemegang kekuasaan otoritatif
untuk mempertahankan apa yang ia miliki dengan pihak yang ingin mendapatkan suatu
kekuasaan otoritatif.

Walaupun kelompok yang tidak memegang kekuasaan otoritas dianggap sebagai kelompok-
kelompok semu, namun suatu saat akan berkembang menjadi kelompok kepentingan karena
dengan tingkah laku yang sama akan mewujudkan suatu kerja sama diantara mereka. Namun
kelompok ini tidak memiliki suatu legitimasi di dalamnya.

Prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu kelompok semu menjadi
kelompok kepentingan diantaranya adalah:

1. Disebut sebagai syarat teknis dari suatu organisasi (technical conditions of organization).
Maksudnya adalah munculnya sejumlah orang yang mampu merumuskan dan
mengorganisasikan suatu kelompok semu menjadi kelompok kepentingan dengan
memanfaatkan kebutuhan yang ingin dicapai orang. Terwujud dalam suatu ideologi atau sistem
nilai yang berfungsi sebagai program kelompok.
2. Kondisi politis dari suatu organisasi (political conditions of organisation). Maksudnya adalah
ada atau tidaknya suatu kebebasan untuk melakukan organisasi dari masyarakat.
3. Kondisi sosial bagi suatu organisasi (social conditions of organisation). Maksudnya adalah
kemudahan berkomunikasi antara kelompok–kelompok semu untuk mewujudkan suatu
kelompok kepentingan.

Selain sebagai syarat munculnya suatu kelompok kepentingan, prasyarat-prasyarat diatas juga
mampu mepengaruhi derajat efektifitas kelompok kepentingan yang tercipta dari kumpulan
kelompok semu.

Namun jangan berfikir bahwa dalam kelompok kepentingan tidak terjadi suatu konflik. Kembali
lagi bahwa dalam setiap masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya konflik. Dalam
kelompok kepentingan pun juga terjadi suatu konflik akibat pemberian otoritas yang berbeda
pula.

Dengan begitu semakin yakinlah penganut pendekatan konflik bahwa suatu kemasyarakatan
tidak pernah lepas dari yang namanya konflik. Suatu konflik hanya akan lenyap jika masyarakat
tersebut lenyap.
Karena munculnya konflik disetiap kegiatan bermasyarakat, maka dibentuklah suatu
pengendalian. Bukan untuk menghilangkan konflik, melainkan hanya sekedar mengendalikan
atau mengurangi konflik.

Yang pertama melalui lembaga (conciliation), dengan syarat sebagai berikut:

1. Lembaga tersebut harus mampu mengambil keputusan tanpa ada campur tangan dari lembaga
lain.
2. Lembaga itu harus monopolistik atau berfungsi demikian.
3. Peranan lembaga tersebut harus mampu mengikat kelompok yang berlawanan.
4. Bersifat demokratis.

Syarat kelompok yang bertentangan:

1. Kelompok yang bertentangan harus menyadari adanya konflik tersebut.


2. Kekuatan sosial yang bertentangan terorganisir dengan jelas.
3. Kelompok yang telibat konflik harus mematuhi aturan permainan.

Yang kedua adalah mediasi (mediation), yaitu melalui pihak ketiga yang ditunjuk untuk
memberikan nasihat-nasihat tentang bagaimana sebaiknya menyelesaikan konflik.

Yang ketiga adalah cara perwasitan (arbitration). Pihak yang bertentangan harus menerima
pihak ketiga, baik menerima atau terpaksa yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu
untuk menyelesaikan konflik.

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA

Pada penjelasan bab sebelumnya tentang pendekatan konflik dan pendekatan fungsionalisme
struktural, keduanya bukanya tidak mengandung suatu kelemahan. Jadi alangkah baiknya jika
dalam proses penganalisisan suatu sistem sosial digunakan kedua pendekatan tersebut guna
saling melengkapi kekurangan diantara keduanya. Apalagi jika dihadapkan pada penganalisisan
tehadap masyarakat Indonesia.
Struktur masyarakat Indonesia dibagi menjadi dua macam. Secara horizontal ditandai dengan
berbagai perbedaan yang mencakup perbedaan suku bangsa, agama, adat dan perbaedaan
kedaerahan lainya.

Secara vertikal ditandai dengan perbedaan status sosial yang terdiri dari lapisan atas dan
lapisan bawah.

Struktur sosial masyarakat Indonesia dalam pengertian horizontal sebut juga masyarakat
majemuk (plural societies). Disebut majemuk karena masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa
elemen yang hidup terpisah atau tanpa ada pembauran satu sama lain, walupun berada pada
satu kesatuan politik. Keadaan tersebut menyebabkan tidak adanya unsur-unsur persatuan
dalam masyarakat Indonesia. Hal itu menampatkan kedudukan masyarakat Indonesia pada
posisi ketiga di negaranya sendiri setelah warga belanda dan warga tionghoa yang menduduki
posisi pertama dan kedua. Masyarakat Indonesia hanya menjadi seorang pelayan di Negara
sendiri bagi tuanya yang berasal dari belanda dan tionghoa yang saat itu melakukan suatu
kegiatan-kegiatan ekonomi di Indonesia. Hal diatas menggambarkan keadaan masyarakat
Indonesia pada masa hindia-belanda yang dituturkan olen Furnivall.

Namun kini keadaan sudah berbeda. Kata mesyarakat majemuk tidak lagi bisa disebutkan
dengan mudah untuk masyarakat Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan kata
masyarakat majemuk digunakan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa kini. Suatu
masyarakat majemuk muncul karena tidak adanya loyalitas masyarakat terhaadap masyarakat
secara keseluruhan, kurang memiliki homogenetis kebudayaan atau bahkan kurang memiliki
dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Menurut Pierre L. van den Berghe
karakteristik yang bisa dianggap sebagai dasar terbentuknya masyarakat majemuk diantaranya:

1. Terbentuknya kelompok-kelompok yang memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda.


2. Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer.
3. Kurang berkembangnya konsensus para anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
4. Sering terjadi konflik antar kelompok.
5. Integrasi sosial relatif tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dibidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain.

Semenjak kemerdekaan Indonesialah golongan eropa yang sebelumnya menduduki posisi


terpenting dalam sistem sosial masyarakat Indonesia kemudian terlempar yang membuat
pluralitas masyarakat Indonesia memperoleh arti yang lebih penting.
Ada beberapa faktor yang menumbuhkan pluralitas masyarakat Indonesia.

Yang pertama adalah keadaan/geografis yang membagi wilayah Indonesia menjadi lebih dari
3.000 pulau yang tersebar di daerha ekuator sepanjang lebih kurang 3.000 mil dari timur ke barat
dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan. Ketika nenek moyang kita melakukan emigrasi ke
daerah tingkok selatan yang kemudian menetap di Indonesia menyebabkan terjadinya isolasi
kesatuan suku bangsa dari bangsa lain. Tiap kesatuan suku bangsa terdiri dari orang yang
merasa dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka berbeda
dengan yang lain. Dan mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki
asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan seringkali didukung dengan mitos-mitos
yang hidup dalam masyarakat.

Faktor yang kedua adalah karena Indonesia berada diantara samudra hindia dan samudra
pasifik yang sangat mempengaruhi terjadinya pluralitas agama. Keadaan yang seperti demikian
menjadikan Indonesia menjadi jalur tengah lalu lintas perdagangan lewat jalur laut yang
kemudian memudahkan terjadinya penyebaran budaya dara para pedagang asing yang singgah
di Indonesia.

Pengaruh yang pertama kali masuk adalah kebudayaan hindu dan budha yang berasal dari India
sejak 400 tahun setelah masehi. Kemudian disusul masuknya kebudayaan islam pada
sepanjang abad 13, namun baru tersebar meluas pada sepanjang abad 15. Pengaruh budaya
barat mulai masuk di Indonesia melalui kedatangan bangsa portugis pada awal abad ke 16.
Maksud kedatangan mereka adalah karena ketertarikan mereka terhadap hasil rempah-rempah
Indonesia, tepatnya daerah maluku. Hal itu menjadi sumber tersebarnya agama katolik di daerah
tersebut.

Setelah belanda berhasil mengusir portugis dari daerah maluku, maka pengaruh protestan pun
masuk menggantikan agama katolik.

Pengaruh pluralisme yang ketiga adalah perbedaan iklim. Perbedaan curah hujan dan
kesuburan tanah Indonesia membentuk dua ekologi berbeda, yaitu daerah pesawahan yang
dominan di daerah jawa dan bali dan daerah perladangan yang dominant di daerah luar jawa.
Hal tersebut menyebabkan perbedaan pola pengadaan pangan dan pola perekonomian
Indonesia.
Struktur masyarakat Indonesia dilihat dari dimensi vertikal dapat dilihat dari perbedaan kekuatan
politik dan kekayaan masyarakat Indonesia. Semakin meluas dan berkembangnya sektor
ekonomi modern dan organisasi administrasi nasional, maka pengaruh bagi kalangan
masyarakat yang memiliki kekayaan dan kekuasaan akan semakin memperkuat kedudukanya
diposisi lapisan atas, dan begitu pula sebaliknya pada masyarakat kecil akan semakin lemah di
posisi lapis bawah.

Di dalam struktur ekonomi yang tersebut di atas, terdapat dua pembagian sektor ekonomi. Yang
pertama berupa struktur ekonomi modern. Jenis ekonomi ini bersifat canggih, ditujukan untuk
memperoleh keuntungan yang maksimal, dan dalam konteksnya dikuasai oleh orang-orang
asing yang asal daerahnya merupakan daerah-daerah pusat kegiatan ekonomi.

Yang kedua adalah sektor ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional. Ciri-ciri dari jenis
ekonomi ini bersifat konservatif, ditujukan untuk memelihara keamanan dan keawetan sistem
yang sudah ada, tidak ada keinginan untuk meningkatkan keuntungan dan penggunaan sumber-
sumber secara maksimal, kurang mampu mengusahakan pertumbuhan perdagangan secara
dinamis.

Perbedaan kedua sektor ekonomi tersebut benar-benar mempengaruhi pluralitas masyarakat


yang ada di Indonesia. Masyarakat kota yang dominan dengan penggunaan sektor ekonomi
modern dan masyarakt desa yang dominan dengan penggunaan sektor ekonomi tradisional. Hal
tersebut membawa masyarakat Indonesia kedalam jurang yang memisahkan antara kalangan-
kalangan masyarakat yang dianggap mampu dan yang berada dikalangan tidak mampu.

STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT


INDONESIA

Indonesia merupakan suatu Negara yang terdiri dari berbagai ragam suku, daerah, sistem
pelapisan sosial dan agama. Tentunya semua itu dijadikan suatu dasar untuk menciptakan
jalinan-jalinan kelompok diantara mereka yang merasa memiliki kesamaan diantara beberapa
hal yang disebutkan diatas, yang dalam bahasa umum disebut sebagai “golongan”. Di sini
dibedakan beberapa golongan, diantaranya golongan suku menjadi suku jawa dan luar jawa,
golongan agama dibedakan menjadi

golongan islam santri, non santri dan Kristen, golongan sistem pelapisan sosial dibedakan
menjadi golongan priyai dan wong cilik (desa dan kota), dan lain lain yang jumlahnya mencapai
12 golongan.

Hal itu tentunya membawa dampak terhadap hubungan-hubungan yang terjadi antar masyarakat
Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, kekeluargaan dan lain sebagainya. Dan
yang akan dibahas dalam bab ini adalah tentang pengaruh pengelompokan-pengeompokan
masyarakat Indonesia terhadap optimisme suatu kelompok/golongan terhadap suatu partai.
Maksudnya adalah bahwa suatu golongan tertentu merasa cocok terhadap background suatu
partai.

Berikut penggolongan masyarakat Indonesia berdasarkan suku, agama, daerah dan sistem
pelapisan sosial (menurut Herbert Feith).

Suku Islam Kristen


Islam
Bangsa
santri
non santri

Kota Desa Desa Kota Kota Desa

(w.cilik) (priyayi) (w.cilik) (priyayi) (priyayi) (w.cilik)

Jawa 1 2 3 4 5 6

Non-jawa 7 8 9 10 11 12

Berikut penjelasan bahwa suatu golongan memiliki hubungan terhadap background kepartaian
yang dominan terhadap suatu masyarakat.

Partai yang pertama adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Partai ini merupakan
gabungan dari beberapa organisasi keagamaan yang terdiri dari Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama. Partai ini mengusung background keagamaan. Namun karena perbedaan latar belakang
sosial antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, di dalam Masyumi terjadi suatu perpecahan,
diakibatkan suatu perbedaan sistem sosial diantara kedua organisasi yang tergabung dalam
Masyumi tersebut. Muhammadiyah yang pendukungnya berasal dari Sumatera, sulawesi
selatan, jawa barat, dan daerah sepanjang pantai utara jawa tengah dan jawa timur yang dikenal
modern dan dominan dengan orang-orang yang dikenal bersifat kosmopolitan, kekotaan, dan
suka berdagang. Sementara Pendukung Nahdlatul Ulama yang berasal dari jawa timur dan jawa
tengah menolak gerakan modernisasi islam. Hal tersebut membawa dampak keluarnya
Nahdlatul Ulama dari Partai Masyumi.

Kemudian pada tanggal 30 Agustus 1952 berdirilah sebuah partai politik Nahdlatul Ulama di
Pare-pare sulawesi. Yang di massai oleh orang di daerah pedasaan di pulau jawa.

Dari uraian diatas nampak bahwa pendukung Masyumi berasal dari petak 7 dan 8, sementara
Nahdlatul Ulama berasal dari petak 2. hal ini mencerminkan bahwa perbedaan aliran keagamaan
mempengaruhi pilihan terhadap suatu partai politik.

Partai Nasional Indonesia (PNI) yang pada pemilu 1955 merupakan partai teresar pada masa itu.
Partai ini memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi, ditambah partai ini berideologikan
marhaenisme yang sifatnya kental dengan figur Bung Karno yang memungkinkan PNI
mengusung dukungan dari orang-orang yang berasal dari lapisan bawah masyarakat jawa yang
menganut animisme dan hinduisme yang tidak menyukai partai-partai islam. Dengan kata lain
PNI memperoleh massa dari petak 3 dan 4.

Kemudian Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini sama halnya dengan pa PNI, yaitu
memperoleh dukungan kuat dari golongan islam nonsantri yang ada di jawa timur dan jawa
tengah. Selain itu PKI masanya berasal dari lapisan bawah masyarakat desa di kedua daerah
tersebut. Sehingga masa PKI berasal dari petak 3 dan 4.

Selanjutnya adalah sebuah partai kecil dari segi pendukung, namun memiliki pengaruh cukup
kuat di dalam politik Indonesia, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI). partai ini memperoleh
dukungan golongan elit berpendidikan, namun kurang pendukung di daerah pedesaan. Partai ini
memperoleh massanya di daerah jawa barat dan nusa tenggara timur serta luar jawa pada
umumnya. Dengan kata lain PSI memperoleh massa dari petak no 9. Namun partai ini
dibubarkan pada tahun 1960.

Kemudian dua partai yang memiliki faktor sosial cultural khusus, yaitu Partai Katollik Indonesia
dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Partai ini memiliki masa dari daerah pemeluk agama
katolik dan protestan, diantaranya Maluku, Sulawesi Utara, Tapanuli, Nusatenggara Timur dan
sedikit daerah di pedalaman Kalimantan serta daerah-daerah perkotaan hampir diseluruh
Indonesia. Dengan kata lain partai ini memiliki masa dari petak 11 dan 12.

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konflik politik yang timbul pada
masa silam merupakan efek dari perbedaan suku bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial.
Sementara Donald Hindley melihat keragaman pola kepartaian Indonesia bersumber dari 2
penggolongan masyarakat yang bersifat menyilang. Yang pertama penggolongan bersifat
keagamaan dan yang kedua penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan
penganut pandangan dunia modern.

STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL

Setelah kita jelaskan pada bab tiga tentang struktur masyarakat Indonesia yang bersifat
pluralitas yang bersifat multidimensional, di bab ini akan menjelaskan tentang konflik yang akan
timbul akibat terjadinya pluralitas yang ada di Indonesia.

Sebelumnya kita jelaskan tentang dasar-dasar yang menyebabkan terbentuknya masyarakat


majemuk yang dikemukakan oleh van den Bergh yang suda dijelaskan pada bab 3. Yang intinya
bahwa suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki
unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter dan tidak dapat disamakan juga dengan
masyarakat yang memiliki differensiasi fungsional yang tinggi.

Memiliki kekerabatan yang segmenter maksudnya adalah masyarakat yang terbagi atas
kelompok berketurunan tunggal yang memiliki struktur kelembagaan yang bersifat
homogeneous. Memiliki diferensiasi fungsional yang tinggi maksudnya walaupun terbentuk dari
berbagai jenis kelompok namun tetap memiliki komplementer dan saling ketergantungan satu
sama lain.

Dalam keadaan yang demikian van den Bergh menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis
maupun solidaritas organis tidak mudah ditumbuhkan dalam masyarakat yang bersifat majemuk.

Menurut pandangan dasar penganut fungsionalisme struktural faktor yang mengintegrasikan


masyarakat adalah suatu kesepakatan para warga masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu.
Misalnya pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa satu,
Indonesia, merupakan konsensus nasional yang mampu mengintegrasikan masyarakat
Indonesia sampai saat ini.

Saat ini pancasila merupakan wujud perkembangan dari konsensus yang menjadi dasar falsafah
atau ideologi nasional Indonesia. yang bisa dianggap sebagai:

1. Pancasila merupakan pernyataan anti kolonialisme bangsa Indonesia karena telah merupakan
Negara bekas jajahan.
2. Pancasila merupakan pernyataaan bersama untuk mempersemaikan toleransi dan akomodasi
timbal balik yang bersumber pada pengakuan adanya perbedaan masyarakat Indonesia.
3. Perupakan perumusan tekad bersama mewujudkan apa yang ada di dalam pancasila.

Sementara usia kemerdekaan bangsa yang masih muda, maka penerapan ini masih belum
sepenuhnya terisolasi ke dalam jiwa masyarakat Indonesia. sehingga integrasi masyarakat
ndonesia belum mencapai tingkat yang tangguh. Hal ini menyebabkan terbentuknya kesatuan-
kesatuan primordial yang memiliki sistem nilai yang berbeda yang mengakibatkan konflik
menjadi hal yang sering terjadi di dalam masyarakat Indonesia.

Contohnya pada masyarakat santri berbeda dengan masyarakat yang di sebut abangan.
Kelompok abangan menganggap agama islam merupakan agama orang arab, sehingga
kelompok abangan kurang sepenuh hati menghayatinya. Tidak melaksanakan syariat islam
namun cukup melakukan perbuatan yang benar. Sementara kelompok santri menuduh orang
abangan sebagai kelompok musyrik. Di dalam hal tertentu, orang abangan menganggap bahwa
orang Kristen memeluk agama dari orang-orang kulit putih.

Konflik-konflik ideologis memang lebih mudah dilihat dalam bentuk perbedaan kegamaan.
Kemudian perbedaan agama seringkali bertemu dangan perbedaan suku-bangsa yang
menyebabkan konflik sering terjadi antar suku-bangsa.

Selain dari perbedaan agama nampak juga konflik yang timbul akibat perbedaan lapisan sosial.
Lapisan elit yang syarat akan pendidikan yang tinggi, berasal dari kota seringkali menganggap
masyarakat lapisan bawah sebagai masyarakat yang bodoh, kurang berpendidikan, tradisional
dan tidak respon terhadap perubahan-perubahan. Dan begitu pula sebaliknya, tidak jarang
masyarakat lapis bawah menganggap masyarakat lapis atas sebagai kelompok yang tidak
hormat pada tradisi lama dan kelompok korup. Dan banyak lagi faktor-faktor yang lain.

Hal itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai konflik-konflik antar kelompok di Negara
Indonesia ini.

Berikut akan dijelaskan indikator-indikator konflik dan pertentangan yang terjadi di dalam
masyarakat Indonesia. Dengan indikator berikut kita akan mengetahui intensitas konflik yang
terjadi.

Indikator yang pertama adalah demonstrasi (a protest demonstration), yaitu sejumlah orang yang
dengan tidak menggunakan kekerasan melakukan protes terhadap rezim, pemerintah, kebijakan
yang dibuat pemerintah dan lain sebagainya.
Indikator yang kedua adalah kerusuhan. Indikator ini mpada dasarnya sama dengan
demonstrasi, namun disertai dengan penggunaan kekerasan fisik ang biasanya diikuti dengan
pengerusakan-pengerusakan barang oleh pelaku kerusuhan, pemukulan dan bahkan
pembunuhan dari petugas keamanan, dan lain sebagainya.

Indikator yang ketiga adalah serangan bersenjata (armed attack), yaitu suatu tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh suatu kelompok berkepentingan dengan maksud melemahkan atau
menghancurkan kekuasaan dari kelompok lain. Indikator ini disertai adanya pertumpahan darah,
pergulatan fisik dan pengerusakan barang-barang.

Indikator yang keempat adalah akibat dari armed attack, kerusuhan dan demonstrasi. Indikator
yang dimaksud adalah jumlah kematian akibat kekerasan politik.

Yang kelima dan keenam adalah terjadinya perubahan-perubahan politik yang penting yang ada
pada lembaga eksekutif. Indikator ini dibedakan menjadi dua macam perubahan eksekutif, yakni
pemindahan kekuasaan yang bersifat regular (regular executive transfer) yang berarti
pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok
penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa lain melalui cara-cara yang legal-
konvensial atau sesuai dengan prosedur yang ada tanpa kekerasan fisik yang nyata dan
langsung. Dan pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler (irregular power transfer)
yang artinya suatu peristiwa pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu
pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa lain melalui
cara-cara yang tidak legal-konvensional atau prosedura yang tidak biasa.

Keenam indikator diatas cukup jelas memberikan gambaran kepada masyarakat Indonesia
betapa perjalanan Negara ini berjalan melalui konflik-konflik yang cukup serius. Indonesia
dianggap Negara yang paling tidak stabil dibanding 84 negara yang dipelajari oleh ivo V.
Feierabend dan Rosalind L. Feiera-bend.

Perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan pelapisan sosial bersifat saling silang
menyilang satu sama lain yang menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat
menyilang juga yang menumbuhkan berbagai konflik antar golongan di Indonesia. dan pancasila
lah yang dianggap sebagai pengendali konflik-konflik tersebut (integritas) yang menjadikan
Indonesia tetap lestari dari masa ke masa walaupun berbagai bentuk pertentangan, konflik dan
kekacauan mendera bangsa ini

https://cszoel.wordpress.com/2012/05/23/sistem-sosial-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai