Oleh:
Shelia Desri Wulandari, S.Ked
04054821618135
Pembimbing:
dr. Nopriyati, Sp.KK, FINSDV
Referat
Oleh:
Shelia Desri Wulandari, S.Ked
04054821618135
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Periode 10 April – 15 Mei 2017.
I. PENDAHULUAN
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan korteks adrenal.
Hormon ini dapat memengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot,
resistensi tubuh dan berperan penting pada tubuh dalam mengontrol respon
inflamasi.1 Kortikosteroid terbagi menjadi glukokortikoid (steroid yang memiliki
efek pada metabolisme dan fungsi imun) dan mineralokortikoid (steroid yang
memiliki aktivitas meretensi garam). Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi,
imunosupresif, antiproliferatif, dan efek vasokonstriksi.2,3,4
Kortikosteroid dibagi menjadi dua, yaitu kortikosteroid topikal dan
kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topikal digunakan pada berbagai penyakit
dermatologi, seperti dermatitis atopik, psoriasis, dan eritematous lupus diskoid.
Kortikosteroid sistemik digunakan pada kasus dermatologi, seperti pemfigus
vulgaris, dermatitis berat, sindroma Steven Johnson, dan nekrosis epidermal
toksik.3,4,5
Manfaat kortikosteroid sangat bervariasi, namun perlu dipertimbangkan
efek samping dari penggunaan obat ini. Penggunaan kortikosteroid cukup aman
dalam jangka pendek, tetapi akan menimbulkan efek samping jika digunakan
dalam jangka panjang. Efek samping dari penggunaan kortikosteroid sering terjadi
pada penggunaan lebih dari dua pekan.4,6
Referat ini bertujuan untuk mengetahui mengenai penggunaan obat
kortikosteroid sistemik sehingga dapat mengaplikasikan obat ini secara tepat dan
meminimalisir efek samping yang akan timbul.
1
II. ANATOMI KELENJAR ADRENAL
Kelenjar adrenal terletak di sisi anteriosuperior ginjal, terletak sejajar
dengan tulang punggung toraks ke-12 dan mendapatkan suplai darah dari arteri
adrenalis. Kelenjar adrenal terdiri dari dua bagian kelenjar endokrin, yaitu medula
dan korteks.
Korteks terbagi menjadi tiga zona: zona glomerulosa, zona fasikulata dan
zona retikularis. Pada setiap zona menghasilkan hormon steroid, yaitu:7
a. Zona glomerulosa : sekresi mineralokortikoid (aldosteron). yang diatur
oleh konsentrasi angiotensin II, kalium ekstrasel, dan
ACTH.
b. Zona fasikulata : lapisan tengah dan terlebar, sekresi glukokortikoid-
kortisol, kortikosteron, dan sejumlah kecil androgen
dan esterogen adrenal. Sekresi diatur oleh sumbu
hipotalamus-hipofisis oleh hormon
adrenokortikotropik (ACTH).
c. Zona retikularis : sekresi androgen adrenal dehidroepiandrosteron
(DHEA) dan androstenedion, dan sejumlah kecil
esterogen dan glukokortikoid. Sekresi diatur oleh
ACTH, dan faktor lain seperti hormon perangsang-
androgen korteks yang disekresi oleh hipofisis.
2
Gambar 2. Zona Korteks Adrenal
Zona yang keempat disebut zona fetal yang terdapat hanya sepanjang masa
tumbuh kembang. Enzim 17α-hydroxylase (CYP 17) tidak terdapat pada lapisan
korteks terluar, hormon kortisol dan androgen tidak dapat disintesis pada bagian
korteks. Steroid dan produk lain seperti lipid hidroperoksida dilepaskan ke dalam
sirkulasi adrenal melalui pembuluh darah dan menghambat beberapa enzim
penting sehingga, misalnya hormon aldosteron tidak dapat disintesis pada zona di
bawah zona glomerulosa, dan 17-OH progesteron tidak dapat dikonversi menjadi
kortisol pada zona retikularis, namun dibutuhkan untuk membentuk formasi
androgen.7
Bagian dalam kelenjar disebut medula mengandung sel kromafin yang
merupakan sumber penghasil hormon jenis katekolamin yaitu hormon adrenalin
3
dan norepinefrin, dengan jenjang reaksi yang distimulasi kelenjar hipotalamus
sebagai berikut:
III. GLUKOKORTIKOID
Sekitar 95% aktivitas glukokortikoid dari sekresi adrenokortikal merupakan
hasil dari sekresi kortisol, yang dikenal sebagai hidrokortisol. Namun, sejumlah
kecil aktivitas glukokortikoid cukup penting diatur oleh kortikosteron.
Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah sebagai berikut:
1. Perangsangan glukoneogenesis dengan cara meningkatkan enzim terkait dan
pengangkutan asam amino dari jaringan ekstrahepatik, terutama dari otot
2. Penurunan pemakaian glukosa oleh sel dengan menekan proses oksidasi
NADH untuk membentuk NAD+
4
3. Peningkatan kadar glukosa darah dan “Diabetes Adrenal” dengan
menurunkan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
5
Efek kortisol terhadap metabolisme protein adalah sebagai berikut:
1. Pengurangan protein sel
2. Kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma
3. Peningkatan kadar asam amino darah, berkurangnya pengangkutan asam
amino ke sel-sel ekstrahepatik, dan peningkatan pengangkutan asam amino ke
sel-sel hati.
Efek kortisol terhadap metabolisme lemak adalah sebagai berikut
1. Mobilisasi asam lemak akibat berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam
sel-sel lemak sehingga menyebabkan asam-asam lemak dilepaskan
2. Obesitas akibat kortisol berlebihan karena penumpukan lemak yang berlebihan
di daerah dada dan kepala, sehingga badan bulat dan wajah “moon face”,
disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan
disertai pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih
cepat daripada mobilisasi dan oksidasinya.
Selain efek dan fungsi yang terkait metabolisme, kortisol penting dalam
mengatasi stres dan peradangan karena dapat menekan proses inflamasi bila
diberikan dalam kadar tinggi, dengan mekanisme menstabilkan membran lisosom,
menurunkan permeabilitas kapiler, menurunkan migrasi leukosit ke daerah
inflamasi dan fagositosis sel yang rusak, menekan sistem imun sehingga menekan
produksi limfosit, serta menurunkan demam terutama karena kortisol mengurangi
pelepasan interleukin-1 dari sel darah putih. Kortisol juga dapat mengurangi dan
mempercepat proses inflamasi, menghambat respons inflamasi pada reaksi alergi,
mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit darah, serta meningkatkan produksi
eritrosit, walaupun mekanismenya yang belum jelas.
Hormon glukokortikoid mempunyai mekanisme kerja seluler sebagai
berikut:
1. Hormon masuk ke dalam sel melalui membran sel
2. Hormon berikatan dengan reseptor protein di dalam sitoplasma
3. Kompleks hormon-reseptor kemudian berinteraksi dengna urutan DNA
pengatur spesifik, yang disebut elemen respons glukokortikoid, untuk
membangkitkan atau menekan transkripsi gen
6
4. Glukokortikoid akan meningkatkan atau menurunkan transkripsi banyak gen
untuk mempengaruhi sintesis mRNA utnuk protein yang memperantarai
berbagai pengaruh fisiologis.
7
Glukokortikosteroid dengan potensi meningkatkan antiinflamasi terbentuk
oleh modifikasi molekul hidrokortison: yaitu 1,2 ikatan rangkap (prednisolon); 1,2
ikatan rangkap dan kelompok 6-metil (metilprednisolon); 1,2 ikatan rangkap dan
fluida pada posisi 9α, dengan gugus hidroksil 16α (triamcinolon), gugus metil 16α
(deksametason); atau kelompok metil 16β (betametason).6
V. KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid terbagi menjadi glukokortikoid dan mineralokortikoid.
1. Glukokortikoid
Glukokortikoid adalah golongan kortikosteroid yang mempunyai efek
utama terhadap penyimpanan glikogen hepar dan sebagai antiinflamasi, tetapi
hanya sedikit berpengaruh pada keseimbangan air dan elektrolit.
Glukokortikoid berperan dalam mempertahankan glukosa darah agar adekuat
untuk fungsi otak. Glukokortikoid juga menghasilkan resistensi insulin perifer
yang menghambat penyerapan glukosa oleh berbagai jaringan tubuh. Selain
itu, penyimpanan glikogen di hati ikut meningkat. Tempat penyimpanan lipid
distimulasi untuk mengalami lipolisis sehingga meningkatkan jumlah
trigliserida untuk menghasilkan energi. Contoh glukokortikoid alami adalah
kortisol (hidrokortison). Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya
prednisolon dan deksametason. 2,4
2. Mineralokortikoid
Mineralokortikoid adalah golongan kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit yang menimbulkan efek retensi
natrium dan deplesi kalium. Mineralokortikoid bekerja dengan meningkatkan
reabsorpsi natrium dari bagian tubulus proksimal ginjal dan ekskresi kalium.
Natrium mengalami perpindahan dengan kalium, yang menyebabkan
hipokalemia jika terdapat efek mineralokortikoid berlebihan. ACTH tidak
memiliki kontrol langsung terhadap produksi mineralokortikoid. Mekanisme
kontrol utama mineralokortikoid adalah melalui sistem renin-angiotensin dan
level kalium serum. Contoh mineralokortikoid adalah aldosteron dan
desoksikortikosteron.2,4
8
VI. MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid masuk secara difusi ke sel target dan berikatan dengan GCR
(glucocorticoid receptor) di dalam sitoplasma. Kompleks ini perlu mengalami
perubahan konformasi. Hasil kompleks aktif melewati kapsul nukleus dan secara
langsung maupun tidak langsung berikatan dengan DNA. Kemudian terjadi
regulasi gen dan transkripsi beberapa mRNA (messeger ribonucleic acid)
spesifik.2,4
1. Efek antiinflamasi
Kortikosteroid menghambat pelepasan phospolipase A2 (enzim yang
berperan untuk pembentukan prostaglandin, leukotrienes, dan derivat jalur
asam arakhidonat lainnya). Kortikosteroid juga menghambat faktor
transkripsi, seperti protein 1 aktivator dan faktor inti sel kβ, yang berperan
dalam aktivasi gen pro-inflamasi.2,3
9
2. Efek imunosupresif
Kortikosteroid menghambat produksi dan efek faktor humoral yang
berperan dalam respon inflamasi, menghambat migrasi leukosit ke area
inflamasi, dan mencegah dengan fungsi sel endotelial, granulosit, sel mast,
dan fibroblast..2,3
3. Efek antiproliferatif
Kortikosteroid menghambat sintesis dan mitosis DNA. Selain itu,
kortikosteroid menghambat aktivitas fibroblast dan pembentukan kolagen.2,3
4. Vasokontriksi
Kortikosteroid menurunkan permeabilitas kapiler dengan mengurangi
jumlah histamin yang dikeluarkan oleh basofil dan sel mas.2
10
Dosis awal kortikosteroid sistemik tergantung dari penyakit dermatologi
yang dialami. Dalam pengobatan jangka pendek (3 pekan atau kurang),
penggunaan kortikosteroid tidak perlu diturunkan perlahan-lahan. Dalam
pengobatan jangka panjang (4 pekan atau lebih), penggunaan kortikosteroid perlu
diturunkan secara perlahan. Jika penurunan obat kortikosteroid tidak dilakukan
dengan benar, dapat terjadi sindrom withdrawal, antara lain mialgia, arthralgia,
gejala gastrointestinal, kelemahan, sakit kepala, dan perubahan emosi.4,8
11
2. Sindrom cushing
Sindrom Cushing iatrogenik adalah kumpulan gejala berupa peningkatan
berat badan yang cepat terutama perut dan wajah, penumpukan lemak pada
leher bagian belakang, hiperhidrosis, striae pada abdomen, penipisan kulit,
hirsutisme, hipertensi, gangguan menstruasi, penurunan libido akibat
kelebihan sekresi hormon kortisol dalam darah yang disebabkan pengunaan
kortikosteroid jangka panjang.1,2,4
3. Efek metabolik
Efek metabolik yang dapat terjadi dengan terapi kortikosteroid yaitu
dapat menyebabkan hiperglikemia, hipertensi, dan hiperlipidemia. Hal
tersebut dapat meningkatkan risiko aterosklerosis dan beberapa penyakit
metabolik lainnya seperti gagal jantung kongestif dan diabetes mellitus.4,6
4. Efek gastrointestinal
Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang dapat meningkatan
insiden gastritis dan ulkus peptikum. Peningkatan insiden ini terjadi akibat
sifat kortikosteroid yang mengurangi tanda inflamasi dan menghambat
penyembuhan luka. Efek antinflamasi kortikosteroid yang menyebabkan
prostaglandin terhambat, juga terlibat dalam kerusakan mukosa lambung.
Pembentukan ulkus pada kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan produksi
mukus dan pembentukan sel mukosa baru. Efek samping gastrointestinal
lainnya yaitu nausea, muntah, refluks gastroesofageal, esofagitis kandida, dan
pankreatitis pada pasien hipertrigliseridaemia. Konsumsi kortikosteroid
bersama makanan disertai penggunaan antagonis reseptor H 2 dapat
menurunkan risiko terjadinya ulkus peptikum.4,6,10
5. Osteonekrosis (Nekrosis Avaskular)
Mekanisme terjadinya osteonekrosis belum dimengerti dengan jelas,
walaupun hipertensi sekunder intraosseous akibat pembesaran sel lemak.
Gejala awal osteonekrosis dalah nyeri tulang yang terlokalisir terutama saat
istirahat dan adanya keterbatasan gerak satu atau lebih dua sendi. Lokasi
tersering adalah pada femur proksimal. Tanda radiografi pada osteonekrosis
belum terjadi dalam 6 bulan setelah nyeri tulang dirasakan. Untuk itu, MRI
12
merupakan pemeriksaan radiologi yang spesifik dan sensitif pada awal.
Tatalaksana awal pada kasus nekrosis adalah konservatif dan terdiri dari
pencegahan trauma, istirahat, dan mengurangi beban dengan menggunakan
penopang.4
6. Osteoporosis
Osteoporosis adalah salah satu efek samping terbanyak pada pasien yang
menggunakan kortikosteroid jangka panjang. Osteoporosis terjadi 30-50%
pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid jangka panjang tanpa
memperkirakan pencegahannya. Demineralisasi terjadi pada 6-12 bulan awal
terapi. Penggunaan prednison dosis rendah (2,5 mg per hari) dapat
meningkatkan kejadian fraktur vertebra dan panggul. Demineralisasi tulang
dapat reversibel setelah penggunaan kortikosteroid dihentikan, terutama pada
usia muda. Kortikosteroid menurunkan absorbsi kalsium pada usus dan
menurunkan resorpsi kalsium pada tubulus ginjal yang dapat diperparah
dengan diet tinggi natrium. Penurunan kalsium serum akan menstimulus
pelepasan hormon paratiroid dan mengakibatkan peningkatan aktivitas
osteoklas sehingga terjadi resorpsi tulang. Selain itu, juga terjadi inhibisi
osteoblas dan sintesis matriks kolagen yang mendukung terjadinya
demineralisasi.4
7. Gangguan pertumbuhan pada anak
Kortikosteroid menghambat pertumbuhan dengan beberapa mekanisme,
yaitu mengintervensi retensi mineral dan nitrogen, inhibisi sintesis matriks
protein, dan menurunkan efek hormon pertumbuhan. Mekanisme terjadinya
melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone. Selain itu
kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi
sekresi parathyroid hormone yang meningkatkan aktivitas osteoklast dalam
meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon gonad, yang
pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga
menghambat pertumbuhan. Monitoring pertumbuhan sebaiknya dilakukan
setiap 3-6 bulan.4,6
6. Efek psikiatrik
13
Perubahan kognitif dan mood tergantung dengan dosis dan dapat muncul
cepat setelah penggunaan kortikosteroid. Hipomania dan mania adalah gejala
awal yang muncul, namun pada jangka panjang dapat menimbulkan
depresi.4,11
Penyakit ulkus peptikum Penurunan produksi mukus, peningkatan produksi Dosis total kortikosteroid 1
asam, kortikosteroid tidak langsung menyebabkan gram
iritasi gaster
Efek samping lainnya
Katarak Gangguan protein lensa dengan mekanisme yang Tidak ada pengurangan
belum jelas (biasanya tipe subkapsular posterior) dengan kortikosteroid QOD
14
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid Sistemik pada Kulit
Kategori Mekanisme Efek Samping
Penyembuhan Penurunan kolagen, penurunan re-epitelialisasi Luka sulit sembuh, ulkus, striae
luka permanen, telangiektasis
Efek Metabolik
Hiperglikemia Pengaturan pola makan Gula darah puasa Diet, insulin, OHGA,
Insulin sensitizer
Hipertensi Restriksi garam, pilih Monitoring tekanan darah Restriksi natrium dan
kortikosteroid yang efek diuretika tiazida
mineralokortikoid rendah
Perubahan Cushing Pengaturan pola makan, Pemeriksaan fisik dan Diet rendah kalori dan
latihan fisik berat badan olahraga
15
Efek samping Pencegahan Diagnosis Tatalaksana
Efek gastrointestinal
Perforasi usus Tinjau ulang penggunaan Gejala dan tanda perforasi Rujuk untuk pembedahan
kortikosteroid setelah
operasi usus
Penyakit ulkus Antihistamin AH2 pada Anamnesis, endoskopi Antihistamin AH2, PPI
peptikum pasien degan risiko tinggi
X. KESIMPULAN
Kortikosteroid merupakan salah satu terapi yang sering digunakan dalam
dermatologi. Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi, imunosupresif,
antiproliferatif, dan efek vasokonstriksi. Kortikosteroid dibagi menjadi dua, yaitu
topikal dan sistemik. Kortikosteroid sistemik digunakan pada kasus dermatologi
pemphigus vulgaris, dermatitis berat, sindrom Steven Johnson, nekrosis epidermal
toksik, dan sebagainya. Kortikosteroid aman jika digunakan dalam jangka waktu
pendek sehigga tanpa perlu dilakukan tapering off. Sedangkan, penggunaan
jangka panjang, kortikosteroid perlu dilakukan tapering off. Efek samping
kortikosteroid sistemik, antara lain supresi aksis hipofisis dan hipotalamus, efek
metabolik, efek gastrointestinal, osteonekrosis, osteoporosis, gangguan
pertumbuhan, dan psikosis. Upaya pencegahan terutama tapering off perlu
dilakukan untuk menghindari efek samping dari kortikosteroid sistemik sehingga
penggunaan obat dapat dimaksimalkan.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland,W.A. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.2002.
Halaman 260.
7. Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th . Jakarta: EGC
12. Kia S.M, Werth V.P. Prevention and Treatment of Systemic Glucocorticoid
Side Effects. International J. Dermatology; 2010: 239-48.
17
DISKUSI
1. Kehamilan merupakan kontraindikasi relatif. Lalu dalam kondisi apakah
kortikosteroid digunakan untuk ibu hamil dan apakah aman?
Jawab:
Pada sebuah studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan
menunjukkan adanya efek samping bagi janin. Sedangkan, pada wanita
hamil, belum ada studi terkontrol yang dilakukan. Obat golongan ini
hanya dapat dipergunakan jika manfaatnya lebih besar ketimbang resiko
yang mungkin terjadi pada janin, contohnya pada kasus partus
prematurus imminens. Dalam kasus PPI, kortikosteroid berperan dalam
mematangkan paru-paru janin jika usia janin 26 minggu keatas yang
diharapkan janin dapat bertahan hidup diluar rahim ibu. Efek samping
kortikosteroid yang paling dihindari pada ibu hamil adalah terjadinya
retardasi pertumbuhan janin.
18
(glukokortikoid). Glukokortikoid mampu mempercepat lipolisis
(pemecahan lemak). Percepatan lipolisis ini mengakibatkan peningkatan
jumlah asam lemak bebas dalam plasam. Peningkatan asam lemak ini
menyebabkan tubuh lebih banyak menggunakan asam lemak sebagai
sumber energi, sehingga terjadi penghematan glikogen. Dengan demikian
penggunaan energi selama melakukan pergerakan tubuh menjadi efisien
dan tubuh tidak cepat lelah.
19