Anda di halaman 1dari 164

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA

ISPA PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (SKM)

Disusun oleh:

Tri Astuti Lestari

1110101000029

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H /2014
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Juli 2014
Tri Astuti Lestari, NIM:1110101000029
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA ISPA
PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014
(xi + 102 halaman, 24 tabel, 3 gambar, 8 lampiran)

ABSTRAK
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit infeksi akut
yang menyerang satu atau lebih dari saluran nafas. ISPA sering menyerang balita
karena kekebalan tubuhnya yang masih rendah. ISPA masih menempati urutan teratas
dari data 10 besar penyakit di Wilayah Kerja Puskesmas Citeureup. Di Desa
Citeureup terdapat pabrik semen yang dalam proses produksi dan transportasinya
menghasilkan pencemaran udara. Salah satu zat pencemar tersebut adalah SO2 yang
dapat menyebabkan gejala ISPA.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan sejak
bulan April sampai dengan Mei tahun 2014 di Desa Citeureup. Metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah teknik cluster sampling dengan jumlah sampel 92
balita dan menggunakan analisis univariat and bivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 71 balita (77,2 %) yang
mengalami gejala ISPA dan terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 dengan gejala
ISPA (p value 0,032). Variabel lain yang berhubungan dengan gejala ISPA adalah
anggota keluarga yang mengalami ISPA, ASI Eksklusif, BBLR (Berat Badan Lahir
Rendah), dan status gizi (p value < 0,05).
Untuk menanggulangi masalah ini diharapkan terdapat kerjasama antara
masyarakat dengan pelayanan kesehatan untuk menciptakan lingkungan dan perilaku
hidup sehat untuk mengurangi gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup.
Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan terkait dengan penyakit
ISPA, mengenai tanda dan gejala ISPA dan cara pencegahannya.

Kata kunci: Gejala ISPA, balita, pencemaran udara luar ruangan, pencemaran udara
dalam ruangan, kekebalan balita
Daftar Bacaan: 1999-2014

ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Under Graduated Thesis, July 2014

Tri Astuti Lestari, NIM 1110101000029


Factors Associated With Risk Of Ispa For Infants At Citeureup Village 2014
(xi+102 pages, 24 tables, 3 pictures, 8 attachments)

ABSTRACT
ARI (Acute Respiratory Infection ) is an acute infectious disease that affects
one or more of the respiratory tract. Its often strikes infants because their immune is
still low. It is still on top list of 10 major diseases of data in job area of Citeureup
Health Center. There is cement factory which in the process of production and
transportation, that air pollution resulted. One of these pollutants are SO2 which cause
respiratory infection risk.
This research is a quantitative study using descriptive analytical cross-
sectional study design, conducted since April to May 2014 in the Citeureup village.
The sampling method used was cluster sampling with a sample of 92 infants and
using univariate and bivariate.
The results showed that there were 71 infants (77.2%), which runs the risk of
ARI and there is a relationship between the concentration of SO2 with ARI (p value
0,032). The other variables associated with the risk of ARI is a family member who
suffered ISPA, exclusive breastfeeding, low birth weight and nutritional status (p
value < 0,05 ).
To overcome this problem is expected the cooperation between the
community and health services by creating healthy living environments and behaviors
to reduce the risk of ISPA for infants in Citeureup Village. Countermeasures can be
done by way of extension of ISPA disease, signs and symptoms and its prevention.
Key words: symptomps of ARI, infants, outdoor pollution, indoor pollution,
immunity infant
Refferences: 1999-2003

iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS PERSONAL
Nama : Tri Astuti Lestari
Alamat : Jln. Mufakat, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur
TTL : Purworejo, 1 Maret 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nomor Telepon : 085775424805
E-mail : lestari_triastuti@yahoo.com
RIWAYAT PENDIDIKAN
2010-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007-2010 : SMA Negeri 7 Purworejo
2004-2007 : SMP Negeri 31 Purworejo
1998-2004 : SD Negeri 2 Borokulon
PENGALAMAN ORGANISASI
2011-2012 : Sekretaris Departemen Pendidikan Penelitian dan
Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya
2012-2013 : Bendahara Divisi Pengembangan Masyarakat BEM
Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta
2012-2013 : Ketua Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan
Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya
2013-2014 : Menteri Pengelolaan dan Pengembangan Dana Organisasi
Pengurus Nasional PAMI
2013-2014 : Sekretaris Envihsa (Environmental Health Student
Association) UIN Jakarta
PENGALAMAN PRAKTEK KERJA
2012 : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering
2012-2013 : Pengalaman Belajar Lapangan Wilayah Kerja Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Ciputat, Tangerang
Selatan
2013 : Orientasi Kerja di HSE PT. Mitra Adi Sesama
2014 : Kerja Praktek di bagian IPAL PT. Unitex

iv
v
vi
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah
memberikan kenikmatan dan kekuatan yang tidak terhitung jumlahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014”. Sholawat serta
salam semoga dilimpah curahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman
terang benderang.

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S1


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penuyusunan skripsi ini penulis mengalami banyak rintangan, oleh


karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu, antara lain:

1. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes,
Ph.D selaku pembimbing I dan pembimbing II atas arahan dan bimbingan
dalam penelitian ini, serta menyempatkan waktunya untuk memberikan
saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi.
2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM,
Ph.D, dan Bapak dr. Gatot Sudiro H, Sp.P, selaku penguji sidang skripsi
yang telah banyak mengarahkan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Ibu Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vii
4. Pihak Puskesmas Citeureup, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan
Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor yang telah
mengizinkan dan membantu penelitian ini.
5. Kepala Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan izin dalam peminjaman alat dan analisis konsentrasi SO2.

6. Saudara seperjuangan peminatan Kesehatan Lingkungan 2010 atas


dukungan dan masukan penelitian: Rizka, Misyka, Fitri, Nida, Annis,
Dillah, Alya, Reka, Ifa, Yuni, Elfira, Ilham, Fuad, Angger, Febri dan
Akbar.
7. Sahabat-sahabatku Rizka, Sabila, Raafika, Bayti, Nina, Wiwid dan Nita
yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Terakhir dan terpenting untuk kedua orang tua dan kakak-kakakku yang

selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa yang selalu dipanjatkan

demi kelancaran penyusunan skripsi.

Semoga bantuan, bimbingan serta masukan yang telah diberikan berbagai


pihak yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.

Ciputat, Juli 2014

Penulis

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i

ABSTRAK .................................................................................................................. ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. iv

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ v

LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.LatarBelakang ............................................................................................. 1
1.2.RumusanMasalah ........................................................................................ 8
1.3.PertanyaanPenelitian ................................................................................... 8
1.4.Tujuan ......................................................................................................... 9
1.4.1. TujuanUmum ............................................................................ 9
1.4.2. TujuanKhusus ........................................................................... 9
1.5.Manfaat ..................................................................................................... 10
1.5.1. BagiPemerintah ....................................................................... 10

ix
1.5.2. BagiMasyarakat....................................................................... 10
1.5.3. BagiPeneliti ............................................................................. 10
1.6.RuangLingkup ........................................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.InfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) .......................................................... 12


2.2.Klasifikasi ISPA ........................................................................................ 13
2.2.1. ISPA Ringan ........................................................................... 14
2.2.2. ISPA Sedang ........................................................................... 15
2.2.3. ISPA Berat .............................................................................. 15
2.3.Gejala ISPA ............................................................................................... 16
2.4.Penyebab ISPA .......................................................................................... 17
2.5.Cara Penularan ISPA ........................................................................................ 17
2.6.Diagnosa ISPA .................................................................................................. 18
2.7.Pencegahan ISPA .............................................................................................. 19

2.8.Mekanismeterjadinya ISPA ............................................................................. 19

2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA ..................................................... 20

2.9.1. KarakteristikBalita .................................................................. 20


2.9.2. LingkunganFisikRumah .......................................................... 26
2.9.3. PencemaranUdara ................................................................... 28
2.9.3.1.PencemaranUdaraLuarRuangan .................................. 29
2.9.3.2.PencemaranUdaraDalamRuangan............................... 33
2.10. KerangkaTeori..................................................................................... 35

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1. KerangkaKonsep ................................................................................. 38


3.2. DefinisiOperasional ............................................................................. 41
3.3. Hipotesis .............................................................................................. 44

x
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1. JenisdanRancanganPenelitian.............................................................. 45
4.2. LokasidanWaktuPenelitian .................................................................. 45
4.2.1. LokasiPenelitian ...................................................................... 45
4.2.2. WaktuPenelitian....................................................................... 46
4.3. SampelPenelitian ................................................................................. 46
4.4. TeknikPengambilanSampel ................................................................. 48
4.5. MetodePenelitianPengukuran .............................................................. 49
4.6. TeknikPengolahan Data....................................................................... 53
4.7. Analisis Data ....................................................................................... 55
4.7.1. AnalisisUnivariat ..................................................................... 55
4.7.2. AnalisisBivariat ....................................................................... 56

BAB V HASIL

5.1.HasilAnalisisUnivariat .................................................................................... 57
5.1.1. GambaranInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBalita di DesaCiteureup

57

5.1.2. Gambaran SO2 di DesaCiteureup ........................................................ 57

5.1.3. GambaranAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA .......................... 58

5.1.4. GambaranAnggotaKeluarga yang Merokok ....................................... 59

5.1.5. GambaranTempatuntukMerokokAnggotaKeluargaBalita di

DesaCiteureup ..................................................................................... 59

5.1.6. GambaranJumlahRokok yang dikonsumsidalamsehari ...................... 60

5.1.7. GambaranBahanBakarMemasak di DesaCiteureup ............................ 60

5.1.8. GambaranPenggunaanObat Anti Nyamuk .......................................... 61

xi
5.1.9. GambaranJenisObat Anti Nyamuk yang Dipakai ............................... 61

5.1.10. Gambaran ASI EksklusifpadaBalita ................................................... 62

5.1.11. AlasanBalita yang TidakMendapatkan ASI Eksklusif ........................ 63

5.1.12. GambaranJenisImunisasiBalita ........................................................... 63

5.1.13. AlasanBalita yang TidakMendapatkanImunisasiLengkap .................. 64

5.1.14. GambaranBeratBadanLahirRendahpadaBalita ................................... 64

5.1.15. Gambaran Status GiziBalita di DesaCiteureup ................................... 65

5.2.HasilAnalisisBivariat ...................................................................................... 65

5.2.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ............... 66

5.2.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Terkena ISPA denganResiko ISPA

padaBalita ............................................................................................ 66

5.2.3. HubunganAnggotaKeluargaMerokokdenganResiko ISPA padaBalita

............................................................................................................. 67

5.2.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ...... 68

5.2.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA

padaBalita ............................................................................................ 69

5.2.6. Hubungan ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita .................. 70

5.2.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita .......................... 71

5.2.8. Hubungan BBLR (BeratBadanLahirRendah) denganResiko ISPA

padaBalita ............................................................................................ 72

5.2.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ....................... 73

xii
BAB VI PEMBAHASAN

6.1.KeterbatasanPenelitian .................................................................................. 75

6.2.Resiko ISPA padaBalita di DesaCiteureup ................................................... 76

6.3.AnalisisBivariat............................................................................................. 77

6.3.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ............... 77

6.3.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA padaBalita ........ 80

6.3.3. HubunganAnggotaKeluarga yang MerokokdenganResiko ISPA

padaBalita ............................................................................................ 82

6.3.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ....... 85

6.3.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA

padaBalita ............................................................................................ 87

6.3.6. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita . 89

6.3.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita .......................... 91

6.3.8. HubunganBeratBadanLahirRendah (BBLR) denganResiko ISPA

padaBalita ............................................................................................ 95

6.3.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ....................... 97

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1.Kesimpulan...................................................................................................... 99

7.2.Saran ............................................................................................................. 101

xiii
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ..................................................................... 47

Tabel 5.1 Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................ 57

Tabel 5.2 Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014..................... 58

Tabel 5.3 Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup
Tahun 2014 ........................................................................................... 58

Tabel 5.4 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ......................................................................... 59

Tabel 5.5 Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ........................................................................... 59

Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari di Desa
Citeureup Tahun 2014 .......................................................................... 60

Tabel 5.7 Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Tahun 2014 ........ 61

Tabel 5.8 Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada Rumah Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014 ........................................................................... 61

Tabel 5.9 Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai di Desa Citeureup
Tahun 2014 .......................................................................................... 62

Tabel 5.10 Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 . 62

Tabel 5.11 Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif ...... 63

Tabel 5.12 Distribusi Jenis Imunisasi pada Balita Di Desa Citeureup Tahun 2014 63

xv
Tabel 5.13 Gambaran Balita yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Desa
Citeureup Tahun 2014 .......................................................................... 64

Tabel 5.14 Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014 ........................................................................................... 64

Tabel 5.15 Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ...... 65

Tabel 5.16 Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Resiko ISPA pada Balita
di Desa Citeureup Tahun 2014 ............................................................. 66

Tabel 5.17 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Terhadap
Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................... 67

Tabel 5.18 Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok Terhadap Resiko ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................... 68

Tabel 5.19 Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap Resiko ISPA pada
Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................... 69

Tabel 5.20 Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Terhadap
Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 .................... 70

Tabel 5.21 Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Resiko ISPA pada Balita di
Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 71

Tabel 5.22 Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di
Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 72

Tabel 5.23 Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Resiko ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ........................................... 73

Tabel 5.24 Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di
Desa Citeureup Tahun 2014 ................................................................. 74

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori..................................................................................37

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.............................................................40

Gambar 4.1 Peta Wilayah Desa Citeureup...........................................................53

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Output SPSS

Lampiran 2 Izin Studi Pendahuluan

Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian

Lampiran 5 Permohonan Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi


SO2

Lampiran 6 Balasan Izin Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2

Lampiran 7 Izin Pengambilan Data

Lampiran 8 Peta Desa Citeureup

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. ISPA menyebabkan hampir

4 juta orang meninggal setiap tahun (Maramis, 2013). Data WHO 2008 yang di

update Juni 2011 menyebutkan bahwa ISPA menempati peringkat ke 3 dari 10

penyebab kematian terpenting dunia dengan jumlah 3,46 juta orang (6,1%)

(Aditama,T.Y,2011).

Masyarakat yang rentan terhadap ISPA adalah balita karena kekebalan

tubuhnya masih rendah. Balita dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap

tahun terutama mereka yang tinggal di daerah urban. Jumlah penderita ISPA

pada balita antara 25-40% yang dirawat jalan dan 12-35% yang dirawat di

rumah sakit (Lubis,I, 1990). Prevalensi ISPA pada balita yaitu >35% diikuti

dengan usia 5-14 tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).

Balita lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan penyakit lain

seperti AIDS, malaria dan campak. Setiap tahun di dunia diperkirakan lebih dari 2

juta balita meninggal karena pneumonia atau dengan kata lain terdapat 1 balita

1
yang meninggal karena ISPA tiap 15 detik dari 9 juta total kematian balita.

Bahkan karena besarnya kematian ISPA, maka ISPA atau pneumonia disebut

sebagai pandemik yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children

(UNICEF, 2006 dalam Pramayu, 2012).

Pada Konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia, pada

Juli 1997 mengatakan bahwa empat juta balita di negara-negara berkembang

meninggal tiap tahun akibat ISPA. Di Indonesia, kematian balita akibat ISPA

menduduki peringkat terbesar. Pada tahun 2000, diperkirakan kematian akibat

pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia mencapai lima kasus di

antara 1.000 bayi atau balita. Pneumonia menyebabkan 150.000 bayi atau balita

meninggal tiap tahun, atau 12.500 bayi atau balita tiap bulan, atau 416 kasus

sehari, atau 17 bayi atau balita tiap 1 jam, atau seorang bayi atau balita tiap lima

menit (Siswono, 2007 dalam Putri, 2012).

Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah

25,5% dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka

nasional. Jawa Barat hampir mendekati angka prevalensi nasional dengan

prevalensi sebesar 24,73%. Oleh sebab itu perlu adanya tindakan preventif atau

perbaikan agar angka kejadian ISPA menjadi menurun.

Profil kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012 menunjukkan bahwa ISPA

menduduki peringkat pertama terbanyak untuk kelompok umur 0-28 hari, 1-4

tahun dan 5-44 tahun. Berdasarkan data penyakit dari Puskesmas Citeureup tahun

2013 menunjukkan bahwa penyakit ISPA menduduki peringkat pertama

2
terbanyak pada kelompok balita. Studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa

banyak balita yang mengalami batuk, pilek, dan sakit tenggorokan yang

merupakan gejala dari ISPA.

Berbagai faktor yang menyebabkan ISPA adalah lingkungan dan host.

Menurut berbagai penelitian sebelumnya faktor lingkungan yang dapat

menyebabkan ISPA adalah kualitas udara (Layuk, 2012). Kualitas udara

dipengaruhi oleh seberapa besar pencemaran udara. Pencemaran udara adalah

terkontaminasinya udara, baik dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan

(Outdoor), dengan agen kimia, fisik, atau biologi yang telah mengubah

karakteristik alami dari atmosfer. Setiap tahun diperkirakan terdapat 200 ribu

kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan dimana 93%

kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003 dalam Gertrudis, 2010).

Contoh dari pencemaran udara luar (Outdoor) adalah pencemaran yang

ditimbulkan dari proses industri. Salah satu industri yang terletak di Desa

Citeureup, Bogor, Jawa Barat adalah industri semen. Industri semen adalah

industri yang sebagian besar proses produksinya berupa pengecilan ukuran

material dan pembakaran sehingga mempunyai resiko terhadap pencemaran

lingkungan jika tidak ada pengelolaan lingkungan (Gertrudis, 2010).

Industri menghasilkan berbagai pencemar seperti TSP, NOx dan SOx. Zat

pencemar TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88% dalam

pencemaran udara. Konsentrasi terbesar yang dihasilkan oleh industri adalah SOx

3
(Ali, 2007). Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara

kejadian ISPA dengan SO2, (Sakti, 2012).

Zat pencemar SOx menimbulkan dampak terhadap manusia sebesar 0,5

ppm. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem

pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi

pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm (Depkes, 1999).

Pada kondisi temperatur ataupun tekanan tertentu pencemar bahan padat

atau cair dapat berubah menjadi gas. Baik partikel maupun gas membawa akibat

terutama bagi kesehatan manusia seperti debu batubara, asbes, semen, belerang,

asap pembakaran, uap air, gas sulfida, uap amoniak, dan lain-lain. Arah angin

mempengaruhi daerah pencemaran karena sifat gas dan partikel yang ringan dan

mudah terbawa (Arief, L.M, 2010).

Selain pencemaran udara luar ruangan (Outdoor), pencemaran udara dalam

ruangan (Indoor) juga mempunyai peran terhadap terjadinya ISPA pada balita.

Beberapa pencemaran udara dalam ruangan adalah anggota keluarga yang

mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk

bakar, dan penggunaan kayu bakar untuk bahan bakar memasak (Layuk, 2012).

Anggota keluarga yang mengalami ISPA mempunyai peran terhadap

penularan ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan balita masih mempunyai daya

tahan tubuh yang rendah. Cara penularan ISPA melalui udara yaitu jika penderita

4
batuk atau bersin dan tidak ditutup menggunakan tangan atau sapu tangan maka

akan menyebabkan virus menyebar di dalam ruangan (Gertrudis, 2010).

Kebiasaan merokok anggota keluarga menyebabkan balita sebagai perokok

pasif menjadi terpajan asap rokok. Terdapatnya seorang perokok atau lebih akan

meningkatkan resiko anggota keluarga untuk mengalami gangguan pernapasan.

Jumlah perokok di Indonesia semakin banyak sehingga akan menambah jumlah

penderita gangguan kesehatan akibat merokok atau menghirup asap rokok. Dari

hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar penderita ISPA berasal dari

lingkungan yang didalamnya terdapat anggota keluarga merokok (Agussalim,

2012).

Penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan salah satu dari penyebab

pencemaran di dalam rumah. Obat anti nyamuk terdiri atas bermacam-macam

jenis, diantaranya adalah obat anti nyamuk bakar, semprot, oles, Obat anti

nyamuk yang dapat menimbulkan resiko terbesar pada saluran pernapasan adalah

obat anti nyamuk bakar. Berdasarkan penelitian, penggunaan obat anti nyamuk

bakar memiliki resiko 5,89 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan

responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar (Halim, 2012).

Penyebab pencemaran dalam rumah lainnya adalah bahan bakar memasak.

Jenis bahan bakar yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan kayu bakar

karena menghasilkan lebih banyak asap dibandingkan dengan bahan bakar yang

menggunakan gas atau listrik. Kejadian ISPA lebih banyak karena pencemaran

udara oleh asap bahan bakar untuk memasak di dalam rumah yang tidak

5
memenuhi syarat dibandingkan dengan pencemaran udara oleh asap bahan bakar

untuk memasak didalam rumah yang memenuhi syarat (Citra, 2012).

Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan ISPA selain pencemaran

udara adalah faktor kekebalan balita itu sendiri. Kekebalan balita dipengaruhi

oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status

gizi.

Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan salah satu faktor

terjadinya ISPA. Efek protektif dari ASI cenderung menurunkan angka kesakitan

pada balita yang diberi ASI khususnya pada bulan-bulan awal kelahiran.

Berdasarkan penelitian, kejadian ISPA 4 kali lebih besar pada balita yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI

Eksklusif (Widarini, 2009).

Imunisasi merupakan upaya untuk menurunkan mortalitas akibat ISPA

pada balita. Sebagian besar kematian akibat ISPA berasal dari jenis ISPA yang

berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,

pertusis, campak. Pemberian imunisasi campak yang efektif sekitar 11%

pneumonia pada balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) dapat

mencegah kematian akibat pneumonia sekitar 6% (Agussalim, 2012).

Bayi yang lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki daya

tahan tubuh rendah karena sistem pertahanan tubuhnya belum sempurna. Bayi

BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan yang belum sempurna. Penelitian

6
terdahulu mengatakan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian

ISPA (Layuk, 2012).

Faktor kekebalan balita lainnya adalah status gizi. Balita yang mempunyai

gizi kurang akan mudah terkena ISPA daripada balita yang mempunyai gizi baik.

Penelitian terdahulu mengatakan bahwa kejadian ISPA berulang lebih banyak

pada balita dengan status gizi kurang (Sukmawati, 2010).

Berdasarkan uraian diatas, ISPA disebabkan oleh pencemaran udara.

Outdoor pollution merupakan faktor penyebab ISPA di negara berkembang. Salah

satu penyebab adanya pencemaran udara luar ruangan adalah dari aktivitas

industri. Zat pencemar udara yang terbesar akibat industri adalah SO2. Penyebab

terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat

konsentrasi SO2 di masing-masing zona lokasi penelitian yang dinginkan. Namun

juga diperhatikan penyebab dari lingkungan dalam rumah (anggota keluarga yang

mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk

bakar, dan bahan bakar memasak) dan faktor kekebalan balita (ASI Eksklusif,

imunisasi, BBLR dan status gizi) yang berpotensi menyebabkan balita terkena

ISPA.

Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada

hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,

anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, bahan bakar

memasak, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA.

7
1.2.Rumusan Masalah

Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa banyak balita yang

mempunyai resiko terhadap ISPA. Faktor penyebab ISPA diantaranya disebabkan

oleh pencemaran udara baik itu pencemaran udara luar (Outdoor) maupun

pencemaran udara dalam (Indoor). Penelitian mengenai pencemaran udara luar

yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara PM10 dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara luar tidak hanya

disebabkan PM10, namun juga disebabkan oleh konsentrasi SO2. Zat pencemar

SO2 diduga berasal dari hasil kegiatan industri dan transportasi yang berada di

Desa Citeureup. Selama ini belum pernah ada penelitian mengenai hubungan

antara konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA di wilayah tersebut. Selain itu

faktor lain penyebab ISPA adalah pencemaran udara dalam ruangan. Pencemaran

udara dalam rumah yang dapat menyebabkan ISPA meliputi anggota keluarga

yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti

nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak. Faktor

kekebalan balita juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Faktor

kekebalan balita dapat ditentukan oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status

gizi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah terdapat

hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,

anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar,

penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, ASI Eksklusif, imunisasi,

BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup.

8
1.3.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA?

2. Apakah ada hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota

keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar

memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi,

BBLR dan status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di

Desa Citeureup tahun 2014?

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA di Desa

Citeureup Tahun 2014.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA.

2. Mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi

SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga

yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti

nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi)

dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di Desa

Citeureup tahun 2014.

9
1.5.Manfaat

1.5.1. Bagi Instansi Pemerintah

Dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan kebijakan perencanaan

dan pembangunan daerah sehingga tidak terjadi dampak negatif yang

merugikan masyarakat.

1.5.2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat

mengenai faktor penyebab ISPA pada balita.

1.5.3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman dan wawasan kepada

peneliti mengenai faktor gejala ISPA pada balita. Penelitian ini juga

dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa

ditempat lain, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang

lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau di

wilayah lain.

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota

keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk

bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan variabel

10
dependen (gejala ISPA) pada masyarakat yang tinggal di Desa Citeureup.

Penelitian ini dilaksanakan Maret-April 2014. Sasaran penelitian ini adalah

balita.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross

sectional. Pengukuran SO2 dalam pengumpulan data primer menggunakan alat

midget impinger. Data-data riwayat ISPA dan karakteristik individu

menggunakan kuesioner.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut

yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari

hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti

sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan

pleura (Kementerian Kesehatan, 2009).

Pengertian lain dari ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang

menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih

14 hari. ISPA meliputi struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan

penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau

berurutan (Muttaqin, 2008).

Penyakit saluran pernapasan pada umumnya dimulai dengan keluhan dan

gejala ringan. Gejala dan keluhan tersebut dapat menjadi lebih berat dan bila

semakin berat dapat mengalami kegagalan pernapasan dan mungkin dapat

meninggal. Angka mortalitas ISPA masih tinggi, sehingga perlu upaya agar

12
penyakit yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat ditolong

dengan cepat agar tidak mengalami kegagalan pernafasan (Depkes, 2009).

2.2. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan

untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):

a. Golongan umur kurang 2 bulan:

1) Pneumonia berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah

atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan

yaitu 60 kali per menit atau lebih.

2) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

a) Kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume yang

biasa diminum.

b) Kejang.

c) Kesadaran menurun.

d) Stridor.

e) Wheezing.

f) Demam/dingin.

13
b. Golongan umur 2 bulan-5 tahun

1) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas.

2) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

a) Untuk usia 2 bulan -12 bulan= 50 kali per menit atau lebih.

b) Untuk usia 1-4 tahun= 40 kali per menit atau lebih.

3) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:

a) Tidak bisa minum.

b) Kejang.

c) Kesadaran menurun.

d) Stridor.

e) Gizi buruk.

Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA dalam 3 kategori, yaitu:

2.2.1. ISPA ringan

Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak

ada nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada

dalam. Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan

14
gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan

suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam

(suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke

puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah.

2.2.2. ISPA sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari

39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mendengkur. Seseorang

dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan

disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah,

timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga

sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti

mendengkur.

2.2.3. ISPA berat

Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi

cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari

membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika

ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala

yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada

waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan

berbunyi mendengkur atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga

tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per

menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah.

15
2.3. Gejala ISPA

a. Anak umur 2 bulan sampai umur kurang dari 5 tahun ditandai dengan:

 Batuk atau juga disetai dengan kesulitan bernapas.

 Napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke

dalam (severe chest indrawing).

 Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.

Pada kelompok ini dikenal dengan Pneumonia atau ISPA sangat

berat dengan gejala batuk dan kesulitan bernapas karena tidak

ada ruang tersisa untuk oksigen di paru-paru.

b. Anak dibawah 2 bulan, ditandai dengan:

 Frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih

 Penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam

Jika bayi bernapas dengan bantuan ventilator maka akan tampak

bahwa jumlah lendir meningkat, kadang-kadang disertai dengan

naik dan turunnya suhu tubuh.

Tanda dan gejala lainnya antara lain:

 Batuk

 Ingus

 Suara napas lemah

 Demam

 Sakit kepala

16
 Sesak napas

 Menggigil (Misnadiarly, 2008)

2.4. Penyebab ISPA

Patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus. Menurut

Dirjen P2PL (2009) dan Depkes (2004), dalam Sinaga (2012), penyebab ISPA

terdiri dari 300 jenis bakteri dan virus. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari

genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococus, Haemophylus,

Bordetella, dan Corynobacterium. Sedangkan virus penyebab ISPA seperti

pada golongan Mycovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus,

Mycoplasma, dan Herpesvirus dan lain-lain.

Salah satu penyebab ISPA adalah asap pembakaran bahan bakar kayu

yang biasanya digunakan untuk memasak. Timbulnya asap dari bahan bakar

kayu ini menyebabkan batuk, sesak napas dan sulit untuk bernapas. Polusi

dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash,

Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen, dan Oxigen yang sangat berbahaya bagi

kesehatan (Depkes RI, 2002).

2.5.Cara Penularan ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar

bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh karena itu

penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease. Penularan melalui udara

yang dimaksud adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan

17
penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan

melalui udara dapat juga menular melalui kontak langsung, namun tidak

jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghirup

udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab

ISPA. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk

mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien

(Alsagaff dan Mukty, 2010).

2.6.Diagnosa ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan atas dapat didiagnosis melalui gejala

seperti batuk yang disertai atau tanpa demam, hidung yang mampet atau

berlendir, sakit tenggorokan, dan/atau gangguan telinga. Sedangkan gejala

klinis dari infeksi saluran pernapasan bawah sama seperti gejala pada saluran

pernapasan atas tetapi ditambah dengan gejala bernapas cepat dan berat

(Ambrose, 2005 dalam Sakti, 2010).

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang

dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung.

Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan

sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).

Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu

frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya

penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan

18
penderita pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran

bernafas yang disertai dengan gejala tidak sadar atau tidak dapat minum. Pada

klasifikasi pneumonia maka diagnosisnya batuk pilek biasa (common cold)

pharyngitis, tonsillitis, otitis, atau penyakit non pneumonia lainnya (Halim,

2000).

2.7.Pencegahan ISPA

Upaya pencegahan ISPA tidak mudah namun tetap harus dilakukan.

Beberapa upaya pencegahannya adalah:

 Meningkatkan daya tahan tubuh

 Segera diobati jika terkena ISPA

 Tempat tinggal harus mempunyai ventilasi yang baik (Aditama, 2005

dalam Sukandarrumidi, 2010).

2.8.Mekanisme terjadinya ISPA

Penyebab ISPA terkait dengan tidak berfungsinya silia (rambut-rambut

halus) yang terdapat dalam sistem pernapasan. Jika silia rusak maka kotoran

akan masuk ke dalam sistem pernapasan bersama dengan udara. Kejadian ini

menunjukkan bahwa tidak ada proses penyaringan sehingga berujung pada

infeksi (Media Informasi Kesehatan Indonesia,2013).

Secara umum efek dari pencemaran udara terhadap saluran pernapasan

dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan

dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang

19
menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan

penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran

pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda

asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal

ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Media Informasi

Kesehatan Indonesia, 2013).

2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA

2.9.1. Karakteristik Balita

1. Umur

ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah

5 tahun dan 30 persen anak berusia 5 sampai 12 tahun (Rahajoe dkk,

2008). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan

pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun

dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003).

2. Jenis kelamin

Faktor resiko penyebab ISPA adalah jenis kelamin. Balita

yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai resiko lebih besar untuk

mengalami ISPA daripada balita dengan jenis kelamin perempuan

(Irianto, 2006).

20
3. Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan menunjukkan adanya hubungan dengan

kejadian dan kematian ISPA. Kurangnya pengetahuan menyebabkan

sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati

(Pramayu, 2012).

4. Status gizi

Penyakit infeksi di berbagai Negara masih merupakan

penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun.

Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk mempermudah dan

mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Gizi

adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat

yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,

pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan

energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan

terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan

sistem kekebalan tubuh. Balita yang mengalami gizi kurang akan

lebih mudah terkena penyakit ISPA karena daya tahan tubuh akan

berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami gizi kurang,

21
balita cenderung mengalami ISPA berat dan serangannya lebih lama

(Depkes RI, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) dan Gertrudis

(2010) memberikan hasil bahwa status gizi mempunyai hubungan

dengan resiko ISPA.

5. Berat Badan Lahir Rendah

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu

berat lahir <2.500 gram. Rosdy dkk (2005) dalam Pramayu (2012)

menyatakan bahwa di negara berkembang, kematian akibat

pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22 persen

kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.

6. Status ASI Eksklusif

ASI mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia terutama

selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih

rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI

paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17

kali lebih rentan mengalami perawatan di Rumah Sakit akibat

pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI

(Webster,M & Fransisca., H, 2010)

22
ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi

dari penyakit infeksi, ASI mengandung rangkaian asam lemak tak

jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi.

Pada penelitian Rahayu, (2011) terdapat hubungan antara bayi yang

tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.

Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif

terhadap kejadian ISPA yaitu pada penelitian Sinaga (2012) bahwa

ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur

0-4 bulan.

7. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang

terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari

penyakit infeksi tertentu. Imunisasi pada balita diberikan untuk

menjaga kesehatan balita dimana cenderung mudah terkena berbagai

macam penyakit. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir hingga

umur 5 tahun (Depkes, 2005). Untuk mengurangi faktor yang

meningkatkan mortalitas ISPA diupayakan imunisasi lengkap. Bayi

dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita

ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi

lebih berat. Oleh karena itu beberapa vaksin yang harus dilengkapi

bagi anak untuk menghindari berbagai penyakit yakni :

23
a) Vaksinasi BCG

Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara

suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG

dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada

tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung

pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan

yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam

akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk

menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C

(Depkes RI, 2005).

b) Vaksinasi DPT

Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah

dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan

toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri

bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml

diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang

berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu.

Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada.

Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat

penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang

24
terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang

berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin

DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).

c) Vaksinasi Polio

Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio

oral yang mengandung virus polio yang mengandung virus polio

tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut

pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu

pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005).

d) Vaksinasi Campak

Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah

dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang

harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia

sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan

dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Di negara

berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal

dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum

terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi

lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan

25
yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat

menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak,

sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan

kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai

anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005).

1.9.2. Lingkungan Fisik Rumah

1.Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama

adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.

Hal ini berarti O2 yang diperlukan oleh penghuni tersebut tetap terjaga.

Menurut Slamet (2002) dalam Chahaya (2004) ruangan dengan

ventilasi tidak baik jika dihuni seseorang akan mengalami kenaikan

kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit karena

uap pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marvin

(2002) dalam Chahaya (2004) yang menyatakan ada hubungan antara

ventilasi dengan kejadian ISPA.

2. Lantai rumah

Lantai sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga tidak

mudah menimbulkkan debu, mudah dibersihkan dan dikeringkan.

Lantai yang baik adalah lantai yang dibuat kedap air, dapat terbuat dari

26
keramik, ubin, atau semen yang kedap atau kuat. Lantai tanah atau

semen yang rusak dapat menimbulkan debu (Kusnoputranto, 2000).

Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan

menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme di

dalam rumah dan juga dapat mengeluarkan debu. Untuk melindungi

penghuni rumah terutama balita yang mempunyai daya tahan tubuh

rendah dari penyakit berbasis lingkungan maka diperlukan jenis lantai

yang kedap air dan mudah dibersihkan (Depkes RI, 2002)

3. Dinding rumah

Dinding juga harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak

mudah menimbulkan debu. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman

bambu, anyaman daun rumbia, atau kayu masih dapat ditembus udara,

sehingga dapat memperbaiki ventilasi, namun sulit untuk menjaga

kebersihannya dari debu yang menempel dan tumbuh berkembangnya

mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem

pernapasan. Dinding yang paling aman dan mudah dibersihkan adalah

yang terbuat dari tembok plesteran (bersifat kedap air) (Sanropie dkk,

1991 dalam Irianto 2006).

4. Kepadatan hunian

Menurut Sinaga (2011) dalam penelitiannya di Jakarta Utara

menemukan bahwa kepadatan hunian mempunyai hubungan dengan

27
resiko ISPA. Penelitian yang mendukung lainnya adalah berdasarkan

hasil penelitian Chahaya (2004), kepadatan hunian rumah dapat

memberikan resiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.

5. Suhu Ruangan

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan

(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa suhu ruangan

berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.

6. Kelembaban

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan

(2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban

ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.

1.9.3. Pencemaran Udara

Definisi pencemaran udara menurut beberapa sumber yaitu:

a. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi

dari komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga

mutu udara turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara

ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (Peraturan Pemerintah 41

Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran udara).

28
b. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,

dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia,

sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia (Kepmenkes

No.1407/MENKES/SK/XI/ 2002 Tentang Pedoman Pengendalian

Dampak Pencemaran Udara).

c. Pencemaran udara adalah kontaminasi pada lingkungan dalam ruangan

(indoor) atau luar ruangan (outdoor) oleh bahan-bahan kimia, fisik,

ataupun biologi yang dapat mengubah karakteristik alamiah dari

atmosfer (WHO, 2012 dalam Halim, 2012).

1.9.3.1. Pencemaran Udara Luar Ruangan

1. Zat Pencemar SO2

Karakteristik SO2

Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok

sulfur oksida atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur

trioksida (SO3). SO2 berpotensi besar untuk berpindah ke

tempat yang lebih jauh (lebih dari 500-1000 km karena waktu

tinggalnya di atmosfer hanya beberapa hari (Wardhana,

2004).

Pencemar SO2 memberikan efek negatif pada sistem

pernapasan dan fungsi paru-paru. Peradangan yang

29
disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir

yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis

serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi

pada saluran pernapasan (WHO, 2005).

Rute pajanan SO2 ke tubuh manusia yang utama

adalah melalui inhalasi. Pencemar SO2 mudah larut dalam air

sehingga dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian

besar juga ke saluran pernapasan (Satriyo, 2008).

Baku Mutu SO2

Nilai baku mutu SO2 dalam udara ambien berdasarkan

WHO adalah rata-rata per 24 jam 20 µg /m3 atau 0,008 ppm

dan rata-rata per 10 menit 500 µg /m3 atau 0,2 ppm. Baku

mutu SO2 dalam udara ambien di Indonesia mengacu pada

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara yaitu 900 µg /m3.

2. Zat Pencemar NO2

Karakteristik NO2

Nitrogen dioksida (NO2) adalah salah satu dari

kelompok polutan NOx. Nitrogen dioksida adalah gas toksik,

kelarutannya dalam air rendah, tetapi mudah larut dalam

30
alkali, karbon disulfide dan kloroform. Gas ini berwarna

coklat kemerahan dan pada suhu dibawah 21,2oC akan

berubah menjadi cairan berwarna kuning. Baunya khas dan

mengganggu bahkan dapat mengiritasi saluran napas pada

konsentrasi 1-3 ppm (Handayani dkk, 2003).

Pajanan nitrogen dioksida dapat berpengaruh pada

saluran pernapasan. Bukti ilmiah bahwa pajanan NOx selama

30 menit hingga 24 jam akan memberikan dampak yang

merugikan bagi pernapasan yaitu inflamasi atau peradangan

saluran napas pada orang sehat dan peningkatan gejala pada

penderita asma. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi NO2

dengan peningkatan kunjungan rumah sakit dan UGD yang

berkaitan dengan penyakit pernapasan terutama asma (U.S.

Environmental Protection Agency, 2010).

Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan

saluran pernapasan kemudian dapat masuk ke peredaran darah

dan menimbulkan akibat di organ tubuh lain. Kelarutan NO2

dalam air rendah sehingga dapat mudah melewati trakea,

bronkus, dan mencapai alveoli. Di dalam saluran pernapasan

NO2 akan terhidrolisis membentuk asam nitrit (HNO2) dan

31
asam nitrat (HNO3) yang bersifat korosif terhadap mukosa

permukaan saluran napas (Handayani dkk, 2003).

Baku Mutu NO2

Baku mutu NO2 dalam udara ambient berdasarkan WHO

adalah rata-rata tahunan 40 µg/m3 atau 0,016 ppm dan rata-

rata per jam 200 µg/m3 atau 0,08 ppm (WHO,2005). Di

Indonesia baku mutu NO2 dalam udara ambient mengacu

pada peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Pencemaran Udara yaitu 400 µg/m3.

3. Zat Pencemar PM10

Karakteristik PM10

PM10 adalah partikulat padat atau cair yang melayang

di udara dengan nilai median ukuran diameter serodinamik

kurang dari 10 mikron. Partikulat ukuran kurang dari 10

mikron mempunyai beberapa nama lain yaitu PM10 sebagai

inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan

inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang

dapat diinhalasikan (inhalable) (Gertrudis, 2010).

32
Baku Mutu PM10

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun

1999 tentang pengendalian pencemaran udara, baku mutu

udara ambient nasional selama 24 jam untuk PM10 adalah

sebesar 150 µg/m3.

1.9.3.2.Pencemaran Udara Dalam Ruangan

1. Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA

Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang

tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran

pernafasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya

berbentuk aerosol yaitu suspensi yang melayang di udara

(Gertrudis, 2010).

Menurut Roe (1994) dalam Gertrudis (2010),

keberadaan penderita ISPA serumah menyebutkan bahwa

adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan

merupakan faktor resiko batuk pilek pada balita.

2. Anggota Keluarga yang Merokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga

perokok pasif. Penelitian yang dilakukan oleh Gertrudis

(2010) dan memberikan hasil bahwa asap rokok mempunyai

hubungan dengan resiko ISPA. Anak-anak yang keluarganya

33
terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguang

pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga

perokok.

3. Bahan Bakar Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-

hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak.

Menurut Chahaya (2004) bahan bakar memasak dapat

menyebabkan resiko ISPA.

Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk

kegiatan memasak sehari-hari adalah minyak tanah, kayu, gas,

dan listrik. Pada daerah pedesaan masih sering dijumpai

rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai sumber

energi utama karena mudah didapat. Namun, kayu bakar dan

minyak tanah dapat mencemari udara dan mengganggu

kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya mengandung

partikulat (PM10 , PM2,5), sulfur oksida, nitrogen oksida,

karbon monoksida, fluorida, aldehida, dan senyawa

hydrocarbon (Kusnoputranto, 2000).

34
4. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar

Penggunaan anti nyamuk bakar sebagai alat untuk

menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan

saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak

sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan

merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga

mempermudah timbulnya gangguan pernafasan (Chahaya,

2004).

Menurut penelitian Wattimena (2004), menyatakan

bahwa rumah yang menggunakan obat anti nyamuk bakar

berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,1 kali

dibandingkan dengan rumah balita yang tidak menggunakan

obat anti nyamuk bakar.

2.10. Kerangka Teori

Berdasarkan teori dan tinjauan pustaka, maka didapat suatu kerangka

teori. Kerangka teori ini dimulai dengan adanya pajanan berupa agen-agen di

lingkungan. Udara yang sudah mengandung agen tersebut kemudian masuk ke

dalam tubuh manusia melalui proses inhalasi, dengan dipengaruhi berbagai

faktor seperti faktor lingkungan, dan faktor karakteristik balita yang dapat

menyebabkan ISPA.

35
Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA yang menyerang saluran

pernapasan dimulai dari hidung sampai alveoli tidak hanya disebabkan oleh

mikroorganisme, seperti bakteri tapi juga disebabkan oleh pencemaran udara..

ISPA akibat polusi udara adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor resiko polusi

udara, seperti asap rokok, asap bahan bakar memasak di rumah tangga, asap

transportasi, industri, dan lain-lain (Depkes, 2009).

Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara luar ruangan

dan pencemaran udara dalam ruangan. Faktor penyebab ISPA yang berasal dari

pencemaran udara luar ruangan misalnya pencemaran yang disebabkan oleh

adanya suatu industri. Salah satu industri yang menghasilkan pencematan udara

adalah industri semen. Industri semen dalam proses produksinya menghasilkan

SO2, NO2 dan PM10.

Selain pencemaran udara luar ruangan, pencemaran dalam ruangan juga

mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ISPA. Pencemaran udara dalam

ruangan misalnya adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota

keluarga merokok, bahan bakar merokok, penggunaan anti nyamuk bakar.

Selain pencemaran udara, lingkungan fisik rumah juga mempengaruhi

terjadinya ISPA. Diantaranya adalah ventilasi, lantai rumah, dinding rumah, atap

rumah, dan kepadatan hunian. Faktor penyebab ISPA lainnya adalah

karakteristik balita yang dapat dillihat dari umur, jenis kelamin, pendidikan

orang tua, dan status gizi, BBLR, ASI eksklusif, dan imunisasi.

36
Indoor Air Pollution

 Anggota keluarga yang


mengalami ISPA
 Anggota keluarga merokok
 Bahan bakar memasak
 Penggunaan anti nyamuk
bakar

Outdoor Air Pollution

 SO2
 NO2
 PM10

Lingkungan Fisik Rumah:

 Ventilasi ISPA
 Lantai rumah
 Dinding rumah
 Atap rumah
 Kepadatan hunian

Karakteristik balita:

 Umur
 Jenis kelamin
 Pendidikan orang tua
 Status gizi
 BBLR
 ASI Eksklusif
 Imunisasi

Gambar 2.1. Kerangka Teori

37
BAB IIII

KERANGKA KONSEP

Pengukuran SO2 dilakukan 1 kali sampling udara pada posyandu di masing-

masing RW Desa Citeureup. Desa Citeureup mempunyai 8 RW yang terdapat

posyandu sehingga pengambilan sampel udara dilakukan sebanyak 8 kali.

3.1. Kerangka Konsep

Pencemaran udara yang terus menerus dan terbawa angin ke

permukiman masyarakat dapat mengakibatkan ISPA. Pencemaran udara dibagi

menjadi 2 yaitu pencemaran udara dalam ruangan dan pencemaran udara luar

ruangan.

Sistem Pemantauan Lingkungan Global yang disponsori PBB

memperkirakan bahwa 70% penduduk kota di dunia hidup dengan partikel yang

mengambang di udara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO. Sebagian

benda partikulat keluar dari cerobong asap pabrik yang dapat berpengaruh

terhadap kesehatan. Partikel-partikel halus ini dapat menembus bagian terdalam

paru-paru yang dapat mengganggu sistem pernafasan. Sebagian besar partikel

halus ini terbentuk dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan nitrogen

dioksida (Moore, 2007 dalam Gertrudis, 2010).

Pencemaran udara luar ruangan di Desa Citeureup dapat disebabkan

oleh aktivitas dari industri. Pencemaran udara akibat industri yang terbesar

38
adalah SO2. Dalam penelitian Sakti (2010) menyebutkan bahwa terdapat

hubungan antara ISPA dengan udara ambien (SO2, NO2, dan TSP).

Selain pencemaran udara luar, pencemaran udara dalam rumah juga

mempunyai resiko untuk mengakibatkan ISPA. Faktor penyebab pencemaran

udara di dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA, asap

rokok, penggunaan kayu bakar untuk memasak, dan penggunaan obat anti

nyamuk bakar.

Efek dari pencemar udara terhadap saluran pernapasan dapat

menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat

berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang

menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan

penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran

pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda

asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini

akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan.

Infeksi saluran pernafasan terjadi tidak hanya karena faktor pencemaran

udara, namun faktor kekebalan balita juga mempunyai peran penting dalam

mencegah ISPA. Faktor yang mempengaruhi kekebalan balita diantaranya

adalah ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR, dan status gizi.

Oleh karena itu variabel yang ingin diteliti adalah SO2, anggota keluarga

yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan kayu bakar

sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI

39
Eksklusif, BBLR, imunisasi dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di

Desa Citeureup tahun 2014.

 SO2
 Anggota keluarga yang
mengalami ISPA
 Anggota keluarga merokok
 Bahan Bakar Memasak
 Penggunaan obat anti nyamuk Gejala ISPA
bakar
 ASI Eksklusif
 Imunisasi
 BBLR
 Status Gizi

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

40
3.2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori
Variabel Dependen
1. Gejala Gejala ISPA yang dilihat dari gejala- Kuesioner mengenai Kuesioner 1.ya Ordinal
ISPA gejala ispa pada balita yaitu batuk (lebih riwayat ISPA 2.tidak
dari 5 kali sehari), pilek, sakit dengan wawancara
tenggorokan, tidak bisa (tidak mau)
minum/menelan, batuk dahak/lendir,
sakit telinga (berair/nanah), demam,
sesak nafas/nafas cepat/nafas terputus
Variabel Independen
2. Konsentrasi Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di Pengukuran midget µg/m3 Rasio
SO2 Desa Citeureup bulan April tahun 2014 menggunakan impinger
midget impinger
3. Anggota Anggota keluarga balita yang tinggal Kuesioner mengenai Kuesioner 1.ya Ordinal
keluarga serumah dengan balita dan menderita riwayat ISPA pada 2.tidak
yang gejala ISPA seperti batuk (lebih dari 5 anggota keluarga
mengalami kali sehari), pilek, sakit tenggorokan, yang tinggal serumah
ISPA batuk dahak/lendir, sakit dengan balita dengan
telinga,demam, sesak nafas wawancara

41
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori
4. Anggota Terdapatnya anggota keluarga, baik Kuesioner mengenai Kuesioner 1.ya Ordinal
keluarga ayah, kakak ataupun yang lainnya angggota keluarga 2.tidak
merokok yang merokok. yang merokok
dengan wawancara
5. Bahan bakar Jenis bahan bakar yang digunakan Kuesioner mengenai Kuesioner 1. Menyebabkan Ordinal
memasak untuk memasak di rumah penggunaan kayu pencemaran
bakar dengan udara (kayu
wawancara bakar)
2. Tidak
meyebabkan
pencemaran
udara (gas,
listrik)
6. Penggunaan Menggunakan obat anti nyamuk yang Kuesioner mengenai Kuesioner 1.ya Ordinal
obat anti dibakar untuk mencegah nyamuk penggunaan obat anti 2.tidak
nyamuk nyamuk bakar
bakar dengan wawancara
7. ASI Memberikan ASI saja tanpa makanan Kuesioner mengenai Kuesioner 1. Tidak Ordinal
Eksklusif dan minuman lain kepada bayi sejak ASI dengan 2. Ya
lahir sampai usia 6 bulan wawancara

42
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori
8. Imunisasi Memberikan imunisasi (vaksinasi Kuesioner mengenai Kuesioner 1.Tidak Ordinal
BCG, vaksinasi DPT, vaksinasi polio imunisasi dengan Lengkap
dan vaksinasi campak) secara lengkap wawancara 2. Lengkap

9. BBLR (Berat Berat badan bayi saat lahir kurang dari Kuesioner mengenai Kuesioner 1. Ya Ordinal
Badan Lahir 2500 gram BBLR dengan 2. Tidak
Rendah) wawancara
10. Status Gizi Keadaan gizi anak balita saat Kuesioner mengenai Kuesioner 1. Gizi Kurang Ordinal
dilakukan penelitian diukur status gizi dengan 2. Gizi Baik
berdasarkan BB/U. wawancara
Gizi Lebih: Zscore > 2
Gizi Baik: Z score ≥ -2,0 s/d ≤ 2,0
Gizi Kurang: Z score ≥ -3,0 s/d ≤ -2,0
Gizi Buruk: Z score < -3,0
(Depkes RI, 2010)

43
3.3. Hipotesis

1. Ada hubungan antara variabel dependen (konsentrasi SO2, anggota keluarga

yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu

bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar,

ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan gejala ISPA pada

balita di Desa Citeureup tahun 2014.

44
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan

cross sectional study. Desain ini dianggap sesuai karena tujuan penelitian ini

salah satunya untuk melihat prevalensi (Murti, 2013). Penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui hubungan konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok,

penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti

nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala

ISPA pada balita di Desa Citeureup. Variabel konsentrasi SO2 diukur pada tiap

cluster yang diwakili oleh posyandu di masing-masing RW di Desa Citeureup,

sedangkan variabel lainnya diamati pada setiap balita dengan bantuan

kuesioner,

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Desa Citeureup. Desa Citeureup termasuk dalam

wilayah kerja Puskesmas Citeureup. Luas wilayah kerja Puskesmas Citeureup

adalah 9,35 km2 dengan jumlah penduduk 204.028 jiwa. Desa Citeureup sendiri

memiliki batas wilayah geografis sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Gunung Putri

45
Sebelah Selatan : Desa Karangasem Timur dan Desa Tarikolot

Sebelah Barat : Desa Karangasem Barat dan Desa Puspanegara

Sebelah Timur : Desa Gunung Sari dan Desa Tarikolot

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan Maret-April 2014.

4.3. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah balita yang tinggal di Desa Citeureup. Balita

dipilih sebagai sampel karena balita sangat rentan untuk terkena gangguan

pernapasan atau ISPA.

Dalam penelitian ini, jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus

estimasi beda dua proporsi menurut Lemeshow (1997) adalah sebagai berikut:

Keterangan:

n = Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok

α = probabilitas menolak Ho, padahal Ho benar

(Dalam penelitian ini α = 5 %; Z 1-α/2 = 1,96)

β = probabilitas kesalahan menerima Ho, padahal Ho salah

(Dalam penelitian digunakan β = 20 %; Z 1-β = 0,842 )

46
P1 dan P2 = Proporsi penelitian sebelumnya

P = Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2))

Pada penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji

80%. Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan variabel yang akan diteliti yang

telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Sampel

Variabel P1 P2 N

Anggota Keluarga yang 88,6%=0,886 48,1%=0,481 19 x 2 = 38

Mengalami ISPA

Anggota Keluarga Merokok 76,2%= 0,762 23,8%= 0,238 13 x 2 = 26

Penggunaan Bahan Bakar 82,6%= 0,826 17,4%= 0,174 8 x 2 = 16

Memasak

Penggunaan Anti Nyamuk Bakar 85,7% = 0,857 14,3%= 0,143 6 x 2 = 12

Imunisasi 64,9% = 0, 649 35,1% = 0,351 42 x 2 = 84

Status Gizi 74,5% = 0, 745 25,5% = 0, 255 15 x 2 = 30

Berdasarkan perhitungan sampel secara uji beda dua proporsi maka

didapatkan jumlah sampel yang diambil sebanyak 84 balita. Kemudian dari 84 balita

tersebut ditambah dengan 10% dari hasil perhitungan sampel, sehingga didapatkan 84

balita + 8 balita = 92 balita.

47
4.4. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel ditentukan berdasarkan metode cluster 2 tahap. Cluster

sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana pemilihannya mengacu

pada kelompok bukan pada individu. Cara seperti ini baik sekali untuk

dilakukan apabila tidak terdapat atau sulit menemukan kerangka sampel, meski

dapat juga dilakukan pada populasi yang kerangka sampelnya sudah ada

(Notoadmojo, 2010).

Tahap pertama adalah menentukan cluster dari Desa Citeureup. Dari

data sekunder yang diperoleh, terdapat 8 RW di Desa Citeureup yang

mempunyai posyandu. Posyandu ini yang akan dijadikan cluster dalam

penelitian. Sehingga dalam sampel penelitian ini terdapat 8 cluster, yaitu

posyandu Belimbing, posyandu Karya Mulya, posyandu Anggur, posyandu

Delima, posyandu Durian, posyandu Lengkeng, posyandu Karya Sari 2, dan

posyandu Karya Sari 1.

 posyandu Belimbing = 150 balita

 posyandu Karya Mulya = 300 balita

 posyandu Anggur = 160 balita

 posyandu Delima = 150 balita

 posyandu Durian = 90 balita

 posyandu Lengkeng = 111 balita

 posyandu Karya Sari 2 = 160 balita

48
 posyandu Karya Sari 1 = 280 balita

Tahap kedua adalah menentukan balita di masing-masing posyandu yang

akan dijadikan sampel dipilih secara random dengan proporsi balita di masing-

masing posyandu sebagai berikut.

 posyandu Belimbing = 150/1401 x 92 = 10 balita

 posyandu Karya Mulya = 300/1401 x 92= 20 balita

 posyandu Anggur = 160/1401 x 92= 10 balita

 posyandu Delima = 150/1401 x 92= 10 balita

 posyandu Durian = 90/1401 x 92= 6 balita

 posyandu Lengkeng = 111/1401 x 92= 7 balita

 posyandu Karya Sari 2 = 160/1401 x 92= 18 balita

 posyandu Karya Sari 1 = 280/1401 x 92= 11 balita

4.5. Metode Penelitian Pengukuran

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan kuesioner dan

melakukan pengukuran konsentrasi SO2, dengan menggunakan midget

impinger.

Cara Pengukuran menggunakan midget impinger

Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:

 Midget Impinger/tabung penyerap

 Low Volume Air Sampler (LVAS)

 Pompa penghisap udara (Vaccum Pump)

49
Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:

 Absorber SO2

 Aquadest

 Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm

 Botol/wadah sample+penutupnya

 Plastik polietilen/PE

Prosedur:

1. Persiapan

Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2

 Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M

 Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800 mL

air suling ke dalam gelas piala 1000 Ml.

 Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan 0,066

gram EDTA (HOCOCH2)N(CH2COONa)2. 2H2O lalu aduk sampai

homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur, encerkan dengan air

suling sampai batas tera.

b. Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24 jam agar

mendapatkan kondisi stabil.

50
c. Filter kosong pada 1.a ditimbang sampai diperoleh berat konstan,

minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter sebelum

pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan filter sampel

(W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam plastic PE setelah

diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.

d. Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara

1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter harus

dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)

e. Masing-masing absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10

mL dan diberi kode.

2. Pengambilan sampel

1) Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang sudah

ditentukan.

2) Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara dengan

menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang flowmeter pada selang.

Pastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungan selang baik yang

berhubungan dengan LVAS dan midget impinger maupun ke pompa

penghisap udara.

3) LVAS diletakkan pada titik pengukuran.

4) Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan larutan

absorber (SO2) masing-masing 10 mL ke tabung midget impinger sesuai

dengan gas yang akan diuji.

51
5) Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan menggunakan

pinset dan tutup bagian atas holder.

6) Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan

pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow rate

1L/menit)

7) Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat dilakukan

selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan,

tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran).

8) Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).

9) Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke botol

sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat botol sampel dan

masing-masing diberi label (kode sampel, titik sampling, lokasi

sampling, hari, tanggal). Bilas kembali dengan aquades masing-masing

tabung pada midget impinger.

10) Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri label

pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling,

hari, tanggal, dan tenaga sampler).

11) Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar holder

dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.

12) Kemasi peralatan. Selanjutnya bawa sampel gas dan debu ke

laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam desikator

selama 24 jam.

52
Gambar 4.1. Peta Wilayah Desa Citeureup

(Sumber: Profil Desa Citeureup Tahun 2014)

4.6. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan

meliputi:

53
1. Data Editing

Menyunting data dilakukan sebelum proses memasukkan data. Proses

editing dilakukan setelah data terkumpul untuk mengecek jika ada data yang

salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada

responden/informan yang bersangkutan.

2. Data Coding

Coding dilakukan untuk mengklasifikasikan data dan memberikan kode

berupa angka sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Angka yang

digunakan dalam penelitian ini adalah 1 dan 2, angka 1 untuk jawaban yang

sesuai dengan ketentuan (ya) dan angka 2 untuk jawaban yang tidak

memenuhi ketentuan (tidak).

Dalam penelitian ini dinyatakan ISPA positif bila dalam 2 minggu

terakhir balita mengalami salah satu gejala:

1) Batuk, tanpa/disertai demam

2) Pilek, tanpa/disertai demam

3) Sesak napas, tanpa/disertai demam

4) Batuk, pilek, tanpa/disertai demam

5) Batuk, pilek, sesak napas, tanpa/ disertai demam

6) Batuk, sesak napas, tanpa/disertai demam

7) Pilek, sesak napas, tanpa/disertai demam

Dinyatakan ISPA negatif jika dalam 2 minggu terakhir balita tidak

mengalami batuk, pilek, dan sesak napas atau hanya mengalami demam saja.

54
3. Data Structure

Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan

dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat

mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu

ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit.

4. Data Entry

Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau

fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah SPSS.

5. Data Cleaning

Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan yaitu

dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai

kelogisannya.

4.7. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data

menggunakan SPSS. Analisis dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat.

4.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi

responden untuk setiap variabel yang diteliti dengan cara

mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan melihat parameter frekuensi

dan persentase.

55
Analisis univariat dalam penelitian ini untuk semua variabel,

meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi

frekuensi, mean, nilai maksimun dan nilai minimun.

4.7.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen. Tujuan analisis bivariat dalam

penelitian ini adalah untuk melihat hubungan konsentrasi SO2, anggota

keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar

memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif,

imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA. Penelitian ini

menggunakan uji non parametrik Mann Whitney karena data numerik

dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal. Data numerik dalam

penelitian ini adalah konsentrasi SO2 dan data kategoriknya adalah

gejala ISPA.

Hubungan ISPA dengan anggota keluarga yang mengalami ISPA,

anggota keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar untuk

memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif,

imunisasi, BBLR, dan status gizi menggunakan uji beda proporsi (Uji

Chi-square) karena variabel dependen dan independennya kategorik.

56
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1.Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran frekuensi dari

setiap variabel dependen dan independen pada 92 balita di Desa Citeureup Tahun

2014.

5.1.1. Gambaran Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Desa

Citeureup

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan persentasi ISPA

pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut:

Tabel 5.1. Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA Balita Frekuensi Persentasi (%)
Mengalami ISPA 71 77,2
Tidak mengalami ISPA 21 22,8
Total 92 100

Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA

sebesar 71 balita (77,2 %) dan 21 balita (22,8 %) tidak mengalami ISPA.

5.1.2. Gambaran SO2 di Desa Citeureup

Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel SO2 di Desa

Citeureup sebagai berikut:

57
Tabel 5.2. Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Konsentrasi Median Nilai Nilai
SO2 Min Max
Konsentrasi 110 32 198
SO2 pada udara
ambient

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan hasil analisis didapatkan

median konsentrasi SO2 di udara adalah 110 µg /m3. Konsentrasi SO2 di

udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.

5.1.3. Gambaran Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada variabel anggota

keluarga yang mengalami ISPA didapat data sebagai berikut :

Tabel 5.3. Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di


Desa Citeureup Tahun 2014

Anggota Keluarga ISPA Frekuensi Persentasi (%)


Ya 25 27,2
Tidak 67 72,8
Total 92 100

Tabel 5.3. menunjukkan bahwa sebanyak 25 rumah balita (27,2%)

yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA dan 67 rumah

balita (72,8) yang anggota keluarganya tidak mengalami ISPA.

58
5.1.4. Gambaran Anggota Keluarga yang Merokok

Hasil pengolahan data anggota keluarga yang merokok pada balita

di Desa Citeureup menunjukan presentase sebagai berikut :

Tabel. 5.4. Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita


di Desa Citeureup Tahun 2014

Anggota Keluarga yang Frekuensi Persentasi (%)


merokok
Merokok 77 83,7
Tidak Merokok 15 16,3
Total 92 100

Pada tabel 5.4. didapat presentase anggota keluarga balita yang

merokok sebanyak 77 (83,7 %) dan terdapat 15 anggota keluarga balita

(16,3 %) yang tidak merokok.

5.1.5. Gambaran Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa

Citeureup

Hasil perhitungan statistik menunjukkan presentase tempat

merokok anggota keluarga balita di Desa Citeureup sebagai berikut :

Tabel 5.5. Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga


Balita di Desa Citeureup Tahun 2014

Tempat Merokok Frekuensi Persentasi (%)


Di Dalam Rumah 46 59,7
Di Luar Rumah 31 40,3
Total 77 100

Pada tabel 5.5. menunjukkan bahwa sebanyak 46 rumah balita

(59,7 %) memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dan

59
31 rumah balita (40,3%) memiliki anggota keluarga yang merokok di

luar rumah.

5.1.6. Gambaran Jumlah Rokok yang Dikonsumsi Dalam Sehari

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, gambaran jumlah

rokok yang dikonsumsi dalam sehari di Desa Citeureup sebagai berikut :

Tabel. 5.6. Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari


di Desa Citeureup Tahun 2014
Jumlah Mean Median SD Nilai Nilai
rokok Min Max
Jumlah rokok 8 6 5,27 1 32
yang
dikonsumsi
dalam sehari

Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata-rata jumlah rokok yang

dikonsumsi oleh anggota keluarga yang merokok adalah 8 batang, median

6, standar deviasi 5,27. Jumlah konsumsi rokok yang paling sedikit

adalah 1 batang dan terbanyak 32 batang.

5.1.7. Gambaran Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup

Dibawah ini presentase hasil perhitungan variabel bahan bakar

memasak di Desa Citeureup sebagai berikut :

60
Tabel 5.7. Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa
Citeureup Tahun 2014

Bahan Bakar Memasak Frekuensi Persentasi (%)


Kayu Bakar 8 8,7
Gas 84 91,3
Total 92 100

Tabel 5.7. menunjukkan bahwa terdapat 8 rumah balita (8,7%)

menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan 84 rumah balita

(91,3%) menggunakan bahan bakar gas.

5.1.8. Gambaran Penggunaan Obat Anti Nyamuk

Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel penggunaan obat

anti nyamuk di Desa Citeureup sebagai berikut :

Tabel 5.8. Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada


Rumah Balita di Desa Citeureup Tahun 2014

Obat Anti Nyamuk Frekuensi Persentasi (%)


Memakai 51 55,4
Tidak Memakai 41 44,6
Total 92 100

Tabel 5.8. menunjukkan bahwa terdapat 51 rumah balita (55,4 %)

yang menggunakan obat anti nyamuk dan 42 rumah balita (44,6 %) yang

tidak menggunakan obat anti nyamuk.

5.1.9. Gambaran Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai

Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada variabel jenis obat anti

nyamuk yang dipakai di Desa Citeureup sebagai berikut :

61
Tabel 5.9. Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai
Desa Citeureup Tahun 2014

Jenis Obat Anti Frekuensi Persentasi (%)


Nyamuk
Obat Nyamuk Bakar 32 62,7
Oles / Listrik 19 37,3
Total 51 100

Tabel 5.9. menunjukkan bahwa dari 51 rumah balita yang

menggunakan obat anti nyamuk, terdapat 32 rumah balita (62,7 %)

menggunakan obat anti nyamuk bakar dan 19 rumah balita (37,3 %)

menggunakan obat anti nyamuk oles atau listrik.

5.1.10. Gambaran ASI Eksklusif pada Balita

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase ASI

Eksklusif pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut :

Tabel 5.10. Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup


Tahun 2014

ASI Eksklusif Frekuensi Persentasi (%)


Tidak 89 96,7
Iya 3 3,3
Total 92 100

Tabel 5.10. menunjukkan bahwa terdapat 89 balita (96,7 %) yang

tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan 3 balita (3,3 %) mendapatkan ASI

Eksklusif.

62
5.1.11. Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase alasan

balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif di Desa Citeureup sebagai

berikut :

Tabel 5.11. Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI


Eksklusif di Desa Citeurup Tahun 2014

Alasan Tidak Mendapatkan Frekuensi Persentasi (%)


ASI Eksklusif
ASI tidak mau keluar 13 14
Ibu yang bekerja 11 12
Bayi yang tidak mau menyusu 15 16
Ketidaktahuan ibu 89 100

Dari Tabel 5.11 dapat dilihat bahwa 100% ibu balita yang menjadi

responden tidak mengetahui pengertian dari ASI Eksklusif.

5.1.12. Gambaran Jenis Imunisasi Balita

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase jenis

imunisasi pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut :

Tabel 5.12. Distribusi Jenis Imunisasi pada Balita di Desa Citeureup


Tahun 2014

Jenis Imunisasi Frekuensi Persentasi (%)


Tidak Lengkap 28 30,4
Lengkap 64 69,6
Total 92 100

Tabel 5.12. menunjukkan bahwa sebanyak 28 balita (30,4 %)

belum mendapatkan imunisasi lengkap dan 64 balita (69,9 %) sudah

mendapatkan imunisasi lengkap.

63
5.1.13. Alasan Balita yang Tidak mendapatkan Imunisasi Lengkap

Tabel 5.13. Gambaran Balita yang Tidak Mendapat Imunisasi


Lengkap di Desa Citeureup Tahun 2014

Alasan Balita yang Tidak Frekuensi Persentasi (%)


Mendapat Imunisasi Lengkap
Balita sedang sakit saat jadwal 21 75
imunisasi
Ibu lupa jadwal imunisasi 7 25
Total 28 100

Dari tabel 5.13 dapat dilihat bahwa 75% ibu balita yang tidak

membawa anaknya untuk imunisasi dikarenakan balita sedang sakit saat

jadwal imunisasi.

5.1.14. Gambaran Berat Badan Lahir Rendah pada Balita

Hasil pengolahan data Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada

balita di Desa Citeureup menunjukan presentase sebagai berikut :

Tabel 5.14. Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa
Citeureup Tahun 2014

Berat Badan Lahir Frekuensi Persentasi (%)


Rendah
Ya 21 22,8
Tidak 71 77,2
Total 92 100

Tabel 5.14. menunjukkan bahwa 21 balita (22,8 %) memiliki berat

badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram dan 71 balita (77,2 %)

lahir dengan berat badan normal atau lebih dari 2500 gram.

64
5.1.15. Gambaran Status Gizi Balita di Desa Citeureup

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase status

gizi pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut :

Tabel 5.15. Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup


Tahun 2014

Status Gizi Frekuensi Persentasi (%)


Gizi Kurang 20 21,7
Gizi Baik 72 78,3
Total 92 100

Tabel 5.15. menunjukkan bahwa terdapat 20 balita (21,7%)

memiliki status gizi kurang dan 2 balita (2,2%) memiliki status gizi

baik. Penilaian status gizi didapat dari melihat Kartu Menuju Sehat yang

dimiliki oleh balita.

5.2.Hasil Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar

memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, Imunisasi, BBLR,

status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA pada Balita). Uji yang

digunakan adalah uji chi square dan non parametrik. Hasil hubungan variabel

independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat sebagai

berikut:

65
5.2.1. Hubungan Konsentrasi SO2 dengan Gejala ISPA pada Balita

Hasil uji statistik hubungan antara konsentrasi SO2 terhadap gejala

ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :

Tabel 5.16. Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Gejala


ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
Konsentrasi SO2 N Mean p value
ISPA 71 125
0,032
Tidak ISPA 21 103

Hasil statistik yang didapat dari uji normalitas konsentrasi SO2

adalah tidak normal (p value<0,05) sehingga menggunakan uji Non

Parametrik yaitu uji Mann Whitney. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney,

diketahui rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang mempunyai

gejala ISPA adalah 125 µg/m3, sedangkan rata-rata konsentrasi SO2 pada

udara ambien yang tidak mempunyai gejala ISPA adalah 103 µg/m3. Dari

hasil uji statistik diperoleh p value sebesar 0,032, (p-value<0,05) sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 dengan

gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.

5.2.2. Hubungan Anggota Keluarga yang Terkena ISPA dengan Gejala

ISPA pada Balita

Hasil analisis hubungan antara anggota keluarga yang terkena

ISPA terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014

sebagai berikut :

66
Tabel 5.17. Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami
ISPA Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
Anggota ISPA
Total
Keluarga ISPA Tidak ISPA PR p value
ISPA N % N % N %
Ya 24 96,0 1 4 25 100
Tidak 47 70,1 20 29,9 67 100 1,369 0,019
Total 71 77,2 21 22,8 92 100

Pada Tabel 5.17 didapat hasil hubungan antara anggota keluarga

yang mengalami ISPA dengan gejala ISPA pada balita, sebanyak 24 dari

25 balita (96,0%) mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA

dan balita mengalami ISPA. Kemudian terdapat 20 dari 67 balita (29,9%)

tidak mempunyai anggota keluarga yang terkena ISPA dan balita tidak

mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value

0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

antara anggota keluarga yang mengalami ISPA terhadap gejala ISPA

pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Adanya anggota keluarga yang

mengalami ISPA mempunyai resiko untuk terjadinya ISPA 1,369 kali

lebih besar daripada tidak ada anggota keluarga yang mengalami ISPA.

5.2.3. Hubungan Anggota Keluarga Merokok dengan Gejala ISPA pada

Balita

Hasil analisis hubungan antara anggota keluarga yang merokok

terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai

berikut:

67
Tabel 5.18. Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok
Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
Anggota ISPA
Keluarga Tidak Total
ISPA PR p value
yang ISPA
Merokok N % N % N %
Ya 61 79,2 16 20,8 77 100
Tidak 10 66,7 5 33,3 15 100 1,188 0,320
Total 71 77,2 21 22,8 92 100

Berdasarkan tabel 5.18. menunjukkan hasil analisis hubungan

antara angggota keluarga yang merokok dengan gejala ISPA pada balita

yaitu sebanyak 61 dari 77 (79,2%) anggota keluarga balita merokok dan

balita mengalami ISPA, serta terdapat 5 dari 15 (33,3%) anggota keluarga

balita tidak merokok dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil

uji chi square diperoleh p value 0,320 (p-value>0,05) sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang

merokok terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.

Adanya anggota keluarga yang merokok mempunyai resiko terjadinya

ISPA 1,188 kali daripada tidak ada anggota keluarga balita yang

merokok.

5.2.4. Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Gejala ISPA pada Balita

Hasil analisis hubungan antara bahan bakar memasak terhadap

gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :

68
Tabel 5.19. Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap
Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Bahan
Tidak Total
Bakar ISPA PR p value
ISPA
Memasak
N % N % N %
Kayu Bakar 8 100 0 0 8 100
Gas 63 75 21 25 84 100 1,333 0,191
Total 71 77,2 21 22,8 92 100

Tabel 5.19 menunjukkan hasil analisis hubungan antara bahan

bakar memasak yang digunakan terhadap gejala ISPA pada balita. Dari

tabel tersebut diperoleh sebanyak 8 dari 8 (100%) rumah balita yang

menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan balita mengalami

ISPA. Sementara itu, sebanyak 21 dari 84 (22,8%) rumah balita yang

menggunakan bahan bakar memasak gas dan balita tidak mengalami

ISPA. Hasil uji chi square diperoleh p value 0,191 (p-value>0,05)

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara bahan

bakar memasak dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun

2014. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak mempunyai

resiko terjadinya ISPA 1,333 kali daripada penggunaan gas sebagai bahan

bakar memasak.

5.2.5. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Gejala

ISPA pada Balita

Hasil statistik hubungan antara obat anti nyamuk bakar terhadap

gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :

69
Tabel 5.20. Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Bakar Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ISPA
Obat Anti
Tidak Total
Nyamuk ISPA PR p value
ISPA
Bakar
N % N % N %
Ya 24 75 8 25 32 100
Tidak 15 78,9 4 21,1 19 100 0,950 1
Total 39 76,5 12 23,5 51 100

Pada tabel 5.20 menunjukkan hasil analisis hubungan antara

penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita. Dari

tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 24 dari 32 rumah balita

(75%) menggunakan obat anti nyamuk bakar dan balita mengalami ISPA.

Sedangkan sebanyak 4 dari 19 rumah balita (21,1 %) menggunakan obat

anti nyamuk selain obat anti nyamuk bakar dan balita tidak mengalami

ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 1 (p-value>0,05)

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara obat anti

nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun

2014. Penggunaan obat anti nyamuk bakar mempunyai resiko terjadinya

ISPA 0,950 kali daripada menggunakan obat anti nyamuk selain obat anti

nyamuk bakar.

5.2.6. Hubungan ASI Eksklusif dengan Gejala ISPA pada Balita

Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif terhadap gejala

ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :

70
Tabel 5.21. Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Gejala ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
ASI Tidak Total
ISPA PR p value
Eksklusif ISPA
N % N % N %
Tidak 71 78,9 18 20,2 89 100
Ya 0 0 3 100 3 100 0,202 0,011
Total 71 77,2 21 22,8 92 100

Berdasarkan tabel 5.21 menunjukkan hasil analisis hubungan

antara pemberian ASI Eksklusif terhadap gejala ISPA pada balita. Dari

tabel tersebut sebanyak 71 dari 89 balita (78,9%) yang tidak diberikan asi

ekslusif mengalami ISPA dan sebanyak 3 dari 3 balita (100%) yang

diberikan ASI Eksklusif tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi

square diperoleh p value 0,011 (p-value<0,05) sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif

terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. ASI

eksklusif merupakan faktor protektif terjadinya ISPA karena memiliki

prevalence ratio 0,202 (PR>1).

5.2.7. Hubungan Imunisasi dengan Gejala ISPA pada Balita

Hasil analisis hubungan antara imunisasi terhadap gejala ISPA

pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut:

71
Tabel 5.22. Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Gejala ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Tidak Total
Imunisasi ISPA PR p value
ISPA
N % N % N %
Tidak 18 64,3 10 35,7 28 100
lengkap
0,776 0,093
Lengkap 53 82,8 11 17,2 64 100
Total 71 77,2 21 22,8 92 100

Pada tabel 5.22 menunjukkan hubungan antara imunisasi terhadap

gejala ISPA pada balita. Dari tabel tersebut terdapat 18 dari 28 balita

(64,3%) belum mendapatkan imunisasi secara lengkap dan mengalami

ISPA. Sedangkan sebanyak 11 dari 64 (17,2%) balita sudah diberikan

imunisasi secara lengkap dan tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil

uji chi square diperoleh p value 0,093 (p-value>0,05) sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara imunisasi terhadap gejala

ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Imunisasi merupakan

faktor protektif terjadinya ISPA karena memiliki prevalence ratio 0,776

(PR>1).

5.2.8. Hubungan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dengan Gejala ISPA

pada Balita

Hasil analisis hubungan antara BBLR terhadap gejala ISPA pada

balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut:

72
Tabel 5.23. Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah
Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup
Tahun 2014
ISPA
Tidak Total
BBLR ISPA PR p value
ISPA
N % N % N %
Ya 12 57,1 9 42,9 21 100
Tidak 59 83,1 12 16,9 71 100 0,688 0,019
Total 71 77,2 21 22,8 92 100

Tabel 5.23 menunjukkan hubungan berat badan lahir rendah

terhadap gejala ISPA pada balita yaitu sebanyak 12 dari 21 (57,1%) balita

lahir dengan berat badan lahir rendah atau kurang dari 2500 gram dan

mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 12 dari 71 (16,9%) balita lahir

dengan berat badan normal dan tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi

square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05) sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah

terhadap gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014. Bayi

yang memiliki berat badan lahir rendah memiliki resiko terjadinya ISPA

0,688 kali lebih besar daripada bayi yang lahir dengan berat badan lahir

normal.

5.2.9. Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita

Hasil analisis hubungan antara status gizi terhadap gejala ISPA

pada balita di Desa Citeureup tahun 2014 sebagai berikut :

73
Tabel 5.24. Analisis Hubungan Status Gizi Terhadap Gejala ISPA
pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014
ISPA
Tidak Total
Status Gizi ISPA PR p value
ISPA
N % N % N %
Gizi Kurang 20 100 0 0 20 100
Gizi Baik 51 71,4 21 28,6 72 100 1,412 0,005
Total 71 70,8 21 29,2 92 100

Pada Tabel 5.24 didapat hasil hubungan antara status gizi terhadap

ISPA pada balita yaitu sebanyak 20 dari 20 (100%) balita gizi kurang

yang mempunyai gejala ISPA, dan terdapat 21 dari 72 (28,6 %) balita gizi

baik yang tidak mempunyai gejala ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square

diperoleh p value 0,005 (p-value<0,05) sehingga dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara status gizi terhadap gejala ISPA pada balita

di Desa Citeureup tahun 2014. Balita yang memiliki gizi kurang akan

memiliki resiko ISPA 1,412 kali lebih besar daripada balita yang

memiliki gizi baik.

74
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian yaitu:

1. Penentuan resiko ISPA tidak menggunakan tenaga medis sehingga hanya

didasarkan pada informasi dari responden.

2. Pengukuran konsentrasi SO2 pada masing-masing tempat hanya dilakukan

selama 30 menit sehingga tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu udara

ambien. Hal ini dilakukan karena keterbatasan alat yang tidak dapat

dilakukan dalam waktu yang lama.

3. Pada variabel anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk

bakar, dan bahan bakar memasak dapat terjadi bias informasi karena

tergantung pada kejujuran responden.

75
6.2. Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut

yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari

hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti

sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan

pleura. ISPA merupakan penyakit yang paling sering dialami oleh bakita dan

anak-anak. Dalam setahun, akan terjadi sekitar 3-6 kali (Kementerian

Kesehatan, 2009).

Etiologis pneumonia atau ISPA sulit ditegakkan karena sulit

mengeluarkan dahak pada balita. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi

belum memuaskan untuk menetukan adanya bakteri sebagai penyebab

pneumonia. Hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan

spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis

pneumonia. Pemeriksaan ini efektif untuk mendapatkan jenis bakteri namun

berbahaya dan bertentangan dengan etika (Gertrudis, 2010).

Dalam penelitian ini, balita dikatakan mengalami ISPA dan tidak

mengalami ISPA berdasarkan adanya tanda dan gejala seperti pilek, batuk-

batuk, demam, dan sukar bernafas yang terjadi dalam kurun waktu 2 minggu

terakhir. Dari hasil penelitian terhadap 92 balita, terdapat 71 balita (77,2 %)

yang mengalami ISPA dan 21 balita (22,8 %) yang tidak mengalami ISPA.

76
ISPA merupakan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme atau

kuman yang menyerang saluran pernapasan, berkembang biak sampai

menimbulkan gejala penyakit dalam waktu yang berlangsung sampai 14 hari

(Afandi, 2012).

Namun, Depkes (2009) menyatakan bahwa ISPA dapat disebabkan oleh

polusi udara seperti asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang

sarana transportasi dan industri, kebakaran hutan, dan lain-lain.

6.3. Analisis Bivariat

6.3.1. Hubungan Konsentrasi SO2 dengan Resiko ISPA pada Balita

Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok sulfur oksida

atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur trioksida (SO3).

Pengukuran konsentrasi SO2 pada udara ambien menggunakan alat midget

impinger, kemudian hasilnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui

konsentrasi zat pencemar.

Zat pencemar SO2 memberikan efek buruk pada sistem pernapasan

dan fungsi paru-paru. Sulfur dioksida adalah senyawa yang mudah

diserap oleh selaput lendir saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih

dari larynx) (Soemirat, 2009).

Rata-rata konsentrasi SO2 di udara adalah 120 µg /m3, dengan

konsentrasi SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.

77
Konsentrasi SO2 tertinggi terdapat pada wilayah yang letaknya dekat

dengan industri. Walaupun konsentrasi SO2 tidak melebihi ambang batas,

namun jika terpapar secara terus menerus maka akan menyebabkan

hiperplasia dan metaplasia sel-sel epitel yang akhirnya dapat

menyebabkan kanker (Gertrudis, 2010).

Zat pencemar SO2 juga memberikan efek negatif pada sistem

pernapasan dan fungsi paru-paru. Peradangan yang disebabkan SO2 akan

mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan gejala

asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah

mendapatkan infeksi pada saluran pernapasan (WHO, 2005). Salah satu

infeksi saluran pernapasan adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan

Akut.

Berdasarkan hasil analisis, diketahui rata-rata konsentrasi SO2

pada udara ambien yang mempunyai resiko ISPA adalah 125 µg/m3,

sedangkan rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien yang tidak

mempunyai resiko ISPA adalah 103 µg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi SO2 maka akan mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadinya ISPA. Semakin tinggi SO2 menyebabkan manusia akan

mengalami gangguan pada sistem pernapasannya. Gangguan sistem

pernapasan terjadi karena SO2 mudah menjadi asam kemudian menyerang

selaput lendir pada hidung, tenggorakan, dan saluran nafas lain

(Wardhana, 2004).

78
Berdasarkan hasil uji mann whitney pada penelitian ini

disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi SO2 terhadap resiko

ISPA pada balita dengan p value 0,032 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan

penelitian menurut Putri (2012) mengatakan bahwa ada hubungan antara

konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA.

Konsentrasi SO2 di udara dipengaruhi oleh suhu. Menurut Ditjen

P2MPLP (1994) dalam Budianto (2008), suhu yang tinggi menyebabkan

udara semakin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi semakin

tinggi. Sebaliknya pada suhu dingin keadaan udara makin padat sehingga

konsentrasi pencemar diudara semakin rendah. Oleh sebab itu

pengambilan sampel udara pada siang hari akan menghasilkan

konsentrasi SO2 lebih tinggi daripada pengambilan pada saat pagi hari

atau pada saat hujan. Pengambilan sampel SO2 pada penelitian ini

dilakukan dari pagi hingga sore hari sehingga suhu pada tiap pengambilan

sampel berbeda-beda. Namun, pengambilan sampel ini masih disesuaikan

dengan jam kerja proses produksi industri semen yang berada di wilayah

tersebut.

Sektor industri merupakan sumber utama sulfur dioksida. Dalam

industri, total TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88%

(Ali, 2007). Zat pencemar SO2 cukup berbahaya, sehingga perlu

dilakukan upaya untuk mengatasinya. Puskesmas Citeureup yang

79
bekerjasama dengan industri semen yang berada di Desa Citeureup

sebenarnya sudah sering melakukan penyuluhan kepada masyarakat

mengenai kesehatan. Namun belum pernah dilakukan penyuluhan

mengenai pencemaran udara yang dapat menyebabkan ISPA. Berdasarkan

informasi dari masyarakat, masih banyak masyarakat yang belum

mengetahui sumber dan dampak dari pencemaran udara pada kesehatan.

Selain itu, masyarakat dapat menggunakan alat pelindung diri seperti

masker apabila pergi dari rumah untuk melindungi diri dari pencemaran

udara di luar rumah. Dinas Kesehatan diharapkan melakukan pembinaan

terhadap program pengendalian pencemaran udara.

6.3.2. Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA dengan Resiko

ISPA pada Balita

Anggota keluarga yang mengalami ISPA dan tinggal serumah

dengan balita dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita. Menurut

Roe (1994) dalam Gertrudis (2010), menyebutkan bahwa adanya anggota

keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan merupakan faktor resiko

ISPA pada balita.

Balita di Desa Citeureup yang mempunyai anggota keluarga yang

mengalami ISPA hanya 27,2%. Namun jika dilihat dari jumlah balita

yang mengalami ISPA terdapat 96,0% balita yang mempunyai anggota

80
keluarga yang terkena ISPA dan balita mengalami gejala ISPA. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa jika terdapat anggota keluarga yang mengalami

ISPA maka balita mempunyai peluang besar untuk terkena ISPA.

Penyebab terjadinya ISPA adalah virus sehingga jika terdapat

anggota keluarga yang mengalami ISPA maka anggota keluarga yang lain

akan mudah tertular. Hal ini disebabkan karena ISPA dapat ditularkan

melalui air ludah, bersin, dan udara pernapasan. Penularan yang paling

sering adalah melalui udara pernapasan karena virus dapat masuk ke

tubuh orang yang sehat melalui udara pernapasannya (Susilo, 2011).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (p-

value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

anggota keluarga yang mengalami ISPA terhadap resiko ISPA pada balita

di Desa Citeureup tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Gertrudis (2010) yaitu terdapat hubungan antara anggota

keluarga yang mengalami ISPA dengan kejadian ISPA pada balita. Dari

hasil penelitian Gertrudis (2010) mengatakan bahwa balita yang

mempunyai anggota keluarga yang mengalami ISPA akan mendapatkan

resiko ISPA 8,4 kali untuk menderita ISPA daripada balita yang tidak

tinggal dengan anggota keluarga yang tidak mengalami ISPA.

Penularan ISPA dari anggota keluarga yang mengalami ISPA pada

balita sangat mudah. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk memberikan

81
informasi atau pengetahuan kepada masyarakat mengenai cara penularan

dan pencegahan ISPA.

6.3.3. Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Resiko ISPA

pada Balita

Merokok merupakan penyebab pencemaran udara dalam rumah.

Parameter-parameter pencemaran udara yang dihasilkan dari rokok antara

lain nikotin, NOx, partikulat dan residu fenol, aldehid, sulfur dioksida dan

sulfat (Kusnoputranto,2001).

Mayoritas balita di Desa Citeureup memiliki anggota keluarga

yang merokok yaitu sebanyak 83,7 %. Jika dilihat dari tabel 5.18

menunjukkan bahwa balita yang memiliki anggota keluarga yang

merokok maupun yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok

mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Persentase balita yang memiliki

anggota keluarga yang merokok dan mempunyai gejala ISPA adalah

79,2%, sedangkan persentase balita yang tidak memiliki anggota keluarga

yang merokok dan mempunyai gejala ISPA adalah 66,7 %. Sehingga dari

tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa balita yang memiliki anggota

keluarga yang merokok maupun tidak memiliki anggota keluarga yang

merokok tetap mempunyai kejadian ISPA yang tinggi.

82
Namun, paparan asap tembakau tetap mempunyai efek yang

merugikan, terutama efek kepada pernapasan anak-anak karena

ukurannya kecil dan dapat masuk ke dalam paru-paru (Cheragi, 2009

dalam Sinaga 2012). Jika dalam satu rumah mempunyai anggota keluarga

yang merokok maka akan memperbesar terjadinya resiko gangguan

pernapasan. Gas berbahaya dalam asap rokok akan menyebabkan

pembuatan lendir yang akan membuat debu dan bakteri akan tertumpuk

tidak dapat dikeluarkan. Salah satu efek dari asap yang dihasilkan dari

rokok adalah terjadinya resiko ISPA (Agussalim, 2012).

ISPA sangat rentan menyerang balita karena daya tahan tubuhnya

yang masih lemah. Balita sebagai perokok pasif, dimana perokok pasif

mendapatkan resiko lebih berbahaya. Apabila balita menghirup udara

yang berasal dari asap rokok, maka akan mengakibatkan iritasi pada

saluran pernafasannya. Jika sudah teriritasi maka akan mudah terinfeksi.

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,320 (p-

value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara anggota keluarga yang merokok terhadap resiko ISPA pada balita

di Desa Citeureup tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan Sinaga

(2012) dimana tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang

merokok dengan kejadian ISPA. Tidak terdapat hubungan antara anggota

keluarga yang merokok mungkin disebabkan karena walaupun mayoritas

83
responden memiliki anggota keluarga merokok dan merokok di dalam

rumah, namun rata-rata perokok di desa Citeureup merokok 8 batang per

hari (>10 batang) dan dapat dikategorikan sebagai perokok ringan.

Sehingga pencemaran di dalam rumah akibat rokok tidak terlalu besar

untuk mempengaruhi terjadinya ISPA.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Gertrudis (2010),

Agussalim (2012) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara

anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA. Asap rokok yang

keluar langsung dari pembakaran (sidestream) lebih berbahaya daripada

asap rokok yang keluar dari mulut perokok (mainstream). Sidestream

adalah asap rokok yang terlepas ke udara dan belum mengalami

penyaringan sedangkan mainstream sudah mengalami penyaringan

melalui rokok itu sendiri dan melalui saluran pernapasan perokok

(Gertrudis, 2010). Asap rokok dengan konsentrasi tinggi juga dapat

merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan

timbulnya ISPA (Agussalim, 2012).

Walaupun dalam penelitian ini tidak ada hubungan antara anggota

keluarga yang merokok dengan ISPA, harus tetap diperhatikan bahwa

merokok merupakan sesuatu yang tidak baik untuk kesehatan. Merokok

tidak hanya tidak baik bagi perokok sendiri, namun juga bagi orang-orang

disekitarnya.

84
Balita di Desa Citeureup, mayoritas mempunyai anggota keluarga

yang merokok. Hal ini menunjukkan bahwa kurang kesadaran terhadap

bahaya rokok tersebut, bukan hanya untuk perokok namun juga terhadap

balita. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan

kesadaran kepada masyarakat melalui penyuluhan bahwa merokok tidak

baik untuk kesehatan, tidak hanya untuk perokok saja namun juga

merugikan bagi orang-orang di sekitarnya. Upaya ini dapat dilakukan

dengan bantuan anggota keluarga yang lain di rumah untuk mengingatkan

anggota keluarga yang merokok. Selain itu dapat dengan cara

memberikan gambaran mengenai dampak positif jika meninggalkan

rokok yaitu dapat memperbaiki keuangan keluarga.

6.3.4. Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Resiko ISPA pada Balita

Bahan bakar memasak yang menggunakan kayu bakar dan minyak

tanah dapat mencemari udara karena dampaknya dapat berakibat pada

kesehatan manusia. Zat pencemar yang dihasilkan dari pemakaian kayu

bakar dan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak adalah partikulat,

sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, fluoride, aldehida dan

senyawa hidrokarbon (Kusnoputranto, 2000).

Masyarakat di Desa Citeureup yang menggunakan kayu bakar

untuk memasak hanya 8,7%. Namun jika dilihat dari tabel 5.19, ibu balita

85
yang memasak menggunakan kayu bakar, 100% anak balitanya

mempunyai gejala ISPA. Sebaran asap dalam proses pembakaran dapat

membahayakan kesehatan karena mengandung polutan. Polutan asap di

dalam rumah dapat berpotensi menimbulkan fibrosis atau kekakuan

jaringan paru, ISPA, serta alergi (Depkes 2004).

Dalam jangka pendek SO2 dapat mengiritasi saluran pernapasan,

diikuti dengan infeksi saluran pernapasan sehingga timbul gejala berupa

rasa tidak enak di saluran pernapasan. Gejalanya seperti batuk, sesak

napas, yang dapat berakhir pada kematian. Berdasarkan penelitian di

negara berkembang, dilaporkan bahwa ada hubungan antara keterpaparan

polusi dalam ruang dengan kejadian ISPA (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,191 (p-

value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA pada balita di Desa

Citeureup tahun 2014. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang

dilakukan Sinaga (2012) yang mengatakan bahwa tidak terdapat

hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA. Tidak

adanya hubungan antara bahan bakar memasak dengan resiko ISPA dapat

dikarenakan masyarakat yang menggunakan kayu bakar sedikit sehingga

kurang mewakili penyebab terjadinya resiko ISPA. Selain itu, balita tidak

86
ikut serta saat ibu balita memasak di dapur sehingga tidak terpajan

dengan polusi udara akibat bahan bakar memasak.

Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Halim (2012)

yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara bahan bakar memasak

dengan resiko ISPA. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar

memasak dapat menyebabkan polusi udara dan gangguan pernapasan.

Dalam penelitian ini memang tidak terdapat hubungan, namun

harus tetap diperhatikan mengenai dampak negatif penggunaan kayu

bakar sebagai bahan bakar dalam memasak. Pada umumnya masyarakat

di Desa Citeureup sudah menggunakan gas sebagai bahan bakar

memasak, namun ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan

kayu bakar. Pada masyarakat yang menggunakan kayu bakar sebagai

bahan bakar, perlu dilakukan penyuluhan tentang dampak negatif dari

kayu bakar terutama jika ventilasi dalam rumah kurang memadai.

6.3.5. Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar dengan Resiko

ISPA pada Balita

Kandungan berbahaya pada obat nyamuk bergantung pada

konsentrasi racun dan jumlah pemakaiaannya. Resiko terbesar yaitu jenis

obat anti nyamuk bakar akibat asap yang dihasilkan jika terhirup.

Sedangkan obat nyamuk cair memiliki konsentrasi yang berbeda karena

cairan yang dikeluarkan akan berubah menjadi gas. Sedangkan obat

87
nyamuk listrik atau elektrik resikonya lebih kecil lagi karena bekerja

dengan cara mengeluarkan asap dengan daya elektrik (Sinaga, 2012).

Masyarakat di Desa Citeureup yang memakai obat anti nyamuk

sebanyak 55,4%. Dan sebanyak 62,7 % rumah balita yang menggunakan

obat anti nyamuk, masih menggunakan obat anti nyamuk bakar. Balita

yang di dalam rumahnya menggunakan obat anti nyamuk bakar dan

mempunyai gejala ISPA sebanyak 75 %. Obat anti nyamuk bakar dapat

menjadi salah satu penyebab pencemaran udara di dalam rumah.

Walaupun konsentrasinya kecil, zat yang terdapat dalam obat anti

nyamuk bakar ini dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan

bengkak, dan perdarahan. Zat berbahaya yang terkandung dalam obat anti

nyamuk bakar ini adalah S2 atau Octaclorophyl eter (BPOM, 2000 dalam

Sinaga 2012).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 1 (p-

value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara obat anti nyamuk bakar dengan resiko ISPA pada balita di Desa

Citeureup tahun 2014. Tidak adanya hubungan antara penggunaan obat

anti nyamuk bakar dengan resiko ISPA mungkin karena sedikitnya

masyarakat di Desa Citeureup yang menggunakan obat anti nyamuk

bakar sehingga kurang mewakili dampak terjadinya ISPA. Selain itu,

penggunaan obat anti nyamuk bakar pada masing-masing keluarga hanya

88
1 buah dalam semalam sehingga mungkin pencemaran udara akibat obat

anti nyamuk bakar tidak terlalu besar.

Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Mairuhu dkk

(2011) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan

obat anti nyamuk bakar. Menurut Mairuhu dkk (2011), bahan yang

terdapat dalam obat anti nyamuk sangat berbahaya dan mengganggu

kesehatan. Keterpaparan obat anti nyamuk bakar pada balita

mengakibatkan balita menderita ISPA.

Walaupun dalam penelitian ini tidak ada hubungan mengenai

penggunaan obat anti nyamuk bakar dengan kejadian ISPA, penggunaan

obat anti nyamuk bakar masih harus tetap diwaspadai. Hal ini

dikarenakan obat anti nyamuk bakar menghasilkan asap dari proses

pembakarannya.

Obat anti nyamuk jenis oles, semprot, atau listrik ini lebih aman

daripada obat anti nyamuk bakar karena tidak menghasilkan asap yang

menyebabkan pencemaran, namun penggunaan obat anti nyamuk harus

tetap memperhatikan penggunaan obat anti nyamuk secara bijak yaitu

sesuai kebutuhan dan aturan pakainya.

6.3.6. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Resiko ISPA pada Balita

ASI mempunyai nilai proteksi terhadap ISPA terutama pada bulan

pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA

89
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit 1 bulan.

Demikian juga pada bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan

mengalami perawatan di RS akibat ISPA dibandingkan dengan bayi yang

mendapat ASI (Webster, 2010 dalam Pramayu, 2012).

Balita di Desa Citeureup yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif

sebanyak 96,7 %. Alasan ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif

karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai ASI Eksklusif sehingga

sebelum berusia 6 bulan bayi sudah diberi minuman selain ASI,

contohnya adalah air putih. Alasan lainnya adalah ASI yang tidak mau

keluar dan bayi tidak mau minum ASI sehingga ibu memberikan susu

formula sebelum usia bayi 6 bulan. Dari tabel 5.19 menunjukkan hasil

bahwa sebanyak 78,9% balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif

mengalami ISPA. Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan akan

memberikan efek protektif terhadap infeksi. Semakin besar dosis ASI

yang diberikan maka semakin besar juga efek protektif yang dihasilkan.

Efek imun atau kekebalan yang dihasilkan dari ASI Eksklusif adalah

mengurangi terjadinya resiko ISPA (Widarini, 2010).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,011 (p-

value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

pemberian ASI Eksklusif terhadap resiko ISPA pada balita di Desa

Citeureup tahun 2014. Hal ini sejalan dengan penelitian Catiyas (2012)

90
yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan

kejadian ISPA. Menurut Catiyas (2012) balita yang tidak mendapat ASI

Eksklusif memiliki resiko 2 kali lebih besar untuk menderita ISPA

daripada balita yang mendapatkan ASI Eksklusif.

ASI eksklusif penting karena dapat membantu daya tahan tubuh

balita, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan ASI

Eksklusif pada masyarakat. Sebagian besar Ibu yang menjadi responden

mengatakan bahwa tidak memberikan ASI Eksklusif kepada balitanya

dan belum memahami arti dari ASI Eksklusif. Oleh sebab itu diperlukan

upaya untuk menambah cakupan ASI Eksklusif di Desa Citeureup dengan

cara sosialisasi mengenai pengertian, dampak dan manfaat ASI Eksklusif

bagi balita. Kemudian cara lainnya dapat dilakukan dengan membuat

kelompok peduli ASI Eksklusif pada ibu yang mempunyai balita untuk

saling mengingatkan dan diskusi mengenai permasalahan ASI Eksklusif.

Dukungan ayah terhadap ASI Eksklusif juga memberikan peran penting

terhadap bertambahnya cakupan ASI Eksklusif.

6.3.7. Hubungan Imunisasi dengan Resiko ISPA pada Balita

Imunisasi adalah salah satu cara pencegahan atau intervensi

kesehatan yang dapat diterima semua kalangan. Imunisasi dilakukan oleh

pemerintah untuk menurunkan angka kematian balita (Mbonye, 2004

dalam Sinaga 2012).

91
Balita di Desa Citeureup yang belum mendapatkan imunisasi

lengkap adalah sebanyak 30,4 %. Alasan balita yang belum diberikan

imunisasi secara lengkap adalah pada saat akan diimunisasi tubuh balita

sedang tidak sehat. Namun, sebagian besar masyarakat sudah mengetahui

pentingnya imunisasi. Dari tabel 5.20 menunjukkan bahwa balita yang

tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan mempunyai gejala ISPA adalah

64,3% sedangkan balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan

mempunyai gejala ISPA adalah 82,8%. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa balita yang mendapatkan imunisasi secara lengkap maupun tidak

lengkap mempunyai gejala ISPA yang tinggi. Namun, peningkatan

cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA

karena sebagian besar kematian ISPA, berkembang dari penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak.

Imunisasi lengkap merupakan cara untuk mengurangi faktor yang dapat

meningkatkan mortalitas ISPA. Bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak menjadi lebih berat (Agussalim, 2012).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p value 0,093 (p-

value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara imunisasi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup

tahun 2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2012),

92
dimana tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan resiko ISPA.

Tidak adanya hubungan antara status imunisasi lengkap dengan resiko

ISPA karena imunisasi mempunyai hubungan tidak langsung dengan

ISPA. Imunisasi untuk mencegah penyakit ISPA adalah imunisasi

campak karena balita dapat mengalami ISPA setelah mendapat penyakit

campak. Namun tidak selamanya ISPA didahului oleh penyakit campak.

(Layuk, 2012).

Saat ini sudah tersedia vaksin untuk pneumonia atau ISPA.

Penyebab pneumonia atau ISPA yang utama di negara berkembang

adalah bakteri Haemophilus influenxzae type b (Hib). Vaksin Hib sudah

tersedia lebih dari 10 tahun namun penggunaannya masih terbatas dan

belum merata. Di beberapa negara vaksinasi Hib sudah masuk dalam

program imunisasi nasional, namun di Indonesia belum menjadi program

imunisasi nasional. Hal ini mungkin dikarenakan harganya yang relatif

mahal dan informasi yang kurang. WHO menganjurkan agar Hib

diberikan pada semua anak di negara berkembang. Selain vaksinasi Hib,

terdapat juga vaksinasi pneumococcus. Vaksin pneumococcus sudah lama

tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun. Namun, saat ini vaksin

pneumococcus untuk bayi dan anak di bawah 3 tahun sudah tersedia yang

dikenal sebagai pneumococcal conjugate vaccineI (PCV) . Vaksin ini

sudah banyak digunakan di negara maju dan menurut penelitian

93
membuktikan bahwa vaksin ini efektif untuk menurunkan kematian pada

anak karena pneumonia (Kartasasmita, 2010).

Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sukmawati

(2010) dan Agussalim (2012) dimana dalam penelitian tersebut terdapat

hubungan antara status imunisasi dengan resiko ISPA. Menurut

Sukmawati (2010) dalam penelitiannya, pemberian imunisasi lengkap

menyebabkan perkembangan penyakit ISPA menjadi tidak semakin berat.

Sedangkan menurut Agussalim (2012) bayi atau balita yang pernah

terkena campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap

pneumonia.

Walaupun penelitan ini tidak terdapat hubungan, namun imunisasi

merupakan hal yang penting untuk menjaga kekebalan tubuh balita. Balita

dapat mendapatkan imunisasi secara mudah melalui posyandu.

Puskesmas Citeureup sudah mempunyai jadwal untuk bidan desa yang

berkunjung ke posyandu sehingga memudahkan balita untuk

mendapatkan imunisasi. Upaya yang dapat dilakukan Puskesmas

Citeureup untuk meningkatkan cakupan imunisasi adalah mengingatkan

kembali atau penyuluhan mengenai waktu yang tepat untuk imunisasi,

sosialisasi mengenai pentingnya imunisasi dan dampaknya jika tidak

mendapatkan imunisasi secara lengkap.

94
6.3.8. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Resiko ISPA

pada Balita

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan

fisik dan mental pada masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan

lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan

pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama

pneumonia dan gangguan saluran pernafasan lainnya (Gertrudis, 2010).

Terdapat 22,8 % balita yang menjadi responden di Desa

Citeureup, memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500

gram. Jika dilihat dari tabel 5.23, terdapat 57,1% balita yang memiliki

berat badan lahir rendah dan mempunyai gejala ISPA. Menurut

(Gertrudis, 2010), bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500

gram akan meningkatkan kematian akibat infeksi saluran pernafasan

Resiko kesakitan hingga resiko kematian pada BBLR cukup

tinggi, hal ini disebabkan karena pada bayi yang lahir dengan berat badan

rendah akan menyebabkan adanya gangguan terhadap pertumbuhan dan

imaturitas organ. Pada bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah,

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih sering

95
terkena penyakit infeksi maupun penyakit saluran pernapasan

(Sukmawati, 2010).

Hasil uji chi square diperoleh p value 0,019 (p-value<0,05)

sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir

rendah terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwoho (2005) yang

mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah

dengan kejadian ISPA. Menurut Wiwoho (2005) bayi yang lahir dengan

berat badan lahir rendah memiliki resiko ISPA 3 kali lebih besar daripada

bayi yang lahir dengan berat badan normal.

Untuk mengantisipasi bayi dengan berat badan lahir rendah

diperlukan berbagai upaya. Setiap bulannya di lokasi tersebut terdapat

kegiatan posyandu yang dihadiri oleh bidan desa dari Puskesmas

Citeureup. Kegiatan seperti ini dapat dimanfaatkan Ibu hamil untuk

berkonsultasi dengan bidan desa yang berkunjung ke Posyandu. Namun,

jarang sekali ibu hamil yang datang ke Posyandu jika merasa tidak

mengalami masalah dalam kehamilannya. Oleh karena itu perlu dilakukan

penyuluhan kepada Ibu hamil mengenai pentingnya mengkonsumsi

makanan yang bergizi dan seimbang sehingga bayi dapat lahir dengan

berat badan normal. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan secara rutin

kepada ibu hamil baik mengenai kesehatan ibu dan kesehatan bayi.

96
6.3.9. Hubungan Status Gizi dengan Resiko ISPA pada Balita

Status gizi merupakan keseimbangan antara konsumsi dan

penyerapan zat gizi. Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya adalah status sosial ekonomi, pendidikan ibu, sanitasi dan

pelayanan kesehatan dasar. Balita dengan gizi buruk atau gizi kurang

akan mempermudah terkena penyakit infeksi dibandingkan dengan balita

gizi baik. Hal ini karena status gizi berkaitan dengan daya tahan tubuh

(Arisman, 2004).

Dalam penelitian ini, menggunakan kategori gizi baik dan gizi

kurang karena tidak ditemukan anak dengan gizi buruk. Balita yang

memiliki status gizi kurang sebanyak 21,7%. Status gizi menggambarkan

baik atau buruknya konsumsi zat gizi seseorang. Zat gizi ini berfungsi

untuk membentuk zat-zat kekebalan tubuh seperti antibodi. Semakin baik

konsumsi zat gizi seseorang maka akan menyebabkan semakin baik pula

kekebalan tubuhnya (Elyana, 2009).

Pada Tabel 5.22 menunjukkan bahwa balita yang memiliki gizi

kurang dan mempunyai gejala ISPA adalah sebanyak 100%. Keadaan gizi

yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya

ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang

97
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak

mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi

(Sukmawati, 2010).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p value 0,005 (p-

value<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

status gizi terhadap resiko ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun

2014. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sukmawati (2010) dan

Setiawan (2010). Hasil penelitian Sukmawati (2010) memberikan hasil

bahwa 40% balita yang mempunyai gizi kurang akan mengalami

serangan ISPA secara berulang bahkan serangannya lebih berat.

Penelitian lain yang dilakukan Setawan (2010) memberikan hasil bahwa

status gizi kurang mempunyai resiko terjadinya pneumonia 27 kali lebih

tinggi daripada balita yang mempunyai status gizi baik.

Sebagian besar masyarakat di Desa Citeureup mempunyai status

gizi baik, namun masih terdapat beberapa masyarakat yang mempunyai

status gizi kurang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah

gizi kurang pada masyarakat yaitu perlu diberikan penyuluhan mengenai

pengaturan gizi yang baik. Kemudian dari pihak Puskesmas Citeureup

dapat melakukan pembinaan mengenai pentingnya perbaikan gizi.

98
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan

penelitian sebagai berikut:

1. Gambaran balita yang mengalami gejala ISPA pada 92 balita di Desa

Citeureup Tahun 2014 yaitu sebanyak 71 balita (77,2 %) dan 21 balita

(22,8%) tidak mengalami gejala ISPA.

2. Gambaran konsentrasi SO2 di Desa Citeureup pada bulan April tahun 2014

yaitu rata-rata konsentrasi SO2 pada udara ambien adalah 120 µg /m3 dengan

kandungan SO2 di udara terendah 32 µg /m3dan tertinggi 198 µg /m3.

3. Gambaran pencemaran udara dalam rumah meliputi:

3.1. Balita yang memilliki anggota keluarga yang mengalami ISPA ada

sebanyak 25 rumah balita (27,2%) dan balita yang tidak memiliki anggota

keluarga tidak mengalami ISPA yaitu sebanyak 67 rumah balita (72,8%).

3.2.Balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok sebanyak 77

(83,7%) dan balita yang memiliki anggota keluarga tidak merokok

sebanyak 15 (16,3%).

99
3.3. Bahan Bakar Memasak yaitu sebanyak 8 rumah balita (8,7%) yang

menggunakan bahan bakar memasak kayu bakar dan 84 rumah balita

(91,3%) yang menggunakan bahan bakar gas.

3.4.Responden yang menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 51 rumah.

Dari jumlah balita yang menggunakan obat anti nyamuk, terdapat 32

rumah balita (62,7 %) yang menggunakan obat anti nyamuk bakar dan 19

rumah balita (37,3 %) yang menggunakan obat anti nyamuk oles atau

listrik.

4. Gambaran faktor yang mempengaruhi kekebalan balita meliputi:

4.1 ASI Eksklusif pada 92 responden yaitu sebanyak 89 balita (96,7%) yang

tidak mendapatkan ASI Eksklusif dan 3 balita (3,3%) mendapatkan ASI

Eksklusif.

4.2 Imunisasi pada 92 responden yaitu sebanyak 28 balita (30,4%) belum

mendapatkan imunisasi lengkap dan 64 balita (69,9%) sudah

mendapatkan imunisasi lengkap.

4.3 Berat Badan Lahir Rendah pada 92 responden yaitu sebanyak 21 balita

(22,8%) memiliki berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram

dan 71 balita (77,2%) lahir dengan berat badan normal atau lebih dari

2500 gram.

4.4 Status gizi pada 92 responden yaitu sebanyak terdapat 20 balita (21,7%)

memiliki status gizi kurang dan 72 balita (78,3%) memiliki status gizi

normal.

100
5. Terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 pada bulan April dengan gejala

ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014.

6. Terdapat hubungan antara anggota keluarga yang mengalami ISPA dengan

gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun 2014.

7. Tidak terdapat hubungan antara faktor pencemaran dalam rumah yaitu:

anggota keluarga yang merokok, jenis obat anti nyamuk, dan bahan bakar

memasak dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita di Desa Citeureup Tahun

2014.

8. Terdapat hubungan antara faktor kekebalan balita: ASI Eksklusif, Berat

Badan Lahir Rendah, dan status gizi dengan gejala ISPA (p<0,05) pada balita

di Desa Citeureup Tahun 2014.

9. Tidak terdapat hubungan antara imunisasi dengan gejala ISPA (p<0,05) pada

balita di Desa Citeureup Tahun 2014.

7.2. Saran

7.2.1. Saran Bagi Masyarakat

1. Masyarakat yang akan bepergian jauh sebaiknya menggunakan alat

pelindung diri seperti masker agar terhindar dari pencemaran udara

yang beresiko untuk terjadinya ISPA.

101
2. Masyarakat yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar

memasak dan obat anti nyamuk bakar sebaiknya agar memperhatikan

persyaratan ventilasi yang baik.

3. Masyarakat yang memiliki balita sebaiknya memperhatikan ASI

Eksklusif, memberikan imunisasi lengkap, dan status gizi balita.

7.2.2. Saran Bagi Instansi

1. Pemerintah Kabupaten Bogor khususnya Bapedalda sebaiknya

melakukan pemantauan kualitas udara di area pemukiman.

2. Sebaiknya dilakukan penyuluhan terkait ISPA, mengenai tanda dan

gejala ISPA serta cara pencegahannya.

7.2.3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya

1. Dalam penelitian ini pengukuran SO2 tidak bisa dilakukan selama 1

jam sehingga hasil pengukuran konsentrasi SO2 tidak dapat

dibandingkan dengan baku mutu udara ambien. Untuk penelitian

selanjutnya, pengukuran konsentrasi SO2 sebaiknya dilakukan selama

1 jam agar dapat dibandingkan dengan baku mutu udara ambien.

2. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan bantuan tenaga medis

untuk menentukan penyakit ISPA.

102
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga. 4 Dari 10 PenyakitPenyebabKematian di


DuniaAdalahPenyakitBidangParu Dan Pernapasan.http://sehatnegeriku.com/4-
dari-10-penyakit-penyebab-kematian-di-dunia-adalah-penyakit-bidang-paru-dan-
pernapasan/Unduhpadatanggal 24 November 2013.

Afandi, Ade Irwan. 2012.


HubunganLingkunganFisikRumahdenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAku
tpadaAnakBalita di KabupatenWonosoboProvinsiJawa Tengah Tahun
2012.Tesis.UI.Depok

Agussalim.2012.HubunganPengetahuan, Status Imunisasi,


danKebereadaanPerokokdalamRumahdenganPenyakitInfeksiSaluranPernapasan
AkutpadaBalita di PuskesmasPeukanBadaKabupaten Aceh Besar. JurnalIlmiah
STIKES U’Budiyah No.2 Maret 2012.Vol: 1

Ali, Arsad Rahim. 2007. KajianPustakaKebijakanPencemaranUdara di Indonesia.


http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/kebijakan-pencemaran-udara1.pdf.
Unduhpadatanggal 2 Januari 2014
Alsagaff, H,Mukty, H.A. 2010.Dasar-dasarIlmuPenyakitParu.Cetakankeempat.
Surabaya: Erlangga University Press.

Arief, Latar Muhammad. PengolahanLimbah


Gas.http://ikk357.esaunggul.ac.id/files/2012/12/LIMBAH-GAS.pdf?846aad.
Unduhpada 2 Januari 2014.

Arisman. 2004. GizidalamDaurKehidupan. BukuKedokteran EGC: Jakarta.


Atmaja, Aditya Surya, dkk. 2007. Identifikasi Kadar Debu di
LingkunganKerjadanKeluhanSubyektifPernapasan.JurnalKesehatanLingkungan,
Vol 3, No.2, Januari 2007: 161-172.

103
BalitbangkesDepkes RI. 2008. LaporanHasilRisetKesehatanDasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2007. Jakarta

Basir, Elisa. 2007. Hubunganantara Nitrogen Oksidadan Sulfur


DioksidadalamRumahdenganGangguanSaluranPernafasanAnakBalita di
KecamatanTeluk Naga KabupatenTangerangTahun 2006. Tesis.UI.Depok.

Catiyas, Embriyowati. 2012. Faktor-faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA


padaBalita di Wilayah KecamatanGombongKabupatenKebumenJawa Tengah
Tahun 2012. Skripsi.UI.Depok

Chahaya, Indra. Faktor-FaktorKesehatanLingkunganPerumahan yang


MempengaruhiKejadian ISPA padaBalita di PerumahanNasional (Perumnas)
Mandala, KecamatanPercutSei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang.MajalahKedokteran Nusantara Vol. 38 No.
3.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15574/1/mkn-sep2005-
%20%284%29.pdf. Unduhpadatanggal 24 November 2013.
Citra,Putri, 2012.Hubungan LingkunganDalamRumahDenganKejadian ISPA
PadaBalita Di Wilayah KerjaPuskesmasAtangJungketKecamatanBiesKabupaten
Aceh Tengah Tahun 2012.Skripsi.FKM UI.Depok.
Depkes RI, 2005. PedomanPenyelenggaraanPemberianImunisasi.Jakarta

Depkes RI. 2002. PedomanPemberantasanPenyakitSaluranPernapasanAkut. Jakarta:


DepartemenKesehatan RI.

Depkes RI. 2004.


PedomanPemberantasanPenyakitInfeksiSaluranPernapasanAkutuntukPenanggul
angan Pneumonia padaBalita. Jakarta
Depkes RI. 2006.
PedomanPengendalianPenyakitInfeksiSaluranPernafasanAkutUntukPenanggulan
gan Pneumonia padaBalita. Jakarta.
Depkes. 2009. ProfilKesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes.go.id.
Unduhpadatanggal 24 November 2013

Depkes.Parameter
PencemarUdaradanDampaknyaTerhadapKesehatan.http://www.depkes.go.id/do
wnloads/Udara.PDF .Unduhpadatanggal 7 Januari 2014.
DinkesKabupaten Bogor.2012. ProfilKesehatanKabupaten Bogor. Bogor

104
Elyana, Mei. HubunganFrekuensi ISPA dengan Status
GiziBalita.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=72033&val=124
8&title=HUBUNGAN%20FREKUENSI%20ISPA%20DENGAN%20STATUS
%20GIZI%20BALITA. Diaksespadatanggal 12 Mei 2014 dari

Gertrudis. 2010. HubunganAntara Kadar Partikulat (PM10)


UdaraRumahTinggaldenganKejadian ISPA padaBalita di SekitarPabrik Semen
PT. IndocementCiteureupTahun 2010. Tesis.UI. Depok

Gozali, Achmad. 2010.HubunganAntara Status GizidenganKlasifikasi Pneumonia


padaBalita di PuskesmasGilinganKecamatanBanjarsari Surakarta. UNS. Skripsi.
Halim,D. 2000. IlmuPenyakitParu Jakarta: Hipokrates

105
Handayani. 2003. PengaruhInhalasi NO2 terhadapKesehatanParu.
CerminDuniaKedokteran No. 138, 2003.

Irianto, Bambang. 2006.


HubunganFaktorLingkunganRumahdanKarakteristikBalitadenganKejadianPenya
kit ISPA padaBalita di Wilayah KecamatanLemahwungkuk Kota Cirebon Tahun
2006.Tesis.UI.Depok

Kartasasmita, Cissy. 2010. Pneumonia Balita. BuletinJendelaEpidemiologi. ISSN


2087-1546.Vol: 3. 2010

KementerianKesehatan RI. 2009. Parameter


PencemarUdaradanDampaknyaTerhadapKesehatan.
www.depkes.go.id/downloads/Udara.PDF . Unduhpadatanggal 24 November
2013.

Kepmenkes No.1407/MENKES/SK/XI/
2002.PedomanPengendalianDampakPencemaranUdara.
http://hukum.unsrat.ac.id/men/menkes_1407_2002.pdf. Unduhpadatanggal 7
Januari 2014.

Kusnoputranto, Haryoto& Susanna, Dewi. 2000. KesehatanLingkungan.


FakultasKesehatanMasyarakatUniversitas Indonesia.

Layuk, RibkaRerungdkk.Faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA Balita di


LembangBatuSura.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/427
9/RIBKA%20RERUNG%20LAYUK%20%28K11109326%29.pdf?sequence=1.
Unduhpadatanggal 24 November 2013.

Lubis, Imran. EtiologiInfeksiSaluranPernafasanAkut (ISPA)


danFaktorLingkungan.BuletinPenelitianKesehatan.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=r
ja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Fstatic.ow.ly%2Fdocs%2FBAB%2
520I%2520METLIT%2520revisi_1e5r.doc&ei=nouSUu6nK4qJrAfY-
4D4Dg&usg=AFQjCNHfc1aOui90snr-
f1iav9tddhcfLg&sig2=zaBDFjFeYv3LeihFp-lCbQ&bvm=bv.56988011,d.bmk .
Unduhpadatanggal 25 November 2013.

106
Mairuhudkk. 2011. Faktor yang BerhubungandenganKejadian ISPA padaBalita di
PulauBarangLompoKecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4326. Unduhpadatanggal 24
November 2013.

Maramis, ParamithaAnjanatha. 2013. Hubungan Tingkat


PendidikandanPengetahuanIbuTentang ISPA
denganKemampuanIbuMerawatBalita ISPA padaBalita di PuskesmasBahu Kota
Manado.EjournalKeperawatan Vol:1. Nomor 1.Agustus 2013.

Media InformasiKesehatan Indonesia.Penyebab ISPA.


http://www.kesehatan123.com/1679/penyebab-ispa/. Unduhpadatanggal 25
November 2013.
Mengkidi, Dorce. 2006. GangguanFungsiParudanFaktor-Faktor yang
MempengaruhinyapadaKaryawan PT. TonasaPangkep Sulawesi
Selatan.Tesis.Undip. Semarang.

Misnadiarly. 2008. PenyakitInfeksiSaluranNapas Pneumonia padaAnak, Orang


Dewasa, UsiaLanjut, Pneumonia Atipik, dan Pneumonia Atypik Mycobacterium.
Jakarta: PustakaOborPopuler.

Murti, Basir. DesainStudi. www.Fk.uns.ac.id/index.php/download/file/59.


Unduhpadatanggal 16 Juli 2013

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar:


AsuhanKeperawatanKliendenganGangguanSistemPernafasan. Jakarta:
SalembaMedika.

107
Muttaqin. 2008. AsuhanKeperawatanKlienGangguanSistemMuskuloskeletal. Jakarta:
EGC.

Nasutiondkk.2009. InfeksiSaluranNapasAkutpadaBalita di Daerah Urban Jakarta.


Sari Pediatri No. 4 Desember 2009.Vol: 11..

Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Digitized by USU Digital Library.FKM


USU. Medan.

Notoatmodjo, S. 2003. MetodePenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta.

PeraturanPemerintah 41 Tahun
1999.PengendalianPencemaranudara.http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=
&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%
2Fjdih.den.go.id%2Fdownload%2F19%2Fperaturan-pemerintah-no-41-tahun-
1999&ei=HxnTUt2EMcuArgem8oGwDg&usg=AFQjCNFDc4UUAYdvHUtbgs
49iis--oCm2A&sig2=L6_WIRfyNnwFEfQ_aucGyw&bvm=bv.59026428,d.bmk.
Unduhpadatanggal 7 Januari 2014.

Pramayu, AjengPuspitaning. HubunganKonsentrasi PM10


dalamRuangKelasdenganGangguan ISPA Siswa SD KecamatanCipayung Kota
DepokTahun 2012.Tesis.UI.Depok

Putri, Minerva Nadia. 2012. HubunganKonsentrasi SO2danSuspended Particulate


Matter (SPM) denganJumlahKejadian ISPA
PendudukKecamatanPademanganTahun 2006-2010. Skripsi. UI

Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., &Setyanto, D.B. 2008.Buku Ajar RespirologiAnak.


Jakarta: IDAL.
Rahayu,dkk. 2011.Kejadian ISPA PadaBalitaDitinjau Dari
PengetahuanIbu,KarakteristikBalita,SumberPencemarDalamRuangdanLingkunga
nFisikRumah Di Wilayah KerjaPuskesmas DTP
CibeberKabupatenLebakPropinsiBantenTahun 2011.Skripsi.FKM UI.Depok

108
Sakti, EkaSatriani. 2012. TinjauanTentangKualitasUdara Ambien (NO2, SO2, Total
Suspended Particulate) TerhadapKejadian ISPA di Kota BekasiTahun 2004-
2011.Skripsi.UI.Depok.

Satriyo, Saputro. 2008. StudiKondisiKimiawiPenyebaranPb, Debu, danKebisingan di


Kota Jakarta. JurnalKajianIlmiahLembagaPenelitianUbhara Jaya Vol. 9 No.
2.http://jurnal.pdii.lipi.go.id. Unduhpadatanggal 24 November 2013.

Septian.ISPA padaBayidanAnak.http://www.slideshare.net/septianraha/ispa-pada-
bayi-dan-aqnak. Unduhpadatanggal 29 November 2013.

Setiawan, dkk.Hubungan Status Gizidengan Pneumonia padaBalita di Wilayah


KerjaPuskesmasPalasariKecamatanCiaterKabupatenSubangTahun
2010.Diaksespadatanggal 12 Mei 2014 darihttp://stikesayani.ac.id/publikasi/e-
journal/files/2010/201008/201008-008.pdf

Sinaga, EpiRia Kristina. 2012.


KualitasLingkunganFisikRumahdenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAkut
(ISPA) padaBalita di Wilayah
KerjaPuskesmasKelurahanWarakasKecamatanTanjungPriuk Jakarta Utara
Tahun 2012.Skripsi.UI.Depok.

Soemirat, J. 2009. KesehatanLingkungan ,GadjahMada University Press, Yogyakarta.

Sukandarrumidi. 2010. Bencanaalamdanbencanaanthropogene


:petunjukpraktisuntukmenyelamatkandiridanlingkungan. Yogyakarta: Kanisius.

Sukmawati.Hubungan Status Gizi, BeratBadanLahir, Imunisasi,


dengankejadianInfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) padaBalita di Wilayah
KerjaPuskesmasTunikamaseangKabupatenMaros.Media GiziPanganEdisi 2 Juli-
Desember 2010.Vol:X. 2010.

Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia:


BukuPanduanKuliahMahasiswaKedokterandan Program Strata 1
FakultsBioeksakta. Jakarta: EGC.

109
Susilo, dkk. 2011. Faktor-faktor yang
BerhubungandenganKejadianInfeksiSaluranPernapasanAtas (ISPA)
BagianAtaspadaBalita di DesaNgrundulKecamatanKebonarumKabupatenKlaten.
JurnalKesehatan, ISSN, Vol 4, No. 1, Juni 2011: 101-110

T, Gestrudis. HubunganAntara Kadar Partikulat PM10


UdaraRumahTinggaldenganKejadian ISPA padaBalita di SekitarPabrik Semen
PT. IndocementCiteureupTahun
2010.http://www.academia.edu/3637211/PM10_UI. Unduhpadatanggal 24 N
ovember 2013.

Tjasyono.KlimatologiUmum. Penerbit ITB. Bandung

U.S. Environmental Protection Agency. 2010. Nitrogen Dioxide. http://www.epa.gov.


Unduhpadatanggal 24 November 2013.

Wardani, EkaDkk. JurnalHubunganFaktorLingkungan, Sosial-Ekonomi,


danPengetahuanIbudenganKejadianInsfeksiSaluranPernapasanAkut (Ispa)
PadaBalita Di Kelurahan Cicadas Kota Bandung.http://lib.itenas.ac.id/kti/wp-
content/uploads/2012/06/Hubungan-Faktor-Lingkungan.pdf. Unduhpada 24
November 2013.

Wardhana, WisnuArya. 2004. DampakPencemaranLingkungan (EdisiRevisi).


Yogyakarta: PenerbitAndi.
Wattimena,C.S, 2004. FaktorLingkunganRumah yang MempengaruhiHubungan
Kadar PM10 dengankejadian ISPA padaBalita di
wilayahPuskesmasCurugKabupatenTangerangtahun 2004. Tesis.FKM UI.
Depok.

110
Webster,M&Fransisca., H, 2010. Aksi global melawan pneumonia
padaanak.BuletinJendelaEpidemiologi, Vol:3. 2010

Widarini. 2009. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganKejadian ISPA padaBayi.


UniversitasUdayana.http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JIG/V1N1/widarini.pdf.
Unduhpadatanggal 3 Juni 2014

Wiwoho, Sadono. 2005.BayiBeratLahirRendahSebagai Salah


SatuFaktorResikoInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBayi. Tesis.Undip.
Semarang

World Health Organization. 2005. Air Quality Guidelines for Particulate Matter,
Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide. Geneva: WHO
press.www.who.int. Unduhpadatanggal 24 November 2013.

111
KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN KONSENTRASI SO2 DENGAN RESIKO ISPA


PADA BALITA DI DESA CITEUREUP BULAN APRIL TAHUN
2014

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saya Tri Astuti Lestari, Mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat,


Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini saya
sedang melakukan pengumpulan data mengenai konsentrasi SO2 dengan resiko ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada balita. Pengumpulan data ini digunakan
sebagai salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi).

Saya berharap ibu bersedia menjadi responden penelitian ini dengan


menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner ini. Informasi yang anda berikan akan
saya jaga kerahasiaannya. Jika anda bersedia dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan yang telah disediakan.

Data Responden

1. Nomor responden : ____________________________


2. Nama responden : ____________________________
3. Posyandu : ____________________________

Dengan ini bersedia menjadi responden pada penelitian ini.

Citeureup, 2014
Responden

( )

112
Identitas Responden Kode
A1. Nama Ibu
A2. Alamat

Identitas Anak Kode


B1. Nama balita
B2. Usia balita …………….bulan
B3 Berat Badan ……………..kg
B4. Jenis kelamin a. Laki-laki ( )
b. Perempuan
Riwayat Gangguan Saluran Pernafasan
Apakah anak balita anda menderita gangguan pernafasan seperti di bawah
ini selama 2 minggu terakhir?
C1. Batuk (lebih dari 5 kali sehari) a. Ya ( )
b. Tidak
C2. Pilek a. Ya ( )
b. Tidak
C3. Sakit tenggorokan a. Ya ( )
b. Tidak
C4. Tidak bisa (tidak mau) a. Ya ( )
minum/menelan b. Tidak
C5. Batuk dahak/lendir a. Ya ( )
b. Tidak
C6. Sakit telinga (berair/nanah) a. Ya ( )
b. Tidak
C7. Demam a. Ya ( )
b. Tidak
C8. Sesak nafas/nafas cepat/nafas a. Ya ( )
terputus b. Tidak

Pencemaran dalam rumah Kode


D1. Apakah ada anggota keluarga/ a. Ya ( )
penghuni rumah ini yang b. Tidak  lanjut ke
merokok? pertanyaan D4
D2. Jika ya, dimana biasanya a. Dalam rumah ( )
merokok? b. Luar rumah

113
c. Di dalam dan di luar
rumah
D3. Berapa batang rokok dalam ……. Batang ( )
sehari?
D4. Bahan bakar jenis apakah yang a. Kayu bakar/ arang ( )
digunakan ibu untuk memasak b. Batu bara
setiap hari? c. Minyak tanah
(boleh pilih lebih dari 1) d. Gas
e. Listrik
f. Lainnya….
D5. Apakah ibu selalu membawa anak a. Ya ( )
balita ketika sedang memasak? b. Tidak

D6. Apakah anak balita ibu a. Ya ( )


mempunyai kebiasaan bermain di b. Tidak  lanjut ke
luar rumah? pertanyaan D8
D7. Jika ya, berapa jam sehari balita
berada di luar rumah? ………jam

D8. Apakah di rumah menggunakan a. Ya ( )


obat anti nyamuk? b. Tidak
D9. Jenis obat anti nyamuk apa yang a. Obat anti nyamuk ( )
dipergunakan? bakar
(boleh pilih lebih dari 1) b. Listrik
c. Oles
d. Semprot
e. Lainnya…..
D10. Jika menggunakan obat anti
nyamuk bakar, berapa jumlah …..buah
yang digunakan dalam 1 malam?
D11. Apakah dirumah anda (selain a. Ya
anak balita) terdapat seseorang b. Tidak
atau lebih yang menderita
penyakit saluran pernapasan?
Kekebalan balita
E1 Apakah anak ibu pernah a. Ya ( )

114
mendapatkan imunisasi? b. Tidak  lanjut ke
pertanyaan E4
E2 Jika ya, imunisasi apa yang a. BCG ( )
pernah didapat? b. DPT
(boleh lebih dari 1) c. Polio
d. Campak
e. Lain- lain
E3 Jika tidak apa alasannya?

E4 Berapa lama anak ibu


mendapatkan ASI tanpa tambahan
………………bulan
makanan apapun?
E5 Berapa berat badan anak anda ………….... gram
saat lahir?
Kualitas udara (diisi oleh peneliti)
F1. SO2

115
OUTPUT SPSS

Univariat

1. Resiko ISPA

Statistics
ISPA
N Valid 92
Missing 0

ISPA
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid ISPA 71 77.2 77.2 77.2
Tidak
21 22.8 22.8 100.0
ISPA
Total 92 100.0 100.0

2. Konsentrasi SO2
Statistics
SO2
N Valid 92
Missing 0
Mean 1.206330
E2
Median 1.108800
E2
Mode 1.1088E2
Std. Deviation 4.865407
8E1
Minimum 32.7028

116
Statistics
SO2
N Valid 92
Missing 0
Mean 1.206330
E2
Median 1.108800
E2
Mode 1.1088E2
Std. Deviation 4.865407
8E1
Minimum 32.7028
Maximum 1.9873E2

SO2
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid 32.7028 10 10.9 10.9 10.9
87.812 10 10.9 10.9 21.7
97.6449 10 10.9 10.9 32.6
100.6036 6 6.5 6.5 39.1
110.88 20 21.7 21.7 60.9
129.3968 7 7.6 7.6 68.5
146.5911 11 12.0 12.0 80.4
198.7296 3 3.3 3.3 83.7
198.7298 15 16.3 16.3 100.0
Total 92 100.0 100.0

117
3. Anggota keluarga mengalami ISPA

Statistics
ang_ISPA
N Valid 92
Missing 0

ang_ISPA
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid ya 25 27.2 27.2 27.2
tidak 67 72.8 72.8 100.0
Total 92 100.0 100.0

118
4. Anggota keluarga yang merokok

Statistics
Rokok
N Valid 92
Missing 0

Rokok
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Merokok 77 83.7 83.7 83.7
Tidak
15 16.3 16.3 100.0
Merokok
Total 92 100.0 100.0

5. Tempat merokok

Statistics
tmp_rkok
N Valid 77
Missing 0

119
tmp_rkok
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid menyebabkan
pencemaran (dalam 46 59.7 59.7 59.7
rumah)
tidak menyebabkan
pencemaran (luar 31 40.3 40.3 100.0
rumah)
Total 77 100.0 100.0

6. Jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari

Statistics
jumrokok
N Valid 76
Missing 1
Mean 8.1842
Median 6.0000
Mode 6.00
Std. Deviation 5.27057
Minimum 1.00
Maximum 32.00
Sum 622.00

120
Jumrokok
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid 1 1 1.3 1.3 1.3
2 6 7.8 7.9 9.2
3 7 9.1 9.2 18.4
4 2 2.6 2.6 21.1
5 2 2.6 2.6 23.7
6 27 35.1 35.5 59.2
10 4 5.2 5.3 64.5
12 24 31.2 31.6 96.1
24 2 2.6 2.6 98.7
32 1 1.3 1.3 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0

7. Bahan bakar memasak

Statistics
BBM
N Valid 92
Missing 0

121
BBM
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid menyebabkan
8 8.7 8.7 8.7
pencemaran
tidak menyebabkan
84 91.3 91.3 100.0
pencemaran
Total 92 100.0 100.0

8. Pemakaian obat anti nyamuk

Statistics
obatnymk
N Valid 92
Missing 0

Obatnymk
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid ya 51 55.4 55.4 55.4
tidak 41 44.6 44.6 100.0
Total 92 100.0 100.0

9. Jenis obat anti nyamuk

Statistics
nymkbaru
N Valid 51
Missing 0

122
nymkbaru
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid tidak memenuhi
32 62.7 62.7 62.7
syarat
memenuhi syarat 19 37.3 37.3 100.0
Total 51 100.0 100.0

10. ASI eksklusif

Statistics
ASIbaru
N Valid 92
Missing 0

ASIbaru
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid tidak 89 96.7 96.7 96.7
ya 3 3.3 3.3 100.0
Total 92 100.0 100.0

11. Imunisasi

Statistics
IMUNbaru
N Valid 92
Missing 0

123
IMUNbaru
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid tidak lengkap 28 30.4 30.4 30.4
Lengkap 64 69.6 69.6 100.0
Total 92 100.0 100.0

12. BBLR

Statistics
BBLRbaru
N Valid 92
Missing 0

BBLRbaru
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid ya 21 22.8 22.8 22.8
tidak 71 77.2 77.2 100.0
Total 92 100.0 100.0

13. Status gizi

Statistics
gizi2
N Valid 92
Missing 0

124
gizi2
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid gizi buruk 20 21.7 21.7 21.7
gizi baik 72 78.3 78.3 100.0
Total 92 100.0 100.0

Analisis Bivariat
1. SO2 dengan ISPA
Uji normalitas  tidak normal

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
SO2 .188 92 .000 .896 92 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Uji non parametrik

Ranks
ISPA N Mean Rank Sum of Ranks
SO2 ISPA 71 49.70 3529.00
Tidak
21 35.67 749.00
ISPA
Total 92

125
Test Statisticsa
SO2
Mann-Whitney U 518.000
Wilcoxon W 749.000
Z -2.139
Asymp. Sig. (2-
.032
tailed)
a. Grouping Variable: ISPA

2. Anggota keluarga mengalami ISPA dengan resiko ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ang_ISPA *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

ang_ISPA * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
ang_ISPA Ya Count 24 1 25
% within
96.0% 4.0% 100.0%
ang_ISPA
Tidak Count 47 20 67
% within
70.1% 29.9% 100.0%
ang_ISPA
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
ang_ISPA

126
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.907a 1 .009
Continuity Correctionb 5.517 1 .019
Likelihood Ratio 8.756 1 .003
Fisher's Exact Test .010 .006
Linear-by-Linear
6.832 1 .009
Association
N of Valid Casesb 92
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.71.
b. Computed only for a 2x2 table

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ang_ISPA *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

ang_ISPA * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
ang_ISPA ya Count 24 1 25
% within
96.0% 4.0% 100.0%
ang_ISPA
tidak Count 47 20 67

127
% within
70.1% 29.9% 100.0%
ang_ISPA
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
ang_ISPA

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.907a 1 .009
Continuity Correctionb 5.517 1 .019
Likelihood Ratio 8.756 1 .003
Fisher's Exact Test .010 .006
Linear-by-Linear
6.832 1 .009
Association
N of Valid Casesb 92
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.71.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
10.213 1.292 80.747
ang_ISPA (ya / tidak)
For cohort ISPA =
1.369 1.148 1.631
ISPA
For cohort ISPA =
.134 .019 .947
Tidak ISPA

128
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
10.213 1.292 80.747
ang_ISPA (ya / tidak)
For cohort ISPA =
1.369 1.148 1.631
ISPA
For cohort ISPA =
.134 .019 .947
Tidak ISPA
N of Valid Cases 92

3. Anggota keluarga merokok dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
rokok *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

129
rokok * ISPA Crosstabulation
ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
rokok Merokok Count 61 16 77
% within
79.2% 20.8% 100.0%
rokok
Tidak Count 10 5 15
Merokok % within
66.7% 33.3% 100.0%
rokok
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
rokok

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.123a 1 .289
Continuity Correctionb .524 1 .469
Likelihood Ratio 1.047 1 .306
Fisher's Exact Test .320 .229
Linear-by-Linear
1.111 1 .292
Association
N of Valid Casesb 92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.42.
b. Computed only for a 2x2 table

130
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for rokok
(Merokok / Tidak 1.906 .570 6.370
Merokok)
For cohort ISPA =
1.188 .816 1.730
ISPA
For cohort ISPA =
.623 .270 1.441
Tidak ISPA
N of Valid Cases 92

4. BBM dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
BBM *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

131
BBM * ISPA Crosstabulation
ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
BBM menyebabkan Count 8 0 8
pencemaran % within
100.0% .0% 100.0%
BBM
tidak menyebabkan Count 63 21 84
pencemaran % within
75.0% 25.0% 100.0%
BBM
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
BBM

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 2.592a 1 .107
Continuity Correctionb 1.367 1 .242
Likelihood Ratio 4.366 1 .037
Fisher's Exact Test .191 .114
Linear-by-Linear
2.563 1 .109
Association
N of Valid Casesb 92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.83.
b. Computed only for a 2x2 table

132
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
For cohort ISPA =
1.333 1.178 1.509
ISPA
N of Valid Cases 92

5. Obat anti nyamuk bakar dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jns_nymk *
51 100.0% 0 .0% 51 100.0%
ISPA

jns_nymk * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
jns_nymk menyebabkan Count 24 8 32
pencemaran % within
75.0% 25.0% 100.0%
jns_nymk
tidak menyebabkan Count 15 4 19
pencemaran % within
78.9% 21.1% 100.0%
jns_nymk
Total Count 39 12 51
% within
76.5% 23.5% 100.0%
jns_nymk

133
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .103a 1 .748
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .104 1 .747
Fisher's Exact Test 1.000 .514
Linear-by-Linear
.101 1 .750
Association
N of Valid Casesb 51
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.47.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
jns_nymk
(menyebabkan
.800 .205 3.125
pencemaran / tidak
menyebabkan
pencemaran)
For cohort ISPA =
.950 .699 1.291
ISPA
For cohort ISPA =
1.188 .412 3.419
Tidak ISPA
N of Valid Cases 51

134
6. ASI Eksklusif dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ASIbaru *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

ASIbaru * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
ASIbaru tidak Count 71 18 89
% within
79.8% 20.2% 100.0%
ASIbaru
ya Count 0 3 3
% within
.0% 100.0% 100.0%
ASIbaru
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
ASIbaru

135
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 10.485a 1 .001
b
Continuity Correction 6.445 1 .011
Likelihood Ratio 9.215 1 .002
Fisher's Exact Test .011 .011
Linear-by-Linear
10.371 1 .001
Association
N of Valid Casesb 92
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .68.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
For cohort ISPA =
.202 .134 .306
Tidak ISPA
N of Valid Cases 92

136
7. Imunisasi dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
IMUNbaru *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

IMUNbaru * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
IMUNbar tidak lengkap Count 18 10 28
u % within
64.3% 35.7% 100.0%
IMUNbaru
lengkap Count 53 11 64
% within
82.8% 17.2% 100.0%
IMUNbaru
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
IMUNbaru

137
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 3.795a 1 .051
b
Continuity Correction 2.816 1 .093
Likelihood Ratio 3.608 1 .058
Fisher's Exact Test .063 .049
Linear-by-Linear
3.754 1 .053
Association
N of Valid Casesb 92
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.39.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
IMUNbaru (tidak .374 .136 1.025
lengkap / lengkap)
For cohort ISPA =
.776 .576 1.046
ISPA
For cohort ISPA =
2.078 .999 4.321
Tidak ISPA
N of Valid Cases 92

138
8. BBLR dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
BBLRbaru *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

BBLRbaru * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
BBLRbaru ya Count 12 9 21
% within
57.1% 42.9% 100.0%
BBLRbaru
tidak Count 59 12 71
% within
83.1% 16.9% 100.0%
BBLRbaru
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
BBLRbaru

139
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.198a 1 .013
b
Continuity Correction 4.812 1 .028
Likelihood Ratio 5.643 1 .018
Fisher's Exact Test .019 .017
Linear-by-Linear
6.131 1 .013
Association
N of Valid Casesb 92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.79.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
.271 .094 .786
BBLRbaru (ya / tidak)
For cohort ISPA =
.688 .468 1.011
ISPA
For cohort ISPA =
2.536 1.242 5.179
Tidak ISPA
N of Valid Cases 92

140
9. Status Gizi dengan ISPA

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
gizi2 *
92 100.0% 0 .0% 92 100.0%
ISPA

gizi2 * ISPA Crosstabulation


ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
gizi2 gizi buruk Count 20 0 20
% within
100.0% .0% 100.0%
gizi2
gizi baik Count 51 21 72
% within
70.8% 29.2% 100.0%
gizi2
Total Count 71 21 92
% within
77.2% 22.8% 100.0%
gizi2

141
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 7.559a 1 .006
b
Continuity Correction 5.994 1 .014
Likelihood Ratio 11.915 1 .001
Fisher's Exact Test .005 .003
Linear-by-Linear
7.477 1 .006
Association
N of Valid Casesb 92
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.57.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
For cohort ISPA =
1.412 1.217 1.637
ISPA
N of Valid Cases 92

142
143
144
145

Anda mungkin juga menyukai