Anda di halaman 1dari 25

KONSEP BERMAIN PADA ANAK

KEPERAWATAN B
Kelompok 2 :
Yang bertanggung jawab
Nurma
Syahra Ramadhani

DOSEN PENGAMPUH
Ns. Huriati,.S.Kep,.M.Kes

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTEAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2018-2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya serta sholawat kepada Rosulullah Saw, sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konsep Bermain Pada Anak”.
Makalah yang kami susun ini berisi mengenai konsep bermain pada anak
yang berasal dari berbagai literatur yang telah kami kumpulkan. Kami menyadarai
bahwa kami membutuhkan saran dari pembaca mengenai isi makalah kami ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Samata, 05 April 2018

Penulis
Daftar Isi

Halaman Sampul…………………………............………………………....

Daftar Mahasiswa…………………………………….……………………

Kata Pengatar…………………………………………………......................

Daftar Isi…………………………………………………….…………..…..

BAB I PENDAHULUAN………………………………………...………....

A. Latar Belakang…………………………………………...…………
B. Rumusan Masalah………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….........

A. Definisi Bermain Pada Anak……………………………… ……..……


B. Tujuan Bermain Pada Anak …………………………………....
C. Fungsi Bermain Pada Anak ………………………………………
D. Klasifikasi Bermain Berdasarkan Isi Permainan………………….
E. Klasifikasi Bermain Berdasarkan Karakter Sosial……………….
F. Tahap Perkembangan Bermain…………………………………..
G. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Bermain……………….
H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain………………
I. Jenis Permainan Menurut Kelompok Usia………………………….
J. Prinsip Bermain Pada Anak di Rumah Sakit…..…………………..

BAB III PENUTUP…………………………………………………….........45

A. Kesimpulan…………………………………….……………….45
B. Saran………………………………………….………………...45

DAFTAR PUSTAKA………………………………..…………………46
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan hal yang sangat

mendasar untuk dipahami orang tua maupun perawat yang bekerja pada klien

anak. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut harus dijaga kelangsungannya

dengan upaya stimulus yang dapat dilakukan, sekalipun anak sedang berada dalam

perawatan di rumah sakit. Bermain merupakan aktivitas yang dapat dilakukan

anak sebagai upaya stimulasi perumbuhan dan perkembangannya dan bermain

pada anak di rumah sakit menjadi media bagi anak untuk mengekspresikan

perasaan, relaksasi dan distraksi perasaan yang tidak nyaman. Oleh karena itu

penting sekali bagi mahasiswa perawat memahami konsep bermain dan

implikasinya pada anak, terutama selama dalam perawatan di rumah sakit, sebagai

bagian dari asuhan keperawatan yang harus di jalankan (Supartini, 2012).

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi bermain pada Anak?

2. Apa tujuan bermain Anak?

3. Apa fungsi bermain pada Anak?

4. Bagaimana klasifikasi bermain berdasarkan isi permainan?

5. Bagaimana klasifikasi bermain berdasarkan isi permainan ?

6. Apa tahap perkembangan bermain?

7. Apa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bermain?

8. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain?

9. Apa jenis permainan menurut kelompok usia?

10. Bagaimana prinsip bermain pada Anak di rumah sakit?


C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi bermain pada Anak.

2. Menambah wawasan dari tujuan bermain Anak.

3. Mengetahui fungsi bermain pada Anak.

4. Menambah wawasan dari klasifikasi bermain berdasarkan isi permainan.

5. Mengetahui klasifikasi bermain berdasarkan isi permainan.

6. Menambah wawasan mengenai tahap perkembangan bermain.

7. Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bermain.

8. Menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi.aktivitas

bermain.
9. Mengetahui jenis permainan menurut kelompok usia.

10. Menambah wawasan mengenai prinsip bermain pada Anak di rumah sakit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Bermain Pada Anak

Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk

memperole kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan

fisik, intelektual, emosional dan sosial, dan bermain merupakan media yang baik

untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata

(berkomunikasi), belajar menyesuaikan diridengan lingkunngan,melakukan apa

yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, D.L,

2009)

Melalui bermain anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, fantasi,

serta daya kreasi dengan tetap mengembangkan kreatifitasnya dan beradaptasi

dengan ef ktif terhadap berbagai sumber stress. Dengan bermain anak dapat

belajar mengungkapkan isi hati melalui kata-kata, anak belajar dan mampu untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, obyek bermain, waktu, ruang dan

orang (Riyadi & Sukarmin, 2009)

B. Tujuan Bermain Pada Anak

Bermain pada anak mempunyai tujuan yaitu sebagai berikut :

1. Untuk melanjutkan perumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat

sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya. Walaupun demikian, selama anak dirawat di rumah

sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus

tetap dilanjutkan untuk menjaga kesinambungannya (Hidayat, 2009).

2. Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi, serta ide-idenya.

Seperti telah diuraikan di atas, pada saat sakit dan dirawat di rumah sakit,

anak mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Pada

anak yang belum dapat mengekspresikannya secara verbal, permainan


adalah media yang sangat efektif untuk mengekspresikannya (Hidayat,

2009).

3. Mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah.

Permainan akan menstimulasi daya pikir imajinasi, dan fantasinya untuk

menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. Pada saat

melakukan permainan, anak juga akan dihadapkan pada masalah dalam

konteks permainannya, semakin lama ia bermain dan semakin tertantang

untuk dapat menyelesaikannya dengan baik (Hidayat, 2009).

4. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan dirawat di

rumah sakit. Stress yang dialami anak saat dirawat di rumah sakit tidak

dapat dihindarkan sebagaimana juga yang di alami orang tuaya. Untuk itu

yang penting adalah bagaiaman mentiapkan anak dan orang tua untuk

beradaptasi dengan stressor yang dialaminya di rumah sakit secara efektif.

Permainan adalah media yang efektif untuk beradaptasi karena telah

terbukti dapat menurunkan rasa cemas,, takut, nyeri, dan marah (Hidayat,

2009).

C. Fungsi Bermain Pada Anak


Fungsi bermain terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak

terbagi menjadi 8 diantaranya :

1. Perkembangan sensoris-motorik

Dalam hal ini,permainan akan membantu perkembangan gerak

halus dan pergerakan kasar anak dengan cara memainkan suatu obyek

yang sekiranya anak merasa senang. Misalnya, orang tua memainkan

pensil didepan anak, pada tahap awal anak akan melirik benda yang ada

didepannya, kalau dia tertarik maka dia akan berespon dan berusaha untuk

meraih/mengmbil pensil tersebut dari genggaman orang tuanya

(Arbianingsih, 2011).
2. Perkembangan kognitif

Membantu anak untuk mengenal benda-benda yang ada

disekitarnya. Misalnya, mengenalkan anak dengan warna (merah, biru,

kuning, putih, hitam dan sebagainya), bentuk (bulat, lonjung, gepeng,

kubus dan sebagainya. Dengan cara seperti ini)orang tua juga secara tidak

sadar sudah bisa memacu perkembangan bahasa anak (Arbianingsih,

2011).

3. Kreatifitas

Mengembangkan kreatifitas anak dalam bermainn sendiri atau

secara bersama. Berikan anak balok yang banyak dan biarkan dia

menyusun balok-balok itu untuk dibuat bentuk apa saja sesuai dengan

keinginan anak, kemudian tanyakan pada anak benda apa yang telah ia

buat (Arbianingsih, 2011).

4. Perkembangan sosial

Belajar berinteraksi dengan orang lain, mempelajari peran dalam

kelompok. Kumpulkan 3-5 anak yang usianya sebaya, kemudian biarkan

anak untuk membentuk kelompok sendiri dan menjalani perannya sendiri-


sendiri, orang tua hanya memamtau dari kejauhan (Arbianingsih, 2011).

5. Kesadaran diri (self awareness)

Dengan bermain, anak akan sadar akan kemampuannya sendiri,

kelemahannya dan tingkah laku terhadap orang lain. Jika anak tidak

berperan sebagai seorang pemimpin dan dia merasa tidak mampu untuk

memimpin, maka dengan senang hati dia akan memberikan peran

pemimpin tadi pada teman yang lainnya (Arbianingsih, 2011).

6. Perkembangan moral

Anak akan mempelajari nilai benar dan salah dari orang tua dan

lingkungan sekitarnya. Melalui kegiatan bermain anak akan belar nilai


moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang

salah, serta belajar bertanggungjawab atas segala tindakan yang telah

dilakukannya. Misalnya merebut mainan teman merupakan perbuatan

yang tidak baik dan membereskan alat permainan sesudah bermain adalah

membelajarkan anak untuk bertanggungjawab terrhadap tindakan serta

barangg yang dimilikinya. Sesuai dengan kemampuan kognitifnya, bagi

anak usia toddler dan prasekolah, permainan adalah media yang efektif

untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan

nasehat. Oleh karena itu, penting peran orang tua untuk mengawasi anak

saat anak melakukan aktivitas bermain dan mengajarkan nilai moral,

seperti baik/buruk, atau benar/salah (Arbianingsih, 2011).

7. Komunikasi

Bermain merupakan alat komunikasi terutama pada anak yang

masih belum dapat menyatakan perasaanya secara verbal. Misalnya : anak

menggambar dua anak kecil perempuan (mungkin dia ingin punya adik

perempuan), anak melempar sendok/garpu saat makan (mungkin dia tidak

suka dengan lauk pauknya) dan sebagainya (Arbianingsih, 2011)


8. Bermain sebagai terapi

Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai

perasaan yang tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih,

dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang

dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada di lingkungan

rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas

dari ketegangan dan stress yang dialaminya keran dengan melakukan

permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya

(distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan

(Arbianingsih, 2011)..
Hal tersebut terutama terjadi pada anak yang belum mampu

mengekspresikannya secara verbal. Dengan demikian, permainan adalah

media komunikasi antara anak dengan orang lain, termasuk dengan

perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit. Perawat dapat mengkaji

perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang ditunjukkan

selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan

anak dengan ornag tua dan teman kelompok bermainnya (Arbianingsih,

2011).

D. Klasifikasi Bermain Berdasarkan Isi Permainan

1. Social affective play

Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang

menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan

mendapatkan kesenangan dan kepuasan hubungan yng menyenangkan

dengan orang tuanya dan/atau orang lain. Permainan yang biasa dilakukan

adalah “ciluk ba”, berbicara sambil tersenyum/tertawa, atau sekadar

memberikan tangan pada bayi untuk mengenggamnya, tetapi dengan

diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa. Bayi akan mencoba


berespons terhadap tingkah laku orang tuanya dan/atau orang dewasa

tersebut/ misalnya dengan tersenyum, tertawa, dan/atau mengoceh

(Supartini, 2012).

2. Sense of pleasure play

Permainan ini mengggunakan alat yang dapat menimbulkan rasa

senang pada anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan

menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunungan atau benda-

benda apa saja yang dapat dibentuknya dengan pasir. Bisa juga dengan

menggunakan air anak akan melakukan macam-macam permainan,

misalnya memindah-mindahkan air ke botol, bak, atau tempat lain. Cirri


khas permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik

bersentuhan dengan alat permainan ini dan dengan permainan yang

dilakukannya sehingga susah dihentikan (Supartini, 2012).

3. Skill play

Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan meningkatkan

keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi

akan terampil memegag benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu

tempat ke tempat yang lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi,

keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan

yang dilakukan. Semakin sering melakukan latihan, anak akan semakin

terampil (Supartini, 2012).

4. Games atau permainan

Games atau permainan adalah jenis permainan yang menggunakan

alat tertentu yang menggunakan perhitungan dan/atau skor. Permainan ini

bisa dilakukan oleh anak sendiri dan/atau dengan temannya. Banyak sekali

jenis permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang

modern. Misalnya, ular tangga, congklak, puzzle, dan lain-lain (Supartini,


2012).

5. Unoccupied behavior

Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum,

tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa

saja yang ada disekililingnya. Jadi, sebenarnya anak tidak memainkan alat

permainan tertentu, dan situasi atau objek yang ada disekelilingnya yang

digunakannya sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan

asyik dengan situasi serta lingkungannya tersebut (Supartini, 2012)

.
6. Dramatic play

Sesuai dengan sebutannya, pada permainan in anak memainkan

peran sebagai orang lain melalui permainannya. Anak berceloteh sambil

berpakain meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya,

kakaknya, dan sebagainya yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain dengan

temannya, akan terjadi percakapan diantara mereka tentang peran orang

yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses indetifikasi anak

terhadap peran tertentu (Supartini, 2012).

E. Klasifikasi Bermain Berdasarkan Karakter Sosial

Klasifikasi bermainan berdasarkan karakter sosial, ada lima jenis

permainan, yaitu :

1. Onlooker Play

Pada jenis permainan ini, anak hanya akan mengamati temannya

yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam

permainan. Jadi, anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan

terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya (Supartini, 2012).

2. Solitary Play
Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok

permainan, tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang

dimilikinya, dan alat permainan tersebut berbeda dengan alat permainan

yang digunakan temannya, tidak ada kerja sama, ataupun komunikasi

dengan teman sepermainannya (Supartini, 2012).

3. Parallel Play

Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat permainan yang

sama, tetapi antara satu anak dengan anak lain tidak terjadi kontak satu

sama lain sehingga antara anak satu dengan anak lain tidak ada sosialisasi
satu sama lain. Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak usia todler

(Supartini, 2012).

4. Associative Play

Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu anak

dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada pemimpin atau yang

memimpin permainan, dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh

permainan jenis ini adalah bermain boneka, bermain hujan-hujanan, dan

bermainan masak-masakan (Supartini, 2012).

5. Cooperative Play

Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada

permainan jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan. Anak yang

memimpin permainan mengatur dan mengarahkan anggotanya untuk

bertindak dalam permainan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalm

permainan tersebut. Misalnya, pada permainan sepak bola, ada anak yang

memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka

harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu memenangkan permainan

dengan memasukkan bola ke gawang lawan mainnya (Supartini, 2012).


F. Tahap Perkembangan Bermain

1. Anak usia bayi

Permainan untuk usia bayi dibagi menjadi bayi usia 0-3 bulan, 4-6

bulan, dan 7-9 bulan. Bayi usia 0-3 bulan menggunakan interaksi sosial

yang menyenagkan antara bayi dan orang tua disekitarnya. Perasaan

senang juga menjadi ciri khas dari permainan untuk bayi usia ini. Alat

permaina yang bisa digunakan, misalnya mainan gantung yang berwarna

terang dengan bunyi musik yang menarik. Dari permainan tersebut secara

fisual bayi diberi objek yang berwarna terang dengan tujuan menstimulasi

penglihatannya. Secara auditori ajak bayi berbicara, beri kesempatan untuk


mendengar pembicaraan,musik, dan nayanyian yang menyenangkan

(Arbianingsih, 2011).

Bayi usia 4-6 bulan. Untuk menstimulasi penglihatan, dapat dilakukan

permainan, seperti mengajak bayi menonton tv, memberi mainan yang

mudah di pegangnya dan berwarna terang, serta dapat pula dengan cara

memberi cermin dan meletakkan bayi di depannya sehingga

memungkinkan bayi dapat melihat bayangan di cermin (Arbianingsih,

2011).

Bayi usia 7-9 bulan. Untuk stimulasi penglihatan dapat dilakukan

dengan memberikan mainan yang berarna terang atau memberikan

kepadanya kertas dan alat tulis kepadanya, biarkan ia mencoret-coret

sesuai keinginannya. Stimulasi pendengaran dapat dilakukan dengan

memberi bayi boneka yang berbunyi, mainan yang bisa dipegang dan

berbunyi jika digerakkan. Misalnya, buku dengan warna yang terang dan

mencolok, gelas dan sendok yang tidak pecah, bola yanag besar, berbagai

macam boneka, dan mainan yang dapat di dorong (Arbianingsih, 2011).

2. Anak usia toddler (> 1 tahun sampai 3 bulan)


Anak usia toddler menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu

banyak bergerak, tidak bisa diam, dan mulai mengembangkan autonomi

dan kemampuannya untuk dapat mandiri. Jenis permainan yang tepat

dipilih untuk anak usia toddler adalah solitary play dan paralel play. Pada

anak usia 1-2 tahun melakukan permainan sendiridengan mainannya

sendiri sedangkan pada usia lebih dari 2 tahun sampai 3 tahun anak mulai

dapat melakukan perainan secara paralel larena sudah dapat

berkomunikasi dalam kelompoknya walaupun belum begitu jelas karena

kemampuan bahasa belum terlalu lancar. Jenis alat permainan yang

diberikan adalah boneka, kereta api, truk, sepeda roda tiga, alat memasak,
alat menggambar, bola, pasir, tanah liat, dan lilin warna warni yang dapat

dibentuk benda macam-macam (Arbianingsih, 2011).

3. Anak usia pra sekolah (> 3 tahun- 6 tahun)

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya anak usia

sekolah mempunyai kemapuan motorikkasar dan halus yang lebih matang

daripada anak usia toddler. Oleh karena itu jenis permainan yang sesuia

adalah associative play, dramatic play, dan skil play. Anak juga ssudh

mampu memerankan peran orang tertentu yang diidentifikasinya seperti

ayah, ibu, dan bapak/ibu gurunya. Permainan yang menggunakan

kemampuan motorik (skil play) banyak dipilih anak usia pra sekolah

(Arbianingsih, 2011).

4. Anak usia sekolah (6 – 12 tahun)

Kemampuan anak usia sekolah semakin meningkat. Sering kali

pergaulan dengan teman menjadi tempat belajar menegnal normal baik

atau buruk. Dengan demikian, permainan pada anak uia sekolah tidak

hanya bermanfaat untuk meningkatkan ketermpilan fisik atau

intelektualnya, tetapi juga dapat mengembangkan sensitifitasnya untuk


terlibat dalam kelompok dan bekerja sama dengan sesamanya. Mereka

belajar norma kelompok sehingga dapat diterima dalam kelompoknya. Sisi

lain manfaat bermain bagi anak usia sekolah adalah mengembangkan

kemampuannya untuk bersaing secara sehat. Bagaimana anak dapat

menerima kelebiahan orang lain melalui permainan yang ditunjukkannya

(Arbianingsih, 2011).

5. Anak usia remaja (13-18 tahun)

Seperti telah dibahas pada kegiatan belajar dua tentang konsep

pertumbuhan dan perkembangan, anak remeja berada dalam suatu fase

peralihan, yaitu di satu sisi akan meninggalkan masa kana-kanak dan di


sisi lain masuk pada usia dewasa dan bertindak sebagai individu. Oleh

karena itu, dikatakan bahwa anak remja akan mengalami krisis identitas

dan apabila tidak sukses melewatinya, anak akan mencari konvensasi

padahal yang berbahaya, seperti mengonsumsi obat-obat terlarang,

minuman keras, dan atau seks bebas. Ana sering kali menyendiri,

berkhayal, atau melamun, di sisi lain mereka mempunyai geng sesama

anak remaja. Disini pentingnya keveradaan orang tua sebagai teman

bicara, dan sebagai orang tua yang menegathui kebutuhan mereka

(Arbianingsih, 2011).

G. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Bermain

Agar anak bisa bermain diperlukan hal-hal seperti di bawah ini :

1. Ekstra energi

Untuk bermain diperlukan ekstra energi. Anak yang sakit, kecil

keinginannya untuk bermain (Arbianingsih, 2011).

2. Waktu

Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain (Arbianingsih,

2011).
3. Alat permainan

Untuk bermain diperlukan alat permainan yang sesuai dengan

umur dan taraf perkembangannya (Arbianingsih, 2011).

4. Ruangan untuk bermaiain

Ruangan tidak usah terlalu lebar dan tidak perlu ruangan khusus

untuk bermain. Anak bisa bermain di ruang tamu, halaman, bahkan di

ruang tidurnya (Arbianingsih, 2011).

5. Pengetahuan cara bermain

Anak belajar bermain melalui mencoba-coba sendiri, meniru

teman-temannya atau diberitahu caranya oleh oranglain. Cara yang


terakhir adalah yang terbaik, karena anak tidak terbatas pengetahuannya

dalam menggunakan alat permainannya dan anak-anak akan mendapatkan

keuntungan lain lebih banyak (Arbianingsih, 2011).

6. Teman bermain

Anak harus merasa yakin bahwa ia mempunyai teman bermain

kalau ia memerlukan, apakah itu saudaranya, orang tuanya atau temannya.

Karena kalau anak bermain sendiri, maka ia akan kehilangan kesempatan

belajar dari teman-temannya. Sebaliknya kalau terlalu banyak bermain

dengan anak lain, maka dapat mengakibatkan anak tidak mempunyai

kesempatan yang cukup untuk menghibur diri sendiri dan menemukan

kebutuhannya sendiri. Bila kegiatan bermain di lakukan bersama orang

tuanya, maka hubungan orang tua degan anak menjadi akrab

(Arbianingsih, 2011)arba.

H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain

Ada lima faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak yaitu :

1. Tahap perkembangan anak

Aktitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan


tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak

usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak

usia sekolah. Dengan demikian juga sebaliknya karena pada dasarnya

permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Dengan demikian, orang tua dan perawat harus mengetahui dan

memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap tahapan pertumbuhan

dan perkembangan anak (Riyadi & Sukarmin, 2009).

2. Status kesehatan anak

Untuk melakukan aktifitas bermain diperlukan energy. Walaupun

demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit,
kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja

pada orang dewasa. Yang penting pada saat kondisi anaksedang menurun

atau anak terkena sakit, bahkan dirawat di rumah sakit, orang tua dan

perawat harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak

sesuai dengan prinsip bermain pada anakaa yang sedang dirawat di rumah

sakit (Riyadi & Sukarmin, 2009).

3. Jenis kelamin anak

Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya

dengan permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak

membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Semua alat

permainan dapat digunakan oleh anak laki-laki atau perempuan untuk

mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas dan kemampuan sosial

anak. Akan tetapi, ada pendapat lain yang meyakini bahwa permainan

adalah salah satu alat untuk membantu anak mengenal identitas diri

sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak dianjurkan untuk

digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini dilatarbelakangi oleh alasan adanya

tuntutan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan hal ini
dipelajari melalui media permainan (Riyadi & Sukarmin, 2009).

4. Lingkungan yang mendukung

Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk

perkembangan anak salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral, budaya,

dan lingkunga fisik rumah. Fasilitas bermain tidak selalu harus yang dibeli

di toko atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulus

imajinasi dan kreativitas anak, bahkan sering kali mainan tradisional yang

dibuat sendiri atau berasal dari benda-benda disekitar kehidupan anak akan

lebih merangsang anak untuk kreatif. Keyakina keluarga tentang moral

dan budaya juga memengaruhi bagaiman anak dididik melalui permainan.


Sementara lingkungan fisik sekitar rumah lebih banyak memengaruhi

ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan motorik.

Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak

mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-mandir,

melompat, dan bermain dengan teman sekelompoknya (Riyadi &

Sukarmin, 2009).

5. Alat dan jenis permainan yang cocok

Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk

anak. Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Label yang

tertera pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya,

apakah mainan tersebut sesuai dengan usia anak. Alat permainan tidak

selalu harus yang di beli di tokoh atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan

yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas anak, bahkan sering kali

mainan tradisional yang di buat sendiri atau berasal dari benda-benda di

sekitar kehidupan anak, akan lebih merangsang anak untuk kreatif. Alat

permainan yang harus didorong, ditarik, dan dimanipulasi, akan

mengajarkan anak untuk mengembangkan kemampuan koordinasi alat


gerak. Permainan membantu anak untuk meningkatkan kemampuan dalam

menganal norma dan aturan serta interaksi sosial denga orang lain (Riyadi

& Sukarmin, 2009).

Orang tua anak dapat memilih mainan bersama-sama, tetapi yang

harus di ingat bahwa alat permainan harus aman bagi anak. Oleh karena

itu, orang tua harus membantu anak memilihkan mainan yang aman

(Riyadi & Sukarmin, 2009).

I. Jenis Permainan Menurut Kelompok Usia

1. Anak usia bayi (sense of pleasure play)

a. 0 – 3 bln :
1) interaksi yang menyenangkan antara bayi dan orang tua dengan

orang dewasa di sekitarnya.

2) Ciri khas : perasaan senang

3) Alat yang biasa digunakan : gantungan berwarna terang dengan

4) musik yang menarik (stimulasi pendengaran) (Hurlock, 2012).

b. 4 – 6 bln :

1) Stimulasi penglihatan dengan menonton TV, mainan warnaterang,

mudah dipegang, misal cermin di depan bayi.

2) Stimulasi pendengaran : dibiasakan memanggil nama,menggulang

suara yang dikelaurkan, meletakkan mainan yangberbunyi di

dekat anak.

3) Stimulasi taktil : beri mainan yang dapat dipegang, lembut

danlentur. Saat mandi anak dibiarkan bermain air (Hurlock,

2012).

c. 7- 9 bln

1) stimulasi penglihatan : mainan berwarna terang, kertas, alat

tulis.Biarkan mencoret sesuai dengan keinginan.


2) Stimulasi pendengaran : diberikan boneka bunyi, mainan

yangdapat dipegang dan berbunyi saat digerakkan.

3) Alat permainan yang biasa diberikan : buku dengan warna

terang,mencolok, gelas dan sendok yang tidak pecah, bola yang

besar,boneka, mainan yang didorong (Hurlock, 2012)

2. Anak usia toddler (1- 3th)

a. Anak banyak bergerak, tidak bisa diam, mengimbangi otonomi

dankemampuan untuk mandiri.

b. Anak ingin tahu yang besar sehingga anak sering bongkar pasang.
c. Jenis mainan yang tepat = solitary & parallel play (1 – 2 th

:solitaryplay, 2 – 3 th : parallel play).

d. Jenis mainan yang diberikan : boneka, kereta api, truk, sepeda

rodatiga, alat masak, alat menggambar, bola, pasir, tanah liat, lilin

warna- warni (Hurlock, 2012).

3. Usia pra sekolah (3- 6 th) :

a. Anak lebih aktif dan kreatif, imajinatif, kemampuan bicara

danhubungan sosial lebih tinggi.

b. Jenis permainan :associative, dramatic, skill play. Jenis mainan yang

diberikan : mobil-mobilan, alat olahraga,berenang, permainan balok

besar.

c. Anak mampu memainkan peran : drama (Hurlock, 2012).

4. Usia sekolah (6- 12 th)

a. Mampu bekerjasama : pergaulan untuk mengenal norma baik -buruk

b. Anak mengembangkan kemampuannya untuk bersaing secara sehat.

c. Karakteristik bermain untuk laki-laki diberikan mainan jenismekanik

sehingga kreatif berkreasi, misal : mobil-mobilan.


d. Pada wanita untuk mengembangkan perasaan, pemikiran, sikap

e. dalam menjalankan peran sebagai wanita, misal : alat masak (Hurlock,

2012)

5. Anak Usia remaja ( 13 – 18 thn)

a. Anak remaja berada dalam suatu fase peralihan. Di satu sisi

akanmeninggalkan masa kanak-kanak dan di sisi lain masuk pada usia

dewasa dan bertindak sebagai individu sehingga akan mengalamikrisis

identitas dan bila tdk sukses melewatinya akan mencarikompensasi

pada hal yang berbahaya, misal : mengkonsumsi obat-obatan

terlarang, minumam keras dan/atau seks bebas (Hurlock, 2012).


b. Prinsip permainan bagi anak remaja, tidak hanya sekedar

mencarikesenangan dan meningaktkan perkembangan fisioemosional,

tetapijuga lebih ke arah menyalurkan minat, bakat, dan aspirasi

sertamembantu remaja untuk menemukan identitas pribadinya

(Arbianingsih, 2011).

c. Peran orang tua adalah mengkomunikasikan/memberitahu anak

untukmengisi kegiatan yang konstruktif, misal : melakukan

permainandengan olahraga, turut serta dalam kegiatan oranganisasi

remajayang positif seperti karang taruna, kelompok bola basket,

sepakbola (Hurlock, 2012).

J. Prinsip Bermain Pada Anak di Rumah Sakit

Prinsip permainan di rumah sakit adalah sebagai berikut :

1. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang

diajalankan pada anak. Apabila anak hharus tirah baring, harus dipilih

permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh

diajak bermain dengan kelomppoknya di tempat bermain khusus yang ada

di ruang rawat. Misalnya, sambil tiduran di tempat tidurnya, anak dapat


dibacakan buku cerita atau diberikan buku komik anak-anak, mobil-

mobilan yang tidak pakai remote control, robot-robotan, dan prmaina lain

yang dapat dimainkan anak dan orang tuanya sambil tiduran (Hidayat,

2009).

2. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan

sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,

menggunakan alat permainan yang anak pada anak yang tersedia di

ruangan. Kalaupun akan membuat suatualat permainan, pilih yang

sederhana supaya tidak melelahkan anak. (misalnya menggambar atau

mewarnai, bermain boneka, dan membaca buku cerita) (Hidayat, 2009).


3. Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat

permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang untuk

berlari-lari, dan bergerak secara berlebihan (Hidayat, 2009).

4. Permaina hharus melibatkan kelompok umur yang sama. Apabila

permainan dilakukan khusus di kamar bermain secara berkelompok,

permaina harus dilakukan pada kelompok umur yanng sama. Misalnya,

permainan mewarnai pada kelompok usia prasekolah (Hidayat, 2009).

5. Melibatkan orang tua. Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua

memunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulus tumbuh

kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit, termasuk

dalam aktivitas bermain anakanya. Perawat hanya bertindak sebagai

fasilitaor sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat, orang tua

harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai dari awal

permainan sampai mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan

perawat dan orang tua lainnya (Hidayat, 2009).

Untuk itu kegiatan bermain harus diprogram dengan baik di rumah

sakit .pada beberapa negara maju, kegiatan bermain pada anak di rumah sakit
dikoordinasi oleh ners play specialist, yaitu perawat yang mempunyai

kompetensi khusus dalam melaksanakan program bermain, yang bekerja sama

secara kolaboratif dengan perawat dan dokter anak di ruang rawat. Ia yang

mempersiapkan program vermain secara terapi bagi anak yang akan

mengahdapi operasi anak-anak yang akan dilakukan diagnostik khusus, atau

program bermain rutin sehari-hari bagi anak di rumah sakit (Hidayat, 2009).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk

memperole kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan

fisik, intelektual, emosional dan sosial, dan bermain merupakan media yang baik

untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata

(berkomunikasi), belajar menyesuaikan diridengan lingkunngan,melakukan apa

yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, D.L,

2009)

Melalui bermain anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, fantasi,

serta daya kreasi dengan tetap mengembangkan kreatifitasnya dan beradaptasi

dengan ef ktif terhadap berbagai sumber stress. Dengan bermain anak dapat

belajar mengungkapkan isi hati melalui kata-kata, anak belajar dan mampu untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, obyek bermain, waktu, ruang dan

orang (Riyadi & Sukarmin, 2009)

B. Saran

Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat


berperan aktif dalam proses pembelajaran dan mengaplikasikannya dalam lingkup

masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Arbianingsih. (2011). Keperawatan Anak. Makassar: Alauddin Press University.


Hidayat, A. A. A. (2009). Pengantar Ilmu: Keperawatan Anak 1. Jakarta:
Salemba Medika.
Hurlock. (2012). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Riyadi, S., & Sukarmin. (2009). Keperawatan Pada Anak Edisi 1. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Supartini, Y. (2012). Konsep dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Wong, D.L, et all. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Mosby: Missouri.

Anda mungkin juga menyukai