ABSES PERIAPIKAL
Disusun oleh :
Bunga Amilia Suari, S.Ked
Danang Nugroho, S.Ked Hilda Fauziah Lainatus Shifa ,S.Ked
Earfistik Tim Vio Lovya, S.Ked Jaro Shafi’i, S.Ked
Elfita Syari, S.Ked Noreba, S.Ked
Hetty Hirfawaty, S.Ked Rhahima Syafril, S.Ked
Venty Rahman, S.Ked
Pembimbing:
drg. Agung Tri Prakoso, Sp. BM
drg. Rita Endriani, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK
COMMUNITY ORIENTED MEDICAL EDUCATION (COME)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
UPTD PUSKESMAS TAPUNG PERWATAN
KAMPAR
2017
STRUKTUR REKAM MEDIS PASIEN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Ria Rahyu
Umur : 17 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Gading Sari
Agama : Islam
0
No. RM : 6012XX
5. Riwayat Psikososial
- Pasien seorang karyawan swasta dengan pendidikan terakhir SMP.
Pasien menyikat gigi 2 kali sehari saat mandi.
6. Genogram
1
Nekrosis pulpa dengan
abses periapikal
III. PEMERIKSAAN OBJEKTIF (Tanggal 12 September 2017)
1. Status Pasien
a. Keadaan umum : Komposmentis
b. Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Nafas : 18 x/menit
Suhu : 37 0C
c. Berat badan : 60 kg
d. Tinggi badan : 150 cm
e. IMT : 26.6 (obesitas grade I)
2. Ekstra Oral
a. Kepala : Dalam batas normal
b. Wajah : Dalam batas normal
c. TMJ : Dalam batas normal
d. Kelenjar Lymphonodi : Pembesaran KGB (+) pada regio mandibula
sinistra (IB)
3. Intra Oral
Inspeksi
- Jaringan Lunak
a. Bibir : warna merah muda, tidak kering.
b. Mukosa bibir, mukosa pipi : warna merah muda, lesi (-), tidak
terdapat stomatitis.
c. Gusi : tampak fistula berwarna kemerahan pada gusi gigi 36.
d. Lidah : warna merah muda, lesi (-), ukuran normal, tidak terangkat.
e. Dasar mulut : tidak terdapat penonjolan, torus mandibularis tidak
ada.
2
f. Palatum durum : torus palatinus tidak ada, lesi (-), kedalaman
sedang.
g. Palatum mole : lesi (-).
- Jaringan keras
a. Gigi : Terdapat kavitas besar pada permukaan oklusio-bucal pada
gigi 36, tampak kalkulus pada gigi 31,32,33,34,35,36,41,42, tampak
fraktur pada permukaan oklusio-bucal pada gigi 35, un-erupted gigi
38,48, missing teeth tidak ada, supenumery teeth tidak ada,
diastema /spacing tidak ada.
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada gusi gigi 36 dan teraba fistula
Perkusi : Nyeri (+) pada gigi 36 dengan menggunakan pangkal
sonde, nyeri (-) pada gigi 35
Sondase : (+) pada gigi 36, (-) pada gigi 35
Tes termal/Suhu : (-) pada gigi 36, (+) pada gigi 35
Fungsi : Pasien kesulitan mengunyah
3
ODONTOGRAM
48 Un-erupted Un-erupted 38
4
IV. FOTO GIGI PASIEN
V. DIAGNOSIS
VIII. EDUKASI
5
1) Secara umum
Memberi edukasi kepada pasien bahwa tatalaksana gigi yang
disarankan pada pasien ini adalah perawatan saluran akar agar gigi
bisa dipertahankan, akan tetapi pasien harus rutin kontrol ke dokter
gigi selama pengobatan. Namun, jika pasien tidak bersedia
diasarankan untuk dilakukan pencabutan gigi karena bila tidak
dilakukan tatalaksana akan mengakibatkan infeksi yang lebih berat,
bau mulut tidak enak, dan menjadi pemicu terjadinya kista bahkan
neoplasma.
Disarankan melakukan scalling pada gigi yang terdapat kalkulus. Bila
tidak dilakukan scalling, maka akan menyebabkan gingivitis hingga
periodontitis.
Disarankan untuk penambalan pada gigi yang fraktur agar tidak terjadi
penetrasi bakteri, melalui tubulus dentin.
2) Pencegahan
Sikat gigi minimal 2 kali sehari setelah sarapan pagi dan sebelum tidur
dengan cara yang benar.
Kurangi makan makanan yang merangsang seperti manis, asam dan
dingin.
Meningkatkan daya tahan tubuh.
Periksa gigi rutin ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Gambar 2.1 Anatomi Gigi2
Orang dewasa mempunyai 32 gigi permanen, 16 di tiap rahang. Di tiap rahang
terdapat:1
Empat gigi depan /insisivus.
Bentuknya seperti sekop dengan tepi yang lebar untuk menggigit, hanya
mempunyai satu akar. Gigi insisivus atas lebih besar daripada gigi yang bawah.
Dua gigi kaninus
Gigi ini merupakan gigi ini kuat dan menonjol di “sudut mulut”, namunhanya
mempunyai satu akar.
Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil.
Mahkotanya bulat hampir seperti bentuk kaleng tipis, mempunyai dua tonjolan,
satu di sebelah pipi dan satu di sebelah lidah. Kebanyakan gigi pre-molar
mempunyai satu akar, beberapa mempunyai dua akar.
Enam gigi molar
Merupakan gigi-gigi besar di sebelah belakang di dalam mulut digunakan untuk
menggiling makanan. Semua gigi molar mempunyai mahkota persegi, seperti
blok-blok bangunan. Ada yang mempunyai tiga, empat, atau lima tonjolan. Gigi
molar di rahang atas mempunyai tiga akar dan gigi molar di rahang bawah
mempunyai dua akar.
8
Gambar 2.2 Bentuk-bentuk gigi3
Gigi terdiri dari beberapa jaringan, yaitu:4
a. Enamel
Enamel gigi merupakan susunan kimia kompleks, sebagian besar terdiri dari
97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, dan fluor), air 1% dan bahan organik 2%,
yang terletak dalam suatu pola kristalin.
b. Dentin
Dentin adalah suatu jaringan vital yang tubulus dentinnya berisi perpanjangan
sitoplasma odontoblas. Sel-sel odontoblas mengelilingi ruang pulpa dan
kelangsungan hidupnya bergantung kepada penyediaan darah dan drainase limfatik
jaringan pulpa. Oleh karena itu dentin peka terhadapberbagai macam rangsangan,
misal: panas dan dingin serta kerusakan fisik termasuk kerusakan yang disebabkan
oleh bor gigi.
c. Sementum
Sementum adalah penutup luar tipis pada akar yang mirip strukturnya dengan
tulang.
d. Pulpa
Pulpa terdapat dalam gigi dan terbentuk dari jaringan ikat yang berisikan
serabut saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai dentin.
2.2 Infeksi
9
Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang
masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Secara umum proses terjadinya penyakit
melibatkan tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit
(agen), faktor manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan.5
1. Transmisi Langsung
Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu.
Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nuclei
saat bersin, batuk, berbicara atau saat transfusi darah dengan darah yang
terkontaminasi mikroba patogen.
Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area yang
cedera atau destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau
membatasi penyebab trauma dan kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal reaksi
inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang berbeda) selalu melibatkan aktivasi
sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines intraseluler dan mediator-
producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan:6
- Aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis
- Respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag, sel
mast. Tipe sel efektor yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada tipe
10
pemicu cedera (perdarahan, iskemia, kontaminasi bakteri). Sel efektor melepaskan
mediator dan sitokin : oxygen radicals, histamin, eicosanoid, faktor koagulasi.
Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan
(up-regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory
mechanism) yang sangat kompleks. Walaupun pemicunya berbeda, tetapi
patofisiologinya tidak lepas dari penyebabnya adalah infeksi atau non-infeksi dan
bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu, saat ini mekanisme seperti itu disebut
sebagai common pathway of inflamatory respons.6
Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi lokal
respon inflamasi tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut.
Intensitas dari respon inflamasi tersebut merupakan refleksi biologik yang bergantung
pada hebat serta intensitas trauma yang terjadi atau berat-ringannya infeksi yang
menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan menyebabkan respon inflamasi
lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome). Namun apabila luka
traumatik tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi respon
inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Respon
inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada organ jauh (remote organ)
akibat dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi sistemik akan mengakibatkan
terjadinya MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome).6
Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ
melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat:6
- Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke
sirkulasi sistemik.
- Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke
dalam sirkulasi sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.
- Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi
intensitas respon lokal sangat hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi
sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin kemoatraktan
(chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin 1,6,8,12,18, interferon-
, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived
11
mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species
(ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).
penyebabnya adalah infeksi atau ditemukan adanya suatu infeksi bakteri, maka
pasien menderita penyakit yang dinamakan sepsis. Ketika sepsis berhubungan dengan
kerusakan organ yang jauh dari tempat infeksi, maka dinamakan severe sepsis. Sepsis
adalah, respon sistemik tubuh terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat
(disfungsi organ akut sekunder untuk dicurigai adanya infeksi) dan syok septik
12
6. Edema signifikan ataukeseimbangan cairan positif (> 20 mL/Kg lebih
dari 24 jam)
7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7,7 mmol/L) dan
tidak diabetes
- Inflamasi:
1. Leukositosis (Hitung sel darah putih > 12.000 μL–1)
2. Leukopeni (Hitung sel darah putih < 4000 μL–1)
3. Hitung sel darah putih normal dengan lebih dari 10% ditemukan
bentuk imatur
4. C-reactive protein plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai
normal
5. Prokalsitonin plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal
- Hemodinamik:
Hipotensi arteri (tekanan darah sistolik < 90mmHg, MAP < 70 mmHg,
atau tekanan darah sistolik turun > 40mmHg pada dewasa atau lebih rendah
dua standar deviasi dibawah nilai normal umur)
- Disfungsi Organ:
1. Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
2. Oliguria akut (jumlah urin < 0,5 mL/Kg/jam selama minimal 2 jam
meskipun resusitasi cairan adekuat
3. Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L
4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)
5. Ileus (tidak terdengar suara usus)
6. Trombositopeni (hitung trombosit < 100.000 μL–1)
7. Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4mg/dL atau 70
μmol/L)
- Perfusi Jaringan:
1. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
2. Penurunan kapiler refil
13
Kemudian kriteria sepsis berat adalah sebagai berikut:
1. Sepsis-induced hipotensi
2. Laktat diatas batas atas nilai normal laboratorium
3. Jumlah urin < 0,5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam walaupun resusitasi
cairan adekuat
4. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 250 dengan tidak adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi
5. Kreatinin > 2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)
6. Bilirubin > 2 mg/dL (34,2 μmol/L)
7. Hitung platelet < 100.000 μL
8. Koagulopati (international normalized ratio > 1,5)
14
Jika tidak diobati, umumnya menyebar ke berdekatan ruang fasia (masseter,
sublingual, submandibula, temporal, bukal, kaninus dan parapharyngeal) dan dapat
menyebabkan komplikasi tambahan. Oleh karena itu, diagnosis awal infeksi dan
terapi yang tepat sangat penting.7
Penyebab infeksi odontogenik tersering adalah nekrosis pulpa dari gigi,
yang diikuti oleh invasi bakteri melalui ruang pulpa dan kedalam jaringan yang lebih
dalam. Nekrosis pulpa adalah hasil dari karies dalam di gigi. Vasodilatasi dan edema
tekanan penyebab di gigi dan sakit parah sebagai dinding kaku gigi mencegah
pembengkakan. Jika tidak diobati tekanan menyebabkan strangulasi pasokan darah ke
gigi. Nekrosis pulpa kemudian mempermudah invasi bakteri ke dalam jaringan
tulang. Setelah bakteri telah menyerang tulang, infeksi menyebar merata kesegala
arah sampai lempeng kortikal.7
Infeksi odontogenik terdiri dari tiga jenis: abses periapikal, yang melibatkan
nekrosis dari pulpa gigi dan infeksi berikutnya saluran akar, abses periodontal
dibentuk pada asosiasi periodontitis dan perikoronitis yang merupakan infeksi
pericoronal lembut jaringan yang melapisi mahkota gigi.7
2.3.1 Patogenesis
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses
dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang
merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke
jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang dapat
melalui foramen apikal atau marginal gingival.12 Penyebaran infeksi melalui foramen
apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di
sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis.
Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal
mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi.
Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis
yang supuratif atau abses dentoalveolar.8
15
2.4 Macam-macam infeksi odontogenik
Macam-macam infeksi odontogenik berdasarkan spasium8
- Spasium subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak
mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna
kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,
berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi
premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula,
tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.
- Spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. masseter, m. pterigoidus interna dan m.
Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot 20
pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat
berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukal dan menonjol ke arah rongga
mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi
penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium
terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas
pada perabaan.
16
- Spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah 21
dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus
mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh
m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula,
milohioid, lingual, businator dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid dan
juga berdekatan dengan pleksus faringeal.
- Spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah
sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah
dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah
dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis
lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang
bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini. Gejala klinis
dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mandibula bagian dalam, pembengkakan
jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian
posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.
- Spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya
dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula.
Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid
eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium
sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia
superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna. Infeksi pada
spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan
perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.
17
- Spasium sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal, terletak diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh
permukaan lingual mandibula. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan dasar
mulut dan lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan
tampak menonjol karena 24 terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan
mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit.
- Spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya
melintang m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental. Perjalanan abses
kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infeksi dapat berasal
dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi
supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada pemeriksaan intra oral tidak
tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih
merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah
spasium yang terdekat terutama kearah belakang.
- Spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid
interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor. Sebelah belakang oleh glandula
parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal
dari prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena
jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik,
hipoglosal dan kenjar limfe. Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui
berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses
18
otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui
selubung karotis sampai mediastinuim.
19
sakit. Drainase juga mungkin dilakukan dengan trepanasi tulang bukal, ketika
saluran akar tidak dapat diakses.
4. Antisepsis daerah dengan cairan antiseptik sebelum sayatan.
5. Anestesi dari daerah di mana insisi dan drainase abses harus dilakukan, dengan
teknik blok bersama dengan perangkat infiltrasi anestesi agak jauh dari daerah
yang meradang, untuk menghindari risiko mikroba yang ada menyebar ke jaringan
dalam.
6. Perencanaan sayatan :
a. Cedera duktus (Wharton, Stensen) dan vessel besar dan saraf dihindari.
b. Drainase yang memadai diperbolehkan. Sayatan dalam dilakukan dangkal,
pada titik terendah dari akumulasi, untuk menghindari rasa sakit dan
memfasilitasi evakuasi nanah di bawah gravitasi.
c. Sayatan tidak dilakukan di daerah yang terlihat, untuk alasan estetika, jika
mungkin dilakukan intraoral.
d. Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada waktu yang tepat. Ini
dikarenakan ketika nanah telah terakumulasi dalam jaringan lunak dan
berfluktuasi selama palpasi, yaitu saat ditekan antara ibu jari dan jari tengah,
ada gelombang seperti pergerakan dari cairan di dalam abses. Jika sayatan
prematur, biasanya ada sejumlah perdarahan kecil, tidak ada nyeri untuk
pasien dan edema tidak mereda.
e. Lokalisasi tepat nanah dalam jaringan lunak (jika tidak ada fluktuasi hadir)
dan sayatan untuk drainase harus dilakukan setelah interpretasi data tertentu.
Misalnya, memastikan paling lembut titik pembengkakan selama palpasi, atau
kemerahan pada mucosa kulit, dan titik paling menyakitkan untuk tekanan.
Daerah ini menunjukkan di mana untuk membuat insisi dengan pisau bedah.
Jika tidak ada indikasi akumulasi nanah untuk memulai dengan, bilasan panas
intraoral dengan chamomile dianjurkan untuk mempercepat pengembangan
abses dan memastikan bahwa abses ini matang.
f. Hindari aplikasi panas kompres ekstraoral, karena ini memerlukan
peningkatan risiko evakuasi nanah terhadap kulit (drainase spontan).
20
g. Drainase abses pada awalnya dilakukan dengan hemostat yang dimasukkan ke
dalam rongga abses dengan paruh tertutup, digunakan dengan lembut
mengeksplorasi rongga dengan paruh terbuka dan ditarik lagi dengan paruh
yang terbuka. Pada saat yang sama dengan diseksi tumpul sedang dilakukan,
jaringan lunak dari wilayah ini dipijat lembut, untuk memudahkan evakuasi
nanah.
h. Penempatan karet saluran di dalam rongga dan stabilisasi dengan jahitan pada
satu bibir insisi, yang bertujuan untuk menjaga insisi terbuka untuk drainase
terus menerus baru akumulasi nanah.
i. Pencabutan gigi yang bertanggung jawab secepat mungkin untuk memastikan
drainase segera inflamasi material, dan penghapusan tempat infeksi. Ekstraksi
dihindari jika gigi dapat diawetkan, atau jika ada peningkatan risiko serius
komplikasi dalam kasus di mana pencabutan gigi sangat sulit.
j. Pemberian antibiotik, ketika pembengkakan adalah umumnya menyebar dan
menyebar, dan terutama jika ada demam hadir, dan infeksi menyebar ke ruang
fasia, terlepas dari apakah ada indikasi adanya nanah.
2.6 Abses Periapikal
2.6.1 Definisi
Abses periapikal adalah hasil dari infeksi pulpa yang menyebabkan jaringan
pulpa menjadi nekrotik. Hal ini terjadi ketika adanya akumulasi atau kumpulan pus
yang dikelilingi oleh jaringan yang mengalami proses inflamasi yang berlokasi di
dekat apeks dari akar gigi yang sudah non vital.9
2.6.2 Etiologi
Abses periapikal terjadi akibat dari infeksi yang mengikuti karies gigi atau
infeksi pulpa, setelah trauma pada gigi yang mengakibatkan pulpa nekrosis, iritasi
jaringan periapikal baik oleh manipulasi mekanik maupun oleh aplikasi bahan-bahan
kimia di dalam prosedur endodontik, yang dapat berkembang langsung dari
periodontitis periapikal akut.10
Abses periapikal akut juga dapat berkembang dari abses kronis yang
mengalami eksaserbasi akut. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu
terganggunya keseimbangan antara pertahanan tubuh pasien dan virulensi dari
21
mikroorganisme yang mempertahankan keadaan infeksi kronis. Jadi jika pertahanan
tubuh pasien menurun, maka mikroorganisme mampu menyerang jaringan dengan
lebih mudah dan menghasilkan abses yang akut. Faktor lain adalah pada saat sinus
dari abses periapikal kronis tertutup debris-debris, hal ini dapat menghalangi eksudat
untuk keluar, maka keadaan akut dapat terjadi.10
Tahap-tahap Pembentukan Abses
Tahap pembentukan abses diawali dengan tahap inokulasi yaitu dengan
penyebaran awal (mungkin oleh streptococcus) ke dalam jaringan lunak. Tahap ini
ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak, lengket, dan agak halus yang disertai
dengan sedikit kemerahan. Tahap kedua yaitu tahap selulitis, merupakan proses
inflamasi mencapai puncak dan menyebabkan pembengkakan yang berwarna sangat
merah, keras dan amat sakit disertai functio laesa seperti trismus atau
ketidakmampuan mendorong lidah ke depan. Pada tahap ke tiga yaitu pembentukan
abses. Dari hasil palpasi didapatkan fluktuasi yang merupakan pergerakan cairan
yang disebabkan oleh aliran pus di dalam kavitas abses. Tahap akhir dari infeksi
odontogenik yaitu pecahnya abses yang terjadi secara spontan atau dengan drainase
terapeutik.11
Tahap awal dari fase selular dicirikan dengan akumulasi pus pada tulang
alveolar yang disebut sebagai abses intra alveolar. Kemudian pus menyebar ke tulang,
menyebar ke spasia subperiosteal yang membentuk abses subperiosteal di mana pus
terakumulasi antara tulang dan periosteum. Setelah menembus periosteum, pus terus
menyebar melalui jaringan lunak ke segala arah yang biasanya menyebar secara
intraoral ke bawah mukosa membentuk abses submukosa. Walaupun terkadang pus
juga menyebar melalui jaringan ikat longgar dan setelah melalui bawah kulit
membentuk abses subkutan, sementara itu juga bisa menyebar ke spasia fasial
membentuk abses yang berbahaya, abses spasia fasial.11
2.6.3 Patogenesis
Penyebab penyakit pulpa dan kelainan periapikal sangat berhubungan dengan
bakteri. Bakteri yang terdapat pada jaringan pulpa akan mengakibatkan peradangan
dan berlanjut kejaringan periapikal. Sumber utama bakteri dalam pulpa adalah karies.
Bakteri pada karies akan memproduksi toksin yang akan berpenetrasi ke dalam pulpa
melalui tubulus. Akibatnya, jaringan pulpa akan terinflamasi secara lokal pada basis
22
tubulus yang terkena karies terutama oleh sel-sel inflamasi kronik seperti makrofag,
limfosit, dan sel plasma. Jika pulpa terbuka, jaringan pulpa bisa tetap terinflamasi
untuk waktu yang lama sampai akhirnya menjadi nekrosis atau bisa dengan cepat
menjadi nekrosis. Hal ini bergantung pada virulensi bakteri, kemampuan untuk
mengeluarkan cairan inflamasi guna mencegah peningkatan tekanan intrapulpa yang
besar, ketahanan host, jumlah sirkulasi, dan drainase limfe.10
Setelah nekrosis pulpa, reaksi inflamasi dari jaringan pulpa akan berlanjut
kejaringan periapikal. Jaringan pulpa yang mengandung bakteri serta toksinnya akan
keluar melalui foramen apikal, yang mana foramen apikal ini merupakan penghubung
pulpa dan jaringan peridonsium. Bakteri serta toksinnya dan mediator inflamasi
dalam pulpa yang terinflamasi dapat keluar dengan mudah melalui foramen apikal
sehingga menyebabkan kerusakan periapikal, hal ini dikarenakan dibagian foramen
apikal terdapat bakteri dan produknya. Peradangan yang meluas ke jaringan
periapikal menyebabkan respon inflamasi lokal sehingga akan mengakibatkan
kerusakan tulang dan resorpsi akar.10
2.6.4 Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari abses periapikal akut adalah sebagai berikut:10
a. Gigi sedikit ekstrusi dari soketnya yang disebabkan eksudat dan neutrofil dari
abses menyebabkan penekanan di daerah jaringan gigi.
b. Terdapat tanda-tanda infeksi seperti demam, malaise dan leukositosis.
c. Terdapat bengkak pada jaringan gigi.
d. Gigi yang terlibat tidak menimbulkan respon terhadap stimulasi elektrik dan
termis karena pulpa telah nekrosis.
e. Gigi terasa nyeri terhadap palpasi dan perkusi
f. Perluasan abses periapikal akut pada jaringan lunak yang akan menunjukkan
gambaran yang biasa dari inflamasi akut yaitu merah, bengkak dan panas.
Gambaran klinis dari abses periapikal kronis adalah sebagai berikut:10
a. Abses periapikal kronis biasanya asimtomatik akibat drainse.
b. Gigi tidak mengalami respon terhadap stimulus termis dan elektris karena
pulpa sudah nekrosis.
c. Perkusi terkadang nyeri.
d. Gigi sensitif terhadap palpasi.
e. Adanya fistel
23
Gambar 2.3 Gambaran klinis abses periapikal4
2.6.4 Diagnosis
a. Anamnesis12
Pada anamnesis didapatkan nyeri yang bersifat intermiten. aspek nyeri merupakan
petunjuk kuat bagi adanya penyakit endodonsi yang ireversibel. Aspek-aspek ini
adalah intensitas, spontanitas, dan kontinuitas nyeri.
b. Pemeriksaan objektif12
- Pemeriksaan Ekstra Oral
Penampilan umum, tonus otot, asimetris wajah, pembengkakan, perubahan warna,
kemerahan dan jaringan limfe servikal/wajah membesar. Pemeriksaan ekstra oral
pada abses periapikal dapat ditemukan perbesaran kelenjer limfe regional dengan
nyeri tekan pada pembesaran kelenjar getah bening tersebut.
- Pemeriksaan Intra Oral
Pemeriksaan ini meliputi tes visual dan digital jaringan rongga mulut yang lengkap
dan teliti. Bibir, mukosa oral, pipi, lidah, palatum dan otot-otot. Diperiksa pula
mukosa alveolar dan gingiva sekatnya untuk melihat apakah daerah tersebut
mengalami perubahan warna, terinflamasi, mengalami ulserasi atau mempunyai
saluran sinus.
Gigi geligi
Gigi geligi di periksa untuk mengetahui adanya perubahan warna, fraktur, abrasi,
erosi, karies, restorasi yang luas atau abnormalitas lain. Mahkota yang berubah warna
sering merupakan tanda adanya penyakit pulpa atau merupakan akibat perawatan
saluran akar yang telah di lakukan sebelumnya.
Tes klinis.
Tes klinis meliputi tes dengan menggunakan kaca mulut dan sonde serta tes
periodontium selain tes pulpa dan jaringan periapeks.
Tes Perkusi
Perkusi dapat menentukan ada tidaknya penyakit periradikuler. Cara melakukan
perkusi adalah dengan mengetukkan ujung kaca mulut yang di pegang paralel atau
tegak lurus terhadap mahkota pada permukaan insisal atau oklusal mahkota.
24
Terdapat dua metode perkusi yaitu: tes perkusi vertikal dan tes perkusi horizontal.
Jika tes perkusi vertikal positif berarti terdapat kelainan di daerah periapikal, dan jika
tes perkusi horizontal positif berarti terdapat kelainan di periodonsium.
Tes perkusi dilakukan dengan cara sebagai berikut ini :
- Pukulan cepat dan tidak keras pada gigi, mula-mula memakai jari dengan
intensitas rendah kemudian intensitas ditingkatkan dengan menggunakan tangkai
suatu instrumen, untuk mengetahui apakah gigi terasa sakit
- Gigi tetangga sebaiknya di perkusi lebih dahulu dan kemudian diikuti gigi
yang menjadi keluhan.
- Reaksi yang lebih valid didapat dari pergerakan tubuh pasien, reaksi reflek,
bahkan reaksi yang tidak bisa dikatakan.
Nilai diagnostik pada pemeriksaan perkusi adalah untuk mengetahui apakah daerah
atau jaringan apikal gigi mengalami inflamasi. Pada abses periapikal biasanya
ditemukan nyeri ketok yang hebat pada daerah abses disebabkan karena penekanan
ujung saraf oleh pus, ekstrudasi gigi dari soketnya.
Tes Palpasi
Palpasi menentukan seberapa jauh proses inflamasi telah meluas ke arah periapikal.
Palpasi dilakukan dengan menekan mukosa di atas apeks dengan cukup kuat.
Penekanan dilakukan dengan ujung jari seperti pada tes perkusi. Pemeriksaan
hendaknya menggunakan minimal satu gigi sebagai pembanding.
Pemeriksaan dengan sonde (sondasi)
Sonde dapat berpenetrasi ke dalam lesi inflamasi periapikal yang meluas ke servikal.
Gigi dengan pulpa nekrosis yang menginduksi inflamasi periapikal yang meluas ke
arah servikal memiliki prognosis yang baik jika saluran akarnya telah dirawat dengan
baik. Namun, prognosis saluran akar pada gigi dengan paenyakit periodontium parah
biasanya sangat bergantung pada keberhasilan perawatan periodontiumnya. Gigi
dengan penyakit periodontium parah merupakan gigi yang tidak begitu baik
prognosisnya untuk perawatan saluran akar. Kedalaman yang bisa diprobing
sepanjang permukaan dan furkasi harus diukur dan dicatat agar dapat digunakan
sebagai pembanding di kemudian hari.
Tes Termal
25
Untuk melakukan tes termal, tip applicator kapas disemprotkan dengan agen
pendingin (Histo Freeze , Fisher Brand, Fisher Scientific , Pittsburgh , PA 15219 )
atau gutta-percha panas yang langsung diaplikasikan ke gigi. Nyeri yang berlangsung
selama 10-15 detik atau kurang dari itu setelah stimulasi dengan panas atau dingin
menunjukkan hiperemia, inflamasi yang dapat hilang (reversible) dengan
dihilangkannya iritasi. Rasa nyeri yang intens dengan durasi yang lama dari panas
atau dingin biasanya menunjukkan pulpitis irreversible yang hanya dapat diatasi
dengan terapi endodontic atau ekstraksi. Kekurangan respon panas atau dingin dapat
mengindikasikan pulpa yang nekrosis. Gigi yang berdekatan atau gigi yang
kontralateral yang tidak terinfeksi harus dites juga sebagai perbandingan dasar karena
durasi rasa nyeri bisa berbeda di tiap gigi. Test vitalitas baik secara termis maupun
elektris sedikit manfaatnya dan diragukan pada gigi sulung dalam memberi gambaran
tentang tingkat peradangan pulpa karena anak belum dapat membedakan rangsangan
ditambah adanya rasa takut dari si anak.
Tes Pulpa Elektrik
Tes elektrik pulpa juga bisa menilai vitalitas pulpa. Penguji elektrik pulpa
ditempatkan pada gigi dan bukan pada bagian restorasi. Arus listrik kecil akan dikirim
kegigi yang menyebabkan adanya sensasi kesemutan ketika pulpa masih vital, namun
ketika pulpa tidak vital maka tidak akan ada respon. Penting untuk mengamati gigi
yang berdekatan atau gigi kontralateral sehingga gigi yang menjadi objek
pemeriksaan dapat dievaluasi terhadap respon gigi lainnya. Tes elektrik pulpa dapat
memberikan informasi tambahan, ketika dikombinasikan dengan penemuan lain,
yang dapat menunjang diagnosis. Tes elektrik pulpa terkadang tidak possible jika
dilakukan pada gigi dengan restorasi yang besar atau full-coverage restorastions.
c. Pemeriksaan Penunjang
Abses periapikal akut dapat didiagnosis pasti dengan pemeriksaan radiologi dan
histopatologi. Gambaran histopatologi dari abses periapikal akut adalah sebagai
berikut :9
1. Daerah supurasi disusun oleh pus yang terdiri dari leukosit polimorfonukleus
yang didominasi oleh neutrofil dalam berbagai tahap penghancuran, eksudat
26
protein dan jaringan nekrotik. Kadang-kadang juga terlihat plasma sel dan
limfosit dalam jumlah yang sedikit.
2. Pus dikelilingi oleh sel inflamasi leukosit yang didominasi oleh polimorfonuklear
neutrofil serta sedikit plasma sel dan limfosit.
3. Dilatasi pembuluh darah dan neutrofil yang berinfiltrasi pada ligament
periodontal dan sumsum tulang yang berdekatan dengan cairan nekrotik.
4. Di dalam ruang sumsum tulang juga terdapat sel-sel inflamasi yang terinfiltrasi.
5. Jaringan di sekitar daerah supurasi mengandung cairan serous.
27
Gambar 2.6 Gambaran radiologi abses periapikal9
Gambaran radiografi pasien ini biasanya berupa gambaran radiolusen berbatas difus
di periapikal. Pada pemeriksaan patologi anatomi pada sediaan abses periapikal akut
dapat ditemukan area supuratif (kavitas) yang berisi jaringan yang telah mati
(nekrosis) dan sel sel PMN. Sedangkan gambaran patologi anatomi pada abses
periapikal kronis dapat ditemukan rongga abses dikelilingi oleh lapisan padat sel-sel
inflamasi kronis (limfosit dan plasma sel).9
2.6.5 Penatalaksanaan
Terapi dari abses periapikal akut adalah sebagai berikut:12
a. Lakukan drainase, lebih baik melalui saluran akar. Instruksikan pasien agar
menggunakan larutan hangat sebagai pencuci mulut tiap jam.
b. Buat insisi kecil pada bagian yang paling fluktuan dari pembengkakan tersebut
untuk memancing drainase bila pembengkakan sangat besar dan drainase melalui
saluran akar tidak cukup. Prosedur ini dapat dilakukan dengan mengulaskan pasta
anastesi topical atau menyemprotkan etil klorida pada daerah yang akan di insisi
dan tusuk pembengkakan tersebut dengan pisau scalpel.
c. Berikan antibiotik bila drainase tidak produktif atau bila ada pireksia, rasa sakit
dan meningkatnya limfadenopati.
28
BAB III
PEMBAHASAN
29
mengunyah. Pasien sering merasa mulutnya cepat berbau meskipun baru menyikat
gigi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kavitas besar pada permukaan oklusio-bucal
pada gigi 36, fistula berwarna kemerahan pada gusi gigi 36. Pada palpasi ditemukan
nyeri tekan pada gusi gigi 36 dan teraba fistula, pada perkusi didapatkan nyeri pada
gigi 36 dengan dan hasil sondase positif pada gigi 36, pada tes termal/suhu
didapatkan hasil negatif pada gigi 36.
Fistula merupakan ciri khas dari abses periapikali kronis. Fistula merupakan
saluran abnormal yang terbentuk akibat drainasi abses. Fistula terbentuk karena
secara alami abses akan terus mencari jalan keluar akibat pola penyebaran abses.
Sebelum abses dan fistula terbentuk, proses penyakit diawali dengan infeksi pada
gigi. Perjalanan penyakit pasien diawali dengan karies atau lubang pada gigi. Karies
tersebut tidak diobati ke dokter gigi sehingga menjadi fokal infeksi atau jalan masuk
bakteri. Ketika proses karies terus berlanjut melalui struktur keras gigi (enamel dan
dentin) menuju ke ruang pulpa, infeksi pulpa dan atau proses peradangan terjadi.
Proses ini biasanya menghasilkan nekrosis pulpa. Abses gigi dimulai dengan nekrosis
pulpa gigi, yang mengarah ke invasi bakteri dari ruang pulpa dan jaringan yang lebih
dalam.11 Hal ini ditandai dengan keluhan nyeri pada gigi dua bulan yang lalu yang
dirasakan hilang timbul. Nekrosis pulpa pada pasien juga dibuktikan dengan keadaan
non vital pada gigi yaitu hasil negatif pada tes termal. Nekrosis pulpa dapat terjadi
karena dalam kavitas (karies) tersebut memicu vasodilatasi dan edema, yang
menyebabkan tekanan dan nyeri pada dinding gigi. Tekanan ini memotong sirkulasi
ke pulpa, dan infeksi dapat menyerang tulang di sekitarnya. Proses inflamasi
kemudian meluas ke jaringan periapical melalui foramen apical, yang menyebabkan
tekanan dan nyeri pada dinding gigi. Proses inflamasi kemudian meluas ke jaringan
periapical melalui foramen apical, yang menyebabkan pembentukan abses periapical.
Adanya keluhan bengkak dan nyeri saat palpasi gusi serta hasil positif pada tes
perkusi menunjukkan abses periapikal. Abses yang terbentuk kemudian akan mencari
jalan keluar yang disebut dengan pola penyebaran abses. Pola penyebaran abses di
pengaruhi oleh 3 faktor yaitu virulensi bakteri, ketahanan host, dan perlekatan
jaringan otot. Pada pasien ini, terbentuk fistula yang menjadi jalan keluar abses. Jika
30
tidak terbentuk fistula maka penyebaran abses akan berlanjut menembus lapisan
periosteum dan proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat.11,12
Diagnosa pasti abses periapikal dapat dilihat dari gambaran radiologi, gambaran
radiologi abses periapikal biasanya berupa gambaran radiolusen berbatas difus di
periapikal.9
Pada pasien abses periapikal terjadi proses infeksi pada rongga mulut, maka
harus diperhatikan apakah telah terjadi respon infeksi sistemik pada pasien tersebut
yang disebut dengan sepsis. Sepsis adalah jika pasien memiliki dua atau lebih kriteria
Systemic Inflammatory Response Syndrom (SIRS). yaitu suhu > 38oC atau < 36oC,
denyut jantung > 90 kali / meni, respirasi > 20 kali / menit atau Pa CO2 < 32 mmHg,
dan hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10 % sel immature disertai dengan adanya
fokal infeksi.6 Pada pasien ini ditemukan fokal infeksi berupa karies gigi yang telah
menyebabkan abses periapikal, namum belum ditemukan tanda-tanda adanya respon
sistemik akibat infeksi yang terjadi pada rongga mulut meskipun pasien pernah
mengeluhkan demam.
Tatalaksana awal pada pasien dengan abses periapikal adalah drainase abses,
namun pada pasien ini telah terbentuk fistula sehingga telah terjadi drainase abses
secara alami. Fistula akan hilang dengan sendirinya setelah hilangnya infeksi dalam
saluran akar.9,12 Antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah amoksisilin,
sedangkan untuk penanganan kasus abses dengan nekrosis gigi disarankan
menggunakan jenis antibiotik yang dapat mengatasi infeksi oleh bakteri anaerob,
diantaranya metronidzol atau klindamisin. Selain itu, juga telah terbentuk fistula
sehingga antibiotik yang lebih tepat untuk membunuh bakteri dalam kasus ini adalah
yang dapat membunuh bakteri anaerob. Selain antibiotik, juga diberikan analgetik
yaitu paracetamol sebagai terapi simtomatik karena pasien datang dengan keluhan
nyeri. Tatalaksana untuk nekrosis gigi yang dianjurkan pada pasien ini adalah
perawatan saluran akar, karena mahkota gigi pada pasien ini masih ada dan jaringan
penopang gigi belum terganggu. Perawatan saluran akar adalah perawatan yang
dilakukan dengan pengangkatan jaringan pulpa yang telah terinfeksi dari kamar
31
pulpa dan saluran akar, kemudian diisi padat oleh bahan pengisi saluran akar agar
tidak terjadi kelainan lebih lanjut atau infeksi ulang. Perawatan saluran akar
memerlukan waktu yang lama sehingga dibutuhkan kepatuhan pasien untuk datang
kontrol. Perawatan saluran akar tersedia di Puskesmas Tapung Perawatan, namun
pasien ini menolak untuk dilakukan perawatan saluran akar sehingga disarankan
untuk dilakukan pencabutan pada gigi. Selain itu, pasien juga diedukasi untuk
menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan menyikat gigi minimal 2 kali sehari setelah
sarapan pagi dan sebelum tidur dengan cara yang benar dan melakukan pemeriksaan
gigi rutin ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali.
Selain diagnosis abses, pada pasien juga ditemukan fraktur pada mahkota gigi
35 sehingga perlu ditambahkan diagnosa fraktur pada gigi 35. Fraktur gigi tersebut
termasuk fraktur gigi kelas 2 karena terjadi fraktur mahkota gigi yang telah
melibatkan jaringan dentin tetapi belum melibatkan pulpa dan pada pemeriksaan fisik
pada gigi yang fraktur tidak ditemukannya nyeri, hasil sondase negatif dan tes termal
positif.5 Tatalaksana untuk fraktur dentin pada pasien adalah penambalan gigi agar
tidak terjadi penetrasi bakteri melalui tubulus dentin. Penambalan dengan semen
kalsium hidroksi dan restorasi kompulsif sudah cukup ideal. Bila patahan gigi
tersebut cukup besar, fragmen mahkota dapat disemen kembali menggunakan resin
komposit. Namun pada kasus ini, pasien tidak bersedia dilakukan penambalan karena
merasa tidak terganggu. Selain itu, juga perlu ditambahkan diagnosis kalkulus pada
gigi 31,32,33,34,3,36,41,42 dan un-erupted gigi 38,48. Untuk tatalaksan kalkulus
disarankan kepada pasien untuk melakukan scalling gigi untuk membersihkan
kalkuklus yang terdapat gigi. Sedangkan, belum erupsi gigi 38 dan 48 belum menjadi
masalah karena erupsi gigi molar 3 berlangsung hingga usia 21 tahun, sedangkan
pasien masih berusia 17 tahun.3
32
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Abses periapikal pada gigi dengan nekrosis pulpa dapat didiagnosis
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditemukan fistula pada ginggiva
merupakan ciri khas dari abses periapikali.
2. Karies gigi merupakan proses awal terjadinya abses periapikal pada pasien.
3. Tatalaksana gigi dengan nekrosis pulpa disertai abses periapikal kronik dengan
fistula adalah antibiotik dan perawatan saluran akar.
33
4. Penanganan kalkulus pada pasien yaitu pasien disarankan untuk melakukan
scalling.
5. Penanganan fraktur dentin adalah penambalan gigi.
SARAN
1. Kepada pasien disarankan untuk kontrol kembali agar dapat dilakukan
pencabutan gigi, sehinnga tidak terjadi infeksi lanjut pada gigi.
2. Kepada dokter gigi ataupun tenaga kesehatan lainnya untuk lebih meningkatkan
program penyuluhan dan edukasi tentang menjaga kesehatan gigi dan mulut
serta perawatan gigi kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Berkovitz BKB, Holland GR, Moxham BJ. Oral anatomy, histology and
embriology. 4 th edition. London: Mosby Elsavier; 2008. 217-20.
2. Siregar, M. Karies gigi. [Internet]. 2017. [Diakses pada 20 September 2017]
Tersedia dari :http//medicascore.com.
3. Tooth Eruption. [Internet]. 2017 [Diakses pada 20 September 2017] Tersedia dari
: http//www.adandental.com.au/tooth_eruption _dates.htm.
4. Alan BD, Joanna MD. Common dental emergencies. American Family Physician.
University of Connecticut School of Dental Medicine, Farmington. 2003. 511-6.
34
5. Lars Andersson, Karl Erik Kahnberg, M.Anthony. Oral and maaxillofacial
surgery. 1st edition. United State: Willey Blackwell; 2010. 467-70.
6. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J
Med. 2003: 138-50.
7. Balaji, S.M. Textbook of oral and maxillofacial surgery. India: Elsevier; 2009.
116-20.
8. Topazian RG, Golberg MH. Oral and maxillofacial infection. 4th edition.
Philadhelpia : WB saunders company; 2002. 159-163, 192-4.
9. Carranza FA, Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR. Clinical Periodontology
10th ed. USA : Saunders Elsevier; 2006. 180-7.
10. Putri MH. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras Dan Jaringan Pendukung
Gigi. Jakarta: EGC; 2011.45-57.
11. Willett NP, White RR, Rosen S. Essential Dental Microbiology. Connecticut :
Appleton & Lange A Publishing Division of Prentice. 1991: 326-334.
12. The Periodontal Disease Classification System of the American Academy of
Periodontology. [Internet]. 2017. [Diakses pada 20 September 2017]. Tersedia
dari: https://www.cda-adc.ca/jcda/vol-66/issue-11/594.pdf
35