Anda di halaman 1dari 7

Berikut alasan-alasan Islam dapat diterima oleh bangsa Indonesia.

1 Syarat memeluk islam sangat mudah, cukup dengan mengucapkan kalimat syahadat.
2 Tata cara peribadahan Islam sederhana.
3 Islam tidak mengenal pelapisan sosial.
4 Agama islam yang menyebar di Indonesia disesuaikan dengan adat dan tradisi bangsa
Indonesia.
5 Faktor politik ikut memperlancar penyebaran Islam di Indonesia (runtuhnya Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan majapahit
2 Nah diatas adalah penyebab mengapa agama dapat masuk dan diterima oleh rakyat Indonesia
dengan mudah dan juga merupakan alasan agama islam dapat berkembang di indonesia Sebab-
sebab Islam mudah diterima Di Indonesia|Islam di indonesia memiliki penyebab atau
faktor-faktor dalam lahirnya islam di indonesia sehingga islam mudah diterima oleh
seluruh rakyat indonesia dalam hal itu memiliki cara-cara tersendiri sehingga islam
mudah diterima di indonesia yang kita ketahui bahwa islam di indonesia dibawah oleh
pedagang yang dimana tak berangsung lama islam tersebar ke seluruh wilayah di
indonesia timbul pertanyaan Mengapa Islam begitu mudah tersebar di indonesia ?.
Mengapa islam sangat mudah diterima oleh masyarakat indonesia ?. Apa reaksi
masyarakat indonesia pada saat agama islam datang ke indonesia dan bagaimana cara
islam di sebarkan atau perkembangan islam di indonesia, Hal itu memiliki sebab-sebab
yang membuat islam di indonesia seperti yang ada dibawah ini yakni sebab-sebab islam
mudah diterima
diindonesia,
Sebab-sebab Islam mudah diterima di Indonesia antara lain :..

(Al-Qur'an merupakan kitab Agama Islam)


1). Kelemahan kerajaan Majapahit sesudah Hayam Wuruk menjadikan goyahnya terhadap
agama Hindu dan Budha serta kepercayaan lama yang lain. Goncangnya keyakinan terhadap
agama yang lama itulah yang menyebabkan penduduk Indonesia mudah menerima agama yang
baru, yakni agama Islam.
Ndonesidengansangatcepat.
2).
Islam memberi pcrasaan harga diri sesama manusia, orang yang berkedudukan rendah merasa
sederajat dengan orang yang berpangkat sebagai anggota masyarakat Islam maka penduduk
dengan mudah menerima Islam. Ingat hal ini berlawanan dengan idiologi Hindu dengan sistim
kastanya. Oleh karena itu proses pengislaman di Indonesia dan bawah ke atas (dari rakyat ke
raja).Setelah penduduk memeluk agama Islam, baru dengan pertimbangan politik raja memeluk
agama Islam juga agar mendapatkan dukungan dari tentara dan penduduk. (Ingat dalam masalah
ini Guru Agama mempunyai peranan yang sangat penting).

3). Dalam menyampaikan ajarannya Guru Agama pandai menyesuaikan diri dengan penduduk
setempat, baik penyesuaian materi ajarannya yang diberikan maupun tingkah-lakunya. Sehingga
penduduk mudah menerimanya.

Pengislaman penduduk daerah pantai dan pedagang maju pesat.Setelah dunia perdagangan di
Indonesia dikuasai oleb orang Islam, barulah para pedagang dan pembesar-pembesar pelabuhan
Tuban dan Gresik (milik Majapahit) mau masuk Islam, karena mereka takut kehilangan mata
pencaharian. Pengislaman semacam itu tidak hanya terjadi di daerah tersebut, melainkan juga
dilakukan di daerah-daerah lain di kepulauan Indonesia. Juga menjangkau daerah-daerah
pedalaman yang penduduknya terdiri dari petani. Sehingga makin hari makin bertambah banyak
jumlah umat Islam Indonesia. Sampai pada waktunya kaum Muslimin mempunyai tempat yang
terhormat dan memiliki kekuatan yang menentukan. Kemudian berdirilah kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia, seperti kerajaan Pasai, Demak, Banten, Cirebon Banjar, Maluku dan lain-
lain. Kesemuanya itu berkat perjuangan guru-guru agama bersama-sama rakyat yang dijiwai
semangat tauhid yang tinggi dan suci. Maka hasilnya tidak akan tergoyahkan sampai sekarang
dan seterusnya.
Pengertian Al-Qur’an
Ditinjau dari segi Etimologi Al-Qur’an berarti "bacaan".Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
Secara Terminologis adalah : Wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, merupakan mu’jizat
terbesar beliau, lafal dan maknanya dari Allah SWT, dan merupakan ibadah bagi yang
membacanya.

Proses Turunnya Al-Qur’an

Allah subhanahu wata’ala telah memuliakan kitab suci al-Qur’an dengan menurunkan al-Qur’an
melalui 2 tahapan:
1. Al-Qur’an diturunkan secara utuh
Pada tahap pertama, al-Qur’an diturunkan secara utuh ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan)
yang berada di langit dunia pada bulan romadhon. Hikmah diturunkannya al-Qur’an ke langit
dunia adalah untuk menunjukkan keagungan al-Qur’an dan kemuliaan Nabi yang diberikan
wahyu berupa al-Qur’an. Selain itu hal tersebut dimaksudkan agar penghuni langit mengetahui
bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi terakhir dan ditujukan
bagi umat yang paling mulia.

2. Al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit


Setelah al-Qur’an diturunkan ke langit dunia, secara berangsur al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dimulai saat Nabi Muhammad diangkat
menjadi Rasul sampai beliau wafat.

Dua tahapan turunnya al-Qur’an ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Athiyah bin
al-Aswad, ia bertanya pada Ibnu Abbas; “Dalam hatiku terdapat keraguan mengenai firman
Allah:

ُ ‫ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْر‬


‫آن‬ َ ‫ش ْه ُر َر َم‬
َ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran.” (QS. Al-Baqoroh : 185).

dan Firman-Nya,

‫إِنَّا أ َ ْنزَ ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر‬


“Kami menurunkan al-Qur’an pada lailatul qodar.” (QS. Al-Qodr : 1)

padahal al-Qur’an terkadang turun pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam,
Shafar, dan Ar-rabi’?” Ibnu Abbas menjawab, ”Bahwa al-Quran itu diturunkan pada bulan
Ramadhan pada malam Lailah al-Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan
masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.” (Al-
Asmaa wa ash-Shifaat, no. 487).Diantara hikmah diturunkannya al-Qur’an sedikit demi sedikit
dan tidak secara utuh sebagaimana kitab - kitab suci sebelumnya adalah:
• Untuk menetapkan dan menguatkan hati Nabi Muhammad.
Firman allah dalam surat al furqan ayat 32

ُ‫ت بِ ِه فُ َؤادَ َك َو َرت َّ ْلنَاه‬ ُ ‫َوقَا َل الَّذِينَ َكفَ ُروا لَ ْو ََل نُ ِز َل َعلَ ْي ِه ْالقُ ْر‬
ِ ‫آن ُج ْملَةً َو‬
َ ‫احدَة ً َكذَ ِل َك ِلنُث َ ِب‬
‫يل‬ً ِ‫ت َ ْرت‬
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali
turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya
secara tartil (teratur dan benar).

• Mendidik umat Islam agar terbiasa mengamalkan ilmu yang telah didapatkan, sedikit demi
sedikit.

• Turunnya wahyu mengikuti keadaan.

Jam’ul Qur’an

Jam’ul Qur’an (Pengumpulan Al–Qur’an) oleh para ulama diartikan menjadi dua makna:

1. Pengumpulan dalam arti Hifzuhu (menghafal dalam hati)

Firman allah dalam surat al qiyamah ayat 17

ُ‫ِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُ ْرآنَه‬


Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya.

Sahabat yang terkenal dalam bidang hafalan Qur’an (hafidz) ada 7 orang, yaitu: Abdullah bin
Mas’ud, Salim bin Mua’qqil, Muadz bin Jabal, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin
Sukun, dan Abu Darda’.

2. Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kullihi (penulisan Al–qur’an keseluruhan)

Pengumpulan Al-qur’andalam arti ini terdiri tiga periode, yaitu

1. Masa Rasulullah SAW,


2. Masa Khalifah Abu Bakar dan Masa
3. Khalifah Utsman Bin Affan.

1. Pengumpulan pada Masa Rasulullah SAW.

Rasulullah telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu. Diantara mereka adalah ‘Ali,
Muawiyah, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila turun ayat, Rasulullah memerintahkan
mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam suatu surat. Hal itu
sesuai dengan anjuran Jibril ‘alaihissalam. Para sahabat menuliskannya pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun, pelana atau potongan tulang binatang. Karena
keterbatasan media, sehingga pada masa itu Al–qur’an belum rapi dan belum berbentuk mushaf.

Zaid bin Tsabit mengisahkan;

ِ‫الرقَاع‬ ُ ‫سلَّ َم نُ َؤ ِل‬


ِ َ‫ف القُ ْرآنَ ِمن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ُكنَّا ِع ْندَ َر‬
َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬
“Kita berada di samping Rasulullah SAW menyusun al-Qur’an dari riqo’ (Beberapa kertas, kulit
atau daun).” (Sunan Turmudzi, no. 3954).

Utsman mengisahkan bahwa ketika turun wahyu kepada Rasulullah, maka beliau akan
memanggil sebagian orang yang bisa menulis, kemudian beliau memberi petunjuk dengan
mengatakan:

‫ َكذَا َو َكذَا‬،‫ورةِ الَّتِي يُ ْذ َك ُر فِي َها‬


َ ‫س‬ُّ ‫ض ْع َه ِذ ِه اآل َيةَ فِي ال‬
َ .
“Letakkanlah ayat ini pada surat yang dijelaskan begini dan begini.” (Sunan Abu Dawud, no.
786)
Pada masa ini al-Qur’an belum belum dibukukan dengan urutan surat dan ayat seperti mushaf al-
Qur’an yang kita pakai. Hal ini dikarenakan saat beliau masih hidup masih dimungkingkan
terjadinya nasykh (penghapusan bacaan atau hukum) dalam al-Qur’an.

2. Pengumpulan pada Masa Khalifah Abu Bakar


Penulisan Al–qur’an pada masa Abu Bakar adalah dalam rangka menjaga keutuhan Al–qur’an
agar tidak hilang, seiring dengan banyaknya para penghafal Al–qur’an yang syahid di medan
perang.
Abu Bakar menjadi khalifah pertama sepeninggal Rasulullah SAW. Ia dihadapkan pada
peristiwa–peristiwa berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera
menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang yang murtad itu. Perang
Yamamah terjadi pada tahun ke 12 hijriah melibatkan sejumlah besar penghafal Al–qur’an.
Dalam peperangan ini sejumlah 70 penghafal Al–qur’an gugur.Dengan kejadian tesebut, Umar
bin Kahattab merasa khawatir jika peperangan di tempat lain akan membunuh banyak penghafal
Al–qur’an. Ia lalu menghadap kepada Abu Bakar untuk mengajukan usul agar mengumpulkan
dan membukukan Al–qur’an, karena dikhawatirkan akan musnah.Abu Bakar menolak usulan ini
karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tatapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah
SWT membuka hati Abu Bakar untuk menerima usdulan tersebut. Kemudian Abu Bakar
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas tersebut. Pada awalnya Zaid menolak,
keduanya bertukar pendapat sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah
penulisan itu. Zaid memulai tugas beratnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati
para penghafal dan catatan yang ada pada penulis. Kemudian lembaran–lembaran tersebut
disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 Hijriah, kemudian berpindah
ke tangan Umar hingga ia wafat. Kemudian berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar.

3. Pengumpulan pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan

Penulisan pada masa Usman terjadi pada tahun 25 Hijriah. Penulisan pada masa ini adalah
dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat
itu. Ketika terjadi perang Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang
ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam
cara–cara membaca Al–qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing–
masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang
menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian
Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya.Dengan
keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya perbedaan bacaan pada anak–anak
nantinya. Para sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan dan
perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran–lembaran pertama yang ada pada Abu
Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran–lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada
satu huruf.Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf yang
ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang beranggotakan Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang
terakhir adalah suku Quraisy. Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf.
Nasehat Utsman kepada mereka:
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al–qur’an

2. Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan
dalam dialek suku Quraisy, sebab Al–qur’an diturunkan menurut dialek mereka .

‫ فَإِنَّ َما نَزَ َل‬، ‫ان قُ َري ٍْش‬


ِ ‫س‬ ِ ‫َيءٍ ِمنَ ْالقُ ْر‬
َ ‫ فَا ْكتُبُوهُ بِ ِل‬، ‫آن‬ ٍ ِ‫اختَلَ ْفت ُ ْم أ َ ْنت ُ ْم وزَ يْد ب ُْن ثَاب‬
ْ ‫ت فِي ش‬ ْ ‫إِذَا‬
‫سانِ ِه ْم‬
َ ‫بِ ِل‬
Artinya : Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an,
maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut

Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa
mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli kepada Hafsah. Al–qur’an yang telah dibukua
dinamai dengan “Al – Mushaf”, dan panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya
dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat – tepat itu disalin pula, dan satu
buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf “Al–
Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada dibakar.

Dengan demikian, dibukukannya Al–qur’an di masa Utsman manfaatnya yang utama adalah:

1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.
2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi tidak tidak
bertentangan dengan ejaan mushaf–mushaf Utsman.
3. menyatukan tertib susunan surat–surat.
Pemberian Titik Dan Harokat Pada Alquran
al-Qur’an yang telah dikodifikasi mulai dari nabi Muhammad sampai masa Khalifah
Utsman bin ‘Affan ditulis dengan menggunakan tanpa titik ataupun tanda baca yang dapat
membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Pun demikian generasi awal Islam ini,
jarang terjadi kesalahan dalam pengucapan bahasa Arab maupun dalam membaca al-Qur’an. Dan
juga belum terpikirkan oleh para sahabat untuk menambahkan titik dan harakat pada tulisan al-
Qur’an. Hal ini diperkuat dengan adanya seruan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud:

‫جردوا القران وَل تخلطوه بشئ‬


"Murnikanlah al-Qur’an dan jangan mencampur baurkannya dengan apapun."

Alqur'an pada mulanya ditulis tanpa titik dan harkat seperti yang kita lihat sekarang ini. Hal ini
terus berlangsung hingga imperium Islam terus meluas ke berbagai wilayah di sekitar jazirah
Arab. Setelah Islam menyebar diberbagai wilayah orang-orang Islam non-arab ('ajamy) merasa
kesulitan untuk membaca Alqur'an yang pada waktu itu masih masih 'kosong'. Tentu saja
kesulitan ini memaksa para pemimpin untuk mencari solusi guna menjaga keutuhan Alqur'an.
Abu al-Aswad al-Dualy (w. 69 H/ 688 M) adalah orang yang membuat harokat al quran, awalnya
beliau mendengar orang membaca ayat

ُ ‫َّللاَ َب ِري ٌء ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ َو َر‬


ُ‫سولُه‬ َّ ‫أ َ َّن‬
Lam kalimat ‫ رسو ِل ِه‬dibaca kasroh yang berarti Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan
Rasulnya.

Harkat yang diciptakan oleh Abu al-Aswad ini lalu disempurnakan Imam Kholil bin Ahmad al-
Bashry pada masa dinasti Abbasiyah, hingga menjadi bentuk harkat seperti yang ada sekarang.
Adapun titik yang terdapat pada huruf ba', ta', tsa', jim, ha', kha', dzal, za', dan lainnya, itu terjadi
pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Saat itu beliau memerintahkan gubernurnya di Irak
yang bernama Hajjaj bin Yusuf. Hajjaj bin Yusuf lalu menyuruh Nashr bin Ashim dan Yahya bin
Ya'mur untuk merealisasikan keinginan khalifah Abdul Malik bin Marwan tersebut. Dalam
penulisan titik huruf tersebut, Nashr bin Ashim menggunakan tinta yang warnanya sama dengan
tinta yang digunakan untuk menulis mushaf, agar tidak serupa dengan titik tanda harkat yang
digunakan oleh Abu al-Aswad al-Dualy

Sejak saat itulah dalam mushaf Alqur'an sudah ada titik huruf dan titik harkat. Titik yang
diciptakan oleh Abu al-Aswad disebut Titik I'rab, sedangkan titik yang diletakkan oleh Nashr bin
Ashim disebut Titik Huruf

Anda mungkin juga menyukai