Anda di halaman 1dari 6

Rumah Persinggahan

Sosoknya masih mengembun di benak semua warga. Dari saban hari,


aktifitasnya hanya mengumpulkan kamboja, menjemur dan menjual. Pak Suyasa,
sudah rabun memang. Tapi tidak ada ragu bahwa ia akan tiba di rumahnya tepat
sebelum malam berganti dini hari.

Sudah tiga hari jejak Pak Suyasa tidak membekas di jalan-jalan desa. Tiada
lagi jalan yang terlihat bersih. Rumput meninggi di sudut rumah, guguran daun
menutupi jalan, kelopak bunga menangis tak terjaga. Menjelang pagi, sosok pria tua
ini muncul di ujung candi desa. Ia membawa sebuah sapu dan karung putih dekil.
Sapu itu didapatnya dari mengumpulkan sisa tulang janur dan mengikatnya dengan
tali dari batang pisang. Tali itupun ia temui di belakang gubuk yang ia bangun
sepeninggalan istri tercintanya.

Pak Suyasa akan mulai mendatangi rumah pertama. Tangannya dengan lihai
menari memungut guguran kamboja korban cuaca tempo hari. Setelahnya, gundukan
sampah dan sisa keringat akan melebur di sudut rumah warga yang didatangi.
Seperti biasa, Pak Suyasa akan pamit pergi dan melanjutkan aktifitasnya menjajal
atmosfir ke rumah kedua, rumah ketiga, dan rumah-rumah selanjutnya hingga
lututnya kaku. Atau, hingga penat di pikiran mengalahkan semangkuk ketela hangat
sarapan pagi yang ia kunyah nikmat. Tubuhnya tak cukup kuat menahan terik
matahari yang di campur pemanasan global. Ia hanya akan memungut kamboja hingga
setengah desa lebih. Lalu, berhenti di sebuah rumah persinggahan.

Rumah itu unik. Atapnya berumbai daun kelapa tua. Dindinganya, menua
bermotif guratan alam. Sangat jelas dinding itu dirangkai dari bambu muda yang
diperintahkan meliuk dan menindih satu sama lain. Berandanya berkekuatan polesan
tanah liat merah yang di ambil dari kali seberang desa. Beranda itu kokoh hingga
sekarang. Seseorang pasti menghabiskan beberapa tahun untuk mengkreasikan diri
membangun rumah itu. Orang yang menulis lagu balonku ada lima, orang yang menulis
lagu pelangi, dan orang sama yang menulis lagu cening putri ayu1. Rumah itu begitu
kecil, lahan satu are mungkin cukup untuk membuat tiga sampai empat rumah serupa.
Kecil sekali. Rumah itu setidaknya mengetahui kematian Pak Suyasa yang
meninggalkan misteri bagi penduduk desa.
“Ia memungut kamboja di pekaranganku, kemarin. Wajahnya biasa saja.” Kata
seorang ibu di tengah orang yang berkumpul membicarakan Pak Suyasa.
“Aku sempat memberinya uang lebih. Suamiku lagi gajian.” Sahut ibu lain menimpali.
Perkumpulan itu dilanjutkan hingga malam menjemput mentari untuk ke
peraduannya. Sangat banyak opini yang muncul. Ada yang bersua Pak Suyasa
meninggal di makan harimau, tersesat di hutan, terpleset ke jurang hingga kena
santet secara sengaja.
“Mungkin Pak Suyasa berada dalam rumah persinggahannya. Menjelang senja, ia
sempat menyapaku dan menawarkan segelas air.” Kata seorang ibu pemalu di tengah
polemik hilangnya Pak Suyasa.
Hanya ada beberapa orang yang acuh kepada saran itu. Yang lain, sibuk merangkai
hiperbola untuk diberitakan saat menonton gosip artis, saat berbelanja di pasar,
saat kumpul keluarga dan saat-saat lain.

Seminggu pasca tiada kabar dari Pak Suyasa, polemik telah mengudara
melebihi gelombang radio nasional. Desa seberang mau tidak mau ikut campur dalam
masalah ini. Penyebab yang paling populer adalah Pak Suyasa hilang karena kena
santet. Mereka semua sibuk mencari. Bukan apa, hanya memikirkan kemungkinan
orang yang memiliki kemampuan di luar nalar tersebut. Beribu nama muncul, tiada
tindak lanjut.
Sementara, beberapa orang lain coba mendatangi rumah persinggahan Pak Suyasa.
Memang aneh, Pak Suyasa bukanlah siapa-siapa sebelum dirinya hilang di telan bumi.
Tiba-tiba, ia meledak bagaikan bakteri yang membelah ratusan kali dalam hitungan
menit. Popularitasnya lebih tinggi dari artis retasan youtube. Salah satu dari 4
orang tersebut kebetulan seorang mantri kawakan desa. Orang ningrat. Penyuka
misteri. Mereka sampai di rumah itu tengah hari. Beristirahat di beranda dan
menenggak beberapa gelas air sembari menyusuri rumah mencari jasad Pak Suyasa.
Mungkin mereka masuk ke dalamnya.

Seperginya empat pemuda tadi, desa semakin aneh. Empat orang itu tidak
pernah kembali lagi ke rumah mereka. Istri sang mantri menangis sejadi-jadinya
mengetahui suami tercintanya bernasib bak Pak Suyasa. Keluarga tiga orang lain
juga, tiada bosan mengumbar kesedihan ke berbagai media desa. Mungkin mereka
tidak menyangka, sosok yang mereka rengkuh berhari lalu telah tiada. Tapi, itulah
hidup.

Berita tentang empat orang yang ikut-ikutan hilang kembali menetas ke


semua desa di kecamatan daerah tersebut. Camat daerah yang awalnya hanya
ngantor 3-4 jam menjadi rajin musiman. Ia sibuk mengobrol dengan bawahannya.
Tentang Pak Suyasa dan empat orang yang hilang terkena santet. Setidaknya, itu
yang semua anak buahnya serempak katakan. Entah kapan ia merumuskan
pembangunan desa yang makin semraut di terjang moderenisasi. Atau, di serang
seks bebas dan penyakit degradasi moral yang menular. Ia lebih senang
menghabiskan hari dengan bertukar kabar burung yang tidak jelas riuh rendah
dengungnya.

Beberapa warga yang penasaran memutuskan untuk mencari Pak Suyasa, dan
empat warga lain yang hilang. Kali ini, mereka membawa senjata tradisional seperti
bambu runcing, arit, dan pedang panjang. Mungkin mereka berpikir ada sekelompok
kanibal yang menghuni hutan di dekat rumah persinggahan Pak Suyasa. Atau bahkan
di rumah itu? Tim SAR mendadak ini bergerak pada subuh hari. Menyusup, mencari
kebenaran. Seorang bocah tanpa sengaja ikut menyusup. Menjelang siang hari,
bocah itu pulang seorang diri karena di anggap masih bocah. Memang bocah.
“Mereka semua masuk ke dalam rumah kecil itu. Aku di suruh pulang.” Ratap anak
kecil itu di dekapan ibunya saat ngerumpi dengan ibu-ibu lain.

Berita buruk kembali melanda desa. Kelompok pemuda itu, lagi-lagi,


menghilang tak berbekas. Hilang dengan menyisakan sedih yang entah mengapa
tidak lebih dari rasa penasaran warga. Mengundang ribuan pertanyaan lain yang
tidak terpecahkan logika macam manapun.

Maka sepakatlah warga desa menyebut orang-orang tersebut hilang di dalam


rumah. Sudah sangat jelas, sebelum hilang, jejak terakhir selalu mengarah pada
rumah itu. Penduduk makin kalut dan terpaksa mendesak kepala desa untuk
bergerak. Kepala desa tentu tak mau kehilangan muka. Ia mengajak seluruh pemuda
dan pria dewasa berkumpul di aula desa pada hari minggu. Tujuannya, untuk
melakukan pencarian. Hendaknya, kepala desa berpikir tidak akan mungkin seluruh
pasukan kali ini –termasuk dirinya- akan hilang. Terlalu banyak. Tersebutlah pasukan
besar tersebut bergerak bagaiakan koloni semut yang mencari seonggok roti yang
jatuh pasrah menyambut tanah. Rumah persinggahan itu sudah di depan mata
mereka. Satu demi satu orang masuk ke dalam rumah itu. Mereka masuk tanpa
bertetes ragu bak telah di cuci otak oleh pemimpin, cara tradisional yang menguap
lagi.

Betapa terkejutnya Camat mendengar seorang kepala desa dan seluruh


pemudanya menghilang. Terkena santet, itulah yang di benaknya. Langsung ia
menyuruh supir pribadinya menyiapkan mobil dan segera melaporkan ke Bupati di
daerahnya. Tidak mau ambil repot, sang bupati tidak segan-segan melaporan ke
gubernur prihal santet yang meresahkan warga tersebut. Pasalnya, warga satu
kabupaten telah melupakan untuk apa mereka di kirm Tuhan menuju dunia. Semua
warga sibuk mempermasalahkan apa, mengapa, bagaimana dan di mana. Tidak ada
pikiran untuk bekerja, tidak ada pikiran untuk sekolah, tidak ada pikiran untuk
melakukan kegiatan positif. Pembangunan menurun, sampah menumpuk,
pengangguran menular bak virus influenza. Bupati bingung, kompi bantuan
dikerahkan menuju lokasi, sementara laporan tentang hilangnya warga satu
kecamatan di tempat Pak Suyasa sudah sampai di tangan Bupati. Tidur kini
merupakan harta bagi Bupati malang itu.

Tentara kompi bantuan se-kabupaten tidak mendatangkan hasil maksimal.


Semuanya hilang tak berbekas debu sekalipun. Bupati tambah bingung dengan
kehebatan tukang santet yang bisa mengalahkan pasukan tentara bersenjata
lengkap. Gubernur bertindak cepat dengan mengadakan rapat pleno. Hampir seluruh
bupati memberi keluhan serupa dari rakyatnya. Kasihan bupati malang tersebut.
Beberapa tidak sempat menghapus digit nol dari pajak rakyat dan menyimpan di
saku rapat-rapat. Beberapa lain, kehilangan momen untuk mencari daun muda untuk
di kunyah nikmat.

Bukti baru di temukan. Sebuah rumah persinggahan di duga sebagai tempat


tinggal tukang santet tersebut. Bahkan sumber terpercaya menulis seluruh warga
hilang di rumah itu. Bagaimana bisa rumah sekecil itu menampung lusinan orang yang
hilang tak berbekas?

Singkat cerita, pemerintah pusat sudah mulai menerima laporan tentang


tukang santet dan hilangnya penduduk dan Pak Suyasa. Tim dari intelejen negara
bergerak menuju lokasi. Misi memasang CCTV diberi. Misi itu direncanakan sejak
jauh-jauh hari.
“Hanya untuk memasang. Dan pergi!” perintah kepala Intelejen kepada anak buah
terbaiknya.
Dua orang anak buah tersebut menyusuri tempat yang di tuju. Jalan-jalan kotor,
tiada seorang penduduk yang ditemui. Tanah tertutup sampah setinggi lutut. Bau
kamboja kering menusuk hidung menerbangkan sukma. Kepala BIN (Badan Intelejen
Negara) duduk cemas menanti anak buah kepercayaannya. Pucuk di cinta ulampun
tiba. Kedua anak buah itu tiba dengan selamat. Tanpa luka, tanpa cedera. Hanya
saja, banyak mozaik yang terlupa oleh mereka. Setidaknya, mereka tidak meregang
nyawa.

Sangat sedikit informasi yang bisa di korek dari dua intelejen negara yang
selamat. BIN tidak tahu kenapa mereka selamat, dan puluhan intelejen lain tidak
kembali pasca misi mereka memeriksa rumah tersebut. Apakah tukang santet
tersebut sedang tidak di rumah? Apakah beberapa orang memang tidak masuk
dalam kriteria? Entah. BIN menyerah dan melaporkan kepada jajaran kabinet
kecuali presiden yang selalu sibuk setiap hari. Setiap waktu. Setidaknya, itu
keterangan dari memo singkat di depan pintu ruangan beliau.

DPR mengadakan rapat pleno membahas hal ini. Seminggu penuh rapat itu di
gelar, berbagai media meliput pasrah pasca berkurangnya penduduk negara kecil ini
secara signifikan. Semua menghilang di rumah persinggahan itu. Kena santet?
Setidaknya itu pemikiran yang coba di dukung kaum mayoritas. Rapat tersebut
mendapatkan kesimpulan mencengangkan. Untuk menjaga kestabilan negara, maka
akan di bentuk undang-undang santet. Betul-betul kontroversional. Setidaknya
kalimat dalam pasal tersebut pasti sangat tangguh dan tegas. Hal yang tak
terdefinisi kini coba diinterprestasi, bak manusia yang coba menjelaskan Tuhan
dalam rangkaian not-not kalimat liris.

Berbagai ahli coba menguji keetisan undang-undang santet tanpa


menghiraukan jumlah penduduk yang terus berkurang. Jalan-jalan menuju desa Pak
Suyasa akan sangat ramai pada jam tertentu. Rombongan warga bermacam
kendaraan melintas. Tak kembali, seorangpun. Padahal desa itu adalah desa paling
ujung, bak gang buntu di tengah semraut ibu kota. CCTV menunjukkan sangat banyak
orang masuk ke rumah itu. Mereka antri untuk mengobati penasaran yang sudah
menembus batas realitas di otak. Tidak jelas apakah CCTV berbohong, akan tetapi
tidak ada sebutir debupun yang keluar dari rumah persinggahan kecil itu. Rumah itu
kosong, bahkan. Bisa di lihat dari rongga dinding bambu yang agaknya di buat dengan
tergesa. Rumah itu bak menampung penduduk satu negara. Apakah rumah itu
memiliki jalan rahasia? Kemanakah orang-orang yang telah memasuki rumah itu?
Apakah ada suatu tempat di balik tembok bambu keropos itu? Entahlah. Yang
terlihat hanya laut luas dan tebing dalam. Rumah itu terletak di atas tebing yang di
hantam lautan ganas berhias pemandangan sawah di sekitar rumah uzur itu.

Jam sudah menunjukkan lunch time. Presiden keluar dari peraduannya. Ruang
sumpek yang pengap. Betapa bingungnya ia karena semua staffnya tidak ada di
tempat. Tidak satupun. Nomor orang-orang kepercayaannya tidak aktif. Berada di
luar jangkauan. Ia melangkah ke luar istana yang khusus dibuatkan untuknya. Gedung
DPR hendak ia datangi. Terkejutlah presiden mendapati jalan yang lengang, suasana
yang sepi, dan kondisi yang begitu tenang. Sangat berkebalikan dari hari normal.
Dipercepatnya langkah hingga di gedung DPR. Ia menemukan sebuah surat yang
ditujukan kepadanya. Surat tersebut menyatakan bahwa semua anggota DPR
menjalankan studi banding ke sebuah desa di ujung pedalaman sana. Sangat jauh. Ia
tahu desa tersebut sangat indah, asri dan terkenal seantero jagat. Iapun mengerti
kode anak buahnya yang bermaksud plesiran. Mungkin hobi.

Sudah dua jam sang presiden duduk mematung di depan gedung DPR yang kosong.
Menunggu manusia menyapanya. Terbalik dari hari-hari sebelumnya. Tiada pesan dan
kesan dari orang-orang yang biasanya berebut melindungi dirinya dan tikus-tikus
berdasi peliharaannya. Sang presiden terhenyak dan berkata sendiri.
“Betapa bodohnya aku. Mana mungkin ini kenyataan, aku pasti sedang bermimpi.”
Secepatnya ia mengambil sedikit kulit pipi dengan kuku panjang yang belum sempat
di potong oleh anak buahnya.
Ia merenggut dan mencubit pipinya. Kemudian, ia berteriak keras di negara sunyi
itu.
“Awwwwwww! Sakit!”

Keterangan :

1 = Cening Putri Ayu merupakan sebuah lagu bali yang cukup terkenal. Pencipta lagu
ini tidak diketahui secara jelas.

Cerpen Karangan : Gede Agus Andika Sani


Blog : babibubebong.blogspot.com

Penulis merupakan siswa SMA Negeri Bali Mandara. Sangat menyukai cerpen
kehidupan yang dibalut dengan misteri. tujuan utama penulis adalah cerpennya bisa
dimuat di website atau Koran.

Anda mungkin juga menyukai