Anda di halaman 1dari 3

Oleh : Iwan Fauzi

Dalam mencermati kiprah pelestarian budaya terutama budaya daerah, tentu saja posisi
dan peran bahasa daerah perlu dilestarikan dan diberdayakan sekaligus meningkatkan
ketahanan budaya daerah dan memperkaya khasanah kebudayaan nasional yang berwajah
kebhinekaan.

Ngaju, selain sebagai nama suku, ia juga merupakan sebuah simbol ujaran daerah (baca:
bahasa daerah) di Kalimantan Tengah yang dengan identitasnya sebagai alat komunikasi dan
ekspresi lisan oleh mayoritas masyarakatnya. Bahasa Ngaju dengan beberapa variannya yang
tersebar di sungai-sungai besar seperti Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, Seruyan
sampai ke Lamandau dalam proses perkembangannya tidak teroptimalisasi pemakaiannya oleh
penutur antar sub suku Ngaju itu sendiri. Fenomena ini menyiratkan bahwa wahana bahasa
daerah yang menggambarkan jatidiri/identitas suatu masyarakat bukan tidak mungkin sudah
tereliminasi oleh pengaruh perilaku penuturnya itu sendiri yang kadang-kadang enggan
menuturkan bahasa yang menjadi identitas kulturnya.

Keengganan ini bukan semata-mata si penutur kurang fasih atau tidak bisa dalam
berbahasa namun lebih kepada ketidakpercayaan diri dalam membawa identitas “Ngaju” itu
sendiri. Ketidakpercayaan diri ini lahir karena image kata ‘ngaju’ yang lebih terartikulasi
sebagai kata yang bermakna hulu atau udik daripada kebermaknaan kata ‘ngaju’ sebagai simbol
dari nama sebuah komunitas, bahasa, dan budaya dari sebuah daerah. Ujaran yang
menghasilkan kata ‘oloh Ngaju’ lebih dikonotasikan sebagai orang hulu/udik daripada sebuah
keberadaan makna ‘orang Dayak Kalteng’. Kebermaknaan key term seperti ini yang
sebenarnya cenderung melatahkan kata ‘ngaju’ sebagai makna yang disimpangkan sehingga
seorang Ngaju kadang-kadang ‘menyembunyikan’ identitas dirinya dalam pemakaian bahasa
daerah yang jelas-jelas mengubur khasanah daerahnya sendiri.

Sebuah kasus misalnya, seorang penutur bahasa Mendawai bertemu dengan seorang
penutur bahasa Ngaju dimana keduanya sama-sama merupakan penduduk asli Kalimantan
Tengah, namun pada saat keduanya berinteraksi, bahasa penghubung (lingua franca) yang
diartikulasi oleh keduanya bukan bahasa Ngaju yang merupakan identitas daerah keduanya,
tetapi lebih mengarah kepada bahasa Banjar yang pola ujaran dan struktur bahasanya bukan
sepenuhnya bahasa Banjar yang sebenarnya namun bahasa Banjar yang ke-Indonesia-
Indonesia-an atau bahasa Indonesia yang ke-Banjar-Banjar-an (baik logat maupun kosa kata).
Produk bahasa yang dihasilkan semacam ini sebenarnya hal yang sah-sah saja namun ia
sesungguhnya lebih mengarah kepada sebuah deviasi dari perilaku sosial-kebahasaan yang
mengeliminasi (baca: tidak memberdayakan) identitas kultur si penutur, yakni Ngaju itu
sendiri.

1
Diterbitkan oleh Surat Kabar Banjarmasin Post pada Kamis, 5 September 2002.

(1)
Didasari pada fenomena diatas, sesungguhnya Ngaju sebagai bahasa daerah
Kalimantan Tengah masih belum bisa menjadi tuan rumah di ‘kampung’ sendiri karena
perilaku kebahasaan (language behavior) dari komunitas pemilik sekaligus penutur bahasa
daerah itu sendiri menyiratkan sense of crisis dari sebuah bahasa yang menggambarkan
budayanya. Disadari atau tidak, sesungguhnya ada beberapa catatan pokok yang membuat
bahasa Ngaju seolah-olah berada pada titik yang marjinal. Pertama, belum adanya konvensi
antar sub suku Dayak Ngaju yang menetapkan bahasa Ngaju sebagai bahasa daerah. Sampai
saat ini boleh dikatakan belum adanya kesepakatan antar sub suku Dayak Ngaju bahwa bahasa
Ngaju sebagai bahasa penghubung antar sub-etnis Dayak Ngaju. Dalam praktek sosial-
kebahasaan, bahasa minoritas dari sebuah daerah harus bisa menerima bahasa setempat yang
dituturkan oleh mayoritas masyarakatnya sebagai bahasa penghubung untuk berkomunikasi.
Bahasa Ngaju sebagai bahasa mayoritas yang dituturkan masyarakatnya belum ‘kuat’
eksistensinya baik sebagai bahasa penghubung didalam sub suku Dayak ngaju itu sendiri
maupun di luar komunitas tersebut. Kontras sekali bila dibandingkan dengan bahasa Banjar
yang mampu eksis lintas regional dimana keberadaannya boleh dikatakan sebagai ‘bahasa ibu’
kedua bagi masyarakat Kalimantan Tengah dan Timur.

Kedua, minimnya kerangka ajar bahasa Ngaju dalam pengajaran bahasa daerah pada
pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan saat ini memberikan kesempatan bagi pelaku
perencana bahasa daerah untuk memanfaatkan apa yang disebut muatan lokal. Pemerintah
memang memberikan ruang gerak kepada tiap daerah di Indonesia untuk memasukkan materi
pengajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal pendidikan dasar. Hal ini menyiratkan niat baik
pemerintah untuk melestarikan bahasa daerah sebagai produk budaya nasional. Bagi sekolah-
sekolah dasar di provinsi Kalimantan Tengah tidak banyak yang memasukkan bahasa Ngaju
sebagai bahan ajar bahasa daerah. Hal ini ditandai dengan belum tersedianya bahan ajar yang
ditulis dalam bahasa Ngaju itu sendiri serta belum disosialisasikannya kamus dwibahasa
Ngaju-Indonesia dan Indonesia-Ngaju. Selain itu, pengajar bahasa daerah yang ada tidak satu
pun yang merupakan produk sarjana ilmu murni dari bahasa daerah itu sendiri. Jangan harap
guru yang mengajar bahasa Ngaju di sekolah-sekolah dasar adalah seorang sarjana
bahasa/sastra Ngaju. Berbeda dengan guru bahasa Jawa yang mengajar di sekolah-sekolah
dasar di Jawa adalah seorang sarjana bahasa/sastra Jawa.

Ketiga, interaksi sosial multi-lingual yang ‘mentabukan’ Ngaju sebagai lingua franca.
Sebuah interaksi sosial seperti ‘kawin campur’ antar suku sesungguhnya dapat membawa
kepada luruhnya pemakaian bahasa ibu dari salah satu bahasa daerah orangtuanya. Katakan
saja seorang penutur bahasa Ngaju kawin dengan seorang penutur bahasa Sunda yang tinggal
di tengah pemukiman masyarakatnya mayoritas berbahasa Banjar. Dalam kesehariannya
keluarga tersebut menggunakan bahasa Indonesia sementara interaksi pergaulan anak-anaknya
di luar rumah, pemakaian bahasa yang diperoleh (acquired language) adalah bahasa Banjar
yang bukan bahasa ibu dari kedua orangtuanya. Sekali lagi perlu dicermati disini bahwa
kecenderungan bahasa Ngaju untuk compete didalam interaksi sosial yang multi-lingual –
diakui atau tidak – cenderung terkalahkan. Sehingga sebuah generasi baru yang lahir di tengah
komunitas sosial yang multi lingual enggan memakai bahasa Ngaju sedangkan bahasa itu
adalah bahasa daerah petak-danum (tanah leluhur) dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.

(2)
Dari ketiga fakta di atas, determinasi pemberdayaan bahasa Ngaju sebagai bahasa
daerah rakyat Kalimantan Tengah bukan berarti untuk mengesampingkan perkembangan
bahasa-bahasa daerah lain yang ada di daerah tersebut namun lebih sebagai pengaktualisasian
dalam pelestarian bahasa sebagai jati diri budaya daerah setempat. Dalam konteks kebangsaan
Indonesia sekarang ini, kebebasan warga negara untuk membina bahasa daerah tidak
mengancam stabilitas bangsa. UUD 1945 secara tegas melindungi dan membina kebudayaan
dan bahasa daerah. Dalam kajian primordialisme, komponen bahasa daerah diberi catatan kaki
dalam pemetaan politik bahasa di Indonesia. Upaya-upaya pelestarian bahasa daerah sama
sekali tidak berpotensi merobek persatuan bangsa. Dalam peristiwa-peristiwa kerusuhan antar
etnis yang pernah terjadi di nusantara ini, kita mencatat adanya komponen-komponen
primordial non-bahasa yang menyulut integritas bangsa. Dalam sejarah nasional kita, hampir
tidak ditemukan keributan nasional yang dipicu oleh fanatisme bahasa. Ini dikarenakan
Indonesia sudah memiliki bahasa nasional yang secara politik sudah mapan dan tidak mungkin
tersaingi, apalagi terpojokkan oleh bahasa daerah manapun.

Dengan demikian, pemerintah daerah Kalimantan Tengah selaku institusi daerah –


yang menaungi pemberdayaan aset daerahnya tak terkecuali bahasa daerah – seyogyanya tidak
ragu-ragu memberikan dukungan politik terhadap perencanaan pemberdayaan bahasa Ngaju
sebagai bahasa daerah rakyat Kalimantan Tengah. Berbahasa adalah cerminan motivasi, sikap,
dan penalaran penuturnya. Kekhawatiran bahwa banyak orang enggan memakai bahasa daerah
di lingkungan keluarga, dapat ditelusuri dengan melihat tiga aspek ini: (1) motivasi berbahasa
sangat beragam, (2) bergantung kepada situasi ujaran dan (3) hubungan peran antara para
pelibat tutur. Sikap bahasa adalah reaksi evaluatif para penutur terhadap bahasa itu sendiri.
Sehingga, sikap bahasa yang positif terhadap bahasa daerah akan meningkatkan motivasi untuk
menjadi pemakai, pecinta, dan penggiat serta perencana dalam pemberdayaan bahasa daerah
tersebut.

KUTIPAN PUSTAKA:
Fauzi, Iwan (2002). “Bahasa Ngaju Alami Krisis Pemberdayaan”. Personal Archive Repository.
https://www.scribd.com/user/23992193/Iwan-Fauzi

(3)

Anda mungkin juga menyukai