Anda di halaman 1dari 6

KABUPATEN SERUYAN DAN BAHASA PEMBUANG1

1. Sejarah wilayah
Kabupaten Seruyan adalah sebuah wilayah yang secara geografis
memanjang dari bagian utara Provinsi Kalimantan Tengah ke arah selatan
hingga Laut Jawa. Kabupaten ini dialiri oleh sebuah sungai besar yang diberi
nama Sungai Seruyan yang akhirnya ditetapkan menjadi nama wilayah
pemerintah daerahnya. Sebelumnya wilayah ini dalam dokumen dan arsip
Belanda diberi nama Pembuang.
Nama Pembuang ini sebenarnya sudah ada disebut di dalam Hikayat
Banjar pada bagian terakhir kitab tersebut yang ditulis pada tahun 1663.
Sebutan Pembuang ini awalnya diberi oleh Pangeran Dipati Anta-Kasuma
putera Sultan Banjar IV Mustainbillah dengan tujuan kalau wilayah itu akan
dijadikan sebuah ibukota kerajaan olehnya, tetapi kemudian keinginan sang
Pangeran pun dibatalkan. Karena betapa pentingnya wilayah Pembuang ini
maka sejak 13 Agustus 1787 Pembuang berada di bawah kekuasaan Belanda
(VOC). Ada beberapa kepala wilayah yang ditunjuk Belanda memimpin
daerah ini kala itu2, seperti pada 1834 dipimpin oleh Kjai Ngabei Djaja-negara
(hoofd van Pemboewan); pada 1847 dipimpin oleh Djoeragan Brahim (hoofd
van Pemboewan, Sampit en Semboeloe); pada 1850 dipimpin oleh Raden
Moeda (hoofd van Pemboewan alleen); dan pada 1859 dipimpin oleh Kjai
Djaja-negara (hoofd van Pemboewan en Semboeloe).
Pada masa penjajahan Belanda wilayah ini dijadikan tempat ‘buangan’
bagi tawanan Belanda yang membangkang serta yang tidak mau diajak bekerja
sama dengan kolonial. Etimologi kata ‘Pembuang’ ini sebenarnya berasal dari

1 Tulisan ini adalah catatan pengantar pada Kamus Dwibahasa Pembuang—Indonesia (2016)
2 Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861) pagina 205
bahasa Banjar; Pambuang yang artinya ‘terbuang’. Hal ini diperkuat oleh
tulisan Martinus Nijhoff (1968) dalam Hikajat Bandjar: A study in Malay
historiography yang menyatakan bahwa kata ‘Pembuang’ itu bermakna "place
of rejection" atau ‘tempat pembuangan’. Nama Pembuang pun dijadikan nama
sungai yang mengaliri wilayah tersebut (Sungai Pembuang) dan pemukiman
yang ada di dekat muara sungai itu disebut Kuala Pembuang.
Istilah Seruyan itu baru digunakan pada tahun 1946 untuk menamai
wilayah pemerintahan setingkat di bawah distrik (Onderdistricts) dengan
sebutan Kecamatan untuk wilayah Pembuang kala itu. Karena kata
‘Pembuang’ tadi mengandung makna yang tidak bagus untuk menyebut
“daerah pembuangan atau yang terbuang” maka ditetapkanlah nama
Kecamatan Seruyan dengan ibukota Kuala Pembuang yang membawahi
wilayah hukum Kawedanan Sampit Barat pada saat itu.3
Seiring dengan perkembangannya, Kecamatan Seruyan ini naik statusnya
menjadi Pemerintahan Pembantu Bupati Kotawaringin Timur Wilayah
Seruyan berdasarkan SK. Menteri Dalam Negeri nomor 64 tahun 1979
tertanggal 28 April 19794. Setelah berhembus angin reformasi, Pemerintahan
Kabupaten Seruyan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2002 dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta5 dengan ibukota
kabupaten terletak di Kuala Pembuang, Kecamatan Seruyan Hilir.

2. Demografi
Kabupaten Seruyan memiliki luas wilayah 16.404,00 Km2 dengan jumlah
penduduk 160.600 Jiwa (per Juni 2013)6. Wilayah ini membawahi 10

3 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-
daerah/kabupaten/id/62/name/kalimantan-tengah/detail/6207/seruyan.
4 Ibid
5 Ibid
6 Seruyan Dalam Angka 2014. BPS Kabupaten Seruyan
kecamatan, 3 kelurahan, dan 97 Desa. Mayoritas masyarakatnya berprofesi
sebagai petani yang jumlahnya mencapai 72% dari total jumlah penduduk.
Sementara itu, sisanya yang 23% berprofesi sebagai padagang dan bekerja di
bidang jasa, dan 5% penduduknya menjadi pekerja di sektor industri
perkebunan dan pertambangan7.

Peta Wilayah Kabupaten Seruyan

Dari segi sosio-kultural, masyarakat asli Kabupaten Seruyan mayoritas


beretnik Dayak. Meskipun sebagai dampak dari mobilisasi penduduk antar-
pulau dan antar-wilayah seperti transmigrasi dan arus perdagangan maka tak
dapat dielakkan kalau etnik non-Dayak; seperti Jawa, Banjar, Madura, dan
Bugis pun ikut berbaur mendiami kabupaten yang baru dimekarkan dari
Kabupaten Kotawaringin Timur ini. Selain itu, masyarakat Seruyan mayoritas
beragama Islam dengan jumlah 87,11% dari total penduduk; sedangkan

7 Ibid
penganut Hindu Kaharingan dan Kristen masing-masing 5,42% dan 4,60%,
serta 2,86% sisanya adalah penganut agama Katholik dan Budha8.

3. Situasi kebahasaan
Beberapa asumsi mengatakan bahwa bahasa Pembuang9 hanyalah sebuah
dialek dari bahasa Dayak Ngaju, tetapi masyarakatnya mengakui kalau bahasa
Pembuang berbeda dengan bahasa Dayak Ngaju. Untuk membuktikan apakah
bahasa Pembuang itu hanya sebuah dialek atau merupakan sebuah bahasa
(bukan dialek dari bahasa lain) maka dapat diuji melalui metode
leksikostatistik, yaitu sebuah metode dalam bidang dialektologi (cabang ilmu
linguistik) yang menetapkan pasangan kosakata berkerabat antara bahasa-
bahasa yang dibandingkan. Melalui metode ini pula bahasa-bahasa itu dapat
ditentukan familinya, sub-familinya, dialeknya, dan sub-dialeknya, serta
waktu pisahnya.
Poerwadi, dkk., (1993: 49) dalam penelitian mereka melaporkan bahwa
bahasa Pembuang itu memiliki tingkat persentase kognat (kerabat) dengan
bahasa Dayak Ngaju hanya 60% dan dengan bahasa Ot Danum memiliki 63%.
Berdasarkan hasil analisis ini dapat dikatakan bahwa bahasa Pembuang
merupakan bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa Dayak Ngaju dan
Ot Danum. Selain itu, bahasa Pembuang tidak memiliki dialek maupun
subdialek. Hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju dan bahasa Ot Danum
adalah pada tingkat kekerabatan famili10.

8 Ibid
9 Poerwadi, dkk. (1993) menamai bahasa yang dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di
sepanjang aliran Sungai Seruyan sebagai Bahasa Seruyan. Namun masyarakatnya lebih suka
melabeli identitas bahasa yang mereka tuturkan itu sebagai Bahasa Pembuang. Dalam
kamus ini, penulis akan menggunakan istilah yang kedua, yakni ‘Bahasa Pembuang’ untuk
menyebut bahasa yang digunakan oleh masyarakat Seruyan karena penamaan inilah yang
lebih populer dan berterima di masyarakatnya.
10 Poerwadi, dkk. 1993. “Analisis Leksikostatistik terhadap Bahasa-bahasa di Kalimantan

Tengah”. Manuskrip. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Palangkaraya.


Analisis Poerwadi, dkk., ini didasari pada klasifikasi David Matti (1991)
bahwa kekerabatan kosakata 60%--74% tergolong dalam famili yang sama,
75%--79% tergolong dalam subfamili yang sama, 80%--89% tergolong dalam
bahasa yang sama, sedangkan 90%--100% tergolong dalam dialek yang sama.
Dengan demikian, eksistensi bahasa Pembuang sebagai sebuah bahasa dan
bukan sebuah dialek dari bahasa Dayak Ngaju jelas bisa
dipertanggungjawabkan dari perspektif dialektologis.
Selain itu, bahasa Pembuang adalah salah satu bahasa daerah atau bahasa
tutur masyarakat Seruyan sehingga dijadikan sebagai identitas linguistik bagi
orang Pembuang atau orang Seruyan. Di beberapa wilayah di bagian selatan
seperti di Kecamatan Seruyan Hilir, Kecamatan Seruyan Hilir Timur, dan
Kecamatan Danau Sembuluh, bahasa Pembuang ini sangat ketat bersaing
pemakaiannya dengan bahasa Banjar dan bahasa Sampit. Sementara itu di
beberapa wilayah bagian utara seperti Kecamatan Seruyan Tengah,
Kecamatan Seruyan Hulu, dan Kecamatan Suling Tambun, bahasa Pembuang
ini bersaing dengan bahasa-bahasa daerah setempat yang penuturnya relatif
kecil seperti bahasa Kuhin yang ada di Desa Rantau Pulut, bahasa Tamuan
yang ada di Desa Panyumpa dan Desa Pangke, bahasa Kaninjal yang ada di
Desa Tumbang Salau, dan bahasa Sebaung yang ada di Desa Tanjung Paku.
Selain bahasa-bahasa lokal ini, bahasa Pembuang juga bersaing secara
sosiolinguistis dengan bahasa Dayak Ngaju dialek Kahayan terutama di
daerah Desa Tumbang Manjul dan sekitarnya.
Belum ada data pasti yang menyatakan berapa jumlah penutur Bahasa
Pembuang ini. Sebuah tulisan tentang bahasa-bahasa daerah di Kalimantan
Tengah yang pernah disampaikan oleh Poerwadi, pada tahun 200811 mencatat
bahwa penutur bahasa Seruyan atau Pembuang ini berjumlah 8.000 penutur

11 Poerwadi, Petrus. 2008. “Penanganan Bahasa Dayak yang Hampir Punah dan sudah
Punah” dalam Makalah ini disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di
Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.
dengan jumlah penduduk saat itu 107.661 jiwa. Jumlah ini menurut Poerwadi
hanyalah sebuah jumlah perkiraan karena jumlah penutur yang sesungguhnya
sulit dipastikan. Jumlah penutur bahasa Pembuang tersebut diproyeksikan dari
sebaran jumlah penduduk di Kalimantan Tengah menurut Badan Pusat
Statistik Kalimantan Tengah 2006.
Meskipun tidak ada data pasti tentang berapa jumlah penutur bahasa
Pembuang, tetapi bahasa ini merupakan salah satu bahasa yang eksis dipakai
masyarakatnya sebagai bahasa pengantar atau lingua franca bagi sebagian
besar masyarakat di sepanjang Sungai Seruyan. Orang-orang tua yang
berbahasa ibu bahasa Pembuang masih setia mewariskan bahasa daerah ini
kepada anak-anaknya. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelestarian bahasa
daerah di mana menumbuhkan sikap posistif penutur bahasa dan memotivasi
penutur muda untuk tetap menggunakan bahasanya. Selain itu, hal yang paling
penting adalah sikap pro-aktif pemerintah daerahnya dalam membuat
kebijakan pengembangan dan pelestarian bahasa daerah yang lebih
komprehensif seperti salah satunya memfasilitasi para peneliti bahasa untuk
mendokumentasikan bahasa daerah yang ada di wilayahnya, seperti yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Seruyan kepada penyusun kamus ini.

KUTIPAN PUSTAKA:
Fauzi, I., dan Mardiana, D. (2016) “Kabupaten Seruyan dan Bahasa Pembuang”
dalam Kamus Dwibahasa Pembuang – Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Araska.

Anda mungkin juga menyukai