Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

“FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME”

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

1. FIRDHA SABRINA (1741040011)


2. NUR DIAH ANGGRAENI AMIR (1741042025)
3. ASWAN AHMAD (1741041016)
4. DIMAS FAJRI (1741042007)

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini yang berjudul “Filsafat Pendidikan Esensialisme” dalam mata kuliah
“Filsafat Pendidikan” dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana, semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman
bagi pembacanya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah
Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Makassar, 5 Maret 2018

Kelompok 6
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan
realisme. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak
esensialisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya dengan ide-ide,
jika hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan dua
aliran itu bersifat eklektik, yakni keduanya sebagai pendukung, tidak melebur
menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-masing aliran.
Aliran filsafat pendidikan Esensiahsme dapat ditelusuri dari aliran filsafat
yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena
kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia. Kebudayaan
lama telah ada semenjak peradaban umat manusia dahulu, terutama semenjak
zaman Renaissance mulai tumbuh dan berkembang dengan megahnya.
Kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno.
Pemikiran yang esensialis dikembangkan oleh para pengikut dan simpatisan
ajaran filsafat tersebut sehingga menjadi satu aliran filsafat yang mapan.
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai
tinjauan yang berbeda dengan progresivisme, yaitu mengenai pendidikan dan
kebudayaan.
Tujuan utama aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat.

B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian filsafat pendidikan esensialisme
2. Mengetahui tokoh-tokoh filsafat pendidikan esensialisme
3. Mengetahui tujuan pendidikan menurut filsafat pendidikan esensialisme
4. Mengetahui kurikulum filsafat pendidikan esensialisme
5. Mengetahui peran guru menurut filsafat pendidikan esensialisme
6. Mengetahui metode pembelajaran yang digunakam guru dalam filsafat
pendidikan esensialisme
7. Mengetahui bentuk penilaian menurut filsafat pendidikan esensialisme
8. Mengetahui kedudukan peserta didik menurut filsafat pendidikan
esensialisme

C. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan
sumber referensi bagi penulis dan khalayak umum terkait objek yang sama yang
ingin dikaji lebih mendalam.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Esensialisme
Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential
berarti inti atau pokok dari sesuatu, dan isme berarti aliran, mazhab atau paham.
Esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme
muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-cirinya yang berbeda dengan
progresivisme. Dasar pijakan aliran pendidikan ini lebih fleksibel dan terbuka
untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahun lama, yang memberikan kestabilan dan
nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata nilai yang jelas.
Yang dimaksud dengan Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya
konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme. Esensialisme pertama-tama
muncul dan merupakan reaksi terhadap simbiolisme mutlak dan dogmatis abad
pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh
mengenai manusia dan alam semesta yang memenuhi tuntutan zaman.

B. Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Esensialisme


Berikut tokoh tokoh filsafat pendidikan esensialisme:
1. Desiderius Erasmus
Humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke -15 dan permulaan abad
ke-16 adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak
pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis
dan bersifat internasional sehingga dapat diikuti oleh kaum tengah dan
aristokrat.
2. Johann Amos Comenius (1592-1670)
Tokoh Renaissance pertama yang berusaha menyistematiskan proses
pengajaran. Ia memiliki pandangan realistis yang dogmatis. Karena dunia ini
dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk
anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
3. John Locke (1632-1704)
Tokoh dari Inggris dan populer sebagai “pemikir dunia” mengatakan
bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Ia juga
memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
4. Johann Hencrich Pestalozzi (1746-1827)
Mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada
manusia sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan yang
wajar. Selain itu, ia percaya akan hal-hal yang transendental, menurutnya
manusia mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
5. Johann Friederich Froebel (1782-1852)
Seorang tokoh transendental yang corak pandangannya bersifat
kosmissintetis. Menurutnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagai
bagian dari alam ini. Oleh karena itu, ia tunduk dan mengikuti ketentuan dan
hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan, ia memandang anak sebagai
makhluk yang berekspresi kreatif. Sedangkan, tugas pendidikan adalah
memimpin peserta didik ke arah kesadaran diri yang murni, sesuai fitrah
kejadiannya.
6. Johann Friedrich Herbart (1776-1841)
Salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang
dengan kebajikan dari Yang Mutlak. Artinya, penyesuaian dengan hukum-
hukum kesusilaan, yang disebut “pengajaran yang mendidik” dalam proses
pencapaian tujuan pendidikan.
7. William T. Harris (1835-1909)
Berusaha menerapkan idealisme objectif pada pendidikan umum.
Menurut dia, tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan
sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun
temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada
masyarakat.

C. Tujuan Pendidikan Menurut Filsafat Pendidikan Esensialisme


Tujuan Pendidikan menurut Filsafat Pendidikan Esensialisme adalah
menyampaikan warisan budaya sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah
terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah
berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh
keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat,
membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan
bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek
atau kecerdasan.

D. Kurikulum Filsafat Pendidikan Esensialisme


Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaknya
berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber atas
pandangan inilah kegiatan pendidikan dilakukan.
Kurikulum, menurut Herman Harrel Horne dalam Jalaluddin dan Abdullah Idi
(2006), hendaknya bersendikan atas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang
ideal dan cita-cita masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu
disesuaikan dan tujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini, kegiatan atau
keaktifan anak didik tidak terkekang, sejalan dengan fundamen-fundamen yang
telah ditentukan.
Menurut Bogoslousky, selain ditegaskan dapat terhindar dari adanya
pemisahan mata pelajaran yang satu dengan lain, kurikulum juga dapat diibaratkan
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian.
Pertama, universum. Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan
segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan
alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
Kedua, sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup
masyarakat. Dengan sivilisasi, manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap
lingkungannys, mengejar kebutuhan, serta hidup aman dan sejahtera.
Ketiga, kebudayaan. Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencakup
diantaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran, dan penilaian
mengenai lingkungan.
Keempat, kepribadian. Pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaknya
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi emosional, dan intelektual sebagai
keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan
ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum
disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas
tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk
itu, perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru
haruslah di didik untuk mengetahui dan mengagumi kita suci. Sedangkan
Dernihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun
dengan teratur satu sama lain, disusun dari paling sederhana sampai pada yang
paling kompleks. Susunan ini dapat diibaratkan seperti susunan alam, yang
sederhana merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling kompleks.
Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar pikiran demikian, tentunya ia akan menjadi
harmonis.

E. Peran Guru Menurut Filsafat Pendidikan Esensialisme


Peranan guru banyak persamaan dengan perenialisme. Guru dianggap sebagai
seorang yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh
yang sangat baik untuk di tiru. Guru merupakan orang yang menguasai
pengetahuan, dan kelas berada di bawah pengaruh dan penguasaan guru.
 Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan-kegiatan di
kelas.
 Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan
penguasaan pengetahuan atau gagasan yang hendak ditanamkan kepada
peserta didik.

F. Metode Pembelajaran yang Digunakan Guru dalam Filsafat Pendidikan


Esensialisme
Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode tradisional yang
bertautan dengan disiplin mental. Contohnya, metode pemecahan masalah
(problem solving). Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah
penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa
menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun
masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.

G. Bentuk Penilaian Menurut Filsafat Pendidikan Esensialisme


Esensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan
bahwa lembaga-lembaga dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal
dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk
menyelamatkan manusia dan kebudayaannya, harus diusahakan melalui
pendidikan.

H. Kedudukan Peserta Didik Menurut Filsafat Pendidikan Esensialisme


Kedudukan peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran.
Menurut idealisme belajar adalah menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran
seperti yang telah ditetapkan oleh yang absolut. Sedangkan menurut realisme
belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial
oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan
kepada angkatan berikutnya.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan
realisme. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak
esensialisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya dengan ide-
ide, jika hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan
dua aliran itu bersifat eklektik, yakni keduanya sebagai pendukung, tidak
melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-masing
aliran.
Menurut esensialisme sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup
sesuai dengan prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam
masyarakat.
Tujuan utama aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat.

B. Saran
Saran yang dapat disampaikan yaitu hendaknya tidak meninggalkan nilai-
nilai budaya lama dalam hal kependidikan, setidaknya dapat memadukan teknik
pengajaran dengan metode lama, karena metode lama juga memiliki nilai-nilai
positif untuk diterapkan.
Daftar Pustaka

Anwar, Muhammad, 2015, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Prenadamedia Group

Jalaluddin dan Idi, Abdullah, 2013, FILSAFAT PENDIDIKAN Manusia, Filsafat,


dan Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

http://nasriloza.blogspot.co.id/2015/12/esensialisme-perenialisme-
progresivisme.html?m=1\

https://www.google.co.id/amp/s/aniramayantirahayu.wordpress.com/2010/05/18/filsa
fat-pendidikan/amp/

Anda mungkin juga menyukai