Anda di halaman 1dari 6

1.

IDENTITAS BUKU

Judul : Tidur Berbantal Koran


Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbi : Pertama, 2013
Jumlah Halaman : 246 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
2. IKHTISAR BUKU

Sebagai seorang yang sangat suka membaca saya selalu tergelitik ingin tahu
apakah orang-orang yang pekerjaannya menjual bahan-bahan bacaan seperti
penjual koran, penjual buku-buku bekas, pramugari toko buku, dll membaca juga
apa yang mereka jajakan? Jika memang demikian tentunya akan banyak sekali
manfaat yang mereka peroleh dari apa yang mereka jajakan karena buku, koran,
majalah, dll adalah sumber pengetahuan dan ispirasi hidup yang begitu mudah
mereka dapatkan hanya dengan cara membacanya.

Itulah yang dialami N. Mursidi, seorang anak desa yang mencoba membiayai
kuliahnya di Jogya dengan cara berjualan koran. Sebelumnya cita-citanya
hanyalah bisa kuliah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun siapa sangka,
dari yang tadinya berjualan koran hanya untuk sekedar membiayai hidup dan
kuliahnya ternyata dari koran-koran yang ia jajakan itu jalan hidup dan mimpinya
berubah.

Berawal dari seorang tukang becak yang selalu membeli korannya untuk
dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang
tukang yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran
dan membacanya dengan tekun.

“Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari berjualan koran, aku
tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tidak peduli
dengan apa yang kujual karena yang kuinginkan adalah koranku lalu… Tak
pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran
yang kujual” (hlm 5-6)
Tergugah oleh apa yang dilakukan tukang becak itu maka iapun tergerak untuk
membaca setumpuk koran yang dijualnya. Dari apa yang dibacanya itu Mursidi
menemukan sebuah opini yang ditulis mahasisiwa di sebuah rubrik koran yang
dijualnya. Dari situ dirinya tersadarka akan sebuah kenyataan bahwa mahasiswa
seperti dirinya bisa menulis di koran apalagi ketika dirinya membaca rubrik
resensi di koran Mingggu yang biasanya ditulis oleh para mahasiswa. Saat itulah
ia memutuskan untuk bisa menulis di koran.

“Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus


mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku.
Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis;
menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji
bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran.” (hlm 6)

Semenjak itu pula dirinya makin rajin membaca koran yang dijualnya dan
mempelajari tulisan yang dimuat secara koran secara otodidak dan mulailah ritual
baru dalam kehidupannya, pagi berjualan koran dan membaca koran setiap ada
kesempatan, siang berangkat kuliah, dan malam harinya menulis dengan mesin tik
bekas yang dibeli dari temannya. Demi menghasilkan tulisan ia rela memotong
waktu tidurnya agar memiliki waktu banyak untuk menulis dan mencoba
mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah koran.

"Waktu itu, aku memang sengaja tidak membeli bantal agar jam tidurku tidak
berkepanjangan. Tak salah, karena di kamar banyak buku, maka buku-bukuku
itulah yang kerap kujadikan bantal. Tak jarang, aku pun bahkan memakai alas
tumpukan koran sebagai bantal" (hlm 172-173)
Namun tak semudah yang ia bayangkan, ia harus menghadapi banyak tantangan,
ada banyak jalan berliku, perjuangan yang tidak mudah, persaingan yang ketat
antara sesama penulis, dan ekstra kesabaran yang harus dilakonimya sebelum
akhirnya tulisannya dimuat di koran. Dan karena ketekunannya membaca dan
menulis secara otodidak pada akhirnya tidak hanya satu dua tulisan yang berhasil
dimuat di koran melainkan ratusan tulisannnya menghiasi berbagai koran lokal
dan nasional dan hal ini pula yang akan mengantar dirinya menjadi seorang
wartawan dan penulis tetap di sebuah majalah islami terkenal hingga kini.

Semua pengalaman N. Mursidi dari seorang penjual koran menjadi wartawan


tersebut tertuang dalam buku memoarnya yang berjudul “Tidur Berbantal Koran”.
Buku ini tersaji dalam 4 bagian besar. Di bagian pertama dikisahkan suka duka
penulis berjualan koran di jalanan, bagaimana trik-triknya untuk mendapatkan
pembeli, serta bagaimana kerasnya hidup di jalanan dan bagaimana penulis
dengan hidup nomaden dengan sepeda Onthelnya

Pengalaman penulis ketika belajar menulis secara otodidak dengan mesin tik
bekas di malam hari bagaimana perjuangan penulis agar tulisannya dimuat di
koran tersaji di bagian kedua dan ketiga. Ada berbagai pengalaman menarik di
bagian ini antara lain bagaimana tulisannya menjadi pembungkus nasi yang
sedang disantapnya, pengalaman pertama mengirim resensi via email, dan
bagaimana pengalaman pahitnya ketika ia diejek teman-temannya karena terus
menerus menerima surat pengembalian resensi dari Kompas.Dan di bagian akhir
bagian ketiga ini penulis juga menyuguhkan tips-tips membuat resensi
berdasarkan pengalamannya

Di bagian ke empat, yang merupakan bagian akhir dari memoar ini ada bagian
yang menyuguhkan tips dan buah manis dari perjuangannya menulis untuk koran
seperti tips membaca koran dan menyelami apa yang ada di balik teks, dan kisah
bagaimana akhirnya penulis hijrah ke Jakarta dan diterima sebagai wartawan di
sebuah majalah Islami terkenal.

Singkatnya lewat memoar yang tersaji dengan menarik dan ditulis dengan jujur
dan apa adanya ini akan mendorong pembacanya untuk tidak menyerah dalam
menggapai mimpi walau seribu kesulitan dan tantangan menghadang. Buku ini
cocok sekali untuk memotivasi para penulis yang sedang mencoba menjajal
kemampuan menulisnya dan sedang memimpikan namanya tercetak di koran-
koran.

Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana
awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja
kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif
dimana hingga kini ada sekitar 300an tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi)
yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian
Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"

Satu-satunya kritik terhadap buku ini adalah pada label yang diberikan penerbit
pada memoar ini. Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera
tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas
menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel?
padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini
novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah
menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua
yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah
seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.

Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini?
Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak
bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku
yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang
sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
3. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

Kelebihan Buku:
1. Cover buku cukup menarik dan sesuai dengan keadaan penulis pada saat itu yang
menjadi seorang mahasiswa di Yogjakarta. (yaitu diikut sertakannya tugu Yogja
pada Cover tsb.)
2. Buku ini menceritakan kisah dari seorang mahasiswa.
3. Buku ini ditulis dengan jujur dan apa adanya, tidak ada dramatisasi kisah seperti
layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.
4. Buku ini mengajarkan kita akan arti perjuangan yang akan sia-sia tanpa
pengorbanan dan usaha yang keras.

Kekurangan Buku
Label yang diberikan penerbit seharusnya sama dengan apa yang ditulis oleh
penulis. Bukan sebuah “novel” tapi sebuah “memoar”.

4. Pendapat Resensator terhadap Buku “Tidur Berbantal Koran”

Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah Novel"
padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan bahwa buku ini
adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel dan memoar adalah
dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam
sebuah kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada penulisnya, dan
beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata
dan tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari
kisah nyata. Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada
buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya
tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati
adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi
buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
Nama : Vani Fajriati Putri
Kelas : IX-A

SMP NEGERI 1 CANGKUANG

2014/2015

Anda mungkin juga menyukai