Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN

GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL: APENDISITIS


PADA PASIEN TN.S DI RUANG PRABU KRESNA RSUD
K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

dalam menyelesaikan program Sarjana Keperawata

Oleh :
RISKI RAHMAWATI
G3A017056

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendisitis atau radang apendiks merupakan kasus infeksi intraabdominal

yang sering dijumpai pada anak. Di Amerika 60.000-80.000 kasus apendisitis

didiagnosa per tahun, rata-rata usia anak yang mengalami apendisitis adalah

10 tahun. Di Amerika Serikat angka kematian akibat apendisitis 0.2-0.8%

(Santacroce & Craig, 2006). Di Indonesia Apendisitis menjadi penyakit

terbanyak diderita dengan urutan keempat tahun 2006 setelah dyspepsia,

gastritis dan duodenitis (DepKes RI, 2006). Kelompok usia yang umumnya

mengalami apendisitis yaitu pada usia 10 – 30 tahun. Satu dari 15 orang

pernah mengalami apendisitis dalam hidupnya (Sisk, 2004).

Apendisitis lebih sering terjadi di negara-negara maju, pada masyarakat

barat (Sulu, Gunerhan, Ozturk & Arslan, 2010). Sebuah hasil penelitian

menunjukkan masyarakat urban Afrika Selatan yang mengkonsumsi makanan

rendah serat daripada orang Caucasian, insiden apendisitis terjadi lebih rendah

pada orang Caucasian (Carr, 2000). Urbanisasi mempengaruhi transisi

demografi dan terjadi perubahan pola makan dalam masyarakat seiring dengan

peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat

(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Apendisitis dapat disebabkan oleh gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari

yang tidak sehat seperti kurangnya mengkonsumsi makanan berserat dalam


2

menu sehari-hari. Makanan rendah serat memicu terbentuknya fecalith yang

dapat menyebabkan obstruksi pada lumen appendiks (Marianne, Susan &

Loren, 2007). Apendisitis dapat disebabkan oleh penyebab lainnya antara lain;

hyperplasia jaringan limfoid, infeksi virus, parasit Enterobius vermicularis

yang dapat menyumbat lumen appendiks (Hockenberry & Wilson, 2007).

Gejala klasik yang terjadi pada anak yang menderita apendisitis antara lain

nyeri periumbilikal, mual, muntah, demam, dan nyeri tekan pada kuadaran

kanan bawah perut, (Marianne, Susan & Loren, 2007). Beberapa tanda nyeri

yang terjadi pada kasus apendisitis dapat diketahui melalui beberapa tanda

nyeri antara lain; Rovsing’s sign, Psoas sign, dan Jump Sign, (Lynn, Cynthia

& Jeffery, 2002).

Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera

untuk mencegah terjadinya kompilkasi berbahaya (Sjamsuhidajat & Jong,

2005). Apendiktomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat

apendiks dilakukan segera mungkin untuk mengurangi risiko perforasi

(Brunner & Suddarth, 2001). Apendisitis yang tidak tertangani segera maka

dapat terjadi perforasi dan diperlukan tindakan operasi laparatomi. Tindakan

pasca bedah untuk mengatasi masalah apendisitis tentunya dapat

menimbulkan masalah keperawatan lainnya.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk membuat asuhan

keperawatan dengan judul “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dengan

Gangguan Sistem Endokrin: Diabetes Mellitus Tipe I pada Pasien Tn.S di

Ruang Nakula 3 RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO Semarang”.


3

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penulis mampu melaporkan asuhan keperawatan medikal bedah

dengan gangguan sistem gastrointestinal: apendisitis


2. Tujuan Khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian pada klien dengan gangguan sistem

gastrointestinal: apendisitis
b. Mampu mengidentifikasi masalah dan analisis kebutuhan dari data

yang terkumpul klien dengan gangguan sistem gastrointestinal:

apendisitis
c. Mampu membuat rencana tindakan pada klien dengan gangguan

sistem gastrointestinal: apendisitis


d. Mampu membuat mengimplementasikan tindakan pada klien dengan

gangguan sistem gastrointestinal: apendisitis


e. Mampu mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang dilakukan pada

klien dengan gangguan sistem gastrointestinal: apendisitis

C. Metode Penulisan

Metode yang di pakai dalam makalah ini adalah

1. Metode Pustaka
4

Metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari

pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun

informasi di internet.

2. Eksperimen

Metode yang menggunakan percobaan – percobaan yang kami teliti

terlebih dahulu, sebelum membuat dan menulis makalah rangkaian ini.

D. Sistematika Penulisan

Makalah ini dibagi menjadi 6 bab yang saling berhubungan. adapun

sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini penulis memaparkan latar belakang,

tujuan penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan

BAB II KONSEP DASAR

Pada bagian bab ini penulis memaparkan tentang konsep penyakit

berupa pengertian, etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, patoflow

teori dan konsep keperawatan yang berupa pengkajian keperawatan,

diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan

BAB III RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

Pada bagian bab ini penulis memaparkan tentang tinjauan kasus

berupa pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, intervensi

keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan


15

BAB I

KONSEP DASAR

A. KONSEP PENYAKIT

1. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini

mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih

sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah

penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari

rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah

abdomen darurat.

2. Etiologi

Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai

berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks

merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping

hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat

pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat

menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit

seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran

kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap

timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang


16

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah

timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).

3. Tanda dan Gejala

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari

oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat.

nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan,

mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang

terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada

titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior

anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi

atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila

apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa

didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat

diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi

menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat

berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung

kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan

dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi

kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang

terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri

menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan

kondisi pasien memburuk.


17

Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat

bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan

obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak

mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi

pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien

ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang

lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

4. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena

fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut

menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.

Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat

aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi

mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh

nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.

Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri

terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan


18

gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding

yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.


Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa

lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks

tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena

omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding

apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh

yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan

pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan

pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan

test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan

jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas

75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

Pemeriksaan radiologi terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-

scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada

tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan

CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan

dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.

6. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah

ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk


19

membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan (Yayan,2008).

Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi

(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin

untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah

anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara

laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila

apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan

observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa

dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat

laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat

segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C.

Suzanne, 2002).
20

7. Patoflow Teori
21

B. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan

Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar

utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali

masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.

a. Biodata

Identitas klien: nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,

suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama: Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri

sekitar umbilikus.

2) Riwayat kesehatan dahulu: Riwayat operasi sebelumnya pada

kolon.

3) Riwayat kesehatan sekarang: Sejak kapan keluhan dirasakan,

berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya

keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat

dan memperingan.

c. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi

abdomen
22

2) Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.

Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut

kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada

penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan

bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila

tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut

kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).

3) Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan

letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan

pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang

meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci

diagnosis apendisitis pelvika

4) Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks

yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas

mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha

kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada

m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan

andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks

yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang


23

merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan

menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis

pelvika (Akhyar Yayan, 2008 ).

5) Perubahan pola fungsi

Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges

(2000) adalah sebagai berikut

a) Aktivitas / istirahat dengan gejala malaise.

b) Sirkulasi dengan tanda takikardi.

c) Eliminasi dengan gejala konstipasi pada awitan awal, diare

(kadang-kadang) dan tanda berupa distensi abdomen, nyeri

tekan/ nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising

usus.

d) Makanan / cairan dengan gejala anoreksia, mual/muntah.

e) Nyeri / kenyamanan dengan gejala nyeri abdomen sekitar

epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan

terlokalisasi pada titik Mc. Burney (setengah jarak antara

umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan,

bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga

perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai rasa

nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks,

contoh: retrosekal atau sebelah ureter). Tandanya berupa

perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang

dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan


24

bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.

Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.

f) Pernapasan dengan tanda takipnea, pernapasan dangkal.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada penyakit Diabetes Melitus berdasarkan

klasifikasi NANDA (2012) antara lain sebagai berikut:


1) Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan

kurang pengetahuan tentang manajemen diabetes


2) Resiko jatuh berhubungan dengan Retinopati

3. Intervensi Keperawatan

a. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah


Berhubungan dengan : kurang pengetahuan tentang manajemen

diabetes ditandai dengan :


1) GDS >140 g/dl
2) Polyuria
3) Banyak minum
4) Banyak makan
Hasil NOC :
1) GDS dalam batas normal 90-140 g/dL
Intervensi NIC
1) Kaji tanda dan gejala hipoglikemi dan hiperglikemi
2) Pantau kadar gula darah
3) Edukasi materi hipoglikemi dan hiperglikemi serta tanda gejala dan

penangannya.
4) Kolaborasi dengan dokter dalam penanganan jika terjadi tanda

hipoglikemi dan hiperglikemi


b. Risiko jatuh
Berhubungan dengan : penurunan fungsi penglihatan ditandai dengan :
1) Retinopati
Intervensi NIC :
1) Sediakan lingkungan aman untuk pasien
2) Pasang side rail tempat tidur
3) Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
4) Batasi pengunjung
5) Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
25

Anda mungkin juga menyukai