Anda di halaman 1dari 16

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Prima Magdalena Desiyanthi*


10-2011-393 / F2

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

*Alamat Korespendensi:

Prima Magdalena Desiyanthi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: prima.magdalena@yahoo.com

Pendahuluan

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan
hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara
ini bersifat progresif dan behubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun/ berbahaya. Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic
Obstructif Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit
yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan.

Penulisan laporan ini dilatarbelakangi skenario 8:

Tn Z, 57 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sesak nafas yang memberat dan terus
menerus sejak 5 jam yang lalu. Sejak 1 hari yang lalu mengeluh batuk berdahak warna putih.
Pasien mengatakan dirinya tidak demam. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 30
tahun sebanyak ± 1-2 bungkus/hari. Keluhan seperti ini sudah beberapa kali timbul, sejak 3
tahun terakhir pasien sudah merasa nafas terasa berat terutama jika beraktivitas berat dan
terutama bila dirinya sedang demam dan batuk. PF: TD: 120/70 mmHg, frek nadi: 100x/mnt,
frek. napas: 32x/mnt, Suhu: 36ºC, Ku: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis, mata:
konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, mulut: sianosis (-), leher: tidak teraba perbesaran
KGB. JVP 5-2 cm H2O, tiroid tidak teraba membesar, thorak pulmo: Inspeksi simetris dalam
keadaan statis dinamis, retraksi intercostal (+), palpasi taktil fremitus simetris, Perkusi: sonor
pada kedua lapang paru, Auskultasi SN vesikuler, whezzing +/+, ronki basah kasar minimal
+/+. Cor BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-), abdomen: perut datar, NT (-), bu (+)
normal, ekstremitas: sianosis ringan jari-jari tangan, clubbing finger (-), akral hangat, perfusi
< 3 detik, oedema (-). Lab: Hb: 16 g/dL, Leukosit: 6500/µL, trombosit: 300.000/µL, thorax
foto: kesan: tampak sela iga melebar.

1. Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau dalam
keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara biasa,
anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang penyakit
dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari
masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Pada skenario, pasien adalah Tn.Z, 57 tahun datang
dengan keluhan sesak nafas yang memberat dan terus menerus sejak 5 jam yang lalu. Sejak 3
hari yang lalu mengeluh batuk berdahak berwarna putih. Pasien mengatakan dirinya tidak
demam. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/hari.
Keluhan seperti ini sudah beberapa kali timbul, sejak 3 tahun terakhir pasien sudah merasa nafas
terasa berat terutama jika beraktifitas berat dan terutama bila dirinya sedang demam dan batuk.
Penanganan dari pasien ini harus dimulai dengan riwayat secara menyeluruh melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik untuk melakukan diagnosis. Berdasarkan skenario tersebut. keluhan utama
pasien adalah sesak nafas yang memberat sejak 5 jam yang lalu.
Anamnesis yang baik akan terdiri dari:
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, pendidikan/pekerjaan orang tua,
agama dan suku bangsa.
2. Keluhan utama
Keluhan gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat, pada umumnya tidak harus
sejalan dengan diagnosis.
3. Keluhan lain/gejala yang timbul
Lama keluhan, keluhan lokal seperti lokasi yang menetap, berpindah-pindah atau
menyebar, hilang timbul, bertambah berat atau berkurang, yang mendahului keluhan lalu
kapan pertama kali dirasakan atau pernah merasakan sebelumnya.
4. Riwayat perjalanan penyakit
Tanyakan bagaimana sesaknya, batuknya dan nyeri dadanya.
5. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien sebelumnya memiliki kelainan pernapasan ? Asma ? penyakit paru
Obstruktif Kronis (PPOK) ? TB atau terpajan TB ? Bagaimana pernapasan pasien
mengenai keadaannya dan kepatuhan pada terapi ? Apakah pasien pernah masuk rumah
sakit karena sesak napas ?

6. Riwayat penyakit dalam keluarga


Pernahkah pasien terpajan abses, debu, atau toksin lain ? Apa pekerjaan pasien ? Adakah
riwayat masalah pernapasan dalam keluarga ? Apakah pasien memelihara hewan?

Obat-obatan

Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien ? apakah baru-baru ini ada perubahan penggunaan
obat? adakah respons terhadap terapi terdahulu ? Apakah pasien mengkonsumsi tablet, inhaler,
nebuliser, atau oksigen ?

Alergi

Adakah alergi obat atau antigen lingkungan ?

Merokok

Apakah pasien saat ini merokok ? Apakah pasien pernah merokok ? Jika ya, berapa banyak ?

Riwayat Keluarga dan Sosial

Pernahkah pasien terpajan abses, debu, atau toksin lain ? Apa pekerjaan pasien ? Adakah riwayat
masalah pernapasan dalam keluarga ? Apakah pasien memelihara hewan ?

Riwayat sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit. Sebagaimana
biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula faktor
pemberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan pasien. Setelah dilakukan
anamnesis, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Sebelum melaksanakan pemeriksaan
fisik, hendaknya didahului oleh penjelasan singkat mengenai pemeriksaan fisik yang akan
dilakukan, bagaimana bentuk pemeriksaannya, apa yang nanti harus dilakukan oleh pasien saat
pemeriksaan fisik berlangsung, dan bertujuan untuk apakah pemeriksaan tersebut, serta meminta
informed consent atau permintaan izin kepada pasien yang menunjukan bahwa pasien tersebut
setuju atau tidak untu melakukan pemeriksaan fisik. Jika pasien setuju, jangan lupa untuk
mencuci tangan sebelum dan sudah pemeriksaan.1

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis penyakit tersebut berdasarkan
anamnesis adalah tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Inspeksi dilakukan
untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelainan bentuk dada, menilai frekuensi, sifat
dan pola pernafasan. Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis
(fokal fremitus). Perkusi berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketokan yang terdengar dapat
bermacam-macam yaitu sonor, hipersonor, pekak, redup, dan timpani. Auskultasi merupakan
pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui sistem trakeobronkial.

Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli dapat didengar pada
hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas bronkial tidak akan terdengar karena
getaran suara yang berasal dari bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada karena
dihambat oleh udara yang terdapat dalam alveoli. Dalam keadaan abnormal misalnya pneumonia
di mana alveoli terisi infiltrat maka udara di dalamnya akan berkurang atau menghilang. Infiltrat
yang merupakan penghantar getaran suara yang baik akan menghantarkan suara bronkial sampai
ke dinding dada sehinggadapat terdengar sebagai suara napas bronkovesikular (bila hanya
sebagian alveoli yang terisi infiltrat) atau bronkial (bila seluruh alveoli terisi infiltrat). Penderita
PPOK biasanya mengalami dyspnea ketika melakukan aktivitas berat seperti berolahraga yang
melibatkan kerja lebih oleh paru-paru. Keluhan ini juga dirasakan semakin memburuk dari waktu
ke waktu sehingga rasa sesak napas dapat terjadi pada aktivitas yang tidak terlalu berat
sekalipun, bahkan dyspnea dapat menetap tanpa melakukan aktivitas. Gejala lain yang dapat
timbul adalah sesak dada, rasa lelah, takipnea, perpanjangan ekspirasi, bentuk dada yang
membesar, otot pada leher ikut membantu pernapasan secara aktif, pernapasan pursed lips, dan
barrel chest.
Pada fase awal umumnya pasien tampak normal dan terkadang ada ekspirasi memanjang
pada saat ekshalasi paksa. Pada fase lanjut terjadi hiperinflasi paru, wheezing menetap, ekspirasi
memanjang, suara ronkhi, dan suara jantung jauh. Pada fase akhir pasien kesulitan bernapas
sehingga menggunakan seluruh otot-otot pernapasan secara full-use, tipe pernapasan pursed lips,
sianosis, astereksis, hepatomegali, dan distensi vena pada leher akibat gagal jantung kanan.1

3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologi
- Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
bertambah.
- Pada emfisema paru, foto toraks menunjukan adanya overinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan
penambahan corakan ke distal.2
 Pemeriksaan fungsi paru
Menunjukan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi
jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang
terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien negalami
perbaikan dengan pemberian bronkodilator.
 Pemeriksaan gas darah
Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia
kronis kadar hemoglobin bisa meningkat.

4. Anatomi sistem pernapasan

Sistem pernapasan pada manusia terdiri atas hidung, faring, trakea, bronkus, bronkiolus,
paru-paru.3

a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)


Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung
berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar
keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk
lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi
menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai
banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Pada permukaan rongga
hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring udara
yang masuk ke dalam rongga hidung.3,4

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan


b. Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran,
yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings)
pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat
terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita
suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan
makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang
terbuka. Walaupun demikian, saraf akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan
berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Fungsi utama
faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan
dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk suara
percakapan.3

c. Trakea
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan
sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin
tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-
benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Batang tenggorok (trakea) terletak di sebelah
depan kerongkongan. Di dalam rongga dada, batang tenggorok bercabang menjadi dua cabang
tenggorok (bronkus). Di dalam paru-paru, cabang tenggorok bercabang-cabang lagi menjadi
saluran yang sangat kecil disebut bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang
disebut gelembung paru-paru (alveolus).3

d. Laring
Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Laring berada
diantara orofaring dan trakea, didepan lariofaring. Salah satu tulang rawan pada laring disebut
epiglotis. Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring. Laring diselaputi oleh membrane
mukosa yang terdiri dari epitel berlapis pipih yang cukup tebal sehingga kuat untuk menahan
getaran-getaran suara pada laring. Fungsi utama laring adalah menghasilkan suara dan juga
sebagai tempat keluar masuknya udara. Pangkal tenggorok disusun oleh beberapa tulang rawan
yang membentuk jakun. Pangkal tenggorok dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok
(epiglotis). Pada waktu menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal tenggorok dan pada
waktu bernapas katu membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara yang akan
bergetar bila ada udara dari paru-paru, misalnya pada waktu kita bicara.3,4

e. Bronkus
Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus
kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus
bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya
melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Batang
tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan.
Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus bercabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah
kanan(bronkus primer) bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder), sedangkan
bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil masuk
ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah,
melalui kapiler-kapiler darah dalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam darah.
Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang masuk dan keluar paru-paru.
f. Paru-paru (Pulmo)
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot
dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua
bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut
pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura
visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk
disebut pleura luar (pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan
elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan,tetapi ronga bronkus
masih bersilia dan dibagian ujungnya mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap
bronkiolus terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi, kemudian menjadi
duktus alveolaris.Pada dinding duktus alveolaris mangandung gelembung-gelembung yang
disebut alveolus.
Oksigen yang diperlukan untuk oksidasi diambil dari udara yang kita hirup pada waktu
kita bernapas. Pada waktu bernapas udara masuk melalu saluran pernapasan dan akhirnyan
masuk ke dalam alveolus. Oksigen yang terdapat dalam alveolus berdifusi menembus dinding sel
alveolus. Akhirnya masuk ke dalam pembuluh darah dan diikat oleh hemoglobin yang terdapat
dalam darah menjadi oksihemoglobin. Selanjutnya diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh.
Oksigennya dilepaskan ke dalam sel-sel tubuh sehingga oksihemoglobin kembali menjadi
hemoglobin. Karbondioksida yang dihasilkan dari pernapasan diangkut oleh darah melalui
pembuluh darah yang akhirnya sampai pada alveolus. Dari alveolus karbon dioksida dikeluarkan
melalui saluran pernapasan pada waktu kita mengeluarkan napas. Dengan demikian dalam
alveolus terjadi pertukaran gas yaitu oksigen masuk dan karbondioksida keluar.3,4
5. Diagnosis kerja

Menegakkan diagnosis terhadap suatu penyakit merupakan hal yang tidak mudah,
mengingat gejala dan tanda-tanda klinis yang tidak khas. Diagnosis ditegakkan atas dasar
riwayat penyakit, gambaran klinik dan laboratorium. Pada kasus ini telah didapatkan working
diagnosis yaitu bronkitis kronik, tetapi untuk menetapkan working diagnosis ini harus dilakukan
diagnosis banding terlebih dahulu. Mengingat penyakit paru obstruktif kronik diklasifikasikan
menjadi 4 penyakit, maka pertama akan dilakukan diagnosis banding antara bronkitis kronis,
emfisema, bronkiektasis dan asma.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit obstruksi jalan napas karena
bronkitis kronik atau emfisema. Obstruktif tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai
hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversibel. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk-
batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut
dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis
paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal
bronkus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus.5

6. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik

Bronkitis kronik didefinisikan sebagai riwayat klinis batuk produktif selama 3 bulan
setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Dispnea dan obstruksi saluran napas, seiring dengan elemen
reversibilitas, terjadi secara intermiten atau terus-menerus. Merokok sejauh ini adalah kausa
utama, meskipun iritan inhalan lain mungkin dapat menimbulkan proses yang sama, proses
patologis yang predominan adalah proses peradangan saluran napas, disertai penebalan mukosa
dan hipersekresi mukus sehinggan terjadi obstruksi difus. Pada bronkitis kronik, terdapat
sejumlah kelainan patologis saluran napas, meskipun tidak ada yang benar-benar khas untuk
penyakit ini. Gambaran klinis bronkitis kronik dapat dikaitkan dengan cedera dan penyempitan
kronik saluran napas. Gambaran patologis utama adalah perdangan saluran napas, terutama
saluran napas yang halus, dan hipertrofi kelenjar mukosa saluran napas besar disertai
peningkatan sekresi mukus dan obstruksi saluran napas oleh mukus tersebut. Mukosa saluran
napas biasanya disebuki oleh sel radang, termasuk leukosit polimorfonukleus dan limfosit.
Peradangan mukosa dapat secara substansial mempersempit lumen bronkus. Akibat peradangan
kronik, lapisan normal epitel kolumnar berlapis semua bersilia sering diganti oleh bercak-bercak
metaplasia skuamosa.5,6

Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang banyak. Dahak makin
banyak dan berwarna kekuningan (purulen) pada serangan akut (eksaserbasi). Kadang dapat
dijumpai batuk darah. Sesak napas bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas. Adakalanya
terdengar suara mengi. Pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara krok-
krok terutama saat inspirasi (menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak di saluran
napas. Ronkhi kasar inspirasi dan ekspirasi, takikardia (sering terjadi pada hipoxemia) dan
polisitemia (oleh karena hipoxemia kronik).

Secara klinis bronkitis kronis dibagi menjadi 3:

1. Bronkitis kronis ringan ( simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak dan
keluhan lain yang ringan.
2. Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan batuk
berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
3. Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas (chronic bronchitis with obstruction),
ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas berat dan suara mengi.

b. Emfisema

Emfisema adalah penyakit yang bukan terutama mengenai saluran napas tetapi parenkim
paru disekitarnya. Konsekuensi fisiologisnya adalah hasil dari kerusakan unit-unit respiratorik
terminal dan hilangnya jaringan kapiler alveolus serta yang sangat penting struktur-struktur
penunjang paru, termasuk jaringan ikat elastis. Hilangnya jaringan ikat elastis menyebabkan paru
kehilangan daya recoil elastis dan mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis yang
normal, saluran napas yang tidak mengandung tulang rawan tidak lagi mendapat topangan.
Saluran napas mengalami kolaps prematur saat ekspirasi, disertai gejala obstruktif dan temuan
fisiologis yang khas. 5,6
Gejala umum yang tampak adalah sesak napas dan dyspnea sepanjang hari bahkan saat
beristirahat. Pada pemeriksaan fisik didapati pergerakan napas menurun, bentuk thorax barrel
chest, suara napas menurun, dan hipersonor pada perkusi. Pemeriksaan penunjang yang paling
baik adalah dengan rontgen foto thorax dan biasa didapati tampilan hiperinflasi paru. Selain itu
bisa juga digunakan tes fungsi paru dengan spirometri. Hasil pemeriksaan dapat berupa
penurunan FEV, kapasitas vital, dan peningkatan volume residual.

c. Asma

Asma bronkial adalah inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas pada saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang yang ditandai
dengan sesak napas, bunyi wheezing, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam
hari atau dini hari. Pada penderita asma gejala yang timbul pada serangan akut adalah
bronkokonstriksi, wheezing saat ekspirasi, dyspnea, perpanjangan ekspirasi, takikardi, dan
takipnea. Pada keadaan yang berat bunyi wheezing dapat terdengar saat inspirasi ekspirasi dan
ditemukan pulsus paradoksus. Apabila bronkospasme tidak kembali maka keadaan ini dapat
berlanjut dan mengakibatkan bertambah parahnya hipoksemia dan aliran ekspirasi semakin
menurun. Keadaan ini dinamakan status asmatikus dan dapat mengakibatkan asidosis
respiratorik oleh karena P CO2 yang semakin meningkat dan dapat berakibat fatal.7

d. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah keadaan terjadinya dilatasi dinding bronkus yang ireversibel akibat
rusaknya otot dan jaringan sekitar. Bronkiektasis dapat terjadi secara kongenital dan didapat.
Pada bronkiektasis yang didapat biasanya terlokalisasi di lapangan bawah paru, unilateral (lobus
kanan lebih sering), dan lebih sering terjadi dibandingkan kejadian kongenital. Umumnya
bronkiektasis terjadi akibat proses inflamasi kronik yang disebabkan oleh infeksi terutama
tuberculosis. Selain itu obstruksi saluran napas juga dapat mengakibatkan bronkiektasis seperti
adanya sumbatan mukus dalam lumen, perbesaran kelenjar, dan tumor.

Gejala klinis yang tampak adalah batuk kronik dengan sputum yang banyak. Terkadang
disertai hemoptisis, demam, dan sesak napas. Pada pemeriksaan radiologi tampak honey comb
appearance. Terapi farmakologisnya dapat diberikan obat-obatan ekspektoran, mukolitik, dan
antibiotik apabila perlu. Pasien juga diedukasikan untuk menghindari faktor pencetus seperti
asap rokok, polutan, dan pencegahan terhadap infeksi, serta banyak minum air putih. Fisioterapi
berupa postural drainage juga dapat dilakukan.7

7. Etiologi

Secara umum penyebab PPOK dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti merokok,
pajanan lingkungan pekerjaan, polusi udara, hiperresponsivitas bronkial, faktor genetik, penyakit
autoimun, dan eksaserbasi akut. Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan
patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu penyakit jantung menahun, baik pada katup
maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya
sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan
sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus. Dilatasi bronchus (bronchiectasis)
menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah
terjadi. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus sehingga
drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.5

8. Epidemiologi

PPOK tersebar di seluruh negara dan mengenai kurang lebih sebanyak 329 juta jiwa di
seluruh duniadan secara global merupakan penyebab kematian utama ke-6 pada tahun 1990 dan
diprediksikan akan mencapai penyebab kematian utama ke-4 pada tahun 2030 akibat kebiasaan
merokok yang semakin meningkat dan perubahan demografis pada berbagai negara. Penyebab
keempat kematian di Amerika Serikat. Diperkirakan bahwa lebih dari 16 juta orang di Amerika
Serikat dan 20% orang di negara-negara industri menderita PPOK sistomatik.5

9. Patofisiologi

PPOK yang diakibatkan oleh asap rokok terjadi karena di dalam paru-paru yang terpapar terjadi
oxidative stress karena tingginya konsentrasi radikal bebas dalam asap rokok. Partikel iritan
dalam asap rokok juga mengakibatkan pelepasan sitokin yang menimbulkan proses inflamasi
dalam paru. Radikal bebas dalam asap rokok juga mengakibatkan kerusakan enzim antiprotease
seperti alfa-1-antitripsin sehingga mempercepat kerusakan paru akibat enzim protease dari proses
inflamasi. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil disebabkan
oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel
saluran nafas yang dibentuk oleh sel squamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia
mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan
terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini akan merangsang
dan mempertahankan inflamasi dimana CD8 dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran
nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk
hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot
polos.

Gambar 3. Patofisiologi PPOK6

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada
bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti
protease serta defisiensi α1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang
melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan
struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan
menetap meskipun setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di
paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam
sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B,
chemotacticfactors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α,
IL-1ß dan TGFß. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease,
adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofag serta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga
terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi
mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses
ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang
kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan
berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi perfusi yang pada tahap lanjut dapat
berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada
hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor
konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri
pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi
faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.3

10. Gejala Klinik

Pasien dengan PPOK memiliki gejala sesuai penyakit yang diderita. Secara umum pasien
akan merasakan sesak napas, batuk produktif, dan terkadang hemoptisis.

Gejala respirasi yang timbul adalah batuk kronik produktif dengan sputum mukoid terutama
pada pagi hari dan dyspnea disertai wheezing. Gejala akut pada saat eksaserbasi adalah
meningkatnya batuk produktif, sputum purulen, demam, sesak, dan wheezing. Pada pemeriksaan
spirometri, FEV1 dibawah predicted.4

11. Komplikasi

- Cor pulmonal.

Cor pulmonal disebabkan oleh peningkatan tekanan darah di arteri paru-paru, pembuluh yang
membawa darah dari jantung ke paru-paru. Hal ini menyebabkan pembesaran dan kegagalan
berikutnya dari sisi kanan jantung.6
Komplikasi pada PPOK dapat juga terjadi di luar sistem pulmonal seperti penurunan
berat badan, hipertensi pulmonal, dan payah jantung kanan.6

12. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan PPOK adalah mengatasi segera penyebab yang terjadi dan
mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis
respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009). Pengobatan
farmakologis untuk mengurangi gejala PPOK adalah bronkodilator, anti kolinergik, golongan
metilxantin, dan kortikosteroid. Pengobatan non-farmakologi adalah dengan memberi edukasi
tertang bahaya merokok, terapi oksigen, memberi nutrisi dan dukungan psikologis.5-7

Bronkodilator merupakan pilihan lini pertama terutama dalam sediaan inhalasi karena
kapasitas eksersisenya tinggi menurunkan gejala sesak napas dengan cepat. Bronkodilator
golongan simpatomimetik bekerja sebagai beta-adregenik selektif yang menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus dan bronkodilatasi dengan cara merangsang enzim adenil siklase untuk
membentuk cAMP (AMP siklik). Obat ini juga memperbaiki mukosilia yang dapat diberikan
secara inhalasi dengan Metered Dose Inhaler (MDI).5-7

13. Pencegahan

Pencegahan PPOK yang paling utama adalah penghentian kebiasaan merokok dalam
upaya memperlambat progresivitas penyakit. Selain itu perlu juga diperhatikan kesehatan bekerja
terutama pada lingkungan pekerjaan yang berpolutan. Tindakannya berupa pengaturan ventilasi
yang baik, penggunaan respirator, dan upaya mengurangi debu yang beterbangan terutama pada
lingkungan pertambangan.5

14. Prognosis

Prognosis pada PPOK kurang baik karena bersifat progresif dan akan terus memburuk
hingga mengakibatkan kematian. Beberapa faktor yang dapat memperburuk prognosis adalah
obstruksi aliran udara yang berat (FEV1 sangat rendah), kapasitas beraktivitas yang rendah,
pendeknya napas, berat badan terlalu rendah ataupun tinggi, komplikasi seperti gagal paru atau
cor pulmonale, kebiasaan merokok yang belum dihentikan, dan eksaserbasi akut yang sering
terjadi.5
15. Kesimpulan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang penyakit paru yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible.
Diagnosis penyakit ini dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
cermat. Penyakit ini kebanyakan diakibatkan karena kebiasaan merokok dan polusi udara
penyakit ini dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor predisposisinya.

16. Daftar pustaka


1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2007.h.40-7.
2. Pradip R. Radiologi. 2nd ed. Jakarta: EGC;2007.h.57-8.
3. Sloane. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2004.h.266-9.
4. Gunardi S. Anatomi sistem pernapasan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.h.52-6.
5. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi, pemeriksaan & manajemen. Jakarta: EGC;
2008.h.84-6.
6. Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EGC;
2010.h.235-64.
7. Darmanto R. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC; 2009.h.121-2.

Anda mungkin juga menyukai