Anda di halaman 1dari 29

45

E. Konsepsi Gizi dan Perbaikan Gizi

Pentingnya pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari oleh tiga

kenyataan. Pertama, status gizi yang cukup adalah penting bagi kese-

hatan dan kesejahteraan. Kedua, setiap orang hanya akan cukup gizi

yang diperlukan jika makanan yang dimakan mampu menyediakan zat gizi

yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan

dan energi. Ketiga, ilmu gizi memberikan fakta yang perlu sehingga

penduduk dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan

gizi (Poerwosoedarmo dan Sediaoetama, 1987).

Hal tersebut di atas menyiratkan bahwa faktor-faktor sosial budaya

termasuk yang terkait dengan keagamaan sebuah masyarakat yang

sangat boleh jadi menentukan pilihan pangan dalam hal jumlah, jenis,

cara pengadaan, pengolahan dan penyajian/distribusi dan akan berpenga-

ruh terhadap gizi masyarakat bersangkutan. Oleh sebab itu, maudu’ seba-

gai salah satu bentuk budaya perlu mendapatkan kajian khusus kaitannya

dengan peran atau pengaruhnya dalam perbaikan gizi masyarakat.

1. Pengertian gizi

Dalam kata sambutannya di dalam “Kamus Gizi”, Ketua Dewan Pakar

PERSAGI Prof. (Em) Soekirman, MPS(ID), Ph.D. menjelaskan, ”gizi”

adalah terjemahan ”nutrition” dalam bahasa Inggris. Selanjutnya beliau

menegaskan, menggantikan kata ”gizi” menjadi ”nutrisi” merupakan

bentuk pemakaian kata ”gizi” yang rancu (Sandjaja, dkk. 2010: ix).
46

Meskipun demikian, fakta di masyarakat, menunjukkan apa yang

dinyatakan ”rancu” itu telah secara luas berterima (acceptable); dengan

demikian dapat dibenarkan penggunaannya. Gizi atau nutrisi telah

dimaknakan ke dalam dua pengertian. Pertama, sebagai materi dalam hal

ini zat gizi, dan yang kedua, sebagai sebuah proses. Sebagai materi, gizi

lebih identik dengan nutrient, sementara sebagai proses, lebih sesuai

dengan nutrition dalam bahasa Inggris.

Kata ”gizi” itu sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “ghidza”, yang

berarti makanan. Dalam dialek Mesir, ghidza dilafalkan “ghizi”. Inilah yang

kemudian dalam Bahasa Indonesia diucapkan dan ditulis sebagai ”gizi”.

Dalam perspektif ini, gizi lebih bermakna materi, yang lebih sering disebut

”zat gizi”, bukan proses.

Istilah gizi dan ilmu gizi di Indonesia baru dikenal sekitar tahun

1952-1955 sebagai terjemahan kata bahasa Inggris nutrition. Memang

terdapat sebagian orang menerjemahkan nutrition (bahasa Inggris)

dengan mengejanya sebagai ”nutrisi” dalam Bahasa Indonesia. Terjemah-

an ini terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain tahun

1994. Dalam perspektif ini gizi lebih dilihat sebagai proses, bukan materi.

Supariasa, Bakri dan Fajar (2002) mendefinisikan, gizi (nutrition)

adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan

untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari


47

organ-organ, serta menghasilkan energi. Definisi atau keterangan yang

sama, oleh Dwijayanthi (2011) digunakan menjelaskan kata “nutrisi”.

Definisi WHO untuk ”ilmu gizi” semakin memperjelas pengertian

gizi sebagai suatu proses, sebab WHO mengartikan ilmu gizi sebagai ilmu

yang mempelajari proses yang terjadi pada organisme hidup. Proses

tersebut mencakup pengambilan dan pengolahan zat padat dan cair dari

makanan yang diperlukan untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan,

berfungsinya organ tubuh dan menghasilkan energi. Hal di atas memper-

jelas bahwa gizi adalah sebuah proses, dan dapat diidentikkan dengan

nutrisi.

Zat gizi (nutrient) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk

melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan

memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Makanan

setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan. Bahan makanan

diuraikan menjadi zat gizi atau nutrien. Zat tersebut selanjutnya diserap

melalui dinding usus dan masuk kedalam cairan tubuh (Anonim, 2011a).

Dalam Kamus Gizi, “zat gizi” diartikan sebagai substansi dalam makanan

yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup sehat, terdiri atas karbohidrat,

protein, lemak, vitamin dan mineral.

Di dalam tubuh zat-zat gizi berfungsi sebagai sumber energi atau

tenaga (terutama karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun

(protein), terutama untuk pertumbuhan, perkembangan, pertahanan dan

perbaikan jaringan tubuh, serta sumber zat pengatur (vitamin dan


48

mineral). Bila kekurangan atau kelebihan, dapat menyebabkan perubahan

karakteristik biokimia dan fisiologis tubuh. Berbagai zat gizi yang

diperlukan tubuh tersebut digolongkan ke dalam enam macam yaitu (1)

karbohidrat, (2) protein, (3) lemak, (4) vitamin, (5) mineral, dan (6) air.

Sementara itu energi diperlukan tubuh dapat diperoleh dari hasil

pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak di dalam tubuh.

Di alam ini terdapat berbagai jenis bahan makanan baik yang

berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut pangan nabati maupun yang

berasal dari hewan yang dikenal sebagai pangan hewani (Suharjo dan

Kusharto, 1988). Setiap bahan makanan mempunyai susunan kimia yang

berbeda-beda dan mengandung zat gizi yang bervariasi pula baik jenis

maupun jumlahnya. Tak-satu pun jenis makanan yang mengandung

semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat,

tumbuh kembang dan produktif. Oleh karena itu, setiap orang perlu

mengonsumsi aneka ragam makanan; kecuali bayi umur 0-4 bulan yang

cukup mengonsumsi air susu ibu (ASI) saja. Bagi bayi 0-4 bulan, ASI

adalah satu-satunya makanan tunggal yang penting dalam proses

tumbuh-kembang dirinya secara wajar dan sehat.

Sejauh keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa “gizi” dapat

diartiakan sebagai materi atau zat yakni zat gizi atau nutrient dan sebagai

proses yakni proses organisme dalam menggunakan makanan yang

dikonsumsi. Kedua pengertian “gizi” ini dianut sebagai rujukan dalam

penelitian ini.
49

2. Perbaikan gizi masyarakat

Tak-dapat dipungkiri, pembangunan bangsa adalah pembangunan

sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif.

Bukti empiris menunjukkan status gizi yang baik menjadi parameter

utama, dan status gizi yang baik amat ditentukan oleh jumlah asupan

pangan bermutu yang dikonsumsi. Eratnya keterkaitan kecerdasan

bangsa dengan jumlah asupan pangan bermutu menggulirkan pertanyaan

publik, “Apakah ketersediaan pangan nasional mampu mencukupi rata-

rata konsumsi yang dianjurkan FAO untuk penduduk Indonesia yang kini

berjumlah 230 juta (Sudirman, 2009)?” Tanpa harus menunggu jawaban

saksama, namun yang pasti adalah perbaikan gizi masyarakat dan

ketahanan pangan merupakan satu keharusan dalam sistem

pembangunan menyeluruh bangsa ini.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dinyatakan,

status kesehatan masyarakat Indonesia secara umum masih rendah dan

jauh tertinggal dibandingkan dengan kesehatan masyarakat negara-

negara ASEAN lainnya, yang ditandai antara lain, dengan masih tingginya

angka kematian ibu melahirkan, yaitu 307 per 100 ribu kelahiran hidup

(Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2002–2003), tingginya

angka kematian bayi dan balita. Selain itu, gizi kurang terutama pada

balita masih menjadi masalah besar dalam upaya membentuk generasi

yang mandiri dan berkualitas. Terkait dengan masalah tersebut, dalam


50

Undang-Undang ini pun ditegaskan, “Pembangunan dan perbaikan gizi

dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan,

distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup,

seimbang, serta terjamin keamanannya”. Selanjutnya, di bagian lain

dicantumkan bahwa ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas

dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-

2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2010.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2010 tentang Program

Pembangunan yang Berkeadilan yang terkait dengan Rencana Tindak

Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), ditegaskan

perlunya disusun dokumen Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi

(RAN-PG) 2011-2015 dan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-

PG) 2011-2015 di 33 provinsi. Keluaran rencana aksi diharapkan dapat

menjembatani pencapaian MDGs yang telah disepakati dalam RPJMN

2010-2014 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang anak balita menjadi

15,5 persen, menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32

persen, dan tercapainya konsumsi pangan dengan asupan kalori 2.000

Kkal/orang/hari.

Dalam rencana aksi ini, kebijakan pangan dan gizi disusun melalui

pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi (1)

perbaikan gizi masyarakat; (2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan

keamanan pangan; (4) perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan (5)
51

kelembagaan pangan dan gizi. Kebijakan tersebut adalah peningkatan

status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui ketersediaan,

akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat,

termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi

lintas bidang dan lintas program serta kemitraan. Sedangkan, strategi

nasional yang menjabarkan kebijakan di atas meliputi:

(1) Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil,

dan anak melalui peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan

kesehatan berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu

pra-hamil, ibu hamil, bayi, dan anak baduta.

(2) Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan

ketersediaan dan aksesibiltas pangan yang difokuskan pada keluarga

rawan pangan dan miskin.

(3) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui

peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada

makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah

tangga (PIRT) tersertifikasi.

(4) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui

peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta

non-formal, terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi

pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan

berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta

merevitalisasi posyandu.
52

(5) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan

kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten

dan kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan

program bidang pangan dan gizi, termasuk sumber daya serta penelitian

dan pengembangan.

Dari sejumlah kebijakan dan strategi yang tertera di atas, telah

nampak jelas bahwa perbaikan gizi masyarakat merupakan program

utama nasional di berbagai tingkatan (pemerintahan) dengan sasaran

utama masyarakat rawan pangan, yang implementasinya pada saat-saat

sekarang ini. Penting pula digarisbawahi bahwa strategi yang dipilih untuk

menjalankan kebijakan perbaikan gizi masyarakat adalah pelayanan

kesehatan yang difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil,

ibu hamil, bayi, dan anak baduta. Meskipun demikian, untuk mengakomo-

dir kemudahan pelaksanaan penelitian namun dapat dipertanggungjawab-

kan maka dipilih indikator gizi balita dan orang dewasa.

F. Konsumsi, Status Gizi Masyarakat dan Cara Penilaiannya

1. Kebutuhan dan kecukupan gizi

Agar hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya, manusia

memerlukan sejumlah zat gizi (Hardinsyah dan Martianto, 1988). Untuk

itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus

mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan

eksternal), pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan bagi yang masih di


53

dalam tahap pertumbuhan (bayi, anak-anak dan remaja) atau untuk

aktivitas dan pemeliharaan tubuh bagi orang dewasa dan lanjut usia.

Sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan

disebut kebutuhan gizi.

Selanjutnya, Hardinsyah dan Martianto (1988) mengemukakan, di

samping konsep kebutuhan gizi dikenal pula konsep kecukupan gizi.

National Research Concil, Food and Nutrition Board membedakan

pengertian kebutuhan gizi dan kecukupan gizi. Kebutuhan gizi (nutrient

requirements) adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh

seorang agar hidup sehat. Sedang, kecukupan gizi (recommended dietary

allowances) didefinisikan sebagai jumlah masing-masing zat gizi yang

sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang (sekitar 97,5

persen populasi) hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan gizi biasanya di

susun untuk kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis

kelamin.

Kebutuhan gizi antar-individu yang berat badannya relatif sama dan

berasal dari kelompok umur yang sama dapat bervariasi. Namun variasi

kebutuhan energi lebih kecil dibanding variasi kebutuhan protein dan zat

gizi lainnya dari kelompok umur yang sama, oleh sebab itu para ahli

(dalam Hardinsyah dan Martianto, 1988) menetapkan bahwa angka

kecukupan energi seseorang pada kelompok umur tertentu sama dengan

atau sedikit lebih tinggi dari rata-rata kebutuhan energi kelompok tersebut.
54

Untuk lebih aman angka rata-rata kebutuhan energi ditambah 1-5 persen

untuk menaksir angka kecukupan energi.

2. Tingkat konsumsi gizi dan status gizi masyarakat

Konsumsi zat gizi merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap

status gizi (Kholishoh, 2003). Oleh sebab itu, dapat dipahami, mengapa

tingkat konsumsi gizi seseorang atau kelompok orang sama pentingnya

dengan status gizi orang atau kelompok orang tersebut dalam memberi

penilaian gizi atas suatu masyarakat. Secara hipotetik jumlah (kuantitas)

dan kandungan zat gizi (kualitas) pangan yang dikonsumsi seseorang

akan menentukan status gizinya. Konsumsi gizi dapat dinilai secara

kuantitatif yaitu dari kandungan zat-zat gizi seperti energi, protein, vitamin

A, besi dan iodium. Oleh sebab itu diperlukan data kuantitas dan kualitas

pangan yang dikonsumsi.

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan seseorang

atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam perpektif gizi, me-

ngonsumsi pangan sesungguhnya bertujuan untuk memperoleh sejumlah

zat gizi yang diperlukan tubuh. Oleh sebab itu, urgensi data konsumsi

makanan adalah data atau informasi “konsumsi gizi” (meski istilah ini tidak

lazim diucapkan/ditulis) (Hardinsyah dan Martianto, 1988).

Lebih jauh Hardinsyah dan Martianto (1988) menguraikan, konsum-

si gizi berbeda dengan kecukupan gizi. Konsumsi gizi adalah sesuatu

yang riil, apa adanya, sedangkan kecukupan gizi adalah kondisi yang

seharusnya atau sebaiknya. Perbandingan nilai kedua parameter di atas


55

digunakan untuk menggambarkan tingkat keterpenuhan kebutuhan gizi

yang disebut tingkat konsumsi gizi yang didefinisikan sebagai rasio antara

konsumsi dan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen (%). Jika

obyeknya adalah energi maka disebut tingkat konsumsi energi (TKE). Dan

jika obyeknya protein maka disebut tingkat konsumsi protein (TKP).

Penentuan status gizi di Indonesia sudah sering dilakukan melalui

survei konsumsi makanan sebagaimana halnya juga dilakukan di Amerika

Serikat (Willet dalam Supariasa dkk. (2002). Namun mereka mengingat-

kan, walaupun data konsumsi makanan sering digunakan sebagai salah

satu metode penentuan status gizi, namun sebenarnya survei konsumsi

tidak dapat menentukan status gizi seseorang secara langsung. Hasil

survei hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan

terjadinya kekurangan gizi pada seseorang.

Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara

makanan yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan

tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut. Dengan kata lain keadaan

tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Sementara kebutuhan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor antara lain:

tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, dan faktor

yang bersifat relatif yaitu: gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan

daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization), dan perbedaan

pengeluaran dan penghancuran (excretion and destruction) dari nzat gizi

tersebut dalam tubuh.


56

Selanjutnya Supariasa dkk (2002) menerangkan, status gizi ini

menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadi-

nya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan

berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan

dalam proses pemulihan. Beberapa pendapat para ahli berikut ini patut

menjadi acuan.

Dalam Kamus Gizi, Sandjaja, dkk. (2010: 229) menuliskan, status

gizi diartikan sebagai cermin ukuran terpenuhinya gizi. Status gizi secara

parsial dapat diukur dengan antropometri (pengukuran bagian tertentu dari

tubuh) atau biokimia atau secara klinis.

Supariasa dkk. (2002) menerangkan bahwa status gizi adalah

ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau

perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Sedangkan

menurut Gibson (1990), status gizi adalah keadaan tubuh yang merupa-

kan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam

tubuh dan utilisasinya. Sejalan dengan pengertian di atas, Depkes dalam

Sudirman (2008) menulis, status gizi merupakan tanda-tanda penampilan

seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat

gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat

berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan.

Berdasarkan baku WHO-NCHS, status gizi dibagi menjadi empat.

Pertama, gizi lebih untuk overweight, termasuk kegemukan dan obesitas.

Kedua, gizi baik untuk well nourished. Ketiga, gizi kurang untuk under
57

weight yang mencakup mild dan moderate, PCM (protein calori malnutrit-

ion). Keempat, gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus,

marasmik-kwasiorkor dan kwasiorkor.

Status gizi masyarakat dapat dicerminkan oleh status gizi anak

balita (Suharjo dan Riyadi, 1990). Oleh karena itu untuk menilainya

didekati dengan menilai status gizi golongan anak balita tersebut. Caranya

ialah dengan menghitung persentase jumlah anak pada kategori gizi

tertentu (misalnya gizi buruk atau jumlah gizi buruk dan gizi kurang)

terhadap jumlah seluruh anak yang diukur. Status gizi ditentukan oleh

ketersediaan semua zat gizi dalam jumlah dan kombinasi yang cukup

serta waktu yang tepat.

3. Penilaian tingkat konsumsi gizi dan status gizi

a. Pengukuran tingkat konsumsi gizi

Kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang kimia telah berhasil

mengungkapkan banyaknya kandungan zat gizi di dalam berbagai jenis

bahan makanan. Suatu susunan hidangan makanan akan mempunyai

nilai atau kandungan zat gizi dari bahan-bahan makanan yang menyusun-

nya sehingga kebutuhan tubuh akan zat gizi dicukupi atau tidak dicukupi

bergantung pada pangan yang dikonsumsi (Suhardjo dan Kusharto,

1988).

Di antara beragam jenis bahan makanan yang tersedia di alam,

tak-ada satupun bahan yang mengandung komposisi zat gizi yang sama

dengan bahan lainnya. Ada bahan yang kaya akan satu jenis zat gizi
58

tertentu, bahkan ada pula yang lebih dari satu jenis zat gizi. Sebaliknya,

ada pula yang miskin akan zat gizi apapun.

Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi

kesehatan. Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang

mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas

maupun kuantintasnya, yang dalam ilmu gizi biasa disebut triguna

makanan, yaitu makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun dan

zat pengatur. Apabila terjadi, kekurangan atas kelengkapan salah satu zat

gizi tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa

dari makanan yang lain. Jadi mengonsumsi makanan yang beraneka

ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat

pembangun dan zat pengatur.

Makanan sumber zat tenaga antara lain: beras, jagung, gandum,

ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mie. Minyak, margarin dan

santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga.

Makanan sumber zat tenaga menunjang aktivitas sehari-hari. Makanan

sumber zat pembangun yang berasal dari bahan makanan nabati adalah

kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari hewan

adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahannya, seperti keju.

Zat pembangun berperan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkem-

bangan kecerdasan seseorang. Makanan sumber zat pengatur adalah

semua sayur-sayuran dan buah-buahan. Makanan ini mengandung


59

berbagai vitamin dan mineral, yang berperan untuk melancarkan bekerja-

nya fungsi organ-organ tubuh (Gondana, 2011).

Konsumsi zat gizi merupakan faktor yang berpengaruh langsung

terhadap status gizi. Konsumsi gizi dapat dinilai secara kuantitatif yaitu

dari kandungan zat-zat gizi seperti energi, protein, vitamin A, besi dan

iodium (Kholishoh, 2003). Meskipun demikian, konsumsi energi dan

protein sudah cukup untuk menjadi indikator awal ataupun sebagai data

pendukung bagi analisis keadaan gizi masyarakat, sebab menurut

Hardinsyah dan Martianto (1989) penilaian mutu gizi lebih ditekankan

pada penilaian mutu protein pangan yang dikonsumsi.

Konsep gizi seimbang adalah suatu usaha untuk mencapai

keseimbangan antara kebutuhan tubuh (dinamis) akan zat gizi dengan

asupan yang didapat melalui makanan serta keseimbangan antara

berbagai macam zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi. Gizi seimbang

merupakan aneka ragam bahan pangan yang mengandung unsur-unsur

zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, baik kualitas (fungsinya), maupun

kuantitas (jumlahnya) (Almatsier, 2009). Pada gilirannya, zat gizi tersebut

menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan

membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.

Beberapa zat gizi yang disediakan oleh pangan disebut zat gizi

essential, mengingat kenyataan bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat

dibentuk dalam tubuh, setidak-tidaknya dalam jumlah yang diperlukan

untuk pertumbuhan dan kesehatan yang normal. Jadi zat gizi esensial
60

yang disediakan untuk tubuh yang dihasilkan dalam pangan, umumnya

adalah zat gizi yang tidak dibentuk dalam tubuh dan harus disediakan dari

unsur-unsur pangan di antaranya adalah asam amino essensial.

Semua zat gizi essential diperlukan untuk memperoleh dan memeli-

hara pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang baik. Oleh karena

itu, pengetahuan terapan tentang kandungan zat gizi dalam pangan yang

umum dapat diperoleh penduduk di suatu tempat adalah penting guna

merencanakan, menyiapkan dan mengonsumsi makanan seimbang

(Almatsier, 2009).

Pengukuran kandungan gizi makanan memerlukan metode dan alat

tertentu yang sesuai. Ahli gizi menggunakan banyak peralatan misalnya

tabel jumlah gizi dan makanan, pola dan pedoman makan, pencatatan

makanan dan riwayat makan, recipes, alat ukur, dan makanan itu sendiri.

Untuk mewujudkan pengukuran tersebut dilakukan melalui survei

konsumsi pangan (makanan).

Survei konsumsi pangan menurut Suharjo (1989), bertujuan untuk

mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang (masyara-

kat), baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei konsumsi pangan

secara kualitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau

makanan yang dikonsumsi. Dari informasi ini akan dapat dihitung

konsumsi gizi dengan menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Makanan

atau Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dan daftar lainnya bila

diperlukan. Sedang survei konsumsi pangan secara kualitatif biasanya


61

untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis

pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan

makan (food habit) serta cara memperoleh pangan.

Terkait dengan masalah yang dihadapi maka yang lebih sesuai

digunakan adalah metode pengukuran konsumsi secara kuantitatif.

Metode-metode kuantitatif tersebut (Supariasa, dkk., 2002) antara lain: (a)

Metode recall 24 jam; (b) Perkiraan makanan (estimated food record); (c)

Penimbangan makanan (food weighing); (d) Metode food account; (e)

Metode inventaris (inventory method); dan (f) Pencatatan (household food

records).

Dalam penerapan metode pengukuran konsumsi makanan, perlu

disesuaikan dengan sasaran pengamatan. Terdapat tiga sasaran peng-

amatan: (i) tingkat nasional (masyarakat dalam arti luas), (ii) tingkat rumah

tangga dan (iii) tingkat indidvidu atau perorangan. Tidak dapat diterapkan

metode tingkat nasional untuk tingkat masyarakat dalam pengertian

sempit (Supariasa, dkk., 2002). Oleh sebab itu, penilaian gizi masyarakat

dalam cakupan wilayah kecil setingkat dusun (sesuai unit analisis studi

yang sedang direncanakan) lebih cocok diterapkan metode untuk tingkat

rumah tangga dengan beberapa replikasi. Adapun metode yang sesuai itu

meliputi empat macam, dengan kelebihan yang bervariasi, yaitu:

(a) Pencatatan (food account)

(b) Metode Pendaftaran (food list)

(c) Metode inventaris (inventory method); dan


62

(d) Pencatatan makanan rumah tangga.

b Pengukuran indeks antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.

Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri.

Beberapa indeks telak diperkenalkan seperti pada hasil seminar antropo-

metri tahun 1975. Di Indonesia, ukuran baku hasil pengukuran dalam

negeri belum ada, maka untuk berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)

digunakan baku Harvard yang disesuaikan dengan Indonesia (100% baku

Indonesia = 50 persentile baku Harvard) dan untuk lingkar lengan atas

(LLA) digunakan baku Wolanski (Supariasa dkk. 2002).

Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat

badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat

badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan indeks massa tubuh (IMT), di

samping indeks lain masih relatif jarang digunakan. Masing-masing indeks

memiliki keunggulan dan kekurangan, bergantung tujuan pengamatan dan

sumberdaya peneliti. Perbandingan kebaikan dan kelemahan masing-

masing ketiga indeks antropometri tersebut diperlihatkan pada Tabel 1.

Demikian halnya dengan klasifikasi status gizi, terdapat cukup

beragam, antara lain: klasifikasi Gomez (1956), Waterlow, Jelliffi, Bengoa,

dan Klasifikasi Status Gizi menurut Rekomendasi Lokakarya Antropometri

1975 serta Puslitbang Gizi 1978. Selain itu terdapat dua lagi yang relatif

lebih mutakhir yaitu Klasifikasi menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat

Depkes RI Tahun 1999 dan klassifikasi cara WHO.


63

Tabel 1. Kebaikan dan Kelemahan Indeks Antropometri

Indeks Kebaikan Kelemahan


BB/U - Baik untuk mengukur status - Umur sering sulit ditaksir
gizi akut/kronis secara tepat
- Berat badan dapat ber-
fluktuasi
- Sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan kecil
TB/U - Baik untuk menilai gizi masa - Tinggi badan tidak cepat
lampau naik, bahkan tidak mungkin
- Ukuran panjang dapat dibuat turun
sendiri, murah dan mudah - Pengukuran relatif sulit
dibawa-bawa dilakukan karena anak harus
berdiri tegak, sehingga
dibutuhkan 2 orang untuk
melakukannya
- Ketepatan umur sulit

BB/TB - Tidak memerlukan data umur - Membutuhkan 2 macam alat


- Dapat membedakan proporsi ukur
badan (gemuk, normal, - Pengukuran relatif lebih lama
kurus) - Membutuhkan 2 orang untuk
melakukannya

Sumber: Sri Hartini dalam Supariasa dkk. (2002: 72)

Dalam buku petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi (PSG) Anak

Balita Tahun 1999, pengklasan balita dibagi ke dalam 5 klas yakni: gizi

lebih, gizi baik, gizi normal, gizi kurang dan gizi buruk. Baku rujukan yang

digunakan adalah WHO-NCHS (1983), dengan indeks berat badan

menurut umur (BB/U). Klassifikasi status gizi menurut Direktorat Bina Gizi
64

Masyarakat Depkes RI 1999 diperlihatkan pada Tabel 2. Klassifikasi ini

menggunakan baku rujukan WHO-NCHS 1983.

Tabel 2. Klassifikasi Status Gizi Menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat


Depkes RI 1999

Kategori Cut of Point

Gizi lebih <60% Median BB/U Baku WHO-NCHS, 1993


Gizi baik 60%-70% Median BB/U Baku WHO-NCHS, 1993
Gizi normal 70%-80% Median BB/U Baku WHO-NCHS, 1993
Gizi kurang 80%-120% Median BB/U Baku WHO-NCHS, 1993
Gizi buruk >120% Median BB/U Baku WHO-NCHS, 1993

Sumber: Supariasa dkk. (2002: 76)

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa cara Direktorat Bina Gizi

Masyarakat Depkes RI 1999 di atas, hanya menggunakan parameter

berat badan (BB/U). Karena itu maka sulit mengungkapkan status gizi

masa lampau seperti kemampuan yang dimiliki oleh parameter tinggi

badan terhadap umur (TB/U). Sebaliknya jika hanya dengan tinggi badan

dan mengabaikan berat badan sulit mengamati keadaan sesaat (terakhir).

Oleh sebab itu untuk mendapatkan status gizi yang lebih bisa mengung-

kapkan keadaan gizi masa sekarang maupun masa lampau diperlukan

satu sistem klassifikasi yang memadukan beberapa indikator atau indeks.

Untuk memenuhi keperluan tersebut, maka klassifikasi cara WHO

1983 merupakan klassifikasi yang tepat karena memadukan tiga indikator:

BB/U, TB/U dan BB/TB. Perpaduan ketiganya dapat mengungkap kondisi

sekarang dan lampau. Klassifikasi tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.


65

Tabel 3. Klassifikasi Status Gizi Menurut Cara WHO 1983

BB/TB BB/U TB/U Satatus Gizi


Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang
Normal Normal Normal Baik
Normal Tinggi Tinggi Jangkung, masih baik
Rendah Rendah Tinggi Buruk
Rendah Rendah Normal Buruk, kurang
Rendah Normal Tinggi Kurang
Tinggi Tinggi Rendag Lebih, obesitas
Tinggi Tinggi Normal Lebih, tidak obesitas
Tinggi Normal Rendah Lebih, pernah kurang
Sumber: Idrus dan Kunanto dalam Supariasa dkk. (2002: 76)

Indeks Massa Tubuh (MT) merupakan salah satu antropometri dan

hanya cocok diterapkan pada manusia dewasa 19-70 tahun, berstruktur

tulang belakang normal, bukan atlet atau binaragawan, juga bukan ibu

hamil atau menyusui IMT adalah rumus matematis yang berkaitan dengan

lemak tubuh orang dewasa, dan dinyatakan sebagai berat badan (dalam

kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam ukuran meter): IMT =

BB/TB2 (Arisman, 2009).

Menurut Supariasa dkk. (2002) sebelum parameter IMT yang

diperkenalkan FAO/WHO/UNU tahun 1985 itu, di Indonesia telah diterap-

kan parameter Berat Badan Normal sejak tahun 1958, dengan formula:

BBN = 0,9 (tinggi badan -100). Batasan normal, nilai minimum 0,8 (TB -

100) dan nilai maksimum 1,1 (TB - 100). Namun demikian, dengan
66

munculnya metode baru, yaitu IMT maka IMT versi FAO/WHO/UNU

digunakan. Adapun kategorinya diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

IMT Kategori*) Kategori**)


<17,0 Kurus tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat berat
17,0-18,4 Kurus tingkat ringan Kekurangan berat badan tingkat ringan
18,5-25,0 Normal***) Normal
25,1-27,0 Gemuk tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat ringan
>27,0 Gemuk tingkat berat Kelebihan berat badan tingkat berat

Keterangan: *) Depkes (1996) dalam Arisman (2009: 233)


**) Depkes (1994) dalam Supariasa dkk. (2002: 61)
***) Untuk orang Asia 18,5-23 (Khasanah Trans-7 1 Maret 2013)

4. Faktor sosial budaya terkait gizi

Terdapat ketidak-mudahan pemenuhan ketahanan pangan dan gizi

disebabkan banyak hal terutama faktor/fenomena sosial, ekonomi, dan

budaya yang terkait dengan akses pangan (BAPPENAS, 2007). Sejalan

dengan pandangan ini, Sanjur (1982) dan Suharjo (1989) menyatakan,

untuk sampai pada tingkat konsumsi dan status gizi, pangan dan gizi

dapat dipelajari secara “biokultural”. Konsep ini di satu sisi menunjukkan

bahwa pangan atau zat gizi yang terkandung di dalamnya mengalami

proses biologic setelah masuk dalam tubuh dan mempunyai pengaruh

pada fungsi organ-organ tubuh. Di sisi lain menunjukkan adanya faktor-

faktor kultural atau budaya yang menyangkut aspek sosial, ekonomi,

politik, dan proses budaya yang mempengaruhi jenis pangan apa yang

diproduksi atau dipilih seseorang atau masyarakat, bagaimana mengolah-


67

nya, bagaimana mengonsumsinya, kapan dan di mana (dalam kondisi

bagaimana) dikonsumsi.

Tampaknya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa (pilihan)

konsumsi pangan dan gizi erat kaitannya dengan budaya suatu

masyarakat. Terkait budaya tersebut di atas Sudirman (2009) mengusul-

kan, empat hal utama yang perlu diperhatikan terkait pengaruh budaya

antara lain (i) sikap terhadap makanan, (ii) penyebab penyakit, (iii)

kelahiran anak, dan (iv) produksi pangan.

Lebih lanjut Sudirman (2009) menguraikan, dalam hal sikap

terhadap makanan, masih banyak yang percaya dan taat terhadap

pantangan, tahayul, tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi

makanan menjadi rendah. Konsumsi makanan yang rendah juga

disebabkan oleh adanya penyakit, terutama infeksi saluran pencernaan.

Di samping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak

yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan gizi dalam keluarga.

Konsumsi zat gizi keluarga yang rendah, juga dipengaruhi oleh produksi

pangan. Rendahnya produksi pangan disebabkan karena para petani

masih menggunakan teknologi yang bersifat tradisional. Malnutrisi pada

anak erat kaitannya dengan kebodohan dan kemiskinan serta adanya

faktor budaya yang mempengaruhi pemberian makanan tertentu meski

belum layak dikonsumsi di usianya.

Banyaknya anak-anak penderita kekurangan gizi dan gizi buruk di

sejumlah wilayah di tanah air disebabkan ketidaktahuan orang tua akan


68

pentingnya gizi seimbang bagi anak-anak mereka karena umumnya

pendidikan rendah dari orang tua serta faktor kemiskinan. Oleh sebab itu,

peningkatan pengetahuan dalam gizi masyarakat ditujukan untuk

meningkatkan proses terjadinya perubahan sikap dan prilaku yang lebih

sehat mengenai kegunaan dan pemanfaatan berbagai jenis makanan

serta pemanfaatan pelayanan gizi yang tersedia di masyarakat (Sudirman,

2009).

Kurangnya asupan gizi bisa pula disebabkan oleh terbatasnya jumlah

makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi

yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi, yakni kemiskinan.

Alasan ekonomi ini karena ketidakmampuan atau rendahnya daya beli

masyarakat miskin terhadap kebutuhan pangan sehari-hari. Jangankan

ingin membeli pangan bergizi (misalnya susu yang harganya mahal) untuk

makanan yang sekadar mengenyangkan saja sulit didapat. Selain itu, gizi

buruk dapat disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh

sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik (Sudirman,

2009).

G. Kerangka Konseptual

Tradisi masyarakat Cikoang—yang meliputi 10 desa dari total 12

desa di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar—merayakan

maulid Nabi Muhammad s.a.w. (Maudu’) yang dicirikan dengan

pengumpulan, penyajian dan pendistribusian makanan—bahkan dengan


69

sandang dan uang—dalam jumlah relatif besar setiap tahun dapat

dipandang sebagai satu “fungsi” dalam sistem sosial masyarakat Cikoang.

Sebab, suatu fungsi (function) menurut Rocher dalam Ritzer dan

Goodman (2008) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah

pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Tujuan perayaan

itu adalah pelaksanaan ritual keagamaan (Islam) dalam mencari berkah

dari Allah SWT. Ini dilihat dari segi fungsi manifestnya. Namun jika dilihat

fungsi latennya, perayaan maudu’ tersebut bisa jadi mengandung hikmah

atau manfaat yang lebih besar lagi (dari fungsi manifestnya), karena

terdapatnya pendistribusian makanan atau bahan pangan dalam spektrum

yang luas dalam masyarakat Cikoang. Pada tataran fungsi laten inilah

“gizi” didudukkan sebagai salah satu hal penting dalam sistem sosial

masyarakat Cikoang dan menjadi obyek penelitian ini. Fungsi laten ini

merupakan salah satu gagasan yang dikembangkan dalam teori

struktural-fungsional Merton (Musthofa, 2011 dan Poloma, 1979).

Masyarakat Cikoang dengan jumlah penduduk yang relatif besar

yakni sekitar delapan ribu jiwa memiliki stratifikasi sosial yang relatif

kompleks. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh di samping jumlahnya yang

relatif besar, juga sistem kehidupan sosial ekonomi yang kian cenderung

mengarah ke urbanisasi, dan masih dipertahankannya stratifikasi sosial

berdasarkan silsilah (keturunan) terkhusus keturunan Sayyid (keturunan

nabi, pembawa agama Islam) dan ‘darah biru’ (keturunan bangsawan dari

Gowa). Hal ini melahirkan strata sosial yang jelas. Dalam teori fungsio-
70

nalisme struktural Parsons, fokus kajian atau perhatiannya adalah strata

sosial. Seperti dikatakan Ritzer dan Goodman (2008), sasaran perhatian

utama fungsionalisme kemasyarakatan adalah struktur sosial dan institusi

masyarakat berskala luas, antar-hubungannya, dan pengaruhnya

terhadap aktor. Selanjutnya mengutip Davis dan Moore, Ritzer dan

Goodman (2008) menegaskan, stratifikasi adalah keharusan fungsional;

semua masyarakat membutuhkannya; meskipun yang dimaksudkan

adalah stratifikasi yang bukan berbasis individu melainkan posisi

(kedudukan).

Masyarakat Cikoang memahami aktivitas-aktivitasnya sebagai

aktivitas yang memiliki tradisi-tradisi dengan nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya, yang akan membentuk norma-norma adat, yang selalu ditaati

oleh masyarakat. Masyarakat Cikoang senantiasa mempertahankan

eksistensinya dalam upaya mentaati segala ajaran yang didapatkannya

dari leluhur mereka. Dengan kata lain kebudayaan yang diwariskan oleh

orang-orang terdahulunya perlu dilestarikan agar mereka dapat

memahami dan memaknai nilai-nilai atau norma yang berlaku di

dalamnya. Dengan kekuatan yang sudah dimiliki oleh masyarakat Cikoang

dalam mempertahankan dan melestarikan budaya melalui perayaan

Maudu’ Caddi maupun Maudu’ Lompoa, maka mereka dapat menjadikan

suatu pegangan dalam menyelenggarakan perayaan tersebut.

Maudu’ Caddi, Maudu’ Langgar dan Maudu’ Lompoa merupakan

salah satu tradisi keagamaan yang terbilang unik dan mampu bertahan
71

dalam rentang waktu yang cukup panjang. Tradisi tersebut ada di

masyarakat Cikoang sejak kehadiran tokoh sekaligus penyiar agama

Islam Syekh Jalaluddin Al-Aidid tahun 1641 M. Keunikan tradisi ini telah

banyak mengundang sorotan bahkan menjadi topik kajian atau penelitian

dalam berbagai sudut pandang.

Salah satu fenomena yang secara kasat mata dapat kita

saksikan dalam pelaksanaan tradisi tahunan yang bertujuan untuk

menghormati dan memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad

SAW itu adalah melimpahnya berbagai bahan makan dan masakan

tradisional yang dikumpulkan dan diusung dalam upacara adat kemudian

didistribusikan ke masyarakat. Dalam perpektif ekonomi fenomena ini

dapat dipandang sebagai akumulasi dan distribusi pangan dan gizi

masyarakat. Tidak sedikit orang yang memaknainya sebagai tindakan

‘pemborosan’.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka dibangun suatu hipotesisi

bahwa di Cikoang partisipasi masyarakat dalam melaksanakan dan

mendapatkan manfaat perayaan Maudu’ bervariasi menurut status sosial

(kedudukannya). Hal tersebut penting dijadikan obyek kajian penelitian ini.

Keseluruhan kerangka konseptual yang telah diuraikan di atas,

diilustrasikan pada Gambar 3.


72
KONSEPSI
MAUDU’
(nilai filsafati maudu’
menurut ajaran
Sayyid Jalaluddin)
 Peningkatan keimanan dan
ketaqwaan
 Ketaatan beribadah menurut
Makna spiritual ajaran Sayyid Jalaluddin
 Akhlakul qarimah
keagamaan

 Kohesi sosial
MAKNA MAUDU’  Solidaritas sosial
(Nilai, norma dan Makna sosial-ekonomi;  Derajat kesehatan
kebendaan maudu’)  Pekerjaan (status)
 Tingkat kesejahtraan

Makna perbaikan gizi  Cara Pengadaan dan
diversifikasi makanan/ pangan
 Pengolahan
 Pendistribusian/penyajian
 Cara konsumsi
 Antopometri gizi

Gambar 3. Skema kerangka konseptual makna maudu’ bagi perbaikan gizi masyarakat Cikoan
73

Anda mungkin juga menyukai