Anda di halaman 1dari 10

Persepsi

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke
medulla spinalis ke talamus dan otak tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke
berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus
frontalis, dan sistem limbik (Paice, 1991). Ada sel-sel di dalam sistem limbik yang diyakini
mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan demikian, sistem limbik berperan aktif dalam
memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang
lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.
Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor
psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan
nyeri. Meinhart dan McCaffery (1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri sebagai
sensori-diskriminatif, motivasi-adektif, dan kognitif-evaluatif. Persepsi menyadarkan individu dan
mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi.
c. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri.
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem saraf
otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stres. Nyeri dengan intensitas ringan
hingga sedang dan nyeri yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang merupakan
sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan
respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, atau dalam, dan secara tipikal
melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik akibat kandung empedu
atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respons fisiologis terhadap
nyeri dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumatik yang berat,
yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu
tanda-tanda fisik menjadi normal. Dengan demikian, klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu
memperlihatkan tanda-tanda fisik.
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila tidak diobati atau
tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu secara
bermakna. Mahon (1994) mencatat bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang
mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri.
Komponen reaksi nyeri membantu dalam menjelaskan mengapa penatalaksanaan nyeri dapat
merupakan suatu tantangan. Meinhart dan McCaffery (1983) mendeskripsikan tiga fase pengalaman
nyeri : antisipasi, sensasi, dan akibat (aftermath). Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan
nyeri. Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin bukan merupakan
fase yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang lain. Dalam
situasi cedera traumatik atau dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat, individu tidak akan dapat
mengantisipasi nyeri.
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang
berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan
untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama.
Toleransi tergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang.
Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggeretakkan
gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah
yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau sering memanggil
perawat. Perawat dengan segera akan belajar mengenai pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Namun, kurangnya ekspresi nyeri, seperti yang terjadi pada klien yang bingung, tidak selalu berarti
bahwa klien tidak mengalami nyeri. Kecuali klien tidak bereaksi secara terbuka terhadap nyeri, akan
sulit untuk menentukan sifat dan tingkat ketidaknyamanan yang klien rasakan.
Fase akibat (aftermath) nyeri terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti. Bahkan walaupun sumber
nyeri dikontrol, seorang klien mungkin masih memerlukan perhatian perawat karena nyeri
merupakan suatu krisis.

RESEPSI
Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan
menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi
tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri,
maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut
syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan
serabut C. impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis
medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan
neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf
perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan
lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak
mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protektif.

Contoh:

Apabila tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga
melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika.

Proses ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau
berfungsi normal. Ada beberapa factor yang menggangu proses resepsi nyeri, diantaranya
sebagai berikut:

Trauma

Obat-obatan

Pertumbuhan tumor

Gangguan metabolic (penyakit diabetes mellitus)

Tipe serabut saraf perifer


Serabut saraf A-delta :

Merupakan serabut bermyelin

Mengirimkan pesan secara cepat

Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya

Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti ,
otot tendon dll

Biasanya sering ada pada injury akut

Diameternya besar

Serabut saraf C

Tidak bermyelin

Diameternya sangat kecil

Lambat dalam menghantarkan impuls

Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten

Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan


halus

Reseptor terletak distruktur permukaan.

NEUROREGULATOR

Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan


penting pada pengalaman nyeri

Substansi ini titemukan pada nocicepåtor yaitu pada akhir saraf dalam kornu
dorsalis medula spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik

Neuroregulator ada dua macam yaitu neurotransmitter dan neuromodulator


Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik
antara dua serabut saraf

contoh: substansi P, serotonin, prostaglandin

Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi


stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf yang melalui
synaps.

Contoh: endorphin, bradikinin

Neuromodulator diyakini aktifitasnya secara tidak langsung bisa


meningkatkan atau menurunkan efek sebagian neurotransmitter

Teori gate control

Dikemukanan oleh Melzack dan wall pada tahun 1965

Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.

Dalam teori ini dijelaskan bahwa Substansi gelatinosa (SG) yg ada pada bagian ujung
dorsal serabut saraf spinal cord mempunyai peran sebagai pintu gerbang (gating
Mechanism), mekanisme gate control ini dapat memodifikasi dan merubah sensasi
nyeri yang datang sebelum mereka sampai di korteks serebri dan menimbulkan nyeri.

Impuls nyeri bisa lewat jika pintu gerbang terbuka dan impuls akan di blok ketika pintu
gerbang tertutup

Menutupnya pintu gerbang merupakan dasar terapi mengatasi nyeri

Berdasarkan teori ini perawat bisa menggunakannya untuk memanage nyeri pasien

Neuromodulator bisa menutup pintu gerbang dengan cara menghambat pembentukan


substansi P.

Menurut teori ini, tindakan massase diyakini bisa menutup gerbang nyeri.
PERSEPSI

Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi
sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek.

Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu
dapat bereaksi

Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut:

Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya


serabut mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini
mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area limbik
yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi syaraf
berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan nyeri.

REAKSI

Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri.

Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial
menimbulkan reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum

Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon fisiologis,
apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan bereaksi

Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:

Impuls nyeri ditransmisikan ke medula spinalis menutju ke batang otak dan talamus.
Sistem saraf otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis bereaksi, maka
akan timbul respon fisiologis dan akan muncul perilaku.
Menurutpotter & Perry(2005:1504). Agar dapat memantau perubahan fisiologis klien
tentu saja kita harus memahami kompenen fisiologis diantaranya, resepsi, persepsi serta reaksi.
 Resepsi adalah proses perjalanan nyeri sampai timbulnya respon reflek.
Contoh perjalannya adalah stimulus(mekanik,termal,kimia) → Pengeluaran
histamin , bradikinin, kalium → Nosiseptor bereaksi → Impuls syaraf →
serabut syaraf perifer (serabut A delta dan serabut C)→kornudosalis →
medulla spinalis → neurotransmiter (Substansi P) →pusat syaraf di otak →
respon reflek protektif.
 Persepsi merupakan fase dimana saat individu menjadi sadar akan nyeri,
disini akan terjadi reaksi yang komplek. Proses persepsi secara ringkas adalah
sebagai berikut :
Stimulus → nyeri → medula spinalis → talamus → otak(area limbik) → reaksi
emosi pusat otak → persepsi
 Reaksi adalah respon fisiologos dan respon berupa perilaku setelah klien
mempersepsikan diri. Reaksi inii dibagi atas respon fisiologis dan respon
perilaku.

Resepsi
Semua kerusakan selular, yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi, atau stimulus
listrik menyebabkan pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau
dingin, tekanan, friksi, dan histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor
di nosiseptor (reseptor yang berespons terhadap stimulus yang membahayakan) untuk memulai
transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri (Clancy dan McCivar, 1992). Tabel dibawah ini memuat
ringkasan perubahan fisik yang memunculkan stimulus penghasil nyeri.

CONTOH SUMBER FISIK NYERI

Tipe Stimulus
• Mekanik
• Kimia
• Termal
• Listrik

Sumber
• Gangguan dalam cairan tubuh
• Distensi duktus
• Lesi yang mengisi ruang (tumor).
• Perforasi organ viseral
• Terbakar (akibat panas atau dingin yang ekstrem).
• Terbakar

Proses Patofisiologi
• Distensi edema pada jaringan tubuh
• Regangan duktus lumen sempit.
• Iritasi saraf perifer oleh pertumbuhan lesi di dalam ruangan lesi.
• Iritasi kimiawi oleh sekresi pada ujung-ujung saraf yang sensitif.
• Imflamasi oleh hilangnya lapisan superficial atau epidermis yang meningkatkan sensivitas ujung-
ujung saraf.
• Lapisan kulit terbakar disertai cedera jaringan subkutan dan cedera jaringan otot, menyebabkan
cedera pada ujung-ujng saraf.
Sumber : Potter & Perry,2005:1505

Tidak semua jaringan terdiri dari reseptor yang mentransmisikan tanda nyeri. Otak dan alveoli paru
merupakan contoh jaringan yang tidak mentransmisikan nyeri. Beberapa reseptor berespons hanya
pada satu jenis stimulus nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur dan
tekanan. Apabila kombinasi dengan respons nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas
stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian terjadilah
aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh, maka distribusi
reseptor nyeri di setiap bagian tubuh bervariasi. Hal ini menjelaskan subjektivitas anatomis terhadap
nyeri. Bagian tubuh tertentu pada individu yang berbeda lebih atau kurang sensitif terhadap nyeri.
Selain itu, individu memiliki kapasitas produksi substansi penghasil nyeri yang berbeda-beda, yang
dikendalikan oleh gen individu. Semakin banyak atau parah sel yang rusak, maka semakin besar
aktivasi neuron nyeri.
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar di sepanjang serabut saraf perifer
aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengonduksi stimulus nyeri: serabut A-delta yang bermielinasi
dan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A
mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi
intensitas nyeri. Serabut tersebut menghantarkan komponen suatu cedera akut dengan segera
(Jones dan Cory, 1990). Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang individu mula-mula akan
merasakan suatu nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang merupakan hasil transmisi serabut-A.
dalam beberapa detik, nyeri menjadi lebih difus dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit
karena persarafan serabut-C. Serabut-C tetap terpapar pada bahan-bahan kimia, yang dilepaskan
ketika sel mengalami kerusakan.
Ketika serabut C dan serabut A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka akan
melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan atau membuat peka akan respons nyeri.
Misalnya, kalium dan prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi
stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi tersebut berakhir di
bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmitter, seperti substansi P
dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke saraf
traktus spinotalamus (Paice, 1991). Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke
dalam sistem saraf pusat. Stimulus nyeri berjalan melalui serabut saraf di traktus spinotalamus yang
menyeberangi sisi yang berlawanan dengan medulla spinalis. Impuls nyeri kemudian berjalan ke
arah medulla spinalis. Setelah impuls nyeri naik ke medulla spinalis, maka informasi ditransmisikan
dengan cepat ke pusat yang lebih tinggi di otak, termasuk pembentukan retikular, sistem limbik,
talamus, dan korteks sensori dan korteks asosiasi.
Seiring dengan transmisi stimulus nyeri, tubuh mampu menyesuaikan diri atau memvariasikan
resepsi nyeri. Terdapat serabut-serabut saraf di traktus spinotalamus yang berakhir di otak tengah,
menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis di medulla
spinalis (Paice,1991). Serabut ini disebut sistem nyeri desenden, yang bekerja dengan melepaskan
neuroregulator yang menghambat transmisi stimulus nyeri.
Respons refleks protektif juga terjadi dengan resepsi nyeri. Serabut delta-A mengirim impuls sensori
ke medulla spinalis, tempat sinaps dengan neuron motorik. Impuls motorik menyebar melalui
sebuah lengkung refleks bersama serabut saraf eferen (motorik) kembali ke suatu otot perifer dekat
lokasi stimulasi. Kontraksi otot menyebabkan individu menarik diri dari sumber nyeri sebagai usaha
untuk melindungi diri. Misalnya, apabila tangan seseorang dengan tidak sengaja menyentuh sebuah
besi panas, maka akan merasakan sensasi terbakar, tetapi tangannya juga segera melakukan refleks
dengan menarik tangannya dari permukaan besi tersebut. Apabila serabut-serabut superfisial di kulit
distimulasi, maka individu akan menjauh dari sumber nyeri. Apabila jaringan internal, seperti
membran mukosa atau otot terstimulasi, maka otot akan memendek dan menegang.
Resepsi nyeri membutuhkan sistem saraf perifer dan medulla spinalis yang utuh. Faktor-faktor
umum yang mengganggu resepsi nyeri normal meliputi trauma, obat-obatan, pertumbuhan tumor,
dan gangguan metabolik.
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus saraf memegang peranan
yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di
terminal saraf di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu neurotransmitter, seperti substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinaps
di antara dua serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah serabut eksitator atau inhibitor.
Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi
stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps.
Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan meningkatkan dan
menurunkan efek neurotransmitter tertentu. Endofrin merupakan salah satu contoh
neuromodulator. Terapi farmakologis untuk nyeri secara luas berdasarkan pada pengaruh obat-
obatan yang dipilih pada neuroregulator.
Peneliti mengetahui bahwa tidak ada pusat nyeri tertentu di sistem saraf. Teori gate control dari
Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di
sel-sel gelantinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, talamus, dan sistem
limbik (Clancy dan McVicar, 1992). Dengan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi
pertahanan ini, maka perawat dapat memperoleh konsep kerangka kerja yang bermanfaat untuk
penanganan nyeri. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur
proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls
melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih
tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini
mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan
lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor. Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat korteks
yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiate
endogen, seperti endofrin dan dinorfin, suatu pembuluh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
Teknik distraksi, konseling, dan pemberian placebo merupakan upaya untuk melepaskan endofrin.
Peneliti tidak mengetahui bagaimana individu dapat mengaktifkan endofrin mereka.
b. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke
medulla spinalis ke talamus dan otak tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke
berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus
frontalis, dan sistem limbik (Paice, 1991). Ada sel-sel di dalam sistem limbik yang diyakini
mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan demikian, sistem limbik berperan aktif dalam
memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang
lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.
Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor
psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan
nyeri. Meinhart dan McCaffery (1983) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri sebagai
sensori-diskriminatif, motivasi-adektif, dan kognitif-evaluatif. Persepsi menyadarkan individu dan
mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi.
c. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri.
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem
saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stres. Nyeri dengan intensitas
ringan hingga sedang dan nyeri yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang
merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf
otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat,
atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark
miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis
menghasilkan suatu aksi. Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan
individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu
mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik
menjadi normal. Dengan demikian, klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu
memperlihatkan tanda-tanda fisik.
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila tidak diobati atau
tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu secara
bermakna. Mahon (1994) mencatat bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang
mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri.
Komponen reaksi nyeri membantu dalam menjelaskan mengapa penatalaksanaan nyeri dapat
merupakan suatu tantangan. Meinhart dan McCaffery (1983) mendeskripsikan tiga fase pengalaman
nyeri : antisipasi, sensasi, dan akibat (aftermath). Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan
nyeri. Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin bukan merupakan
fase yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang lain. Dalam
situasi cedera traumatik atau dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat, individu tidak akan dapat
mengantisipasi nyeri.
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang
berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan
untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama.
Toleransi tergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang.
Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggeretakkan
gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah
yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau sering memanggil
perawat. Perawat dengan segera akan belajar mengenai pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Namun, kurangnya ekspresi nyeri, seperti yang terjadi pada klien yang bingung, tidak selalu berarti
bahwa klien tidak mengalami nyeri. Kecuali klien tidak bereaksi secara terbuka terhadap nyeri, akan
sulit untuk menentukan sifat dan tingkat ketidaknyamanan yang klien rasakan.
Fase akibat (aftermath) nyeri terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti. Bahkan walaupun sumber
nyeri dikontrol, seorang klien mungkin masih memerlukan perhatian perawat karena nyeri
merupakan suatu krisis

Anda mungkin juga menyukai