Refrat Multipel Sklerosis
Refrat Multipel Sklerosis
MULTIPEL SKLEROSIS
Oleh :
04108705008
Pembimbing :
2012
1
HALAMAN PENGESAHAN
oleh:
Pembimbing :
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan karunia dan rahmat-Nya serta kesehatan dan kesempatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Seiring dengan selesainya penulisan referat yang berjudul “Multipel
Sklerosis” ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada Dr.
Nova Kurniati, SpPD-KAI, FINASIM selaku pembimbing referat atas waktu,
bimbingan, dan pengarahan dalam pembuatan referat ini.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi tercapainya
hasil yang lebih baik dan membawa manfaat bagi semua.
Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat serta dapat dijadikan
pertimbangan dan sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
I. Sejarah......................................................................................................
....3
II. Etiologi.....................................................................................................
....4
III. Patogenesis...............................................................................................
....5
IV. Manifestasi
Klinis........................................................................................6
V. Gambaran
Patologi.......................................................................................9
BAB III...................................................................................................................11
1. Kriteria Diagnostik.....................................................................................11
2. Diagnosis....................................................................................................13
3. Penatalaksanaan.........................................................................................16
BAB IV..................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
4
BAB I
PENDAHULUAN
Epidemiologi
Selain karena gambaran klinisnya yang khas, saat ini di Eropa Utara
multiple sklerosis merupakan penyakit neurologik yang paling sering ditemukan.
Prevalensinya yaitu jumlah kasus yang serentak ditemukan dalam populasi, paling
tinggi di Eropa Utara dan Tengah, termasuk Swiss, Rusia Soviet, Kanada, dan
Amerika Serikat bagian utara, Selandia Baru, dan bagian barat daya Australia. Di
antara populasi multirasial, orang kulit putih memiliki resiko yang paling tinggi.
5
Multiple sklerosis secara dominan menyerang orang kulit putih, informasi
terakhir cenderung menunjukkan bahwa multiple sklerosis adalah suatu penyakit
bawaan dan mungkin dapat ditularkan. Adanya bukti bahwa hubungan antara
HLA system (Human Leukocyte Antigen) dan multiple sklerosis menunjukkan
suatu kerentanan genetis terhadap penyakit itu.3
6
BAB II
II.1 Sejarah
II.2 Etiologi
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga
menyebabkan pelepasan sitokin
8
II.3 Patogenesis
9
trofik dari glia ke akson dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan
peningkatan defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase progresif dari
penyakit5.
10
Table 73.2 Initial symptoms of Multiple Sclerosis
Prevalence (%)
1.Gangguan sensorik
11
terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi
leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah
medulla spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif sering
menimbulkan ataksia sensorik dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar
seringkali menghilang. Karena gangguan sensorik tak dapat
diperagakan secara obyektif, maka gejala-gejala tersebut dapat disalah
duga sebagai histeria.2,8
2.Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-
gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang
abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada
kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total
selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan
visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu,
juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang
nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan
nistagmus.8
6. Gangguan afek
13
berdasarkan lokasi dan perpanjangan plak, mekanisme immunopatologi, aktivasi
komplemen dan pola perusakan oligodendrocytes9 (Tabel 73.1)
14
BAB III
15
kriteria Poser sebelumnya. Beberapa kendala dari kriteria ini adalah sebagai
berikut:
1. Akses terbatas di beberapa bagian dunia untuk teknologi canggih seperti
MRI, dengan demikian, diagnosis Multipel Sklerosis harus dibuat, sampai
episode klinis kedua.
2. Tes paraclinical yang dimasukkan ke dalam kriteria harus berkualitas dan
bersensitivitas tinggi dan harus digunakan secara andal dan seragam untuk
mencapai akurasi yang tinggi yang diharapkan dari kriteria.
3. Kriteria mungkin terlalu ketat untuk diseminasi dalam ruang.
4. Multipel Sklerosis adalah penyakit yang sangat heterogen, dan kriteria
yang mendekati presentasi klinis yang paling khas mungkin kurang
sensitif dalam kasus atipikal (populasi pediatrik atau tua, PP-MS, asal etnis
non-barat-eropa, atau presentasi klinis atipikal).
5. Meskipun MRI sangat sensitif untuk lesi Multipel Sklerosis, namun MRI
tidak spesifik. Lesi pada lapisan putih yang similar dapat dilihat pada
berbagai penyakit lainnya, banyak penyakit yang memiliki fitur klinis
yang sama dengan Multipel Sklerosis. Terlalu mengandalkan MRI dapat
berakibat pada overdiagnosis Multipel Sklerosis dan penanganan yang
tidak perlu.
(a spinal cord lesion is equivalent to a brain infratentorial lesion; an enhancing spinal cord
lesion is equivalent to an enhancing brain lesion, and individual spinal cord lesion can
contribute together with individual brain lesions to reach the required number of T2
lesions).
III.2 Diagnosis
Karena tidak ada yang spesifik untuk Multipel Sklerosis, maka diagnosa terutama
berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifokal
dan asimetrik pada traktus subtansia alba.
1. Clinically definite MS
Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu
lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked
Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya satu
lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan
kadar Ig G abnormal
3. Clinically probable MS
Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya, terbukti ada
lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari
pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi
dan pemeriksaan IgG CSF normal.
Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,
tetapi yang banyak adalah kriteria poser.
17
Kriteria Poser
a. Laboratorium
b. Pencitraan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling sensitif untuk
mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel Sklerosis. MRI digunakan untuk
mendukung diagnosis, memperkirakan beban lesi dan aktivitas penyakit,
18
mengukur atrofi otak dan hilangnya aksonal, mengikuti perkembangan penyakit,
memberikan prognosis, berfungsi sebagai penanda pengganti dan memberikan
hasil pengukuran pada percobaan klinis. Lesi Multipel Sklerosis hyperintense
pada T2, kepadatan proton atau pencitraan FLAIR, dan hypointense atau
isointense pada pencitraan T1(Gambar 73.2). Lesi Multipel Sklerosis biasanya
berbentuk bulat telur, ukuran kecil (rata-rata 3-8mm, meskipun plak raksasa dapat
terjadi) dan terletak terutama di lapisan putih periventricular. Lesi tersebut
cenderung tegak lurus ke ventrikel, melibatkan corpus callosum dan U-fibers dan
dapat meningkatkan gadolinium, terutama selama peradangan aktif, karena
gangguan dari BBB10. Beberapa teknik MRI digunakan dalam Multipel Sklerosis,
korelasi patologis dan aplikasinya dirangkum dalam Tabel 73.310,11.
19
Table 73.3. Magnetic resonance imaging in multiple sclerosis (MS)
III.3 Penatalaksanaan
20
1. Untuk kekambuhan akut, pengobatan standar adalah pemberian singkat
kortikosteroid dosis tinggi (biasanya metilprednisolon 500-1000 mg / hari
selama 3-5 hari secara intravena, diikuti, dalam banyak kasus, dengan
tappering down dari prednison oral untuk tambahan 1-2 minggu).
Serangan parah demielinasi Sistem Saraf Pusat yang tidak merespon
corticosteroid secara adekuat dapat diobati dengan pertukaran plasma15.
2. Pencegahan aktivitas penyakit: Enam obat modifikasi-penyakit [tiga jenis
dari interferon-β (Betaferon / Betaseron, Avonex dan Rebif), glatiramer
asetat (GA, Copaxone, mitoxantrone (Novantrone) dan natalizumab
(Tysabri)] selama ini telah disetujui untuk pencegahan aktivitas penyakit
Multipel Sklerosis, setelah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi
tingkat kekambuhan dan tingkat keparahan, memperlambat akumulasi
disablitas dan secara positif mempengaruhi penanda MRI dari aktivitas
dan perkembangan penyakit15,16 (Tabel 73.5). Ketiga interferon tersebut
juga menunda perkembangan Multipel Sklerosis yang pasti setelah CIS
pertama.15
3. Pengobatan simtomatik pada Multipel Sklerosis paling baik disampaikan
dengan pendekatan multidisiplin yang mengintegrasi fisioterapi, intervensi
sosial dan psikologis dan perawatan medis yang bertujuan untuk setiap
gejala individu17.
21
Table 73.5. Approved disease-modifying drugs for MS
Generasi saat ini dan yang akan datang dari obat Multipel Sklerosis
tampaknya hanya efektif sebagian dan tidak sama untuk tiap pasien yang berbeda.
Dua strategi dapat mendekati keterbatasan ini: terapi kombinasi18 dan
pharmacogenetics, yang mempelajari variasi genetik antara individu yang dapat
menjelaskan respon diferensial untuk terapi yang diberikan19,20. Hal ini dapat
mengalihkan fokus dari mengobati penyakit ke mengobati pasien (Personalized
Medicine), dimana pengobatan disesuaikan dengan individu pasien,
mengkombinasikan immunomudulator, strategi neuroprotective dan repair-
promoting, secara individu dipilih sesuai genetik pasien, subtipe penyakit dan
aktivitas.
22
BAB IV
RINGKASAN
Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Sir
Agustus D’este dari Inggris, akan tetapi Charcot memberi gambaran lebih
terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan saraf pusat.
Insiden penyakit ini di AS 250.000-350.000/tahun (Anderson, 1991) walau
dalam beberapa penelitian menunjukkan kecendrungan meningkat (Kurtze, 1991)
pada daerah Skotlandia, Finlandia, Norwegia, Itali, Irlandia Utara.
Terdapat hubungan erat antara prevalensi dengan variasi geografik,
negara-negara ekuator menunjukkan insiden yang rendah, prevalensi meningkat
pada daerah yang jauh dari ekuator dan hemisfer misal negara Eropa Utara
terutama Scandinavia yang dianggap sebagai nenek moyang penyakit MS ini.
Prevalensi di Amerika Utara sekitar 100/100.000 sedangkan di Amerika Selatan
20/100.000 (Kurtze, 1993).
Prevalensi menurut umur rata-rata onset MS baik wanita maupun pria
sekitar 31-33 tahun dengan usia rata-rata lebih rendah dari wanita, tetapi dapat
pada usia lebih tua, lebih dari 60 tahun. Studi tentang migrasi, etnik, anak kembar
membuktikan bahwa faktor genetik dan lingkungan berpengaruh pada
perkembangan MS. Studi tentang migrasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan
akan menentukan resiko terjadi MS, misalnya pasien yang melakukan migrasi dari
suatu daerah insidensi ke daerah insidensi tinggi sebelum umur 15 tahun
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi MS (Eber & Sadovnick, 1993). Studi
tentang anak kembar ternyata monozigot 30%, dizigot 5% menunjukkan faktor
genetika memegang peranan, tidak adanya lokus mendelian tunggal yang
menyebabkan MS,akan tetapi berupa interaksi antar gen-gen (Sadovnicks, 1993),
gen-gen pada pasien MS di Eropa Utara akan mengontrol fungsi immun (HLA-
A3,B7,DR2,T-Cell reseptor alpha, immunoglobulin subtype (Gm allotype, VH2-
B5), antigen pitative target (proteolipid protein, myelin basic protein, dan lain-
lain)
23
Diet akan mempengaruhi MS, diet lemak tak jenuh akan mempengaruhi
pembentukan myelin otak, disamping adanya kelainan pada pertumbuhan
oligodendrolial yang berhubungan dengan diet. Diet lemak tak jenuh berupa asam
linoleat akan menurunkan eksaserbasi penyakit ini (Dwarkin, 1984). Etiologi
penykit ini diantaranya infeksi virus, bakteri, kelainan oligodendroglia, diet,
genetika, dan lain-lain. Untuk mendiognosa penyakit ini masih sulit, diperlukan
pengalaman-pengalaman fase awal penyakit. Pemeriksaan laboratorium akan
membantu menunjang diagnosa.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
13. Fontoura P, Steinman L, Miller A. Emerging therapeutic targets in
multiple sclerosis. Curr Opin Neurol 2006; 19:260-6.
14. Blevins G, Martin P. Future immunotherapies in multiple sclerosis. Semin
Neurol 2003; 23: 147-58.
15. Kieseier BC, Hartung HP. Current disease-modifying therapies in multipel
sclerosis. Semin Neurol 2003; 23:133-46.
16. Polman CH, O’Connor PW, Havrdova E, et al. A randomized, placebo-
controlled trial of natalizumab for relapsing multiple sclerosis. N Engl J
Med 2006: 354: 899-910.
17. Kesselring J, Beer S. Symptomatic therapy and neurorehabilitation in
multiple sclerosis. Lancet Neurol 2005; 4: 643-52.
18. Costello F, Stuve O, Weber MS, Zamvil SS, Frohman E. Combination
therapies for multiple sclerosis: Scvientific rationale, clinical trials, and
clinical practice. Curr Opin Neurol 2007 June: 20(3): 281-5.
19. Kirstein-Grossman I, Beckmann JS, Lancet D,MillerA. Pharmacogenetic
development of personalized medicine: Multiple sclerosis treatment as a
model. Drugs Bews Perspectives 2002; 15: 558-67.
20. Grossman I,Avidan N, Singer C, Goldstaub D, Hayardeny L, et al.
Pharmacogenetics of Glatiramer Acetate therapy for Multiple Sclerosis
reveals drug-response markers. Pharmacogenet Genomics 2007; 17: 657-
66.
26