Anda di halaman 1dari 17

PENGANTAR HUKUM BISNIS

SAP 13
“Arbitrase Perdagangan di Indonesia”

Dosen Pengampu: Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH.


Jumat,8 Desember 2017

OLEH :

KELOMPOK 10

Made Dewi Gita Puspita Lestari 1506305030

Ni Ketut Ari Susanti 1506305044

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa , karena
atas izin dan kehendak-Nya kami dapat menyelesaikan paper ini dengan tepat
waktu yang berjudul “Arbitrase Perdagangan di Indonesia”. Paper ini bertujuan
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Pengantar Hukum Bisnis” di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, semester V dan kami mencoba untuk
memaparkan sebuah pembahasan kedalam paper ini.
Kami berharap setelah selesainya tugas paper ini, bisa bermanfaat bagi
semuanya, dan berguna bagi proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun karena paper yang kami susun ini masih
sangat jauh dari kata kesempurnaan. Seperti dalam pepatah “ tidak ada gading
yang tak retak “ artinya dalam setiap apapun buah hasil yang dibuat manusia tidak
lepas dari kekurangan namun tidak menutup kemungkinan terdapat kelebihan
yang terselip didalamnya.
Serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah manajemen
strategik kami yang telah memberikan tugas paper ini, dimana membantu kami
lebih memahami materi lingkungan eksternal. Semoga hasil karya kami bisa
bermanfaat untuk semua.

Bukit Jimbaran, 8 Desember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I (PENDAHULUAN) ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II (PEMBAHASAN)..................................................................................... 3
2.1 Definisi dan Dasar Hukum Arbitrase ........................................................ 3
2.1.1 Definisi Arbitrase .............................................................................. 3
2.1.2 Dasar Hukum Arbitrase..................................................................... 5
2.2 Keuntungan Arbitrase ............................................................................... .6
2.3 Kelemahan Arbitrase ................................................................................. .9
2.4 Jenis-Jenis Arbitrase.................................................................................. 11
BAB III (SIMPULAN) ......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian
pesat. Dinamika dan kepastian yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata
telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum.
Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma
untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut
kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan
ekonomi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk
hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru
mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum
berakibat juga terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani
sengketa-sengketa bisnis, tidak independen bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas
moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga pengadilan yang secara konkrit
mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa,
mengadili serta menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.
Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum
arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem penyelesaian sengketa hukum di Indonesia.
Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya
sudah lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal kemerdekaan
Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para usahawan.
Peranan badan arbitrase di dalam penyelesaian sengketa-sengketa bisnis di bidang
perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini adalah semakin penting. Banyak
kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase dan memang bagi
kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberi keuntungan sendiri
daripada melalui badan peradilan nasional. Untuk menyelesaikan sengketa-sengketa melalui
badan arbitrase ini, hukum yang akan diberlakukan oleh dewan arbitrase pertama-tama adalah
hukum yang dipilih oleh para pihak sebagaimana yang tertulis dalam klausula tambahan
dokumen kontrak atau perjanjian.

1
Apabila tidak ada hukum yang tegas-tegas di pilih oleh para pihak, maka hukum yang
akan diberlakukan adalah hukum di mana perjanjian atau kontrak dibuat.
Di tahun 1999, pemerintah Negara Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-
undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-
undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan,
dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat di antara para pihak,
dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan
dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa pengertian arbitrase dan apa dasar hukum arbitrase?
2) Apa saja keuntungan memakai arbitrase?
3) Apa saja kelemahan menggunakan arbitrase?
4) Apa saja Jenis-jenis dari arbitrase?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian arbitrase serta dasar hukum arbitrase di Indonesia
2) Untuk memahami berbagai keuntungan dari arbitrase
3) Untuk memahami berbagai kelemahan dalam penggunaan arbitrase
4) Untuk mengetahui jenis-jenis dari berbagai arbitrase yang ada.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi dan Dasar Hukum Arbitrase


2.1.1 Definisi Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis),
arbitration (Inggris) dan shiedspruch (Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa.
Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding
terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa
tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Penyelesaian sengketa bisnis melalui forum arbitrase sekarang ini sudah menjadi cara
penyelesaian sengketa bisnis yang disukai. Beberapa pengertian arbitrase, yaitu :
1) Menurut Subekti (1992:1) menyatakan bahwa arbitrase adalah : “Penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan
bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh
hakim yang mereka pilih.”
2) Menurut HMN. Poerwosutjipto (1992:1), yang mempergunakan istilah perwasitan
untuk arbitrase ini, menyatakan bahwa: “Perwasitan adalah suatu peradilan
perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak
pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang
tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi
kedua belah pihak.”
3) Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang
netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara
(Huala Adolf, 2006).
4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa
Umum
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian
Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, Arbitrase adalah “Cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
3
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian
dalam Arbitrase harus tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan. Disamping
definisi-definisi tersebut di atas, penting juga dikemukakan ciri-ciri arbitrase, yaitu :
1) Bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.
Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak (pihak) netral atau
arbitrator yang secara khusus ditunjuk.
2) Bahwa para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh para pihak. Para
arbitrator diharapkan memutuskan sengketa menurut hukum.
3) Arbitrase merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihaklah, dan
bukan negara yang mengawasi kewenangan dan kewajiban para pihak.
4) Keputusan yang dikeluarkan badan ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan
para pihak.
5) Keputusan para arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara
mereka untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase, bahwa mereka akan
menerima dan secara sukarela memberikan kekuatan kepada keputusan arbitrase
tersebut.
6) Bahwa pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannya
terlepas dan bebas dari campur tangan negara.
Sesungguhnya jika dibuka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, maka akan ditemui
bahwa pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak
Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
(Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan
mengenai penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615 sampai
dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang
lingkup dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan
ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR
atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :“Jika orang Indonesia
dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka
mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikannya di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat
aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam
Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat
4
Rv,S.1847-52 jo 1849-63). Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.
Secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan
momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal
13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. Dan dalam
perkembangannya pada zaman sekarang sudah banyak digunakan khususnya para pelaku
usaha yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini daripada harus
melalui proses Peradilan Umum yang sangat tidak efesian serta memakan waktu dan biaya
yang besar.

2.1.2 Dasar Hukum Arbitrase


Dasar hukum berarbitrase adalah dasar hukum yang dipergunakan seseorang untuk dapat
menyelesaikan perselisihannya melalui arbitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional
maupun internasional. Dasar hukum tersebut adalah:
1) Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga
arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
2) Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua
belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran
kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua
belah pihak”. Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga
orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan
orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik
modal”.
3) Undang-undang No. 5 Tahun 1968
Mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” Dengan undang-undang ini
5
dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan
agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International
Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
4) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958),
yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri,
yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
5) Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 ,
oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak
tanggal di keluarkan.
6) UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah
mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan
peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan
Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum
acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat
dalam UU NO. 30/1999.
7) Pasal 58 s/d 60 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
" Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar Pengadilan Negara
melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa"

2.2 Keuntungan Arbitrase


Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui penjelasan umum Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1) Kecepatan dalam Proses
Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama
perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila
6
para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu penyelesaian
akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang
dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak telah memilih acara
arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat
diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak
ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.”)
Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga
tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No.
30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan
perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas
disebutkan: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak.”
Catatan: Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan
banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta
dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan
mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641
Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah
Agung.
Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan
Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the
country in which it was made, shall be recognized as binding and,… shall be
enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan.
2) Pemeriksaan Ahli di Bidangnya
Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi
kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan
sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-
pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat
dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum,
di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya
ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan
lain-lain.
Catatan: Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada
kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal
7
ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang
sama, yakni berasal dari bidang hukum, sehingga mereka hanya memiliki
pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang lainnya dan sulit
bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit lainnya.
3) Sifat Konfidensialitas
Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan
tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam
sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian,
penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang
bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: “Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
Catatan: Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus
dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka
dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang
seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.
Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan
bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga
peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Kerahasiaan sengketa para pihak dijamin
b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat
dihindari;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur, dan adil
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Penjelasan UU No. 30/1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan
di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih
cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan arbitrase dibandingkan pengadilan
adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak dipublikasikan. Selanjutnya, di dalam
Penjelasan disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati
daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.
8
Berdasarkan penelitian penulis tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat
disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-
asumsi sebagai berikut:
a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat
waktu, biaya, dan tenaga
b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam
bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya
(putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan
c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka
untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
Dengan beberapa alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada
penyelesaian sengketa di pengadilan. Namun demikian, selain beberapa keuntungan atas
pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa kelemahan yang perlu
mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan penasehat hukumnya, para praktisi
hukum lainnya, dan dari kalangan akademisi, termasuk ahli arbitrase. Jika beberapa
kelemahan tersebut (lihat uraian kelemahan arbitrase) tidak diantisipasi, maka hal itu dapat
membuat arbitrase kehilangan baik daya guna (keefektifan) maupun hasil guna (efisiensi)-
nya.

2.3 Kelemahan Arbitrase


Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:
1) Hanya Untuk Para Pihak Bona Fide
Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide
(bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang
memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang
dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia
selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara
melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama
daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju
dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk
mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa
perkaranya ke pengadilan.
Catatan: Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah
memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan
9
perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di
dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara
tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri
wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa
yang telah ditetapkan melalui arbitrase...”)
2) Ketergantungan Mutlak Pada Arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter
memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase
untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang
kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya
(pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara
mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi
perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).
Catatan: Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan
mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak
sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu
merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko
tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh
karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik
dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.
3) Tidak Ada Preseden Putusan Terdahulu
Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak
dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan
lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-
putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa
terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-
argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Catatan: Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya
putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa
yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan
dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.
4) Masalah Putusan Arbitrase Asing

10
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan
dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang
sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus
dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase
berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara
dari pihak yang dikalahkan.

2.4 Jenis-Jenis Arbistrase


Jenis arbitrase ialah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya
untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan
perjanjian. Jenis arbitrase yang diakui dan memiliki validitas, diatur dan disebut dalam
peraturan dan berbagai konvensi. Dengan demikian, pembicaraan tentang eksistensi jenis
arbitrase, tidak hanya bertitik tolak dari Rv, tapi juga merujuk kepada Convention of The
Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States, Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Awards serta UNCITRAL
Arbitration Rules.
1) Arbitrase Ad Hoc (Ad Hoc Arbitration)
Arbitrase Ad hoc/valunter arbitrase disebut demikian karena sifat dari arbitrase ini
tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus
dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai
diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc ini pun lenyap dan berakhir sendirinya.
Arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh
para pihak yang bersengketa, demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter,
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak
memiliki bentuk yang baku
Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase,
boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara tersendiri baik
mengenai pengangkatan para arbiter maupun mengenai tata cara pemeriksaan
sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata
cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.
2) Arbitrase Institusional
Abitrase Institusional (institusional arbitration) merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat “permanen”. Oleh karena itu arbitrase jenis ini adalah arbitrase
yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga
11
(institusion) tertentu. Arbitrase institusional ialah badan arbitrase yang sengaja
didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang timbul bagi
mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Ia merupakan wadah
yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Pihak-pihak yang ingin penyelesaian permasalahan mereka dilakukan oleh arbitrase,
dapat menjanjikan akan diputus oleh arbitrase institusional.
Faktor kesengajaan dan sifat permanen yang melekat pada arbitrase institusional,
merupakan ciri pembeda badan ini dengan arbitrase ad hoc. Ciri lain, arbitrase
institusional sudah ada berdiri sebelum sengketa timbul. Perbedaan lain, arbitrase
institusional tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar meskipun perselisihan
yang ditangani telah selesai diputus. Selain daripada hal-hal yang diutarakan,
kesengajaan mendirikan arbitrase institusional sebagai badan yang bersifat permanen,
sekaligus disusun organisasinya serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara
pengangkatan arbiter maupun tata cara pengangkatan arbiter maupun tata cara
pemeriksaan sengketa.
Arbitrase instutisional merupakan lembaga yang menyediakan jasa arbitrase
berdasarkan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya, yaitu :
a. Arbitrase yang bersifat nasional, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaan
dan yurisdiksinya hanya meliputi Negara yang bersangkutan, misalnya :
a) The Indonesian National Board of Arbitration atau Badan Arbitrase nasional
Indonesia (BANI)
b) The Japan Commercial Arbitration Association
c) Nederland Arbitrase Institute
d) The British Institute Of arbitrators
e) The American Arbitration association
b. Arbitrase yang bersifat internasional, yaitu arbitrase yang ruang lingkup
keberadaandan yurisdiksinya bersifat internasional, misalnya :
a) Court of arbitration of the international Chamber of Commerce (ICC)
b) The International Centre For Settlement Of Investment Disputes (ICSID) yang
lazim disingkat “Center”.
c) Uncitral Arbitration Ruler (UAR)

BAB III
12
SIMPULAN

Para sarjana memberikan definisi yang berbeda tentang arbitrase namun pada hakekat
memiliki makna yang sama, bahwa arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa
yang dipilih sendiri oleh para pihak yang berselisih. Seperti telah ditulis dimuka, perjanjian
arbitrase acapkali menyertai perjanjian pokoknya (kontrak-kontrak komersial) baik nasional
maupun internasional. Segi positif dengan adanya klausula arbitrase yaitu bahwa para pihak
dapat memilih proses penyelesaian sengketa mereka kelak di kemudian hari. Di dalam hal ini,
mereka dapat pula merancang klausula tersebut sedemikian rupa sehingga ketentuan-
ketentuan (persyaratan arbitrase) yang didalamnya dapat memenuhi keinginan mereka.
Untuk dapat merumuskan suatu klausula yang baik sudah barang tentu peranan ahli
hukum atau ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu
ketentuan yang terkandung di dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati agar pihaknya
atau kedua belah pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa dirugikan.
Arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai landasan hukum dalam berarbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

13
Adolf, Huala. 2006. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Purwosutjipto, H.M.N. 1994. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jakarta:


Djambatan.

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXI. Jakarta: Intermasa.

https://blackangelinhell.wordpress.com/2010/06/08/arbitrase-pengertian-dan-dasar-hukum/
(diakses pada 29 November 2017)

14

Anda mungkin juga menyukai