Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC)

a. Definisi

Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang

waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC adalah bayi

yang lahir dari kehamilan sampai 42 minggu dan berat badan lahir

>2500 sampai 4000 gram (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010).

b. Faktor Penyebab

Berat badan lahir merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor

melalui suatu proses yang berlangsung selama berada dalam

kandungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir

adalah sebagai berikut:

1) Faktor lingkungan internal meliputi usia ibu, jarak kelahiran,

jumlah paritas, kadar hemoglobin, status gizi ibu hamil,

kunjungan ante natal care (ANC), dan penyakit pada saat

kehamilan.

2) Faktor lingkungan eksternal meliputi kondisi lingkungan,

asupan zat gizi, dan tingkat sosial ekonomi ibu hamil.

3) Faktor sosial dan ekonomi meliputi jenis pekerjaan serta tingkat

pendidikan dan pengetahuan ibu hamil.

(Rochjati, 2003)

5
6

2. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

a. Definisi

BBLR adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2500

gram tanpa memandang usia gestasi (Kosim et al., 2014). Menurut

Saifuddin (2010), BBLR adalah bayi dengan berat badan lahir pada

saat kelahiran kurang dari 2500 gram (sampai 2499 gram). Dahulu

disebut bayi prematur kemudian disepakati disebut low birth weight

infant atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

b. Faktor Penyebab

1) Usia saat Melahirkan

Usia terbaik ibu untuk hamil adalah pada usia 20 sampai 35

tahun karena pada kehamilan pada usia dibawah 20 tahun rahim

dan panggul ibu belum berkembang dengan baik, hingga perlu

diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan

keracunan hamil, sedangkan kehamilan pada usia >35 tahun

kesehatan dan keadaan rahim tidak sebaik seperti pada umur 20

sampai 35 tahun sebelumnya, hingga perlu diwaspadai

kemungkinan terjadinya persalinan lama, perdarahan, dan risiko

cacat bawaan (Depkes RI, 2006).

2) Usia Gestasi

Penyebab utama terjadinya kejadian BBLR adalah usia

kehamilan kurang dari 37 minggu (Podja dan Kelley, 2000).

3) Kunjungan ANC
7

Kunjungan ANC adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau

dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk

mendapatkan pelayanan ANC. Pada setiap kunjungan ANC,

petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi

ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk

mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine, serta ada

tidaknya masalah atau komplikasi termasuk kejadian BBLR.

Apabila ibu hamil tidak melakukan pemeriksaan kehamilan,

maka tidak akan diketahui apakah kehamilannya berjalan

dengan baik atau mengalami keadaan risiko tinggi dan

komplikasi obstetri yang dapat membahayakan kehidupan ibu

dan janinnya (Saifuddin, 2010). Pemanfaatan ANC disebut

adekuat bila ibu harnil pertama sekali memeriksakan

kehamilannya pada trimester satu, usia kehamilan cukup bulan

(sama dengan atau di atas 37 minggu) dan total kunjungan

pemanfaatan pelayanan antenatal 4 kali atau lebih. Pemanfaatan

disebut tidak adekuat bila ibu hamil pertama sekali mulai

memeriksakan kehamilannya sesudah trimester satu, usia

kehamilan cukup bulan (sama dengan atau di atas 37 minggu)

dan total kunjungan pemanfaatan pelayanan antenatal adalah

kurang dari 4 kali (Depkes RI, 2007).

4) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan faktor penyebab yang tidak

langsung terhadap kejadian BBLR, namun secara sederhana


8

dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki

mengenai langkah pencegahan kejadian BBLR. Penelitian

secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang

dimiliki ibu memiliki pengaruh kuat pada perilaku reproduksi,

kelahiran, kematian anak dan bayi, kesakitan, dan sikap serta

kesadaran atas kesehatan keluarga (Proverawati dan Ismawati,

2010).

5) Jenis Kelamin Bayi

Trihono (2013a) memaparkan bahwa perbandingan kejadian

BBLR di Indonesia tahun 2013 pada bayi laki-laki lebih sedikit

dibanding pada bayi perempuan, yaitu 9,2% banding 11,2%.

3. Status Gizi

a. Definisi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara

asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan

keadaan kesehatan tubuh. Status gizi merupakan ekspresi dari

keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan

dalam bentuk variabel tertentu. Ketidakseimbangan (kelebihan atau

kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan

menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan

demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi)

(Fidiantoro dan Setiadi, 2013; Gibson, 2005).


9

b. Penilaian Status Gizi

Status gizi dapat dinilai dengan menggunakan dua metode,

yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara

langsung yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.

Sedangkan, untuk penilaian status gizi secara tidak langsung yaitu

survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Antropometri merupakan cara penentuan status gizi yang mudah dan

murah. Indeks massa tubuh (IMT) direkomendasikan sebagai salah

satu indikator yang baik untuk menentukan status gizi remaja.

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter antara lain berat badan, tinggi badan,

lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit

(Supariasa et al., 2012).

c. Cara Penilaian Status Gizi

Status gizi balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan

(BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan balita ditimbang

menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg,

panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur

panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB atau PB

balita disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu BB

dibanding Umur (BB/U), TB dibanding Umur (TB/U), dan BB

dibanding TB (BB/TB) (Irawati, 2013a).

Untuk menilai status gizi balita, maka angka berat badan dan

tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-


10

score) menggunakan tetapan baku antropometri balita WHO (2005).

Selanjutnya, berdasarkan nilai Z-score dari masing-masing indikator

tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan seperti yang

disajikan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan
3 indikator antropometri

Kategori
No. Indikator Ambang Batas (Z-score)
Status Gizi
1 Gizi Buruk <-3 SD
Berat Badan Gizi Kurang -3 SD sampai dengan -2 SD
Menurut Umur
(BB/U) Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
Panjang atau Sangat
<-3 SD
2 Tinggi Badan Pendek
Menurut Umur Pendek -3 SD sampai dengan -2 SD
(PB/U atau Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
TB/U) Tinggi >2 SD
3 Berat Badan Sangat Kurus <-3 SD
Menurut Panjang Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
atau Tinggi
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Badan (BB/PB
atau BB/TB) Gemuk >2 SD
Sumber: Depkes RI, 2010

d. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator BB/U

Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil.

Dalam keadaan normal, keadaan kesehatan baik, dan keseimbangan

antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan

akan bertambah mengikuti pertambahan umur. Sedangkan dalam

keadaan abnormal terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat

badan antara lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal.

Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka penggunaan

indikator BB/U lebih menggambarkan status seseorang saat ini

(current nutritional status) atau akut (Supariasa et al., 2012).


11

Indikator BB/U merupakan indikator yang sering digunakan

dalam pengukuran antropometri karena memiliki kelebihan sebagai

parameter antropometri yaitu:

1) Lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum.

2) Baik untuk mengatur status gizi akut dan kronis.

3) Berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap

perubahan-perubahan kecil.

4) Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu

pendek.

5) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight).

(Khoiri, 2009; Soekirman, 2000).

Namun, indikator BB/U juga mempunyai beberapa kelemahan,

berupa:

1) Dapat terjadi interprestasi yang salah apabila terdapat

pembengkakan, oedem, atau asites.

2) Sulitnya diperoleh data umur yang akurat, terutama di negara-

negara berkembang.

3) Dapat terjadi bias akibat pengaruh dari pakaian atau gerakan

anak saat penimbangan.

4) Faktor sosial budaya setempat dapat mempengaruhi orangtua

untuk tidak menimbang anaknya

(Soekirman, 2000).

Indikator status gizi berdasarkan indikator BB/U memberikan

indikasi masalah gizi secara umum, dalam artian tidak memberikan


12

indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut

karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.

Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek

(masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit

infeksi lain (masalah gizi akut) (Irawati, 2013b).

e. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator TB/U

Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang

dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan

sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang

berkaitan dengan keadaan BBLR dan kurang gizi pada masa balita

jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan

biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indikator ini

pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang

tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes

RI, 2006).

Status gizi berdasarkan indikator TB/U memberikan indikasi

masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang

berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat,

dan pola asuh atau pemberian makan yang kurang baik sejak anak

dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Irawati,

2013b).

f. Status Gizi Balita Berdasarkan Indikator BB/TB

Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter

penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya


13

yang berhubungan dengan status gizi. Indikator BB/U, TB/U, dan

BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya

gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh. Berdasarkan

standar WHO pada indikator BB/TB, jika prevalensi kurus/wasting

<-2 SD diatas 10% menunjukan daerah tersebut mempunyai

masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan

angka kesakitan (Khumaidi, 1994).

g. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pada bayi

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan

zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal

yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,

kemampuan kerja, dan kesehatan. (Soekarti, 2011).

Pertumbuhan serta perkembangan bayi dan balita sebagian besar

ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh, termasuk energi dan zat

gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa

bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan bayi

untuk waktu sekitar enam bulan, dengan catatan pemberian ASI ini

dengan menyusui secara eksklusif. Bukti-bukti yang telah ada

menunjukkan bahwa pada tingkat populasi dasar, pemberian ASI

eksklusif selama 6 bulan adalah cara yang paling optimal dalam

pemberian makan kepada bayi. Setelah 6 bulan biasanya bayi

membutuhkan lebih banyak zat besi dan seng daripada yang tersedia
14

didalam ASI, pada titik inilah nutrisi tambahan bisa diperoleh dari

sedikit porsi makanan pendamping ASI (Herwin, 2004).

Menurut WHO, terjadinya kekurangan gizi dalam hal ini gizi

kurang dan gizi buruk lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni

penyakit infeksi dan asupan makanan yang secara langsung

berpengaruh terhadap kejadian kekurangan gizi serta pola asuh dan

pengetahuan ibu, meskipun ini merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi secara tidak langsung (Herwin. 2004). Berdasarkan

Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (BAPPENAS, 2011)

berbagai faktor menjadi penyebab kurang gizi pada ibu, bayi, dan

anak namun kemiskinan dinilai sebagai penyebab penting masalah

kurang gizi karena keluarga miskin tidak dapat memenuhi asupan

makanan yang cukup dan berkualitas dan keluarga miskin biasanya

adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah sehingga tingkat

pengetahuan pangan dan pola asuh juga kurang berkualitas. Selain

itu, keluarga miskin cenderung memiliki anggapan bahwa anak

adalah calon tenaga kerja yang dapat memberi tambahan pendapatan

keluarga. Padahal banyak anak justru semakin menjadi beban karena

anak yang tidak tumbuh dan berkembang dengan baik akan lebih

rentan terhadap penyakit infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa

keluarga termiskin di Indonesia menggunakan hampir 70%

pendapatannya untuk pengeluaran makanan. Korelasinya sangat jelas

dengan tingginya kejadian masalah kurang gizi pada anak yang


15

berasal dari kelompok termiskin ini, yaitu 23,6% gizi kurang dan

47% anak pendek.

4. Hubungan Status Gizi Balita dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Pada masa balita, pertumbuhan dan perkembangan anak terjadi

sangat cepat, maka dari itu perhatian pada masa ini akan sangat

menentukan kualitas kehidupan manusia di masa depan (Hurlock, 1999).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arnisam (2007), BBLR

memiliki risiko 3,34 kali lebih besar mengalami status gizi kurang

dibandingkan dengan anak BBLC. Prevalensi anak pendek ini meningkat

seiring bertambahnya usia, baik anak laki-laki maupun perempuan.

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Soekirman (2000),

menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak di

Indonesia sebesar 32% di pedesaan dan 18% di wilayah perkotaan. Anak

dengan gizi kurang akan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan

baik fisik maupun mental (Sutiari dan Wulandari, 2011).


16

B. Kerangka Pemikiran

Faktor Internal: Faktor Faktor penggunaan sarana


usia ibu, usia Eksternal: kesehatan yang
kehamilan, sosial berhubungan frekuensi
jumlah paritas, ekonomi, kunjungan antenatal care
jenis kelamin tingkat (ANC).
bayi pendidikan

Berat Badan Lahir

Asupan Gizi Status Kesehatan

Status Gizi

Keterangan :
Perkembangan kecerdasan, : diteliti
perkembangan fisik dan
: tidak diteliti
perkembangan mental.

Gambar 2.1 Skema kerangka pemikiran

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan status gizi antara balita dengan berat badan lahir
: Menghambat

rendah (BBLR) dan berat badan lahir cukup (BBLC) di Kecamatan

Pangalengan.

Anda mungkin juga menyukai