09360012
1. Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan
fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini
muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah.
ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam
lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu. Kelompok ini merupakan kebalikan
dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif).
Penyebab munculnya dua kelompok ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas
dan heteroginitas penduduk yang mendiami tempat keduanya. Ahl Hadis yang
berkembang di Hijaz mempunyai banyak sumber hadis karena sahabat yang mendengar
nabi lebih banyak tinggal di wilayah ini, di samping itu, penduduknya juga termasuk
homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan. Sedangkan Ahl
Ra’yi yang berkembang di Iraq lebih sedikit mendapatkan hadis, baik karena sumbernya
atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis karena banyaknya hadis maudhu’. Iraq
juga dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai perdaban,
percampuran perdaban inilah yang melahirkan berbagai masalah baru yang
membutuhkan pemecahan hukum.
2. Periode taqlid adalah periode dimana semangat para ulama sudah pudar dan berhenti
dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat
mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan
hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’. Mereka hanya mengikuti
hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah
Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat
membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah
ada seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’ dan Hanbali serta madzhab lain yang sudah
mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang
lainnya.
Ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dalam periode ini, diantaranya adalah:
a. Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara ijtihad mutlak, mereka hanya
berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah
dirumuskan oleh para imam mazhab mereka.
b. Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan
juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka hanya
mengistinbatkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang tidak ada
riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan dengan meng-
qiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka.
c. Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbatkan hukum mengenai berbagai
masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan
mazhab yang dianutnya, maka mereka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum
dan prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya pada memberi
interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang masih bersifat global atau
menentukan arah tertentu bagi suatu hukum yang mengandung kemungkinan dua
arah.
d. Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-
macam yang bersumber dari para imam mazhab mereka dan sekaligus mampu
mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya.
e. Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang dikenal
dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membada-bedakan antara
dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level kelima ini
adalah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan mazhab
Hanafi, seperti pengarang kitab al Kanz dan al Wiqoyah.
3. Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang
berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Menurut Ahmad Syaukani dalam
bukunya yang berjudul “ Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam” Tanzimat
berasal dari Bahasa Arab dan mengandung arti mengatur, menyusun dan memperbaiki,
karena di zaman itu memang banyak diadakan peraturan dan undang-undang baru. Secara
terminologi Tanzimat adalah suatu usaha pembaharuan yang mangatur dan menyusun
serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Tokoh-tokoh pembaharu di zaman tanzimat adalah : Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa
Sami Pasya, Mehmed Sadik Rif’at Pasya, dan Ali Pasya.
Substansial (Dzatiyyah) adalah tegaknya dan terlaksananya syariat islam dalam seluruh
aspek kehidupan, Islam Substantif adalah Islam Kaffah, Islam dengan dasar syariat dan
ketaatan kepada segala hukum dan undang-undang Allah SWT, karena yang harus
ditonjolkan bukanlah simbol, tetapi substansi dari agama itu sendiri.
Essensial (Ruhiyyah) adalah spririt ajaran Islam yang terformulasikan ke dalam hukum di
Indonesia yaitu hukum islam relevan untuk setiap ruang dan waktu.
7. Sebagai hukum yang shalihun likulli zamanin wamakanin, fiqih dituntut untuk
menyesuaikan dengan realita kekinian, sekaligus menjadi solusi atas permasalahan yang
timbul. Tidak hanya karena secara teologis hukum Islam butuh eksistensi, lebih dari itu
sebagai upaya menunjukan ajaran Islam yang rahmatan lill’alamin.
Di Indonesia, Hukum Islam dihadapkan dengan sistem Negara yang tidak dilandaskan
pada Syari’at Islam dan masyarakat yang plural. Oleh karenanya, inklusifitas menjadi
tantangan tersendiri bagi eksistensi Hukum Islam. Dalam hal ini, tidak hanya sebatas
kebutuhan muslim sebagai mayoritas yang ilmiah, lebih dari itu mutlak dibutuhkan
kaitannya dengan politik hukum yang berlaku di alam demokratis.
Dengan latar belakang seperti di atas, maka metode fiqh progresif yang berlandaskan
maslhah lah yang sepertinya tetat di jalankan di Indonesia saat ini.
hukum progresif menyatakan bahwa hukum untuk menusia bukan sebaliknya. Hukum
bukanlah institusi yang final, melainkan selalu dalam proses menjadi. Sebagaimana
dalam teori maslahat, bahwa hukum untuk manusia lebih mashlahah daripada manusia
untuk hukum. Hukum bukanlah syari’at agama yang final melainkan selalu menuju
kepada kesempurnaannya.
Pada tataran tujuan, hukum progresif mempunyai akhir kesejahteraan dan kebahagiaan
untuk manusia. Adapun dalam teori mashlahah, hukum yang tidak mensejahterakan dan
membahagiakan, maka tidak mashlahah bagi manusia. Dari karakteristik keduanya, maka
setidaknya dapat ditarik benang merah. Yaitu dalam memahami hukum harus secara
mendalam, yaitu sampai kepada makna dibalik teks undang-undang. Sehingga tidak
terjebak pada formalitas semata, melainkan dapat meraih substansi dari setiap produk
hukum yang berlaku.