Anda di halaman 1dari 8

Muhammas Dzulfikri Yasir

09360012

1. Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan
fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini
muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah.

ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam
lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu. Kelompok ini merupakan kebalikan
dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif).

Penyebab munculnya dua kelompok ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas
dan heteroginitas penduduk yang mendiami tempat keduanya. Ahl Hadis yang
berkembang di Hijaz mempunyai banyak sumber hadis karena sahabat yang mendengar
nabi lebih banyak tinggal di wilayah ini, di samping itu, penduduknya juga termasuk
homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan. Sedangkan Ahl
Ra’yi yang berkembang di Iraq lebih sedikit mendapatkan hadis, baik karena sumbernya
atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis karena banyaknya hadis maudhu’. Iraq
juga dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai perdaban,
percampuran perdaban inilah yang melahirkan berbagai masalah baru yang
membutuhkan pemecahan hukum.

2. Periode taqlid adalah periode dimana semangat para ulama sudah pudar dan berhenti
dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat
mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan
hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’. Mereka hanya mengikuti
hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.

Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah
Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat
membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah
ada seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’ dan Hanbali serta madzhab lain yang sudah
mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang
lainnya.

Ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dalam periode ini, diantaranya adalah:
a. Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara ijtihad mutlak, mereka hanya
berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah
dirumuskan oleh para imam mazhab mereka.
b. Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan
juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka hanya
mengistinbatkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang tidak ada
riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan dengan meng-
qiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka.
c. Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbatkan hukum mengenai berbagai
masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan
mazhab yang dianutnya, maka mereka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum
dan prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya pada memberi
interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang masih bersifat global atau
menentukan arah tertentu bagi suatu hukum yang mengandung kemungkinan dua
arah.
d. Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-
macam yang bersumber dari para imam mazhab mereka dan sekaligus mampu
mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya.
e. Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang dikenal
dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membada-bedakan antara
dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level kelima ini
adalah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan mazhab
Hanafi, seperti pengarang kitab al Kanz dan al Wiqoyah.
3. Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang
berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Menurut Ahmad Syaukani dalam
bukunya yang berjudul “ Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam” Tanzimat
berasal dari Bahasa Arab dan mengandung arti mengatur, menyusun dan memperbaiki,
karena di zaman itu memang banyak diadakan peraturan dan undang-undang baru. Secara
terminologi Tanzimat adalah suatu usaha pembaharuan yang mangatur dan menyusun
serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Tokoh-tokoh pembaharu di zaman tanzimat adalah : Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa
Sami Pasya, Mehmed Sadik Rif’at Pasya, dan Ali Pasya.

Perbedaan antara periode tzndzimat dengan perode sebelumnya adalah:


a. gerakan tanzimat didasari oleh pemikiran barat dan meninggalkan pola dasar syari’at
Islam. Penyingkiran Islam oleh pemerintah Turki salah satunya tercermin dari
penghapusan kalimat “agama Negara Turki adalah Islam” yang semula terdapat pada
pasal 2 konstitusi negara. Pemerintah Turki juga membentuk komite untuk mengkaji
pembaruan Islam.
b. Rezim yang berkuasa menjadi lebih sekuler ketika Islam “dinasionalisasi” pada bulan
Januari 1932; al-Qurán dibaca dalam bahasa Turki, Setahun kemudian muncul
kebijakan tentang azan yang berbahsa Turki. Walaupun begitu Islam tetap digalang
demi tujuan-tujuan kewarganegaraan, seperti seruan agar masjid-masjid terus
menyebarkan propaganda untuk mendukung perekonomian nasional.
c. Penerjemahan al-Qurán dalam bahasa Turki yang dilakukan oleh Pemerintahan
Mustofa Kemal Attaturk dilakukan tanpa menyertakan teks aslinya (bahasa Arabnya).
Walaupun begitu teks Arabnya masih tetap dipakai dalam shalat. Dalam
perkembangannya ada kecenderungan orang-orang Turki kembali pada teks Arab
dalam membaca al-Qurán. Sedangkan penerjemahan al-Qurán ke dalam bahasa
setempat dilakukan untuk lebih memahami teks al-Qurán.
d. Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola pendidikan, politik
dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami penjajahan dari bangsa
Barat, sementara di Turki melihat Barat sebagai negara yang telah mengalahkan
mereka di kancah perpolitikan dunia dengan cara mengimbangi atau lebih banyak
belajar kepada Barat dalam segala halnya. Sehingga segala sesuatu yang akan
menghalangi tujuan tersebut akan dilawan dengan cara revolusioner seperti yang
dilakukan Mustafa Kemal yang menghapuskan kekhilafahan Turki Usmani menjadi
Republik Turki.
4. Tiga pola keberadaan hukum Islam yang berkembang pasca penjajahan eropa, yaitu:
a. Pola modernis, kelompok yang menggunakan pola ini karena mereka berusaha untuk
meniru pola dan sistem pendidikan modern ala Barat dalam rangka mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasarnya pola ini berpandangan bahwa sumber
kekuatan dan kemajuan Barat disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
b. Pola pembaharuan. Kelompok penggagas pembaharuan yang meyakini bahwa
penyebab kemunduran umat Islam adalah karena mereka meninggalkan ajaran Islam
yang merupakan sumber kemajuan dan kekuatan budaya, dan sebaliknya, umat Islam
lebih memilih untuk mengikuti ajaran-ajaran yang telah bercampur dengan ideologi
non-Islam. Selain itu, ditinggalkannya pola pikir rasional dan ditutupnya pintu ijtihad
juga diyakini sebagai penyebab kemunduran Islam. Oleh karena itu, kelompok
pembaharuan tipe ini mengajak umat Muslim untuk kembali pada al-Qur’an dan
Sunnah, dengan tidak mengabaikan ijtihad. Ijtihad senantiasa diperlukan sebagai
upaya penyesuaian ajaran Islam dengan perkembangan zaman yang tentunya penuh
dengan berbagai problematika.
c. Pola nasionalisme. Kelompok yang berorientasi pada nasionalisme ini berdasar pada
kenyataan bahwa umat Islam itu terdiri dari berbagai bangsa, yang hidup dalam
daerah dan lingkungan budaya yang berbeda-beda, sehingga memerlukan usaha
pengembangan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing. Meskipun
pada dasarnya pola nasionalisme berasal dari dunia Barat, namun hal tersebut
dianggap tidak bertentangan dengan Islam.

Penyebab perbedaan tersebut adalah:


a. Setelah pada abad ke -14 dan 15, bangsa Eropa mulai mencoba melakukan
gebrakan perubahan menuju era baru yang dikenal dengan Masa
Renaissance. Masa Renaissance atau kelahiran kembali adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menyebutkan kebangkitan intelektual yang mempengaruhi
seluruh fase kehidupan dan sejarah Eropa selama abad-abad
pertengahan diantaranya kemajuan bangsa Barat di bidang ilmu
pengetahuan, sains dan teknologi yang kemudian melahirkan revolusi industri di
Eropa. Selain itu kemajuan di bidang teknologi perkapalan dan militer membuat
Eropa dengan mudah melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan.
b. Dengan kemajuan Barat dalam berbagai bidang kehidupan, mereka ingin kembali
mengembalikan hak-hak yang telah dirampas oleh orang-orang muslim. Yang
akhirnya mereka melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah-wilayah muslim.
c. Penetrasi Barat atas dunia Islam telah memberikan pengaruh yang amat besar
terhadap umat Islam. Keunggulan mereka telah membukakan mata umat Islam
bahwa mereka jauh tertinggal, dan harus segera bangkit, sehingga lahirlah usaha
pembaharuan dalam Islam, dengan berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan
Sunnah, dan mencoba merubah paradigma berfikir yang cenderung
stagnan. Masyarakat Muslim untuk mengawali perjuangan aksi di semua bidang
kemundurannya, dari militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Meski hampir
seluruh Negara Muslim telah merdeka secara militer, namun peradaban Islam
mutakhir, belum juga mampu mengembalikan superioritas Islam dan kembali
memimpin peradaban dunia.

5. Teori Hukum Islam di Indonesia


a. Teori Receptio in Complexu ini, dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian van den
Berg tahun 1845-1925. Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi setiap
penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam. Teori Receptio in Complexu ini
telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum
rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian
dikenal sebagai Nederlandsch Indie. Cotohnya, Statuta Batavia yang saat ini desebut
Jakarta 1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi yang
beragama islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum islam, yakni
hukum yang dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer
menyusun buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan islam.
b. Teori Receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van
Volenhoven pada tahun 1857-1936. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye
agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum
Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan
mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori
ini bertentangan dengan Teori Reception in Complexu. Menurut teori recptie, hukum
islam tidak secara otomatis berlaku bagi orang islam. Hukum islam berlaku bagi
orang islam jika sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena
itu, hukum adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum islam. Sebagai contoh
teori recptie saat ini di Indonesia diungkapkan sebagai berikut.
Hukum islam yang bersumber dari Al-qur’an dan hadits hanya sebagian kecil yang
mmpu dilaksanakan oleh orang islamdi Indonesia. Hukum pidana islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan hadits tidak mempunya tempat eksekusi bila hukum
yang dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana islam
belum pernah berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia
sejak merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum islam baru dapat berlaku bagi
pemeluknya secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia.Teori ini
berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan Indonesia.
c. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie
menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak
bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Sebagai contoh, umpamanya di
Aceh, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal warisan diatur
berdasarkan hukum islam. Apabila ada ketentuan adat boleh saja dipakai Selma itu
tidak bertentangan dengan hukum islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie A
Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
6. Formalism (jasmiyyah) adalah ide, gagasan atau pemikiran yang berupaya
mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal. orientasi
yang cenderung mempertahankan bentuk-bentuk pra konsepsi politik Islam, misalnya
pentingnya partai politik Islam yang formal (menggunakan nama Islam), ungkapan,
idiom-idiom dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama landasan organisasinya secara
konstitusional Islam. Artinya penyerapan hukum Islam kedalam hukum Indonesia hanya
terbatas pada fisiknya saja.

Substansial (Dzatiyyah) adalah tegaknya dan terlaksananya syariat islam dalam seluruh
aspek kehidupan, Islam Substantif adalah Islam Kaffah, Islam dengan dasar syariat dan
ketaatan kepada segala hukum dan undang-undang Allah SWT, karena yang harus
ditonjolkan bukanlah simbol, tetapi substansi dari agama itu sendiri.

Essensial (Ruhiyyah) adalah spririt ajaran Islam yang terformulasikan ke dalam hukum di
Indonesia yaitu hukum islam relevan untuk setiap ruang dan waktu.

7. Sebagai hukum yang shalihun likulli zamanin wamakanin, fiqih dituntut untuk
menyesuaikan dengan realita kekinian, sekaligus menjadi solusi atas permasalahan yang
timbul. Tidak hanya karena secara teologis hukum Islam butuh eksistensi, lebih dari itu
sebagai upaya menunjukan ajaran Islam yang rahmatan lill’alamin.
Di Indonesia, Hukum Islam dihadapkan dengan sistem Negara yang tidak dilandaskan
pada Syari’at Islam dan masyarakat yang plural. Oleh karenanya, inklusifitas menjadi
tantangan tersendiri bagi eksistensi Hukum Islam. Dalam hal ini, tidak hanya sebatas
kebutuhan muslim sebagai mayoritas yang ilmiah, lebih dari itu mutlak dibutuhkan
kaitannya dengan politik hukum yang berlaku di alam demokratis.
Dengan latar belakang seperti di atas, maka metode fiqh progresif yang berlandaskan
maslhah lah yang sepertinya tetat di jalankan di Indonesia saat ini.
hukum progresif menyatakan bahwa hukum untuk menusia bukan sebaliknya. Hukum
bukanlah institusi yang final, melainkan selalu dalam proses menjadi. Sebagaimana
dalam teori maslahat, bahwa hukum untuk manusia lebih mashlahah daripada manusia
untuk hukum. Hukum bukanlah syari’at agama yang final melainkan selalu menuju
kepada kesempurnaannya.
Pada tataran tujuan, hukum progresif mempunyai akhir kesejahteraan dan kebahagiaan
untuk manusia. Adapun dalam teori mashlahah, hukum yang tidak mensejahterakan dan
membahagiakan, maka tidak mashlahah bagi manusia. Dari karakteristik keduanya, maka
setidaknya dapat ditarik benang merah. Yaitu dalam memahami hukum harus secara
mendalam, yaitu sampai kepada makna dibalik teks undang-undang. Sehingga tidak
terjebak pada formalitas semata, melainkan dapat meraih substansi dari setiap produk
hukum yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai