Anda di halaman 1dari 16

Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

PEMANFAATAN FOTO UDARA UAV UNTUK


PEMODELAN BANGUNAN 3D DENGAN METODE OTOMATIS
1)
Bagus Subakti
1)
Dosen Teknik Geodesi S-1. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN Malang

ABSTRAKSI

Perkembangan di bidang teknologi fotogrametri UAV (Unmanned Aerial


Vehicle) akan semakin mempermudah dalam merepresentasikan hasil
pemetaan secara cepat, dan akurat. Seiring dengan semakin
berkembangnya kebutuhan akan pemanfaatan ruang, baik secara
horisontal maupun vertikal, berimplikasi pada kebutuhan data spasial
yang akurat baik dalam ruang dua dimensi (2D) atau tiga dimensi (3D).
Visualisasi dan pemodelan 3D merupakan representasi permukaan
bumi dengan tujuan memberikan kenampakan muka bumi beserta
keseluruhan yang ada diatasnya yang secara lebih nyata dan mampu
memberikan sudut pandang yang lebih luas dibanding dengan
visualisasi 2D atau peta konvenional. Foto udara hasil pemotretan UAV
dilakukan proses ortorektifikasi dan pengolahan point cloud dari data
foto udara. Orthorektifikasi yang dilakukan memperoleh nilai RMSE
dibawah 0.30 m, dengan demikian dapat digunakan dalam pembuatan
peta skala 1:1000. Point cloud kemudian dilakukan klasifikasi kedalam
kelas ground dan non ground (vegetasi, building). Kelas ground
digunakan dalam membangun digital terrain model (DTM) dan point
cloud dalam kelas building digunakan untuk pemodelan bangunan 3D.
Metode pemodelan bangunan 3D dengan menggunakan metode
otomatis untuk deteksi building. Hasil dari pemodelan bangunan 3D
pada representasi kedetailan LOD2, bangunan hasil pemodelan
kemudian dilakukan pengujian tinggi bangunan dengan melakukan
pengukuran di lapangan, hasil pengujian tinggi bangunan diperoleh
kesalahan rata-rata sebesar 0.183 meter.

Kata Kunci: Foto Udara, Pemodelan 3D, Point Cloud, Unmanned Aerial
Vehicle (UAV), Visualisasi 3D

PENDAHULUAN
Pemanfaatan teknologi dalam bidang pemetaan fotogrametri sangat
berkembang. Hal tersebut ditunjukan dengan pemanfaatan UAV dalam
melakukan pemetaan untuk area skala kecil atau besar, dengan
memanfaatkan teknologi tersebut diharapkan dapat membantu dalam
melakukan akuisisi data dengan mudah, waktu yang lebih cepat, personil
bebih sedikit dan hasil yang akurat.

15
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

Teknik pemetaan dengan teknologi fotogrametri, kini juga didukung


dengan adanya teknik representasi penggambaran (plotting) dari berbagai
software, yang pada awalnya hanya bisa mempresentasikan berupa peta
tampilan dua dimensi (2D), saat ini berkembang sampai visualisasi tiga
dimensi (3D). Seiring dengan perkembangan kota, kebutuhan akan
pemanfaatan ruang baik secara horisontal maupun vertikal membuat
informasi spasial semakin dibutuhkan. Selanjutnya diciptakan peta digital
pemodelan tiga dimensi, yaitu sebuah inovasi representasi dari peta
konvensional yang dibuat dengan tujuan memberikan kenampakan muka
bumi beserta fitur yang ada diatasnya seperti bentuk bangunan, bentuk
surface yang secara lebih nyata dan mampu memberikan sudut pandang
yang lebih luas.
Teknologi fotogrametri kian semakin berkembang dengan
diciptakannya metode dan berbagai software pendukung, khususnya untuk
pembuatan pemodelan bangunan 3D secara otomatis dari data foto udara,
secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan foto udara wahana
Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
pembuatan pemodelan bangunan 3D dalam representasi Level of Detail 2
(LOD2) dengan memanfaatkan foto udara.

TINJAUAN PUSTAKA
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan
teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu
obyek fisik dan keadaan disekitarnya melalui proses perekaman,
pengamatan/pengukuran dan interpretasi citra fotografisasi rekaman gambar
gelombang elektromagnetik (Santoso, 2004). Salah satu karateristik
fotogrametri adalah pengukuran terhadap objek yang dilakukan tanpa perlu
berhubungan ataupun bersentuhan secara langsung obyek. Pengukuran
terhadap objek tersebut dilakukan melalui data yang diperoleh pada sistem
sensor yang digunakan.
Pemetaan fotogrametri atau aerial suryeving adalah teknik pemetaan
melalui foto udara. Hasil pemetaan secara fotogrametri berupa peta foto dan
tidak dapat langsung dijadikan dasar. Pemetaan fotogrametri tidak dapat
lepas dari referensi pengukuran secara terestris, mulai dari penetapan
ground controls point (titik dasar kontrol. Fotogrametri dapat didefinisikan
sebagai kegiatan dimana aspek-aspek geometrik dari foto udara seperti
sudut, jarak, koordinat (Ligterink, 1987).

Unmanned Aerial Vehicle (UAV)


Unmanned Aerial Vehicle (UAV) merupakan sistem tanpa awak
(Unmanned System), yaitu sistem berbasis elektro-mekanik yang dapat
melakukan misi-misi terprogram, dengan karakteristik: tanpa awak pesawat,

16
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

beroperasi pada mode mandiri (autopilot) baik secara penuh atau sebagian.
Sistem ini dirancang untuk dapat dipergunakan secara berulang (Wikantika,
2009). Sistem pemotretan udara terdiri dari dua bagian, yaitu sistem pada
pesawat RC dan sistem pada ground station. Sistem pada pesawat RC
antara lain berupa perangkat bantu navigasi dan perangkat pemotretan
udara.
Kelebihan utama dari UAV dibandingkan dengan pesawat berawak
adalah bahwa UAV dapat digunakan pada situasi dengan resiko tinggi tanpa
perlu membahayakan nyawa manusia, pada area yang tidak dapat diakses
dan terbang pada ketinggian rendah dibawah awan sehingga foto yang
dihasilkan terbebas dari awan. Selain itu, salah satu faktor kelebihan UAV
adalah biaya. Harga perangkat UAV dan biaya operasionalnya jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan pesawat berawak. Dengan
diimplementasikannya perangkat GPS/INS unit navigasi maupun stabilisasi
memungkinkan kegiatan penerbangan yang presisi (sesuai dengan rencana
terbang) sekaligus menjamin terpenuhinya cakupan area dan overlap foto
yang diinginkan.
Keterbatasan dari UAV dibatasi oleh dimensi dari UAV itu sendiri.
Karena dimensi UAV yang kecil membatasi kemampuan beban muatan
yang dapat dibawa. Sehingga biasanya digunakan sensor atau perangkat
kamera yang beratnya ringan berupa kamera format kecil. Karena format
kecil ini tentunya bukan perangkat kamera dengan sensor yang dirancang
untuk melakukan pemotretan udara secara akurat, sehingga menghasilkan
kualitas gambar yang lebih rendah baik dari sisi resolusi, stabilitas dan
tingkat akurasi. Selain itu daya jelajah dan tinggi terbang UAV juga terbatas
karena kemampuan mesinnya yang memang tidak dirancang untuk terbang
jarak jauh dan tinggi.

Ground Control Point (GCP)


Ground control point atau titik kontrol tanah adalah titik yang terdapat
di lapangan dan dapat diidentifikasi pada foto dan mempunyai koordinat di
kedua sistem, yaitu sistem koordinat tanah dan sistem koordinat foto. GCP
diperlukan untuk kegiatan transformasi koordinat dari sistem koordinat
tertentu ke sistem koordinat tanah. Titik kontrol ini terdapat pada kedua
sistem koordinat yang mempunyai posisi relatif pada obyek yang sama.
Pada pengkoreksian suatu citra diperlukan GCP, sehingga ada keterkaitan
antara sistem citra foto dengan sistem tanah.
Titik kontrol tanah ini dapat ditentukan dengan berbagai cara. Untuk
penentuan koordinat planimetrisnya (X,Y) dapat digunakan metode
trianggulasi, trilaterasi, poligon dan GPS. Sedangkan untuk penentuan tinggi
titiknya (Z) dapat digunakan metode sipat datar atau trigonometris. Data
pengukuran disini adalah pengukuran titik kontrol horisontal dan tinggi. Hasil

17
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

dari pengukuran titik kontrol ini adalah daftar koordinat tanah X, Y, Z pada
masing-masing titik kontrol tanah yang dilalui jalur pengukuran.
Dalam pemotretan udara, titik kontrol tanah ini diperlukan untuk
trianggulasi udara. Trianggulasi udara adalah cara penentuan koordinat titik
kontrol minor secara fotogrametris. Titik kontrol minor adalah titik kontrol
tanah perapatan yang mengacu pada titik kontrol tanah hasil premarking.
Titik kontrol minor ini sering disebut dengan postmark, karena ditentukan
setelah pemotretan.

Skala Foto Udara


Foto udara mempunyai skala yang bervariasi, maka untuk membuat
peta dengan skala dan geometri yang benar, foto udara tersebut harus
diproses terlebih dahulu, disebut sebagai proses restitusi foto udara.
Pengertian restitusi adalah mengembalikan posisi foto udara pada keadaan
seperti pada saat pemotreatan dengan proses orientasi (orientasi dalam,
relatif, absolut). Pada keadaan tersebut sinar-sinar yang membentuk objek
secara geometris telah benar dan dapat dipakai untuk membuat peta
dengan cara restitusi tunggal (rektifikasi) ataupun dengan cara restitusi
stereo/orthofoto.
Skala foto udara adalah perbandingan jarak pada foto udara dengan
jarak di permukaan bumi. Pada foto udara dikenal skala foto, yaitu skala
rata-rata dari foto udara. Disebut skala rata-rata, karena sifat proyeksi pada
foto udara adalah perspektif (sentral), berpusat pada titik utama (principal
point). Dengan demikian skala di masing-masing titik tidak akan sama,
kecuali bila foto udara tersebut benar-benar tegak dan keadaan permukaan
tanah sangat datar. Besarnya skala rata-rata ditentukan oleh tinggi terbang
dan tinggi permukaan bumi serta besar fokus kamera.
Skala foto udara dipengaruhi oleh ketinggian pesawat udara terhadap
permukaan bumi. Semakin tinggi pesawat udara, maka akan menghasilkan
skala foto udara yang relative kecil namun cakupannya luas, akan tetapi
obyek yang tampak jadi tidak begitu datail. Dan jika pemotretan dilakukan
dengan ketinggian rata-rata, maka hasil foto udara adalah cakupan yang
luas dan kenampakan obyek yang detail. Skala foto udara dapat dihitung
dengan rumus :
S = f / H,

Dimana:
S = Skala foto udara,
f = Panjang fokus,
H = tinggi terbang dari tempat yang dipotret

18
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

S=d/D
Dimana:
S = Skala foto,
d = Jarak di foto
D = Jarak di lapangan

Orthorektifikasi
Orthorektifikasi adalah proses pembuatan foto miring ke foto/image
yang ekuivalen dengan foto tegak. Foto tegak ekuivalen yang dihasikan
disebut foto terektifikasi. Orthorektifikasi pada dasarnya merupakan proses
manipulasi citra untuk mengurangi/menghilangkan berbagai distorsi yang
disebabkan oleh kemiringan, tetapi masih mengandung pergeseran. Secara
teoritik foto terektifikasi merupakan foto yang benar-benar tegak dan oleh
karenanya bebas dari pergeseran karena relief topografi (relief
displacement). Pada foto udara pergeseran relief ini dihilangkan dengan
rektifikasi differensial (Frianzah, 2009).
Proses orthorektifikasi dilakukan dengan menggunakan data DEM
yang telah dihasilkan dari plotting fotogrametri, sehingga akan didapatkan
Ortho Rectified Image (ORI). Data yang dihasilkan untuk menghasilkan
orthofoto secara digital. Orthofoto/image adalah foto yang menyajikan
gambaran obyek pada posisi ortografik yang benar (Wolf, 1981).
Orthofoto/image dapat digunakan sebagai peta untuk melakukan
pengukuran langsung atas jarak, sudut, posisi, dan daerah tanpa melakukan
koreksi bagi pergeseran letak gambar.

RMSE (Root Mean Square Error)


RMSE (Root Mean Square Error) merupakan akar kuadrat dari rata –
rata kuadrat selisih antara nilai koordinat data dan nilai koordinat dari
sumber independen yang ketelitiannya lebih. RMSE horizontal ditentukan
dari nilai RMSE absis dan RMSE ordinat. Nilai RMSE absis dan RMSE
ordinat dapat dihitung dengan persamaan berikut (FGDC, 2013) :

(RMSE)x= √((Σ((x(data ,i)- x(cek ,i)))2)/n)

(RMSE)y= √((Σ((y(data ,i)- y(cek ,i)))2)/n)

Dimana:
RMSEx = nilai RMSE ordinat
RMSEy = nilai RMSE absis
x(data λ),y(data λ) = koordinat posisi titik ke-i dataset
x(cek λ),y(cek λ) = koordinat posisi ke-i data titik cek
n = jumlah titik cek yang diuji
i = bilang bulat dari 1 sampai n

19
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

Sehingga nilai RMSE horizontal dapat dihitung dengan persamaan


berikut :

(RMSE)xy=√((Σ((x(data ,i)-x(cek,i))2+(y(data,i)-y(cek,i))2))/n)
=√((((RMSE)x)2+ ((RMSE)y)2))

Jika RMSEx = RMSEy , maka :


(RMSE)_xy=√((2*((RMSE)x)2)=√((2*((RMSE)y)2)(=1.4142*RMSE)x
(=1.4142*RMSE)x

Dimana:
RMSExy = nilai RMSE horizontal

Jika RMSEmin dibagi RMSEmax berada diantara 0.6 dan 0.1 (dimana
RMSEmin lebih kecil dari nilai antara RMSEx dan RMSEy dan RMSEmax
adalah nilai yang paling besar), maka RMSE horizontal mendekati
persamaan diatas (FGDC, 2013).

(RMSE)_xy (=0.5 (RMSE)_x+ (RMSE)_y)

RMSE vertikal dapat dihitung dengan persamaan berikut (FGDC, 2013)

(RMSE)_z= √((Σ((z_(data ,i)- z_(cek ,i)))^2)/n)

Dimana :
RMSEz = nilai RMSE vertical
x_(data λ),y_(data λ) = koordinat posisi titik ke-i dataset
x_(cek λ),y_(cek λ) = koordinat posisi ke-i data titik cek
n = jumlah titik cek yang diuji
I = bilang bulat dari 1 sampai n

Point Cloud
Point cloud adalah sekumpulan data yang berupa titik-titik pada
beberapa koordinat sistem. Dalam sistem koordinat tiga dimensi, titik-titik ini
biasanya ditentukan oleh X, Y, dan Z koordinat, dan sering dimaksudkan
untuk mewakili permukaan eksternal dari suatu objek. Point cloud pada

20
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

umumnya dihasilkan oleh 3D laser scanner. Perangkat ini mampu mengukur


sejumlah titik-titik pada permukaan obyek, dan menjadikannya berupa file
data. Point cloud juga bisa dihasilkan dari hasil pemotretan foto udara. Point
cloud yang dihasilkan merupakan himpunan dari titik-titik yang terukur.
Sebagai hasil proses 3D Scanning, point cloud dapat digunakan untuk
berbagai tujuan termasuk untuk membuat model 3D. Teknik untuk
mengkonversi point cloud menjadi surface 3D. Beberapa pendekatan seperti
Delaunay triangulation, alpha shapes, dan ball pivoting (Mills J, dan Barber
D, 2003).

Pemodelan Bangunan 3D
Pemodelan bangunan 3D telah menjadi topik penelitian yang sangat
aktif selama bertahun-tahun. Permintaan pemodelan bangunan 3D semakin
meningkat untuk berbagai aplikasi seperti perencanaan kota, pariwisata.
Dalam bidanga komersial aplikasi seperti Google Earth dan Apple Maps
telah menggunakan teknik pemodelan bangunan 3D sebagai komponen
penting dalam visualisasi yang telah memperoleh respon publik yang besar.
Model bangunan 3D untuk aplikasi seperti Google Earth dan Apple Maps
biasanya dibuat dengan melakukan pemetaan tekstur dari Foto Udara dan
terrain. Pemodelan geometris bangnunan 3D dilakukan dengan
menggunakan metode manual untuk membangun model geometris
bangunan seperti menggunakan software Google Sketch-Up yang
memerlukan waktu cukup lama untuk membuat sebuah gedung. Hal
tersebut sangat sulit dan membutuhkan waktu lama, terutama untuk
membangun wilayah perkotaan yang luas (Sun dan Salvaggio, 2013).
Klasifikasi merupakan tahapan untuk memisahkan poin cloud ke
dalam layer vegetasi, building dan ground. Planes diambil dari patch
bangunan dan batas-batas setiap plane yang terdeteksi. Pemodelan
bangunan dari point cloud hasil klasifikasi (Sun dan Salvaggio, 2013; Zhou
dan Neumann, 2008) Klasifikasi ground. Tujuan utama dari klasifikasi
adalah untuk membagi layer ke dalam tiga kategori: vegetasi, building dan
ground. Klasifikasi ini dilakukan dalam dua langkah terpisah. Langkah
pertama adalah menyaring daerah vegetasi berdasarkan properti dari
permukaan point cloud. Langkah kedua melakukan ekstrak footprints atap
bangunan dari kelas building dan terrain yang diperoleh dari langkah
pertama. Kedua langkah tersebut saling berhubungan erat namun memiliki
pendekatan yang independen untuk melakukan klasifikasi vegetasi, terrain
dan building. Hasil dari ekstraksi terrain dan footprints atap bangunan
tergantung pada deteksi dan penghapusan vegetasi pada langkah pertama
(Sun dan Salvaggio, 2013).
Pemisahan point ground dan non ground dapat juga dilakukan dengan
metode klasifikasi digital berdasarkan elevasi. Klasifikasi digital berdasarkan
elevasi merupakan proses pencarian titik-titik berdasarkan perbandingan

21
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

elevasi dari tiap-tiap titik dengan jarak yang sudah ditentukan. Proses dasar
point cloud adalah klasifikasi sebagai permukaan ground atau non ground.
Untuk keperluan ketelitian geometri dari point cloud data Lidar. Algoritma
dikembangkan secara otomatis untuk memisahkan point ground dan non
ground (Soininen, 2008)

Deteksi Bangunan dan Vegetasi.


Deteksi bangunan dan vegetasi dari data Lidar merupakan salah satu
bagian dari proses klasifikasi data Lidar untuk memperoleh point cloud
bangunan dan vegetasi. Untuk dapat melakukan proses pemodelan
bangunan 3D terlebih dahulu seluruh objek dapat dideteksi dan di ekstraksi
dari data Lidar. Hasil dari ekstraksi data Lidar tergantung dari algoritma yang
digunakan dalam melakukan ekstraksi. Algoritma yang digunakan dalam
melakukan klasifikasi berpengaruh pada hasil dan sering kali hasil klasifikasi
mengakibatkan kehilangan detail dari objek (Istarno, 2011).
Deteksi bidang atap bangunan diperoleh berdasarkan segmentasi dari
model permukaan digital untuk menemukan bidang-bidang yang berada
pada daerah kajian. Setelah memperoleh semua patch atap dari bangunan
setiap tapak bangunan dapat diproses untuk melakukan pemodelan
bangunan 3D. Proses pemodelan bangunan 3D dilakukan dengan
memanfaatkan sumberdaya komputasi. Pada tahap ini dapat dimungkinkan
untuk membangun sebuah model bangunan 3D dari masing-masing set
point. Namun untuk mencapai model yang mengandung banyak detail perlu
untuk mengidentifikasi fitur signifikan yang berada di atas atap bangunan
dan dapat mewakili bentuk atap dengan sedetail mungkin. Proses
penyempurnaan detail bangunan masih menjadi permasalahan dari proses
segmentasi sehingga perlu melakukan proses editing secara manual.
Pengelompokan bidang atap dan deliniasi garis bidang atap
merupakan proses Segmentasi bidang atap yang sama (co-planar)
digabungkan dan diperkirakan garis-garis yang saling berpotongan dan atau
pangkal tepi bidang (step-edge) dibuat berdasarkan analisis yang dilakukan
pada bentuk-bentuk bangun sederhana.
Kosistensi pada estimasi parameter objek: untuk memperbaiki
parameter-perameter digunakan. Keteraturan model: dengan pengenalan
bentuk untuk pemodelan bangunan 3D. Bangunan sederhana digunakan
untuk pemodelan bangunan 3D dengan memasukkan batasan-batasan
geometri ke dalam proses deteksi bangunan.

22
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

METODE PENELITIAN
Tahapan penelitian secara garis besar terdiri dari persiapan,
pelaksanaan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan
kesimpulan. Adapun tahapan-tahapan penting dalam penelitian dapat dilihat
pada gambar diagram alir berikut ini.

ORIENTASI LAPANGAN
PEMASANGAN & PENGUKURAN
GCP

PEMOTRETAN UAV

FOTO UDARA DATA KALIBRASI


GCP & ICP

PENGOLAHAN FOTO

ORTHOFOTO &
POINT CLOUD TIDAK

RMSE < 1 px

CROPPING DATA

PEMBANGUNAN MODEL BANGUNAN 3D

UJI VALIDASI BANGUNAN

ANALISIS DATA

SELESAI

Gambar 1
Diagram Alir Metode Penelitian

23
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa hasil
dan pembahasan dari setiap proses yang dilakukan meliputi proses
pengumpulan data dilapangan hingga pemodelan bangunan 3 dimensi.

Foto Udara UAV


Foto udara didapatkan dengan melakukan pemotretan menggunakan
kamera non-metrik (Camera Sony Alpha 5100) dengan wahana pesawat
fixedwing yang dilakukan pemotretan metode pola grid dengan tinggi
terbang kisaran 250 meter. Foto udara yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 417 foto dan 8 Control Point untuk pengikatan titik kontrol
geometrinya yang berlokasi di lapangan kalibrasi 2 Kel. Mojolangu, Kec.
Lowokwaru, Kota Malang. Berikut adalah beberapa hasil foto pemotretan.

Gambar 2
Hasil foto udara yang digunakan pembuatan orthofoto

Data Hasil Pengukuran GCP dengan GPS Statik


Data hasil pengukuran GPS yang berupa koordinat X, Y dan Z
digunakan sebagai titik GCP yang diperlukan dalam proses orthorektifikasi.
Titik GCP tersebut diukur pada titik BM (Bench Mark) yang digunakan
sebagai titik kontrol pada penelitian ini dan pada stiker retro yang dipasang
dilapangan. Data titik pengukuran GPS dilapangan berada pada sistem
koordinat Geografis. Hasil pengukuran titik GCP yang didapat dari GPS
Geodetik metode pengukuran Statik dapat dilihat pada tabl 1.

24
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

Tabel 1
Titik GCP dan ICP yang digunakan, pada sistem koordiat Geografis dan UTM Zone 49S
datum WGS84
Koordinat Geografis Koordinat UTM
Titik Elevation Elevation
Longitude Latitude Easting (m) Northing (m)
(m) (m)

B1 112.614449 -7.938063 547.690 677960.499 9122203.000 547.69


B3 112.614504 -7.938606 547.398 677966.396 9122143.000 547.398
B6 112.615081 -7.939354 546.434 678029.604 9122060.000 546.434
B13 112.615825 -7.938501 546.289 678112.004 9122154.000 546.289
B14 112.614461 -7.938760 547.156 677961.500 9122126.000 547.156
B15 112.615594 -7.938936 546.175 678086.402 9122106.000 546.175
B18 112.614621 -7.938216 547.866 677979.398 9122186.000 547.866
B26 112.615437 -7.938973 546.481 678069.097 9122102.000 546.481

Analisa RMSE GCP dan ICP


Dalam pembuatan orthofoto dan DEM, juga mengacu pada ketelitian/
toleransi RMSE yang diperbolehkan, agar koordinat geometri data orthofoto
yang dihasilkan benar-benar terkontrol dan akurat.
Tabel 2
Hasil residu titik kontrol GCP
Titik XY error (m) Z error (m) Error (m) Error (Pix)

B1 0.0398397 -0.0317121 0.0509201 0.560


B3 0.0830365 0.043782 0.0938718 0.570
B6 0.238992 -0.0312363 0.241025 0.488
B26 0.221941 0.011266 0.222227 0.570
Total 0.169453 0.031722 0.172397 0.487

Dari perhitungan tabel koreksi kontrol titik GCP (Ground Control


Point), diperoleh nilai kesalahan rata-rata RMSE dilapangan sebesar
0.172397 m, dan kesalahan pada piksel foto sebesar 0.487 pixel.
Dari perhitungan table 3 koreksi kontrol titik ICP (Independent Control
Point), diperoleh nilai kesalahan rata-rata RMSE dilapangan sebesar
0.425149 m, dan kesalahan pada piksel foto sebesar 0.694 pix. Apabila nilai
RMSE GCP dan ICP melebihi 1 piksel, maka harus dilakukan rektifikasi
ulang, (Purwadhi, 2001).

25
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

Tabel 3
Hasil residu titik kontrol ICP
Titik XY error (m) Z error (m) Error (m) Error (Pix)

B13 0.0888976 -0.216253 0.233812 0.364


B14 0.416152 0.0870008 0.425149 0.337
B15 0.123283 0.00478735 0.123376 0.582
B18 0.30049 0.0209191 0.406608 0.694
Total 0.30049 0.117042 0.322479 0.512

Tabel 4
Hasil residu std. devisiasi Residual error ICP
Residual Error
Titik
Z (m) X (m) Y (m) Z (m) XY (m) XYZ (m)

B13 546.0668 0.06610 0.01474 -0.0147 0.0677 0.2322


B14 547.307 0.17788 0.37478 -0.1510 0.4148 0.4418
B15 546.1572 0.10492 0.104920 0.1049 0.1606 0.1616
B18 547.9127 0.19999 0.391060 0.0467 0.4392 0.4417
RMS 0.2706 0.3192
Std. Dev 0.1848 0.1441

Dalam SNI 19-6502.1-2000 tentang spesifikasi penyajian peta rupa


bumi Indonesia dinyatakan 0.3 mm RMS error yang merupakan nilai
koordinat diskalakan terhadap garis grid terdekat dibandingkan dengan hasil
koordinat pengukuran di lapangan. Dari ketentuan ini ketelitian planimetris
setiap skala peta adalah sebagai berikut :
Peta skala 1 : 1000 memiliki ketelitian 0.3 m
Peta skala 1 : 5000 memiliki ketelitian 1.5 m
Peta skala 1: 10.000 memiliki ketelitian 3 m
Berdasarkan RMSE yang ditunjukkan pada tabel 4 hasil residual error
ICP diperoleh RMSE dan standar devisiasi jarak hasil orthofoto memenuhi
toleransi dibawah 0.30 m, untuk pembuatan skala peta 1:1000 maupun
dapat digunakan untuk keperluan data lain, khususnya untuk permodelan
bangunan 3D.

Hasil Point Cloud


Hasil point cloud, didapatkan dari hasil ekstraksi orthofoto, yang sudah
termosaik. Kemudian diklasifikasikan kedalam tiga kelas, Ground, Building,
dan Vegetasi. Klasifikasi menggunakan metode semi otomatis pada kelas

26
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

ground dan pada kelas bangunan, vegetasi dilakukan dengan interpretasi


manual menggunakan orthofoto.

Gambar 3
Hasil klasifikasi point cloud dengan Agisoft

Hasil Pembuatan Pemodelan Bangunan 3 Dimensi


Pemodelan bangunan tiga dimensi, menggunakan point cloud kelas
building. Kelas Ground digunakan sebagai acuan dasar ketinggian elevasi
model bangunan. Untuk membatasi daerah yang akan dibuatkan pemodelan
bangunan tiga dimensi. Footprint detection, yaitu pendeteksian secara
otomatis pada data point cloud kelas bangunan. Model bangunan 3D yang
sudah terklasifikasikan tanpa harus digitasi sehingga secara otomatis sudah
memiliki sistem referensi koordinat seperti data orthofotonya. Vectorize
Building merupakan langkah untuk create bangunan 3D secara otomatis
tanpa harus menginterpretasi.

Gambar 4.
Hasil pemodelan 3D footprint detection

27
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

Pembuatan dengan metode otomatis ini hanya sebatas LOD (Level of


Detail) tingkat 2, yaitu bentuk sisi bangunan dan atapnya memiliki bentuk
geometrik sesuai dengan bentuk dan ukuran aslinya secara otomatis hingga
pada dimensi panjang, lebar, dan tinggi model bangunan juga mengacu
pada hasil tinggi z point cloud yang dihasilkan dari hasil foto udara
fotogrametri. Data sampel pemodelan bangunan dipilih pada beberapa
bangunan.

Gambar 5
Perbandingan model asli bangunan uji 5

Dari hasil uji sampel pembuatan bangunan 3D pada bentukan


bangunan yang sederhana akan menghasilkan model yang baik, sedangkan
pada bentukan bangunan atap yang menyambung (kompleks), hasil model
bangunan nampak kurang baik, namun sudah terbentuk model atap. Hal
tersebut dikarenakan resolusi kamera yang kurang tinggi dan variasi tinggi
terbang yang besar sehingga menyebabkan identifikasi tie point dan
pembentukan geometri yang kurang sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya (Gularso H, 2013).

Uji Validasi Bangunan


Tabel 5
Uji Validasi Hasil Pemodelan Bangunan

Model (m) Lapangan (m) Selisih (m)


No
Panjang Lebar Tinggi Panjang Lebar Tinggi Panjang Lebar Tinggi

1. 12.282 9.151 3.320 12.422 9.200 3.340 0.140 0.049 0.02


2. 7.561 5.606 2.695 7.574 5.590 2.775 0.014 0.016 0.08
3. 3.051 2.731 2.125 3.566 3.064 2.040 0.515 0.333 0.085
4. 19.400 16.515 2.785 19.780 16.550 3.320 0.380 0.035 0.535

Uji analisa validasi bangunan dibutuhkan untuk menguji seberapa


akurat sampel ukuran dimensi bangunan meliputi panjang, lebar dan tinggi
bangunan dari hasil yang dimodelkan oleh software dari ukuran aslinya.

28
Pemanfaatan Foto Udara UAV untuk Pemodelan Bangunan 3D metode Otomatis | Bagus Subakti

Berikut hasil ukuran uji lapangan pada sampel empat bangunan yang diukur
dengan menggunakan pita ukur dilapangan dengan hasil ukuran dimension
bangunan pada software.
Dari hasil tabel pengukuran diatas, bisa disimpulkan bahwa selisih
kesalahan ukuran terbesar yaitu 0.535 m pada tinggi bangunan 4, dan
kesalahan ukuran terkecil 0.014 m pada panjang bangunan 2. Di dapatkan
rata-rata selisih total keseluruhan ukuran sebesar 0.183 m. Dari pengukuran
uji validasi bangunan yang dilakukan menghasilkan geometrik yang cukup
baik.
Kesalahan tinggi bangunan yang terlalu signifikan bisa disebabkan
karena pada saat perekaman foto udara terdapat low point disekitaran
bangunan, berupa rerumputan yang terekam, sehingga rerumputan yang
terlalu tinggi dianggap sebagai ground pada saat klasifikasi, sedangkan
pada saat uji sampel bangunan dilakukan acuan ground benar-benar dari
tanah. Untuk kesalahan pada panjang yang terlalu signifikan bisa
diakibatkan pada saat proses klasifikasi buildingnya, ada yang terpotong
atau hasil klasifikasi kurang bagus.

KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan hasil perhitungan ICP orthofoto, ketelitian RMS XY yang
diperoleh pada pengolahan orthofoto sebesar 0.270 meter, dan XYZ
sebesar 0.319 meter.
2. Kesalahan ukuran terbesar yaitu 0.535 m pada tinggi bangunan 4, dan
kesalahan ukuran terkecil 0.014 m pada panjang bangunan 2. Di
dapatkan rata-rata selisih total keseluruhan ukuran sebesar 0.183 m..
3. Hasil pembuatan model bangunan 3D secara otomatis beberapa rumah
yang diuji sampel kurang baik, hal ini dikarenakan ada beberapa faktor
yang mempengaruhi akurasi fotogrametri dan pembentukan model 3D
diantaranya adalah faktor resolusi foto, faktor kalibrasi kamera, faktor
sudut antara foto, kualitas orientasi foto, redundansi foto, tinggi terbang
dan sudut pencahayaan yang kurang baik maupun hasil klasifikasi yang
kurang bagus. Sedingga mempengaruhi kualitas dan detail vektorisasi
model bangunan.
4. Data foto udara selain digunakan untuk kepentingan pembuatan peta
planimetris 2 dimensi, visualisasi 3 dimensi, juga bisa digunakan hingga
pemodelan bangunan 3 dimensi.
5. Didalam melakukan penelitian selanjutnya dalam bidang pemodelan 3D
dengan menggunakan data foto udara menggunakan UAV perlu
dilakukan pengambilan sampel bangunan lebih banyak dan model atap

29
Spectra Nomor 30 Volume XV Juli-Desember 2017: 15 - 30

banguna yang lebih komplek, dengan demikian dapat diperoleh metode


baru yang dapat digunakan dalam melakukan pemodelan bangunan
dengan bentuk atap yang kompleks.

DAFTAR PUSTAKA
FGDC. (2013). Geospatial Positioning Accuracy Standards, Part 3 : National
Standart for Spatial Data Accuracy.
Frianzah, A. 2009. Pembuatan Orthoimage dari Citra Alos Prism. Skripsi.
Yogyakarta : Jurusan Teknik Geodesi FT.UGM.
Gularso, H. 2013. Tinjauan Pemotretan Udara Format Kecil Menggunakan Pesawat
Model Skywalker 1680 : Jurnal Geodesi Undip.
Istarno. (2011). Pembuatan Model Elevasi Digital dari Data Lidar dan
Interpretabilitasnya untuk Obyek Tutupan Lahan di Daerah Koridor Nganjuk-
Kertosono. Disertasi, Universitas Gadjah Mada. (DIS 014-H-2011)
Ligterink, G. H. 1987. Dasar Fotogrametri Interpretasi Foto Udara. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Mills, J and Barber, D (2003) An Addendum to the Metric Survey Specifications for
English Heritage the collection and archiving of point cloud data obtained by
terrestrial laser scanning or other methods. Version 11/12/2003.
Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Grasindo. Jakarta.
Santoso, B. 2004. Review Fotogrametri: Teknik Pengadaan Data dan Sistem
Pemetaan.. Program Megister Departemen Teknik Geodesi dan Geomatika
ITB. Bandung.
Soininen, A. (2008). Algorithms.
Sun, S., dan Salvaggio, C. (2013). Aerial 3D Building Detection and Modeling From
Airborne LiDAR Point Clouds. IEEE APPLIED EARTH OBSERVATIONS AND
REMOTE SENSING
Wikantika. K. 2009. Unmanned Mapping Technology: Development and
Applications. Workshop Sehari “Unmanned Mapping Technology:
Development and Applications” (UnMapTech2008). Bandung, Indonesia. 9
Juni 2008.
Wolf, Paul R. 1993. Element Fotogrametri Dengan Intepretasi Foto Udara dan
Penginderaan Jauh, Edisi Kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Zhou, Q. Y., dan Neumann, U. (2008). Fast and Extensible Building Modeling from
Airborne LiDAR Data. Paper presented at the Proceedings of the 16th ACM
SIG SPATIAL international conference on Advances in geographic
information systems New York.

30

Anda mungkin juga menyukai