Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di
seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan
tetapi dapat berssifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di
berbagai provinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortiliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. tahun
1995, prevalensi asma di Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.

Bronktis adalah suatu peradangan bronkiolus, bronkus, dan trakea oleh


berbagai sebab. Bronkitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti
rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus para
influenza, dan Coxsackie virus. Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus
yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik virus, bakteri,
maupun parasit. Ada 2 jenis bronkitis yaitu bronkitis akut dan kronik.

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan karena paparan


faktor risiko yang berasal dari aktivitas kerja. Sedangkan penyakit paru kerja
adalah penyakit atau kerusakan pada paru yang disebabkan oleh debu, asap, gas
berbahaya yang terhisap oleh para pekerja di tempat kerja. International Labour
Organization mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi
akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap
debu dan dapat mengakibatkan terbentuknya. Sedangkan silikosis adalah salah
satu bentuk pneumokoniosis terbanyak yang disebabkan oleh inhalasi dari debu
kristal silika, ditandai dengan inflamasi dan jaringan parut dalam bentuk lesi

1
nodular di lobus atas paru. Silikosis dikarakteristikan dengan sesak napas, demam,
dan sianosis.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Paru
RSUD Solok dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta
sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis, tentang
hemoptisis.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui defenisi,
etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan diskusi
mengenai asma, bronkitis, silikosis dan pneumonitis hipersensitivitas.

1.2 Metode Penulisan


Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.

2
BAB II
ASMA

2.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebababkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak naps, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan sringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2.2 Pembagian

3
2.3 Etiologi
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untukberkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

4
- pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu
dengan genetik asma,
- baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

Gambar Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma

5
2.4 Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.

Riwayat penyakit / gejala:


- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:


- Riwayat keluarga (atopi)
- Riwayat alergi / atopi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan

6
2.5 Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
- Palpasi : Fremitul taktil sama kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : Wheezing dan ekspirasi memanjang

2.6 Pemeriksaan Anjuran


a. Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan
persepsi mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat
dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan
objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan
penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai:
- obstruksi jalan napas
- reversibiliti kelainan faal paru
- variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan
napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
b. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP/ KVP < 75% atau VEP < 80%
nilai prediksi
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.

7
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
- Menilai derajat berat asma

c. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratoryflow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita,
sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)

Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis


a. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif
tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat

8
terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.

b. Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama
untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick
test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi,
tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya
dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan
pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit,
dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam
diagnosis alergi/ atopi.

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan asma:


1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

9
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan


terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

PERENCANAAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG


Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam
waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan).
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3 faktor
yang perlu dipertimbangkan :
- Medikasi (obat-obatan)
- Tahapan pengobatan
- Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

10
 Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
a. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
- Kortikosteroid inhalasi
- Kortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat
- Nedokromil sodium
- Metilsantin
- Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
- Agonis beta-2 kerja lama, oral
- Leukotrien modifiers
- Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
- Lain-lain

b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
- Agonis beta2 kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
- Antikolinergik
- Aminofillin
- Adrenalin

11
 Rute pemberian medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu
inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena).
Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
- Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
- Efek sistemik minimal atau dihindarkan

a. Pengontrol
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti
A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten
(ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan
aman pada dosis yang direkomendasikan.

b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat
(setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi

12
(efek/ efek samping), Beberapa hal yang harus dipertimbangkan
saat memberi steroid oral :
o gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek
dan efek striae pada otot minimal
o bentuk oral, bukan parenteral
o penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid
oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,
diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,
glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.
Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid
oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis
paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi
berat dan tukak lambung.
Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi
herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,
maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan
nedokromil sodium belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang
bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi
tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten
ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif
jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi
(bukti B). Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk

13
menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi .

d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi
berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi
pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi
melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi
rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek
antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan
studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas.
Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada
serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat,
sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( 10
mg/kgBB/hari atau lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian
dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal
nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering
terjadi. Efek Agonis beta-2 kerja lama Termasuk di dalam agonis
beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan
pembersihan mukosilier, menurunkan permeability pembuluh
darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai
efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama
yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2

14
kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik
dibandingkan preparat oral.

e. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-
lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator,
juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan
bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan
kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma
persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita
dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan
glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Diketahui sebagai terapi
tambahan tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif agonis
beta-2 kerja lama (bukti B). Kelebihan obat ini adalah preparatnya
dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita
dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik
dengan pengobatan leukotriene modifiers.

b. Pelega
a. Agonis beta-2 kerja singkat

15
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat
secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset
yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme
kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran
napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan
sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma
(bukti A).
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor
otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih
sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan
pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak
dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek
bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja
singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada
agonis beta-2 kerja singkat (bukti A).

c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada
jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak
seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak

16
mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga
tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam golongan
ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis
meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai
efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada
serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko
perawatan rumah sakit secara bermakna (bukti B). Oleh karena
disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan
agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal
serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons
dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi
maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan
sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek
samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering
di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada
sekresi mukus.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan
agonis beta2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus
dilakukan hati-hatipada penderita usia lanjut atau dengan gangguan
kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside
monitoring).

17
18
19
BAB III
STATUS ASMATIKUS

3.1 Definisi
Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik
pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala
muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan
terhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin. Seringnya,
pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien biasanya mengeluh rasa
berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering dan mengi dan
penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi)
sampai hitungan menit
3.2 Pembagian
Klasifikasi derajat berat asma

3.3 Gejala Klinis


Gambaran klinis Status Asmatikus :
- Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
- Sesak nafas, bicara terputus-putus.

20
- Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab
penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
- Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma.

3.4 Pemeriksaan Anjuran


1) Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral
2) Pemeriksaan EKG
3) Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC
4) Analisa gas darah
5) Pemeriksaan elektrolit
6) Pemeriksaan darah lengkap , urine lengkap, feses lengkap
7) Pemeriksaan kimia darah
8) Pemeriksaan berat jenis plasma
9) Pemeriksaan sputum
10) Biakan darah bila perlu 18
11) Kadar aminofillin dalam darah ( 12 jam setelah terapi bolus )

 Pemeriksaan analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan pada :


- Serangan asma akut berat
- Membutuhkan perawatan rumah sakit
- Tidak respon dengan pengobatan/memburuk
- Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneuomothorax dll

 Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan:


- Mengancam jiwa
- Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk
- Gagal napas
- Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah

21
3.5 Penatalaksanaan
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi ataupun
kombinasi dari gejal diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat
yang mengancam nyawa. Serangan bersifat akut.
 Tujuan pengobatan asma untuk :
a. Menghilangkan obstruksi dengan segera.
b. Mengatasi hipoksia
c. Mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
d. Mencegah serangan berikutnya
e. Memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada
awal sebelum dibawa ke dokter.
 Mengatasi Keadaan Gawat
a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.
b. Oksigen 2 – 4 l/m melalui nasal prong.
c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan
maintenance 20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.
d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6
jam subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna9)
e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam
I.V. ) bisa juga memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat
digunakan 160 mg methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari,
kortikosteroid diberikan sampai membaik secara klinis dan laboratoris.
Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari
sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.
f. Antibiotik bila jelas ada infeksi
Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V.
atau golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.
g. Menilai hasil tindakan dan terapi
Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan
faal paru, analisa gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta
monitoring EKG.
 Pasien asma harus dirujuk bila

22
- Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma
- Serangan asma beratAPE <60% nilai prediksi
- Respon bronkodilator tidak segera
- Tidak ada perubahan dalam 2-6 jam penggunaan kortikodteroid
- Gejala asma semakin memburuk

23
24
BAB IV
ASMA CONTROL TEST

4.1 Definisi
Asma control test (ACT) merupakan salah satu satu cara untuk membantu
petugas kesehatan yang melayani pasien asma bisa menentukan apakah asmanya
sudah terkontrol atau belum.

Interpretasi:
 25 – Terkontrol penuh
 20-24 – Terkontrol sebagian
 ≤ 19 - Tidak terkontrol

25
BAB V
BRONKITIS AKUT

5.1 Definisi
Bronkitis akut adalah peradangan akut atau kerusakan langsung pada
membran mukosa bronkus dan cabang-cabangnya karena pelepasan zat inflamasi
dalam menanggapi infeksi, meningkatkan produksi dan atau penurunan clearance
sekresi pernapasan yang mengakibatkan terjadinya edema dan pembentukan
mukus.
Bronkitis akut biasanya terjadi pada kasus penyakit pernapasan akut dengan
batuk parah dan berkepanjangan yang merupakan komplikasi dari penyakit
saluran napas atas (common cold, influenza) dan berlanjut setelah tanda-tanda dan
gejala infeksi akut lainnya telah mereda. Batuk terjadi selama minggu pertama
sakit pada 30% dari pilek rhinovirus pada orang dewasa muda dan 80% atau lebih
darai kasus influenza. Infeksi virus yang sering berkepanjangan. Infeksi
adenovirus khas melibatkan tracheobronchial. Jarang merupakan penyakit
tersendiri. Pada pneumonia biasanya selalu disertai bronkitis akut.

5.2 Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh:
a. Infeksi virus 90%
: Adenovirus, Influenza virus, Parainfluenza virus, Rhinovirus dan lain-
lain
b. Infeksi bakteri
: Bordatella pertusis, Bordatella parapertusis, Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, Legionella)
c. Noninfeksi

: Polutan udara, rokok dan lain-lain

5.3 Gejala Klinis


- Batu dan produksi sputum. Dahak berwarna beninh, putih, atau hijau
kekuningan

26
- Dyspnea
- Kelelahan, sakit tenggorokan, nyeri otot, hidung tersumbat dan sakit
kepala selam 3-4 hari
- Demam
5.4 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan paru didapatkan wheezing dan ekspirasi memanjang.
5.5 Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah radiologis namun pemeriksaan ini
tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan radiologis biasanya normal atau tampak
corakan bronkial meningkat. Kelaian didapatkan jika ditemukan penyakit lain
seperti pneumonia dan atelektasis.

5.6 Penatalaksanaan
a. Pengobatan simtomatik diarahkan pada penekanan batuk
b. Kalau dicurigai penyebabnya adalah bakteri berikan antibiotik empiris
c. Terapi supportif
a. Istirahat dan bebas merokok
b. Cairan yang adekuat
c. Antipiretik
d. Bronkodilator
e. Mukolitik/ekspektoran

27
BAB VI
BRONKITIS KRONIK

6.1 Definisi
Bronkitis kronik adalah kelaian saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-
turut, dan tidak disebabkan oleh penyakit lain.
6.2 Pembagian
1. Berdasarkan klinis dibedakan menjadi 3 :
o Bronkitis kronis ringan ( simple chronic bronchitis), ditandai dengan
batuk berdahak dan keluhan lain yang ringan.
o Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis),
ditandai dengan batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
o Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas ( chronic bronchitis
with obstruction ), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan
sesak napas berat dan suara mengi (Robin, 2007)
2. Bronkitid kronik eksaserbasi akut
a. Definis BKEA
Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan 3 kriteria klinis
mayor yaitu :
o peningkatan purulensi sputum (batuk dengan produksi sputum yang
purulent/mukopurulent atau sputum berwarna kuning/hijau)
o peningkatan dyspnoe
o peningkatan volume sputum
Semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan menyebabkan semakin
cepatnya perburukan faal paru.
Terdapat tambahan kriteria minor dari gejala BKEA, diantaranya :
o infeksi saluran pernafasan atas selama 5 hari
o peningkatan wheezing
o peningkatan batuk
o demam tanpa sumber yang jelas

28
o peningkatan 20% dari respiratory rate atau heart rate.
(Canadian Guidelines for the management acute excaserbation
of bronchitis chronic, 2003)
b. Derajat BKEA
 Derajat 1 (Mild) : bila terdapat 1 dari kriteria mayor dan 1 kriteria
minor
 Derajat 2 ( Moderate ) : bila terdapat dua dari 3 kriteria mayor
 Derajat 3 ( Severe ) : bila terdapat 3 kriteria mayor
6.3 Etiologi
a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
- Riwayat merokok
o Perokok aktif
o Perokok pasif
o Bekas perokok
- Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun:
o Ringan : 0-200
o Sedang : 200-600
o Berat : > 600
b. Riwayat terpajan polusi udar di lingkungan dan tempat kerja
c. Hipereaktivitas bronkus
d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
e. Defisiensi alfa-1 antitripsis

6.4 Gejala Klinis


- Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan
inhalasi iritan, udara dingin atau infeksi
- Produksi sputum dalam jumlah yang sangat banyak
- Sesak napas yang bersifat progesif saat beraktivitas
- Adanya terdengar suara mengi

29
6.5 Pemeriksaan Fisik
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih lanjut,
didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga tanda-
tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi. Pasien yang
dengan obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pernafasan
tambahan duduk dalam posisi tripod.Didapatkan juga sianosis pada bibir dan kuku
pasien.
a) Inspeksi
 Pursed lips breathing.
 Barrel chest
 Penggunaan otot bantu pernafasan
 Hipertrofi otot bantu pernafasan
 JVP meningkat
 Edema tungkai bawah
 Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di
sentral dan perifer.
b) Palpasi
Fremitus melemah
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
 Suara nafas vesikuler normal atau melemah
 Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
 Eskpirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh
6.6 Pemeriksaan Anjuran
a) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat
(Robin. 2006)
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b) Pemeriksaan faal paru

30
- Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual
(RV) dengan kapasitas paru total (TC) normal atau meningkat.
c) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
6.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi
tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan
mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan
umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih
baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi
saluran napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan
mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi.
Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.
Tujuan utama terapi harus menargetkan perbaikan gejala, seperti :
o Mengurangi kelebihan lendir
o Penurunan hipersekresi lendir dengan mengendalikan peradangan ;
o Memfasilitasi penghapusan lendir
o Modifikasi batuk

Tujuan ini dapat dicapai oleh sejumlah farmakologis dan sarana


nonfarmakologis
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit
adalah:
 Menghentikan kebiasaan merokok.
 Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.
 Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.

31
 Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.

1. Non-Medikamentosa
a. Menghindari Rokok
Berhenti merokok dapat meningkatkan batuk pada banyak pasien
dengan bronkitis kronik dengan meningkatkan fungsi mukosiliar dan
sel goblet dengan menurunkan hiperplasia. Berhenti merokok juga telah
terbukti mengurangi cedera saluran napas dan menurunkan kadar lendir
di dikelupas sel tracheobronchial dahak dibandingkan dengan mereka
yang terus merokok. Sebuah studi lanjutan longitudinal besar
ditemukan bahwa tingkat kejadian CB jauh lebih tinggi di saat perokok
dibandingkan dengan mantan perokok (American Journal Of
Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)

b. Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan
rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak,
latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga
didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk
menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang
tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas
dan takut. (PDPI, 2003)

2. Medikamentosa
a. Mukolitik dan ekpetorat
b. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists
(SABA)
c. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists
d. Anticholinergics
e. Glucocorticoids.
f. Phosphodiesterase-4 Inhibitors

32
g. Antioksidan
h. Antibiotik

 Management BKEA
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila
telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a) Antibiotik
b) Bronkodilator
c) Kortikosteroid
d) Ventilasi mekanik
e) Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia

33
BAB VII
SILIKOSIS

7.1 Definisi
Silikosis adalah penyakit saluran pernafasan akibat menghirup debu silika,
yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru.
Debu yang masuk ke dalam paru-paru mengalami masa inkubasi sekitar 2-4
tahun.
Silikosis adalah suatu pneumokoniosis yang disebabkan oleh inhalasi
partikel-partikel Kristal silika bebas (SiO). Yang termasuk dengan silika
bebas adalah kuarsa, tridimit dan kristobalit. Silika adalah Kristal yang sangat
keras yang biasanya menempel di batu atau tanah atau terdapat ada juga yang
terdapat di udara bebas.

7.2 Pembagian
Silikosis memiiki tiga tipe yaitu:
a. Silicosis akut
Merupakan pemaparan silica dalam jumlah yang sangat besar
dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradan dan terisi oleh
cairan sehingga timbul sesak nafas yang yang menurunkan kadar oksigen
dalam darah. Kelainan faal paru yang timbul adalah restriki berat dan
hipoksemi yang diikuti oleh penurunan kapasitas difusi.
b. Silikosis akselerata
Terpapar oleh sejumlah silica yang lebih banyak dalam waktu yang
lebih pendek (4-8 tahun). Perjalanan penyakitnya lebih cepat, fibrosis
massif dan sering terjadi mycobacterium tipikal atau atipikal.
c. Silicosis kronis simpleks
Yaitu pemaparan sejumlah kecil debu silica dalam jangka
panjang( lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan
parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
7.3 Etiologi
Silika bebas yang merupakan komponen utama pasir dan batu masuk ke
dalam saluran pernapasan biasanya terjadi karena peledakan, penggerindaan,

34
penghancuran, pengeboran, dan penggilingan batuan. Bisa juga terdapat dari
usaha komersial yang menggunakan granit, batu pasir serta pasir giling atau
pembakaran diatomit.

Pekerja yang beresiko:


1. Pekerja tambang logam dan batubara
2. Penggali terowongan untuk membuat jalan
3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan
4. Pembuat keramik dan batubara
5. Penuangan besi dan baja
6. Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya pabrik amplas dan
gelas.
7. Pembuat gigi enamel
8. Pabrik semen
7.4 Gejala Klinis
a. Menderita batuk berdahak karena saluran pernafasannya mengalami iritasi
(bronkitis).
b. Sesak nafas: mula-mula sesak nafas hanya terjadi pada saat melakukan
aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat.
c. Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut:
demam, penurunan berat badan, gangguan pernafasan yang berat.
7.5 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ditemukan gerakan dada yang terbatas, sianosis serta ronki
pada akhir inspirasi, dan dengan kelainan fungsi paru restriktif serta
berkurangnya pertukaran gas.

7.6 Pemeriksaan Anjuran


Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut), tes fungsi
paru, tes PPD (untuk TBC).
a. Silikosis akut
- Foto toraks

35
Pada foto toraks tampak fibrosis interstisial difus, fibrosis
kemuclian berlanjut dan terdapat pada lobus tengah dan bawah
membentuk diffuse ground glass appearance mirip edema paru.
- Pemeriksaan faal paru
Kelainan faal paru yang timbul adalah restriksi berat dan
hipoksemi disertai penurunan kapasitas difusi.
b. Silikosis kronik
- Foto toraks
Pada silikosis kronik yang sederhana, foto toraks menunjukkan
nodul terutama di lobus atas dan tengah, mungkin disertai klasifikasi.
Pada bentuk lanjut tertdapat masa yang besar yang tampak seperti
sayap malaikat (angel's wing). Sering terjadi reaksi pleura pada lesi
besar yang padat. Kelenjar hilus biasanya membesar dan bayangan
egg shell calcification
- Pemeriksaan Faal Paru
Jika fibrosis masif progresif terjadi, volume paru berkurang dan
bronkus mengalami distorsi. Faal paru menunjukkan gangguan
restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas difusi dan komplians
menurun.Timbul gejala sesak napas, biasa disertai batuk dan produksi
sputum.Sesak pada awalnya terjadi pada saat aktivitas, kemudian pada
waktu istirahat dan akhirya timbul gagal kardio respirasi.
c. Silikosis terakselerasi
- Pemeriksaan silikosis terakselerasi hampir sama dengan silikosis
kronik.
7.7 Penatalaksanaan
Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen.
Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik

36
BAB VIII
PNEUMONITIS HIPERSENSITIVITAS

8.1 Definisi
Pneumonitis Interstisial Alergika, Pneumokoniosis Debu Organik) adalah
suatu peradangan paru yang terjadi akibat reaksi alergi terhadap alergen (bahan
asing) yang terhirup. Alergen bisa berupa debu organik atau bahan kimia (lebih
jarang). Debu organik bisa berasal dari hewan, jamur atau tumbuhan.
8.2 Pembagian
Presentasi klinik HP secara klasik diklasifikasi kedalam 3 bentuk:
a. Akut
b. Subakut
c. Kronik
8.3 Etiologi
Pneumonitis hipersensitivitas biasanya merupakan penyakit akibat pekerjaan,
dimana terjadi pemaparan terhadap debu organik ataupun jamur, yang
menyebabkan penyakit paru akut maupun kronik. Pajanan terhadap isosianat
aerosol dapat mengakibatkan pneumonitis hipersensitivitas, walaupun jarang
terjadi (1%)
Tabel. Agen penyebab pneumonitis hipersensitivitas
Penyakit Sumber paparan Antigen utama
Farmer’s lung Jerami berjamur Saccharopolyspora
rectivirgula (Micropolyspora
faeni)
Bagasosis Serat-serat gula tebu Thermoactinomyces sacchari
jamuran
Grain handler’s lung Gabah jamuran S. rectivirgula,
Thermoactinomyces vulgaris
Humidifier/air- Sistem pengatur udara S. rectivirgula, T. vulgaris
conditioner lung yang terkontaminasi
Bird breeder’s lung Burung dara, unggas, Protein burung atau binatang
binatang pengerat
Cheese worker’s lung Keju jamuran Penicillium casei
Malt worker’s lung Gandum jamuran Aspergillus clavatus
Paprika splitter’s lung Debu paprika Mucor stolonifer
Mollusk shell Debu kerang Kerang laut

37
hypersensitivity
Chemical worker’s Bahan-bahan dari Trimellitic anhydride,
lung plastik, busa poliuretan, diisocyanate, methylene
karet diisocyanate

8.4 Gejala Klinis


a. Pneumonitis hipersensitivitas akut
- Batuk
- Demam
- Menggigil
- sesak nafas
- merasa tidak enak badan dan sakit kepala
Masa inkubasi 2 sampai 9 jam setelah pajanan. Umumnya gejala mencapai
puncaknya 8 sampai 12 jam setelah pajanan dan berkurang setelah 12 sampai 24
jam bebas pajanan.
b. Pneumonitis hipersensitivitas subakut
Terjadi perlahan-lahan setelah beberapa hari atau minggu, ditandai
dengan batuk, dan dapat berkembang menjadi sesak hebat disertai sianosis
yang memerlukan perawatan rumah sakit segera.
c. Pneumonitis hipersensitivitas kronis
- sesak nafas, terutama ketika melakukan kegiatan
- batuk kering
- nafsu makan berkurang
- penurunan berat badan
Gejala kronik timbul perlahan-lahan setelah beberapa bulan berupa
peningkatan gejala batuk dan sesak saat bekerja. Lemas dan penurunan berat
badan mungkin merupakan gejala yang menonjol.

8.5 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan dengan stetoskop, terdengar suara pernafasan ronki di basal
atau kedua lapangan paru, pada keadaan akut sering dijumpai demam, takikardi,

38
takipnu setelah pajanan. Pada penyakit yang berat dapat terjadi sianosis dan
komplikasi gagal jantung kanan disertai fibrosis tanpa disertai jari tabuh.

8.6 Pemeriksaan Anjuran


a. Rontgen dada
b. Tes fungsi paru
c. Hitung jenis darah
d. Pemeriksaan antibodi
Pemeriksaan Imunologi mendapatkan IgG spesifik antibodi isosianat HAS
(human serum albumin)
e. Presipitan aspergillus
f. CAT scan dada resolusi tinggi

8.7 Penatalaksanaan
Pneumonitis hipersensitvitas episode akut, biasanya akan sembuh jika kontak
yang lebih jauh dengan alergen dihindari. Kortikosteroid sistemik dapat
mengurangi gejala pada keadaan akut, tetapi penggunaan secara kronik tidak
dianjurkan Bila terjadi penyakit yang lebih berat, untuk mengurangi gejala dan
membantu mengurangi peradangan yang lebih berat, bisa diberikan korticosteroid
(misalnya prednisone).
Episode berkelanjutan atau berulang bisa mengarah ke terjadinya penyakit
yang menetap. Fungsi paru-paru bisa semakin memburuk sehingga perlu
diberikan terapi oksigen tambahan.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).Pneumonia komuniti,


pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2003.
2. Konsensus Pneumonia. Bagian Pulmonologi FKUI/RSUP Persahabatan.
Jakarta : 2000.
3. Junaidi, I., 2010. Penyakit Paru dan Saluran Napas. PT. Bhuana Ilmu
Populer: Jakarta.
4. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru.
Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136-40
5. Hardiyanto,Agustinus.Bronkitis. http://www.scribd.com/doc/32659325/B
RONKITISdiakses tanggal 28 Nopember 2011.

40

Anda mungkin juga menyukai