Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan pola hidup menyebabkan pola penyakit berubah, dari penyakit

infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit-penyakit degeneratif kronik seperti

penyakit jantung dan pembuluh darah yang paling tinggi prevalensinya dalam

masyarakat umum dan berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

Penyakit jantung dan pembuluh darah diperkirakan akan menjadi penyebab utama

kematian secara menyeluruh dalam waktu lima belas tahun mendatang, meliputi

Amerika, Eropa, dan sebagian besar Asia. Hal tersebut dimungkinkan dengan

adanya peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskuler secara cepat di negara-

negara berkembang dan Eropa Timur.

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai

pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.

Gagal jantung menjadi penyakit yang terus meningkat kejadiannya terutama pada

lansia. Masalah kesehatan dengan gangguan system kardiovaskuler termasuk

didalammya Congestive heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang

tinggi, menurut data WHO dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika

menderita CHF. Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung

di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang,

sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan

sekitar 530.068 orang.

1
Foto thorax merupakan elemen penting yang harus dipertimbangkan untuk

dilakukan. Foto thorax atau sering disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu

proyeksi radiografi dari thorax untuk mendiagnosis kondisi-kondisi yang

mempengaruhi thorax, isi dan struktur-struktur di dekatnya. Foto thorax

menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray. Foto thorax digunakan untuk

mendiagnosis banyak kondisi yang melibatkan dinding thorax, tulang thorax dan

struktur yang berada di dalam kavitas thorax termasuk paru-paru, jantung, dan

saluran-saluran yang besar.

Pada beberapa kondisi, CXR baik untuk skrining tetapi buruk untuk

diagnosis. Pada saat adanya dugaan kelainan berdasarkan CXR, pemeriksaan

imaging thorax tambahan dapat dilakukan untuk mendiagnosis kondisi secara

pasti atau mendapatkan bukti-bukti yang mengarah pada pada diagnosis yang

diperoleh dari CXR.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gagal jantung adalah suatu kelainan jantung dimana jantung tidak mampu

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang dapat dikenali dari respon

hemodinamik, renal, neural dan hormonal. Gagal jantung merupakan kumpulan

gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa

gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan

aktifitas disertai / tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti paru atau

edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau

fungsi jantung saat istrahat. Gagal jantung akut ada 2 macam, yaitu acute de novo

(serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya)

yang biasa dikenal dengan Acute Heart Failure dan dekompensasi akut dari gagal

jantung kronis (acute decompensated heart failure).

2.2 Klasifikasi

Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New

York Heart Association (NYHA) classification for heart failure membaginya

menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha

yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut :

1. Kelas I: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan

aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan

sesak napas.

3
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya

pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.

3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya

pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan

dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.

4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan

kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat

beristirahat.

Selain itu ada juga klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung, yaitu:

1. Stadium A: memiliki resiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung,

tidak ada gangguan struktural maupun fungsional, tidak terdapat tanda dan

gejala.

2. Stadium B: telah terbentuk penyakit struktural jantung, tidak terdapat

tanda dan gejala

3. Stadium C: terdapat tanda dan gejala gagal jantung, berhubungan dengan

penyakit struktural jantung yang mendasari

4. Stadium D: penyakit jantung struktural fase lanjut, gejala gagal jantung

sangat bermakna saat istirahat meskipun sudah mendapat terapi medis

yang maksimal (refrakter).

2.3 Epidemiologi

Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena Penyakit Tidak

Menular (PTM) (63% dari seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang

disebabkan oleh penyakit tidak menular terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90%

dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan

4
menengah. Secara global PTM penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya

adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang

disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah, seperti:Penyakit

Jantung Koroner, Penyakit Gagal jantung atau Payah Jantung, Hipertensi dan

Stroke. Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan

oleh penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum

usia 60 tahun dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan

oleh penyakit jantungterjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi

sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah.

Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung di

Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang,

sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan

sekitar 530.068 orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita

penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak

54.826 orang (0,19%), sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah

penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144 orang (0,02%). Berdasarkan

diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak

terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah

penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu

sebanyak 945 orang (0,1%).

2.4 Etiologi

Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit

jantung kongenital maupun didapat. Ada faktor intrinsik dan faktor entrinsik yang

dapat mempengaruhi terjadinya gagal jantung.

5
Faktor intrinsik adalah factor yang berasal dari gangguan di jantung,

seperti:

1. Penyakit Miokard : penyakit jantung koroner, hipertensi, cardiomiopati,

miokarditis

2. Penyakit katub

3. Penyakit jantung kongenital (defek septum dan ruang jantung)

4. Penyakit pericardium

5. Aritmia

Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari penyakit lain di luar

jantung, seperti:

1. Anemia

2. Hipertiroid

3. Penyakit paru

2.5 Patofisiologi

A. Mekanisme Dasar

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal

jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan

ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi

volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan

meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan

tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan

bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi pula

peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan

langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam

6
pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru.

Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik

pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika

kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi

edema interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan

merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru-paru

dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi

pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian

kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung

kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik.

Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat

diperberat oleh regurgitasi fungsional dan katup-katup trikuspidalis atau mitralis

secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus

katup atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae

akibat dilatasi ruang.

B. Mekanisme Kompensasi Pada Gagal Jantung

Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, maka jantung akan memakai

mekanisme kompensasi.

Mekanisme kompensasi ini sebenarnya sudah dan selalu dipakai untuk

mengatasi beban kerja ataupun pada saat menderita sakit. Bila mekanisme ini

telah secara maksimal digunakan dan curah jantung tetap tidak cukup maka

barulah timbul gejala gagal jantung. Mekanisme kompensasi ini terdiri dari

7
beberapa macam dan bekerja secara bersamaan serta saling mempengaruhi,

sehingga secara klinis tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas.

Dengan demikian diupayakan memelihara tekanan darah yang masih

memadai untuk perfusi alat-alat vital.Mekanisme ini mencakup: 1) Mekanisme

Frank-Starling, 2) pertumbuhan hipertrofi venatrikel, dan 3) aktifasi

neurohormonal.

1. Mekanisme Frank Starling

Gagal jantung akibat penurunan kontrak tilitas ventrikel kiri menyebabkan

pergeseran kurva penampilan ventrikel ke bawah. Karena itu, pada setiap

beban awal, isi sekuncup menurun dibandingkan dengan normal dan setiap

kenaikan isi sekuncup pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir

diastolik lebih tinggi dibandingkan normal.

Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak

sempurna sewaktu jantung berkontraksi; sehingga volume darah yang

menumpuk dalam ventrikel semata diastol lebih tinggi dibandingkan normal.

Hal ini bekerja sebagai mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal

(atau volume akhir diastolik) merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada

kontraksi berikutnya, yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang

membesar.

8
Gambar 2.1 Hukum “Frank-Starling”

2. Hipertrofi Ventrikel

Pada gagal jantung, stres pada dinding ventrikel bisa meningkat baik

akibat dilatasi (peningkatan radius ruang) atau beban akhir yang tinggi

(misalnya pada stenosis aortik atau hipertensi yang tidak terkendali).

Peninggian stres terhadap dinding ventrikel yang terus menerus merangsang

pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan kenaikan massa ventrikel. Peningkatan

ketebalan dinding ventrikel adalah suatu mekanisme kompensasi yang

berfungsi untuk mengurangi stres dinding (ingat bahwa ketebalan dinding

adalah faktor pembagi pada rumus stres dinding), dan peningkatan massa

serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.

Meskipun demikian, mekanisme kompensasi ini harus diikuti oleh

tekanan diastolik ventrikel yang lebih tinggi dari normal dengan demikian

tekanan atrium kiri juga meningkat, akibat peninggian kekakuan dinding yang

mengalami hipertrofi. Pola hipertrofi yang berkembang bergantung pada

apakah beban yang di hadapi bersifat kelebihan beban volume atau, tekanan

yang kronis. Dilatasi ruang yang kronis akibat kelebihan volume, misalnya

pada regurgitasi mitral atau aorta yang menahun, mengakibatkan sintesis

9
sarkomer-sarkomer baru Secara seri dengan sarkomer yang lama. Akibatnya

radius ruang ventrikel membesar dan ini berkembang sebanding dengan

peningkatan ketebalan dinding. Hal ini disebut hipertrofi eksentrik.

Kelebihan tekanan yang kronis, misalnya pada hipertensi atau stenosis

aortik, mengakibatkan sintesis sarkomer-sarkomer baru yang berjalan sejajar

dengan sarkomer lama, sehingga terjadilah hipertrofi konsentrik, dimana tebal

dinding meningkat tanpa adanya dilatasi ruang. Dengan demikian stres

dinding bisa dikurangi secara bermakna.

Gambar 2.2 Mekanisme Hipertrofi Ventrikel

3. Aktifasi neurohormonal

Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang

mencakup sistim syaraf adrenergik, sistim renin-angiotensin, peningkatan

produksi hormon antidiuretik, semua sebagai jawaban terhadap penurunan

curah jantung.

10
Semua mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh

sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan darah (ingat rumus

tekanan darah - curah jantung x tahanan perifer total). Selanjutnya semua ini

menyebabkan retensi garam dan air, yang pada awalnya bermanfaat

meningkatkan volume intravaskuler dan beban awal ventrikel kiri, sehingga

memaksimalkan isi sekuncup melalui mekanisme Frank Starling.

Segi negatif aktifasi neurohormonal yang berlebih adalah seringnya terjadi

akibat yang jelek pada jantung yang sudah payah.

Gambar 2.3 Mekanisme Neurohormonal

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gagal jantung secara umum adalah sesak nafas saat

istrahat atau aktifitas, kelelahan, edema tungkai. Tanda khas gagal jantung

berupa takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena

11
jugularis, edema perifer, hepatomegali dan terdapat tanda objektf gangguan

struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara jantung ke

tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan

konsentrasi peptida natriuretik.

Manifestasi yang khas dapat digunakan sebagai acuan letak gagal jantung.

Gagal jantung kiri mempunyai ciri khas gejala seperti berikut:

• Perasaan badan lemah

• Cepat lelah

• Dyspneu

• Orthopneu

• Paroxysmal nocturnal dyspnea

• Edema paru

• Takikardia

• Ronki basah paru dibagian basal

• S3, S4

Pada gagal jantung kanan memiliki ciri khas sebagai berikut:

• Gangguan gastrointestinal (perut kembung, anoreksia dan nausea)

• Berat badan bertambah

• Edema pretibial

• Bendungan pada vena jugularis

• Hepatomegali

• Asites

• S3

12
Untuk menegakkan diagnosis gagal jantung dapat menggunakan kriteria

“Framingham” yang terdiri dari kriteria mayor dan kriteria minor.

Tabel 2.1 Kriteria “Framingham”

Kriteria Mayor Kriteria Minor


Paroxysmal Nocturnal Dyspnea Sesak pada aktivitas
Peningkatan vena jugularis >16 cm H20 Batuk malam hari
Ronchi Refluks hepatojugular positif Edema ekstremitas
Kardiomegali Takikardia (>120x/menit)
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
normal
Gallop bunyi jantung III Efusi pleura
Hepatomegali

Apabila terdapat kriteria mayor maupun minor ditambah ada penurun berat

badan >4,5 kg dalam 5 hari maka pasien harus segera diterapi. Penegakan

diagnosis berdasarkan kriteria “Framingham” dikatakan positif gagal jantung

adalah jika memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria

minor.

2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis gagal jantung dapat dinilai dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien akan

mengeluhkan gejala seperti sesak nafas saat istrahat atau aktifitas, kelelahan,

edema tungkai. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takikardia, takipnu,

ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer,

hepatomegali, kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung. Sedangkan

13
pada pemeriksaan penunjang akan didapatkan abnormalitas dalam gambaran

ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik.

A. Pemeriksaan laboratorium

Tes darah mungkin akan diminta untuk menilai fungsi hati dan ginjal,

level/tingkat sodium dan potassium, jumlah sel darah, dan pengukuran-

pengukuran lainnya.

Pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk menyingkirkan anemia sebagai

penyebab susah bernapas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta

komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan

mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu

adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan

serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,

juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum

kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretic

dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat

terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium

sparring. Pada gagal jantung kongestif, tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)

gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin

serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan penanda BNP

sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan

plasma non-proBNP adalah 300 pg/ml.

14
B. Gambaran EKG

Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien diduga gagal

jantung. Pemeriksaan EKG menunjukkan irama dan konduksi listrik jantung,

sehingga dapat diketahui apakah terdapat gangguan sinoatrial, blok

atrioventrikular (AV), kelainan konduksi intraventrikular, ataupun temuan

abnormal lain.

Tabel 2.2 Kelainan yang paling sering ditemukan pada

EKG dengan gagal jantung akut

C. Gambaran Radiologi

1. Foto Toraks

15
Pemeriksaan foto toraks lebih berguna dalam mengidentifikasi dan

menjelaskan gejala yang berhubungan dengan paru. Pada pemeriksaan akan

menunjukkan adanya kongesti atau edema pulmonal. Berikut ini beberapa

kelainan foto toraks yang sering ditemui pada pasien gagal jantung.

Tabel 2.3 Kelainan Foto Toraks pada Pasien Gagal Jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis


Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel Ekokardiografi,
Kardiomegali
kanan, atria, efusi perikard Doppler
Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi,
Hipertrofi ventrikel
kardiomiopati hipertrofi Doppler
Tampak paru
Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
normal
Mendukung
Peningkatan tekanan pengisian
Kongesti vena paru diagnosis gagal
ventrikel kiri
jantung kiri
Mendukung
Peningkatan tekanan pengisian
Edema interstitial diagnosis gagal
ventrikel kiri
jantug kiri
Gagal jantung dengan
Pikirkan etiologi
peningkatan tekanan pengisisan
Efusi pleura non-kardiak (jika
jika efusi bilateral, infeksi paru,
efusi banyak)
pasca bedah/ keganasan
Mitral stenosis/ gagal
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik
jantung kronik
Area paru Pemeriksaan CT,
Emboli paru atau emfisema
hiperlusen spirometri, eko
Tatalaksana kedua
Pneumonia dapat sekunder akibat penyakit:ngagal
Infeksi paru
kongesti paru jantung dan infeksi
paru
Pemeriksaan
Infiltrate paru Penyakit sistemik
diagnostic lanjutan

Dari segi radiologik, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah

membesar atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung dan lebar dada

16
pada foto toraks PA (cardio-thoracis ratio). Pada gambar, diperlihatkan garis-

garis untuk mengukur lebar jantung (a+b) dan lebar dada (c1-c2).

a + b
𝐶𝑇𝑅 = = ±50%
c1 + c2

(normal : 48-50 %)

Gambar 2.4 Pengukuran CTR

Pada patofisiologi Congestive Heart Failure telah dijelaskan bahwa

kegagalan jantung juga disebabkan oleh kontraktilitas miokard yang kurang akibat

infark miokard.Berikut adalah gambar yang menunjukan adanya infark miokard

dalam congestive heart failure.

17
Gambar 2.5 Congestive cardiac failure. Radiografi dada memperlihatkan

kardiomegali, pengalihan vena-vena lobus atas (tanda panah), garis septum (garis

Kerley B) terlihat baik di zona bawah kanan (tanda panah terbuka), dan

penebalan/cairan di fisura horizontal (mata panah). Cairan di fisura horizontal

kanan kadang-kadang disebut “Phantom tumour”, itu bisa menghilang pada

pemeriksaan radiologi berikutnya, bila keadaan pasien membaik

Dengan perkembangan dari gagal jantung kongestif, atrium kiri

mengalami peningkatan tekanan yang paling pertama. Hal ini menyebabkan

peningkatan tekanan hidrostatik, tekanan kapiler paru serta pembentukan edema

interstitial terutama pada daerah basal paru. Hal ini menyebabkan peningkatan

resistensi vaskuler yang mengalir ke basal paru, menyebabkan pirau aliran darah

ke pembuluh-pembuluh darah pada lobus atas paru-sehingga menyebabkan adnya

peralihan pada vena-vena pada lobus atas. Pengalihan pada lobus atas dapat

didiagnosis dengan radiografi posisi erect (tegak), pembesaran pembuluh-

pembuluh darah pada lobus atas sama dengan atau melebihi pembuluh-pembuluh

darah pada lobus bawah yang berjarak sama dari hilum.

18
Gambar 2.6 Foto Thorax PA menunjukan adanya pembesaran pada ventrikel kiri

karena adanya aneurisme yang mana tampak focal bulge ( panah )

Seiring dengan meningkatnya tekanan hidrostatik, terjadilah tanda-tanda

edema interstitial:

- Pengaburan dari tepi pembuluh darah

- Peribronchial cuffing

- Perihilar kabur

- Garis Kerley A dan B dapat terlihat ketika cairan mengisi dan

mendistensi septum interlobular

- Garis Kerley B merupakan garis horizontal yang pendek yang terlihat

pada basal paru daerah tepi/perifer

- Garis Kerley A jarang dilihat, garis tersebut merupakan garis yang

terpancar dari hilum.

19
Saat tekanan hidrostatik mencapai 25 mmHg, cairan melewati alveoli dan

menyebabkan edema paru. Hal ini dapat terlihat sebagai densitas alveolar multiple

dari setengah bagianbawah paru. Kemungkinan lain, dapat juga terlihat densitas

ruang udara bilateral yang difus dan kurang tegas/jelas atau densitas perihilar

‘bat’s wings’.

Gambar 2.7 Contoh dari congestive cardiac failure dengan densitas ruang udara

(airspace) perihilar di dalam distribusi “bat wings” mewakili edema paru

2. Computed Tomography

CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin dan

manajemen gagal jantung kongestif.

Multichannel CT scan berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan

dan katup, namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dapat

memberikan informasi yang sama tanpa mengekspos pasien untuk radiasi

pengion.

20
Gambar 2.8 Penebalan garis septum dalam kaitan dengan edema

interstitial pada CHF

Gambar 2.9 Pada CT Scan posisi axial menunjukan adanya diffuse

bilateralair space opacities ( Adanya perselubungan yang diffuse di air

space bilateral )

3. Echocardiografi

Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari evaluasi

pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau diduga. Fungsi

ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer dan sekunder dapat dinilai

21
secara akurat. Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga dalam

menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolik.

Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk

menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac output

(fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian ventrikel.

Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit katup

penting secara klinis.Tingkat kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan

tingkat temuan positif palsu dan negatif palsu yang rendah.

22
Gambar 2.9 Transthoracic echocardiograms: dua dimensi yaitu dari apical

(atas) dan Doppler (bawah) menunjukan beratnya kalsifikasi stenosis dengan

gradien aortic yang mencapai lebih dari 70 mm Hg ( A = ventrikel kiri , B =

aortic valve,dan C = atrium kiri.)

Gambar 2.10 Two-dimensional echocardiogram (parasternal long axis view)

from a 70-year-old woman showing concentric left ventricular hypertrophy

and left atrial enlargement.

Gambar 2.11 Two-dimensional echocardiogram (parasternal short axis view)

from a 70-year-old woman showing concentric left ventricular hypertrophy.

23
Gambar 2.12 M-mode echocardiogram from a 70-year-old woman showing

concentric left ventricular hypertrophy.

Gambar 2.13 Two-dimensional echocardiogram (parasternal short axis view at

the aortic valve level) from a 70-year-old woman showing mild aortic

sclerosis.

Gambar 2.14 Two-dimensional echocardiogram showing a four-chambers

view of the heart in a patient with systolic dysfunction. Note dilated LV. (LV

= left ventricle; RV = right ventricle; RA = right atrium; LA = left atrium)

24
Gambar 2.15 Two-dimensional echocardiogram showing a four-chambers

view of the heart in a patient with diastolic dysfunction. Note the normal LV

size with hypertrophy.

4. Peptida Natriuretik

Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma

peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau

memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko

mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum

pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat

kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan

pasien menjadi sangat kecil.

Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal

mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptidanatriuretik meningkat sebagai

respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai

waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak

langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.

25
5. Troponin I atau T

Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika

gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan

ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama

episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

6. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Karena dukungan yang cukup lengkap dari echocardiography, MRI jarang

digunakan dalam pemeriksaan pasien dengan gagal jantung kongestif. Kegunaan

utamanya melibatkan deliniasi kelainan jantung bawaan dan penyakit penilaian

katup jantung; itu juga digunakan pada pasien dengan kondisi lain.

Tingkat kepercayaan di MRI tinggi, dan tingkat temuan positif palsu dan negatif

palsu yang rendah.

Gambar 2.16 (A,B): Prognostic markers. (A) Short-axis delayed-enhancement

image shows transmural scar in the anterior wall and anteroseptum (arrows) in

the left anterior descending (LAD) distribution. Due to the extensive scar in

this vascular territory, a revascularization procedure such as coronary artery

bypass surgery is unlikely to be successful. (B) Three-chamber delayed-

enhancement image shows an extensive transmural scar in the basal and mid-

26
lateral wall (arrow), which indicates low probability of success with cardiac

resynchronization therapy

7. Angiography

Kateterisasi jantung dan angiografi koroner memiliki peran yang berguna

pada pasien dengan gagal jantung kongestif, mereka yang menderita penyakit

jantung katup, dan orang-orang dengan penyakit jantung menyenangkan, serta

pasien dengan kondisi lain.

Untuk pasien dengan CHF, kateterisasi jantung dan angiografi koroner

jelas ditunjukkan dalam situasi berikut:

 CHF yang disebabkan oleh disfungsi sistolik berkaitan dengan angina atau

gerakan dinding regional yang kelainan dan / atau bukti scintigraphic iskemia

miokard reversibel ketika revaskularisasi sedang dipertimbangkan

 Sebelum transplantasi jantung

 CHF sekunder pasca infark aneurisma ventrikel atau komplikasi mekanis

lainnya dari MI

27
Gambar 2.17 A pulmonary angiogram shows the abrupt termination of the

ascending branch of the right upper-lobe artery, confirming the diagnosis of

pulmonary embolism.

2.8 Diagnosis Banding

1. Pneumonia

Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem

pernapasan dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru

yang bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi

radang sehingga menyebabkan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan

oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri,virus,jamur

atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau

kerusakan fisik dari paru - paru, atau secara tak langsung dari penyakit lain

seperti kanker paru atau penggunaan alkohol. Gejala khas yang

berhubungan dengan pneumonia meliputi batuk, nyeri dada, demam,dan

sesak nafas.

2. Non-cardiogenic pulmonary edema

Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya dapat disebabkan

oleh:

 Acute respiratory distress syndrome (ARDS), kondisi yang berpotensi

serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka

paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,

atau radiasi pada paru-paru. Pada ARDS, integritas dari alveoli

menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan yang

28
mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat

dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.

 Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari

tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-

pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang

dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk

mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.

 High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh

kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.

 Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage),

seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya

berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan

neurogenic pulmonary edema.

 Paru yang mengembang secara cepa adakalanya dapat menyebabkan

re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus

ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari

cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada

ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary

edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).

 overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada

pulmonary edema.

 Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis

dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua,

yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.

29
 Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic

pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan

darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang

berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute lung

injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada

wanita-wanita hamil.

Gambar 2.18 Perbedaan antara cardiogenic dan noncardiogenic edema.

Gambar A ( atas ) menunjukan foto thorax AP 51 tahun pria dengan infark

miokard akut anterior dan akut cardiogenic pulmonari edema. Gambar

B.menunjukan foto thorax AP dari wanita usia 22 tahun yang

30
diidentifikasi dengan komplikasi antara pneumonia dan ARDS.Pada foto

ini menunjukan diffuse alveolar infiltrat dengan air bronchogram sign.

2.9 Penatalaksanaan

Terapi non-farmakologik meliputi:


1. Diet
Pasien gagal jantung dengan obesitas harus diberi diet yang sesuai
untuk menurunkan gula darah, lipid darah darah dan berat badannya.
Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 gr/ hari untuk gagal jantung
ringan atau < 2 gr/hari untuk gagal jantung berat.
2. Merokok harus dihentikan.
3. Aktifitas Fisik
Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan
untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kleas II-III) dengan
intensitas yang nyaman bagi pasien.
4. Istirahat
Istirahat dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
(NYHA kelas IV).
Terapi Farmakologi atau Pengobatan
1. Diuretik digunakan untuk mengendalikan retensi natrium dan air.
Furosemid 40 mg/hari atau bumetamid 1 mg/hari biasanya efektif.
2. Inhibitor ACE dapat menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah.
3. Bloker β seperti bisoprolol, karvedilol yang dimulai dari dosis yang
sangat rendah dan bisa ditambahkan untuk menurunkan aktivitas
simpatis yang berlebihan dan mendorong remodeling otot jantung.
4. Digoksin diindikasikan untk mengendalikan fibrilasi atrium yang
terjadi bersamaan.

31
Gambar 2.19 Strategi Pengobatan pada pasien Gagal Jantung Akut

2.10 Prognosis

Prognosis pada pasien dengan gagal jantung tergantung dari berat dari

gagal jantung kongestif yang dia diderita, umur, dan jenis kelamin, dengan

prognosis yang lebih jelek/buruk pada pasien pria. Di samping itu,

beberapa indeks prognostik dapat dihubugnkan dengan prognosis yang

berlawanan, mencakup kelas dari NYHA, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan

status neurohormonal.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Siswanto, Bambang Budi.dkk. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

2. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.

3. Algin, O., Gokalp, G., and Topal, U. 2011. Sign in Chest Imaging. Turkish

Society of Radiology. pp. 18-29.

4. Ronald L. Eisenberg, Alexander R. Margulis. What to Order When: Pocket

Guide to Diagnostic Imaging. 2nd Edition. s.l. : Lippincott Williams &

Wilkins , 1999. Hal.8

5. Anil T. Ahuja, Gregory E. Antonio, K.T. Wong, and H. Y. Yuen. Case Studies

in Medical Imaging: Radiology for Students and Trainees. New York :

Cambridge University Press; 2006. hal. 51-52.

6. Barbara Ritter, EdD, FNP, CNS. Basics of Chest X-Ray Interpretation: An

Introduction to the Principles of Chest X-Ray Interpretation.

7. Nambu, A., Ozawa, K., Kobayashi, N., et al. 2014. Imaging of community-

acquired pneumonia: Roles of imaging examinations, imaging diagnosis of

specific pathogens and discrimination from noninfectious diseases. World J

Radiol, 2014 October 28; 6(10): 779-793.

8. Gunderman, Richard B. Essential Radiology: Clinical Presentation,

Patophysiology and Imaging. [ed.] Timothy Hiscock. 2nd edition. New York :

Thieme, 2006; hal. 53 – 58,72.

33
9. G Jackson,C R Gibbs, MK Davies, G Y H Lip. ABC of heart failure: History

and epidemiology. hal. 9 - 18

10. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott

Williams & Wilkins 2007 ; hal.167-168.

11. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of the

adult patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins

2009;.hal.275-287

12. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell

publishing 2006;hal. 10-11.

13. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. [ed.] Iwan Ekayuda. Edisi Kedua.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2010.

14. Nader Kamangar, MD, FACP, FCCP, FCCM; Chief Editor: Zab Mosenifar,

MD.Bacterial Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/300157-

overview#showall.

15. Fransiska S.K.Pneumonia. wordpress.com/2009/02/pneumonia.pdf.

16. Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D.Acute Pulmonary

Edema.http://www.nejm.org/

34

Anda mungkin juga menyukai