Oleh :
dr. Nabila S. Audi S.
DPJP :
dr. Dian Andriani R. Dewi, Sp.KK
Pendamping :
dr. Bonita Baso
1
BAB I
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
No. RM : 00369192
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 36 tahun
Alamat : Cilangkap, Jakarta Timur
Pekerjaan : Buruh swasta
Suku bangsa : Betawi
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal mulai perawatan : 30 Januari 2018
Tanggal keluar RS : 01 Februari 2018
ANAMNESA
Keluhan Utama
Gatal dan rasa panas hampir di seluruh tubuh
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi :
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 75 kg
Tanda vital : Tensi : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36˚C
Pernapasan : 20x/menit
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Hidung : Sekret tak ada, faring hiperemis tak ada, bibir tidak pucat
Mulut : Tonsil T1/T1
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Cor
Inspeksi : Tidak terlihat penampakan ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial linea midclavikularis sinistra
ICS V
Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dextra ICS IV
Batas jantung kiri 1 jari medial linea midclavicularis sinistra
ICS V
Batas pinggang jantung linea parasternalis sinistra ICS III
Auskultasi : SI SII normal, tak ada murmur, tak ada gallop
3
Pulmo
Inspeksi : Simetris, abdominothorakal
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Datar, Terdapat plak eritematousa, keratic skin, dan krusta
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 12 Februari 2018
Hematologi Hasil Nilai Referensi Interpretasi
- Hemoglobin 18 g/dl 13,2-17,3 g/dl Normal
- Hematokrit 51 % 40-52 % Normal
- Leukosit 19.5 ribu/Ul 5-10 ribu/Ul Normal
- Trombosit 200 ribu/ul 150-400 ribu/Ul Normal
DAFTAR MASALAH
4
Terdapat plak eritematousa, keratic skin, dan krusta pada extremitas superior dextra
dan sinistra, extremitas inferior dextra dan sinistra, pada abdomen, dan leher disertai
rasa gatal, panas, dan nyeri
TATALAKSANA
A. Non medikamentosa
Bed rest
B.Medikamentosa
IVFD Ringer laktat/ 12 jam 20 tpm
Injeksi Dexamethason 2 x 1A
Injeksi Ceftriaxone 2x1 g
Loratadine 1x1
CTM 3x1
Kompres NaCl
Hidrokortison cream untuk area wajah
Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
31 Januari 2018
Subjective Bercak merah dan gatal berkurang, luka mulai mengering,
rasa panas dan perih berkurang
5
Assessment Dermatitis kontak alergi e.c. nikel
Planning Bed rest
IVFD Ringer laktat/ 12 jam 20 tpm
Injeksi Ceftriaxone 2x1 g
Loratadine 1x1
CTM 3x1
Kompres NaCl
Hidrokortison cream untuk area wajah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar,
2004).
7
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing – masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai
contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus
higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi
allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem
imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah.
Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak
alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu,
misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
C. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang
sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan
epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan membentuk
kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk
diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir
dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan
terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten
8
diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan
memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan
terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien,
IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit
tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi
klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan
terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama
sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan
dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel
yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak
nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat
menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih
dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai
bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat
dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat
pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit
kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan
9
maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA
didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi
keluarga
Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-
sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan
spesifik
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua
kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan
kulit lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).
10
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena
alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada
lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang
popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang
dijumpai pada lokasi kontak langsung.
11
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir
12
d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat
warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan
pelembut atau pewangi pakaian.
13
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis
numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang
utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan
ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan,
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk
yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila
diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung
tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam
yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit
14
dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48
jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar
perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan
terkena iritasi (Sularsito, 2010).
15
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung
selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini
dilakukan tes dengan prosedur khusus.
16
T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.
17
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak,
lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi,
misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras
dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan
Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume
jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
18
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan
pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya
tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia
murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah,
lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini
yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang dapat
memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila
menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus
berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak
diketahui (Sularsito, 2010).
E. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek
serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan,
dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan,
aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak
3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3
kali untuk anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
19
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari,
selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri,
dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
F. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila
bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis
atopik, dermatitis numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007).
Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang
tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu
atau yang terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan
lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
20
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus)
(Bourke, et al., 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an
update. Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/contact
%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses pada
tanggal 22 November 2012
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik
Edisi 2. Jakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta :
Fakultas Farmasi UGM
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
21
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam
: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11
November 201
LAMPIRA
N
22
LAMPIRA
N
23