Tinjauan Teori
Tinjauan Teori
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 14 Februari 2015
Nama : Ny. Sumaiya
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 58 kg
Gol. Darah :B
Alamat : Desa II RT 8 Suak Kandis Kec. Kumpe Ulu
No. RM : 788795
Ruangan : Kelas III
Diagnosa : Tumor Plantar Pedis Dextra
Tindakan : Wide Eksisi
2
c. RPD
Riwayat Hipertensi : (+)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat DM : (+)
Riwayat Batuk Lama : (-)
Riwayat Operasi : (-)
Riwayat Alergi Obat : (-)
Riwayat Penyakit lain : (-)
d. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-)
Minum Jamu-jamuan (-)
3
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki
-/-
g. Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), soepel (+)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
h. Genital : Tidak Diperiksa
i. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), Motorik 555/555/555/555
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin (4/2/2015)
WBC : 8,2103/mm3 ( 3,5 – 10,0 )
RBC : 4,54 106/mm3( 3,80 - 5,80 )
HGB : 13,8gr/dL ( 11,0 – 16,5 )
HCT : 38,1 % ( 35,0 - 50,0 )
PLT : 356 103/mm3 (150 – 390 )
GDS : 176 mg/dl
4
Globulin: 3,3 g/dl (3,0-3,6)
SGOT :57 U/L (<40)
SGPT : 48 U/L (<41)
Faal Ginjal
Ureum : 31,9 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 1,0 mg/dl (0,6-1,1)
b. Pemeriksaan Elektrolit
Na : 141,31 mmol/L (135-145)
K : 3,44 mmol/L (3,5-5,5)
Cl : 99,32 mmol/L (98-108)
Ca : 1,17mmol/L (2,2-2,9)
5
Induksi
Bupivacaine 20 mg
Adjuvant
Klonidin 60 mg
Midazolam 5 mg
Pemeliharaan
O2
6
BAB III
LAPORAN ANESTESI
7
Masa Pembekuan : 4 detik
c. Status Fisik : ASA III, dengan Hipertensi grade II tidak terkontrol, dan DM
tipe II tidak terkontrol
2. Tindakan Anestesi
a. Metode : Anestesi Regional
b. Premedikasi : Ranitidin 50 mg, ondancentrone 4 mg, Asam Traknesamat
1000 mg
3. Anestesi regional
a. Teknik Anestesi : Spinal
b. Lokasi Tusukan : L 3-4
c. Obat Anestesi Lokal : Bupivacaine 0,5% (Hiperbarik)
d. Jumlah : 4 cc
e. Adjuvant : Klonidin 60mg + Midazolam 5mg
f. Tindakan Anestesi Tambahan : -
8
Kebutuhan cairan pasien ini:
BB = 58 Kg
Maintenance (M)
2 cc/ kgBB/jam= 2 cc x 58 = 116 cc/jam
Pengganti Puasa (Pp)
Pp = 6 x M
= 6cc x 116
= 696 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 58 x 6 cc
= 343 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (Pp) + M + O
= ½ (696) + 116 + 343
= 807 cc
Jam II = ¼ (Pp) + M + O
= ¼ (696) + 116 + 343
= 633 cc
5. Pra Anestesi
Penentuan status fisik ASA : 1/2/3/4/5/Non EMG
Mallampati :1
Persiapan:
a. Pasien dan keluarga telah diberikan Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi
9
6. Monitoring
Nadi awal = 80 x/menit, TD awal =170/90 mmHg
Jam (WIB) Nadi (x/menit) TD (mmHg)
08.45 90 150/100
09.00 90 110/70
09.15 73 108/69
09.30 70 105/70
09.45 72 100/70
7. Ruang Pemulihan
1. Masuk Jam : 09.55 WIB
2. Keadaan Umum: Kesadaran: CM, GCS: 15
3. Tanda vital : TD : 130/90 mmHg
Nadi : 72 x/menit
RR : 22x/menit
4. Pernafasan : Baik
5. Scoring Bromage:
Gerakan penuh dari tungkai : -
Tidak mampu ekstensi tungkai: -
Tidak mampu fleksi lutut : 2
Tidak mampu menggerakkan pergelangan kaki: -
(karena Skor Bromage ≤ 2, maka pasien boleh keluar ruangan)
Instruksi Anestesi:
Monitoring tanda vital, kesadaran, dan perdarahan tiap 15 menit
Tirah baring menggunakan bantal 1x24 jam
Boleh makan dan minum bertahap jika tidak ada mual dan muntah, BU (+)
Terapi dilanjutkan sesuai instruksi dr. Riadi Adi, Sp.B (Onk)
10
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
11
Tekanan intrakranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia
Kontraindikasi Relatif :
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
12
(HR) terhadap stres dan menurunkan kadar renin, angiotensin, aldosteron
sehingga mudah terjadi hipotensi.
Paru dan sistem pernafasan : elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas
dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan
perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi , dengan akibat
menurunkan kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan
diafragma, jalan nafas menyempit, dan terjadilah hipoksemia.
Ginjal : jumlah nefron berkurang sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG)
menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respon terhadap
kekurangan natrium menurun, sehingga beresiko terjadinya dehidrasi.
Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi overload
cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia.
Saluran pencernaan : asam lambung sudah berkurang, motalitas usus
berkurang.
Hati : aliran darah dan oksidasi mikrosomal berkurang, sehingga fungsi
metabolisme obat juga menurun.
Sistem imun : fungsi sel T terganggu dan terjadi involusi kelenjar timus,
dengan akibat resiko infeksi.
Otak : semakin tua terjadi atrofi serebri.
13
Mengatasi sepsis
Mengarasi perdarahan (blood loss) bila ada
Mengatasi edem pada gagal jantung kongestif
Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang sering
terjadi. Hipotensi biasanya terjadi pada 15 menit sampai 20 menit pertama setelah
penyuntikkan, bila tidak dilakukan pencegahan hipotensi akibat anestesi spinal
maka akan menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia jaringan
yaitu, gelisah, pusing, mual, kemudian apabila tidak diatasi dapat menyebabkan
efek yang lebih parah yaitu syok bahkan kematian. (Collin Vj.1993)
Terdapat 3 mekanisme hipotensi setelah anestesi spinal, yaitu penurunan
aliran balik vena, vasodilatasi pembuluh darah dan penurunan curah jantung.
Tindakan pencegahan dan mengatasi hipotensi akibat anestesi spinal adalah
dengan pemberian cairan infus dan pemakaian obat vasopresor.
Tujuan pemberian infus cairan adalah mengisi dan memenuhi ruang vaskuler,
meningkatkan volume sirkulasi dan curah jantung sehinggga mengkompensasi
penurunan tahanan vaskuler sistemik. Pemberian kristakoloid 10-15ml/kgBB
dianjurkan sebagai cara untuk mencegah hipotensi setelah anestesi spinal.
Pilihan preload kedua yaitu koloid, karena koloid mampu mengisi ruang
vaskuler lebih lama dan lebih efektif.
4.1.6 Persiapan pra anestesi
Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan
pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni
mempersiapkan baik fisik maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan
obat-obatan apa saja yang digunakan.1
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
14
perhatian khusus, misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca
bedah, sehingga kita dapat merancang anestesia selanjutnya.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa
hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi
produksi sputum. Kebiasaan minum jamu-jamuan juga patut dicurigai akan adanya
penyakit hepar.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang
dicurigai. Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto
thoraks.
4. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
spasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak
perlu harus dihindari.
5. Klasifikasi Status Fisik
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists
(ASA) yaitu:1,2
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
15
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
6. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan
dari masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.1
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.1
7. Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:1
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
16
kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Istilah neoplasma pada dasarnya
memiliki makna yang sama dengan tumor. 6,7
4.2.2 Etiologi5,6
Kondisi Genetik
Pembentukan gen dan mutasi gen adalah faktor predisposisi untuk beberapa
tumor jaringan lunak.
Radiasi
Mekanisme yang patogenic adalah munculnya mutasi gen radiasi-induksi
yang mendorong transformasi neoplasma.
Infeksi
Trauma
17
mengambil sampel jaringan tumor, sehingga dapat menentukan tumor tersebut jinak
atau ganas dan menentukan gradenya.
Metode yang paling umum untuk mendiagnosis selain pemeriksaan klinis
adalah pemeriksaan biopsi, bisa dengan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) atau biopsi
dari jaringan tumor, langsung berupa biopsi insisi yaitu biopsi dengan mengambil
jaringan tumor sebagian atau seluruhnya pada saat pembedahan. Bila jinak maka cukup
hanya benjolannya saja yang diangkat, tetapi bila ganas setelah dilakukan
pengangkatan benjolan dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi.
4.2.5 Penatalaksanaan8
Bedah
Terapi radiasi
Kemoterapi
18
BAB V
ANALISA KASUS
Pasien Ny. S 65 Th, dirawat dibangsal bedah dengan diagnosa post operasi
Wide Eksisi atas indikasi tumor plantar pedis. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
didapat. Tatalaksana pada pada pasien ini adalah dengan tindakan pembedahan.
Pada saat kunjungan pra anestesi, dari anamnesis didapatkan 4bulan yang
lalu os mengeluh timbul benjolan di telapak kaki sebelah kanan, awalnya benjolan
tersebut sebesar kelereng, dan dirasakan makin lama semakin membesar, Os juga
mengeluh nyeri pada benjolan tersebut. Dan nyeri dirasakan berdenyut. Pada benjolan
tersebut juga sering keluar cairan berbau amis kadang disertai darah. Riwayat
penyakit, hipertensi (+), DM (+), penyakit asma, batuk lama, disangkal, riwayat
operasi dan alegri obat juga disangkal. Riwayat kebiasaan merokok (-), minum jamu-
jamuan (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan benjolan berukuran ± 5 cm di regio plantar
pedis dektra. Dan dari pemeriksaan penunjang didapatkan tekanan darah meningkat
yaitu 170/90 mmHg, pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 4
Februari 2015 darah rutin, faal ginjal dalam batas normal, sedangkan faal hati
mengalami peningkatan diatas yaitu, SGOT = 57 U/L dan SGPT = 48 U/L.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan pada pasien ini
status fisik ASA III. Karena pasien memiliki riwayat hipertensi ( pasien memiliki
kelainan sistemik ringan dan sedang selain penyakit yang akan dioperasi.
Anestesi untuk tindakan pada pasien ini menggunakan anastesi spinal.Spinal
anestesi dipilih karena dianggap paling baik bagi penderita yang mempunyai kelainan
paru, diabetes mellitus, penyakit hati, kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan
gangguan metabolisme dan eksresi dari obat, pada pasien ini memiliki penyakit
sistemik seperti hipertensi dan kemungkinan gangguan hati karena hasil lab faal hati
menunjukkan peningkatan.Pada pasien ini digunakan teknik spinal anestesi, yaitu
19
pemberian obat anestesi lokal ke ruang subarachnoid.Teknik ini sederhana, cukup
efektif.
Pada pasien ini diberikan Ranitidine 50 mg (golongan antagonis reseptor H2
Histamin), tujuannya adalah untuk mengurangi isi cairan lambung sehingga
mencegah pneumonitis asam, sebab cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5
dapat menyebabkan keadaan tersebut. Pada pasien ini juga diberikan ondacentron 4
mg (golongan antiemetik) untuk mengurangi mual dan muntah pada pembedahan
untuk mencegah adanya aspirasi dari asam lambung. Asam traknesamat untuk
mengurangi perdarahan yang akan terjadi selama tindakan pembedahan.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL dan dikombinasikan dengan
klonidin.Bupivacain merupakan anestesi lokal golongan amida.Obat anestesi regional
bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat
reversibel. MulaI kerja lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam.5-6
Klonidin merupakan suatu agonis adrenoseptor α2 diketahui dapat
menstimulasi reseptor adrenergik α2 presinaps dan menghambat pengeluaran
norepinefrin di sentral maupun perifer.Stimulasi reseptor α2 di pusat vasomotor
medulla oblongata mengakibatkan klonidin memiliki efek antihipertensi.
Penambahan klonidin dapat pula menambah durasi anestesi epidural atau intratekal
yang menggunakan obat anestesi lokal.4
Monitor tekanan darah setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah
sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg.Hipotensi merupakan salah satu
efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis.Bila
keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg secara
intravena, dan pemberian oksigen.Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi, sehingga
pemberian cairan dinormalkan, dan oksigen tetap diberikan 2 liter/menit untuk
menjaga oksigenasi pasien.
20
Pada pasien ini diberikan midazolam 1 mg supaya pasien tertidur jadi efek mual
muntah pada saat operasi terhindari dan terhindari aspirasi yang akan membahayakan
pasien. Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak
menimbulkan ketagihan.Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi
non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis
prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral.Juga memiliki
efek anti inflamasi dan antipiretik.Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan sampai
berat pada kasus seperti pada pasien ini.Mula kerja efek analgesia ketorolac mungkin
sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding opioid. Efek
analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek analgesic adalah
4-6 jam.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL (ringer laktat) sebagai cairan fisiologis
untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan
minum ± 6 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien ini :
BB = 58 kg
Maintenance (M)
2 cc/ kgBB/jam= 2 cc x 58 = 116 cc/jam
Pengganti Puasa (Pp)
Pp = 6 x M
= 6cc x 116
= 696 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 58 x 6 cc
= 343 cc
21
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (Pp) + M + O
= ½ (696) + 116 + 343
= 807 cc
Jam II = ¼ (Pp) + M + O
= ¼ (696) + 116 + 343
= 633 cc
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR).Diruang inilah
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan.Pada saat di RR
dilakukan monitoring terhadap kesadaran, dan tanda-tanda vital pasien.pasien dapat
keluar dari RR apabila sudah mencapai skor aldrete labih dari 8. Pada pasien ini
didapatkan skor aldrete 9, sehingga pasien dapat keluar dari RR ke ruang kelas III.
22
BAB VI
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya. Untuk mencapai hasil yang maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Manjemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan
dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi
keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan terjadinya
komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca
pembedahan. Goncang hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun
berupa hipotensi, yang bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi.
23