Selain kondisi di atas, ada beberapa tindakan yang sering dilakukan namun sebenarnya
tidak banyak membawa manfaat bahkan justru merugikan, sehingga tidak dianjurkan
melakukan hal-hal berikut:
• Kateterisasi kandung kemih rutin: dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
Lakukan hanya jika ada indikasi.
• Posisi terlentang: dapat mengurangi detak jantung dan penurunan aliran darah
uterus sehingga kontraksi melemah
• Mendorong abdomen: menyakitkan bagi ibu, meningkatkan risiko ruptura uteri
• Mengedan sebelum pembukaan serviks lengkap: dapat menyebabkan edema
dan/atau laserasi serviks
• Enema
• Pencukuran rambut pubis
• Membersihkan vagina dengan antiseptik selama persalinan
Penyulit Kala 1
Tanda – tanda dari partus lama antara lain :
1. Fase Laten Memanjang
Fase laten yang memanjang ditandai dari pembukaan serviks kurang dari 4 cm setelah
8 jam dengan kontraksi teratur (lebih dari 2 kali dalam 10 menit)
2. Fase Aktif Memanjang
a. Istilah fase aktif memanjang mengacu pada kemajuan pembukaan yang tidak adekuat
setelah didirikan diagnosa kala I fase aktif, dengan didasari atas :
Pembukaan kurang dari 1 cm per jam selama sekurang-kurangnya 2 jam setelah
kemajuan persalinan
Kurang dari 1,2 cm per jam pada primigravida dan kurang dari 1,5 cm pada
multipara
Lebih dari 12 jam sejak pembukaan 4 cm sampai pembukaan lengkap (rata-rata
0,5 cm perjam)
b. Karakteristik Fase Aktif Memanjang :
Kontraksi melemah sehingga menjadi kurang kuat, lebih singkat dan atau lebih
jarang
Kualitas kontraksi sama seperti semula tidak mengalami kemajuan
Pada pemeriksaan vaginal, serviks tidak mengalami perubahan
c. Penyebab Fase Aktif Memanjang :
Malposisi (presentasi selain belakang kepala)
Makrosomia (bayi besar) atau disproporsi kepala-panggul (CPD)
Intensitas kontraksi yang tidak adekuat
Serviks yang menetap
Kelainan fisik ibu (mis:pinggang pendek)
Kombinasi penyebab atau penyebab yang tidak diketahui
d. Akibat Dari Persalinan Yang Lama :
1. Terhadap Janin
Akibat untuk janin meliputi :
Trauma
Asidosis
Kerusakan Hipoksik
Infeksi
Peningkatan Mortalitas serta Morbiditas Perinatal.
2. Terhadap Ibu
Akibat untuk ibu adalah :
Penurunan semangat
Kelelahan
Dehidrasi
Asidosis
Infeksi
Resiko Ruptur Uterus
Perlunya intervensi bedah meningkatkan Mortalitas Dan Morbiditas.
e. Penanganan umum
Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk tanda vital dan
tingkat hidrasi)
Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada dalam persalinan.
Nilai frekuensi dan lamanya his.
Perbaiki keadaan umum dengan :
Dukungan emosional, perubahan posisi (sesuai dengan penanganan persalinan
normal).
Periksa keton dalam urine dan berikan cairan, baik oral maupun parenteral,dan
upayakan buang air kecil (kateterisasi bila perlu).
Berikan analgesik : tramadol atau penitidin 25 mg I.M (maksimum 1 mg/kgBB)
atau morfin 10 mg I.M, jika pasien merasakan nyeri yang sangat.
g. Penanganan Khusus
Jika tidak ada tanda-tanda disproporsi sefalopelvik atau obstruksi dan ketuban
masih utuh, pecahkan ketuban.
Nilai his :
- Jika his adekuat (kurang dari 3 his dalam 10 menit dan lamanya kurang dari 40
detik) pertimbangkan adanya inersia uteri.
- Jika his adekuat (3 kali dalam 10 mmenit dan lamanya lebih dari 40 detik),
pertimbangkan adanya disproporsi, obstruksi, malposisi, dan mal presentasi.
Lakukan penanganan umum yang akan memperbaiki his dan mempercepat
kemajuan persalinan.
Referensi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2013.Buku saku pelayanan kesehatan ibu di
fasilitas kesehatan dasar dan rujukan (edisi pertama).Jakarta.
EPISIOTOMI
1. Definisi Episiotomi
perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara,
jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan
2. Tujuan Episiotomi
Tujuan episiotomi yaitu membentuk insisi bedah yang lurus, sebagai pengganti
robekan tak teratur yang mungkin terjadi. Episiotomi dapat mencegah vagina robek secara
spontan, karena jika robeknya tidak teratur maka menjahitnya akan sulit dan hasil
jahitannya pun tidak rapi, tujuan lain episiotomi yaitu mempersingkat waktu ibu dalam
Menurut Benson dan Pernoll (2009), episiotomi sebaiknya dilakukan ketika kepala
bayi meregang perineum pada janin matur, sebelum kepala sampai pada otot-otot perineum
Bila episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan yang timbul dari luka
episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila episiotomi dilakukan terlalu lambat maka
laserasi tidak dapat dicegah. sehingga salah satu tujuan episiotomi itu sendiri tidak akan
tercapai. Episiotomi biasanya dilakukan pada saat kepala janin sudah terlihat dengan
diameter 3 - 4 cm pada waktu his. Jika dilakukan bersama dengan penggunaan ekstraksi
forsep, sebagian besar dokter melakukan episiotomi setelah pemasangan sendok atau bilah
4. Tindakan Episiotomi
Pertama pegang gunting epis yang tajam dengan satu tangan, kemudian letakkan jari
telunjuk dan jari tengah di antaraa kepala bayi dan perineum searah dengan rencana
sayatan. Setelah itu, tunggu fase acme (puncak his). Kemudian selipkan gunting dalam
keadaan terbuka di antara jari telunjuk dan tengah. Gunting perineum, dimulai dari fourchet
(komissura posterior) 45derajat ke lateral kiri atau kanan. (Sarwono, 2006, hal. 457).
5. Indikasi Episiotomi
Untuk persalinan dengan tindakan atau instrument (persalinan dengan cunam, ekstraksi
dan vakum); untuk mencegah robekan perineum yang kaku atau diperkirakan tidak mampu
beradaptasi terhadap regangan yang berlebihan, dan untuk mencegah kerusakan jaringan
pada ibu dan bayi pada kasus letak / presentasi abnormal (bokong, muka, ubun-ubun kecil
di belakang) dengan menyediakan tempat yang luas untuk persalinan yang aman (Sarwono,
mediolateralis, Episiotomi lateralis, dan Insisi Schuchardt. Namun menurut Benson dan
Pernoll (2009), sekarang ini hanya ada dua jenis episiotomi yang di gunakan yaitu:
a. Episiotomi median, merupakan episiotomi yang paling mudah dilakukan dan diperbaiki.
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai
mengenai serabut sfingter ani. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah: perdarahan
yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena daerah yang relatif sedikit
mengandung pembuluh darah. Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan
kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Sedangkan kerugiannya adalah:
dapat terjadi ruptur perinei tingkat III inkomplet (laserasi median sfingter ani) atau komplit
b. Episiotomi mediolateral, digunakan secara luas pada obstetri operatif karena aman.
Sayatan di sini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan
samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada
kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan di sini
sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perinea tingkat III.
Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh
darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan
dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris
Alat menjahit yang digunakan dalam perbaikan episitomi atau laserasi dapat
menahan tepi – tepi luka sementara sehingga terjadi pembentukan kolagen yang baik.
Benang yang dapat diabsorbsi secara alamiah diserap melalui absorbsi air yang
melemahkan rantai polimer jahitan. Benang sintetik yang dapat diabsorbsi yang paling
banyak digunakan adalah polygarin 910 (Vicryl) yang dapat menahan luka kira-kira 65%
dari kekuatan pertamanya setelah 14 hari penjahitan dan biasanya diabsorbsi lengkap
Ukuran yang paling umum digunakan dalam memperbaiki jaringan trauma adalah
2-0, 3-0, dan 4-0, 4-0 yang paling tipis. Benang jahit yang biasa digunakan dalam
kebidanan dimasukkan ke dalam jarum, dan hampir semua jahitan menggunakan jarum
½lingkaran yang runcing pada bagian ujungnya. Ujung runcing dapat masuk dalam
7. Teknik Episiotomi
Menurut Walsh (2008) proses penyembuhan terjadi dalam tiga fase, yaitu:
c. Fase 3: Pada akhirnya jumlah kolagen yang cukup akan melapisi jaringan yang
rusak kemudian menutup luka. Proses penyembuhan sangat dihubungani oleh usia,
berat badan, status nutrisi, dehidrasi, aliran darah yang adekuat ke area luka, dan
tergantung kepada beberapa hal. Tidak adanya infeksi pada vagina sangat
otot-otot yang tersayat diatur kembali sesuai dengan fungsinya atau jalurnya dan
juga dihindari sedikit mungkin pembuluh darah agar tidak tersayat. Jika sel saraf
terpotong, pembuluh darah tidak akan terbentuk lagi (Walsh, 2008, hal. 559).
DAFTAR PUSTAKA
Benson, P & Pernoll. (2009). Buku saku Obsetry Gynecology William. Jakarta EGC
Walsh, L. V. (2008). Buku ajar kebidanan komunitas alih bahasa,Handayani Wilda Ika
(2thed).Jakarta : EGC
.
Keamanan Obat Untuk Ibu Hamil Berdasarkan Evidence Based Management
Pola penggunaan obat yang aman bagi ibu hamil dan menyusui di Indonesia
belumlah menjadi sebuah pemahaman yang dimengerti dengan baik bukan hanya bagi
masyarakat, melainkan di kalangan tenaga kesehatan itu sendiri. Hal ini tidaklah
mengherankan, pemerintah sendiri, dalam hal ini Kemenkes dan BPOM sejauh ini memang
belum mengeluarkan regulasi atau rilis ilmiah mengenai hal ini.
Secara ilmiah, kita masih berpatokan pada penggolongan keamanan obat pada
kehamilan yang dikeluarkan oleh FDA. FDA (Food and Drug Administration) adalah
Badan POM-nya Amerika Serikat. FDA bertugas mengatur makanan, suplemen makanan,
obat-obatan, produk biofarmasi, transfusi darah, piranti medis, piranti untuk terapi dengan
radiasi, produk kedokteran hewan, dan kosmetik yang beredar di Amerika Serikat.
A = Tidak berisiko
B = Tidak berisiko pada beberapa penelitian
C = Mungkin berisiko
D = Ada bukti positif dari risiko
X = Kontraindikasi
Penicillins :
Category B in pregnancy
–Cross the placenta easily and rapidly
–Concentrations equal maternal levels
–Lactation
–Crosses in low concentrations
–Compatible with breastfeeding
Cephalosporins :
Category B in pregnancy
–Cross the placenta during pregnancy
–Some reports of increased anomalies with specific cephalosporins (cefaclor, cephalexin,
cephradrine)
–Primarily cardiac and oral cleft defects
–Lactation
–Excreted into breastmilk in low concentrations
–Considered compatible with breastfeeding
Carbapenems :
Category B/C/B in pregnancy
–Likely cross the placenta
–Very little human dataLactation
–Excreted into breastmilk in low amounts
–Unknown effects but likely low clinical significance
Floroquinolones :
-Pregnancy Category C
–Not recommended in pregnancy
–Cartilage damage in animals
–Safer alternatives usually exist
-Lactation
–Excreted into breastmilk
–Limited human data
–AAP says compatible with breastfeeding
Macrolides :
-Pregnancy Categories B/C/B
–Cross the placenta in low amounts
–Limited data with azithromycin and clarithromycin
-Lactation
–Erythromycin compatible
–Others probably compatible
Aminoglycosides (amikacin , gentamicin, topramycin)
-Pregnancy Categories B/C/B
–Cross the placenta in low amounts
–Limited data with azithromycin and clarithromycin
-Lactation
–Erythromycin compatible
–Others probably compatible
CTG : MELAKUKAN DAN MENGINTERPRESTASIKAN
A. INDIKASI
B. PERSIAPAN
Persiapan Pasien
Persiapan pasien mencakup identitas, nomor rekam medis, indikasi
pemeriksaan, diagnosis ibu dan janin, penjelasan prosedur dan hasil pemeriksaan
KTG. Selain itu, pasien juga harus mengosongkan vesika urinaria dan tidak dalam
keadaan lapar atau haus.
Persiapan Peralatan
Peralatan KTG terdiri dari mesin KTG, peralatan tokometer, peralatan
kardiometer, kertas KTG, jeli, kertas tissue, formulir laporan, dan troley tempat
peralatan KTG. Peralatan KTG perlu dikalibrasi, minimal setahun sekali karena
akurasi interpretasi hasil KTG sangat dipengaruhi oleh kualitas tampilan rekaman
KTG tersebut. Koneksitas data antara pasien, alat KTG dan kertas KTG harus
terjaga dengan baik. Kerusakan pada salah satu komponen akan membuat sebagian
atau bahkan seluruh data KTG hilang. Uji ulang apakah bel yang ada berfungsi
dengan baik. Bel tersebut dipergunakan oleh pasien untuk menghitung berapa
gerakan yang dirasakan selama proses pemeriksaan KTG tersebut. Bila
memungkinkan, institusi pelayanan kesehatan menyediakan bel vibroakustik untuk
merangsang aktivitas janin.
Persiapan Pemeriksa
Pemeriksa perlu melakukan pemeriksaan ulang identitas pasien, indikasi
pemeriksaan, kesiapan peralatan, dan formulir laporan KTG. Pemeriksa
menjelaskan prosedur pemeriksaan, mengukur tekanan darah pasien sebelum
pemeriksaan dan 15 menit kemudian, menilai kontraksi atau his secara berkala,
menanyakan kepada pasien apakah ada hal yang membuatnya tidak nyaman,
menanyakan gerak janin kepada pasien serta mencocokannya dengan gerakan yang
dicatat oleh peralatan KTG. Pasien menghitung gerakan janin demngan memakai
bel yang disediakan (setiap janin bergerak, maka bel harus ditekan).
C. DETAIL PEMERIKSAAB KTG
Kontraksi Uterus
Kontraksi uterus adalah jumlah kontraksi dalam 10 menit, rata-rata dipantau dalam 30
menit. Pada saat yang sama juga dilakukan penilaian terhadap lama kontraksi, intensitas
(amplitudo), bentuk, dan relaksasi diantara dua kontraksi. Beberapa batasan berikut ini
berkaitan dengan kontraksi uterus (Freeman dkk, 2012), yaitu :
1. Kontraksi Uterus Normal : terdapat lima kontraksi atau kurang dalam 10 menit,
rata-rata dipantau selama 30 menit pemeriksaan.
2. Takhisistol : terdapat lebih dari 5 kontraksi dalam 10 menit, rata-rata dipantau
selama 30 menit pemeriksaan.
3. Catatan : istilah hiperstimulasi dan hiperkontraktilitas sudah tidak dipergunakan
lagi. Takhisistol harus selalu dikualifikasikan terhadap adanya atau tidak adanya
hubungan dengan deselerasi DJJ. Istilah takhisitol dipergunakan pada persalinan
spontan atau dengan induksi.
Respons klinis terhadap takhisistol dapat berbeda tergantung apakah kontraksi
tersebut timbul spontan atau akibat induksi persalinan.
Frekuensi dasar
Freeman dkk (2012) memberi batasan frekuensi dasar normal DJJ adalah 110 –
160 dpm teratur. Definisi frekuensi dasar DJJ menurut NICHD adalah nilai rata-rata DJJ
yang dipantau selama 10 menit, dengan peningkatan 5 dpm. Bila perubahan tersebut < 5
menit, keadaan ini disebut perubahan periodik atau berkala (periodic changes).
Bradikardia
Freeman dkk (2012) memberi batasan bradikardia adalah frekuensi dasar DJJ < 110 dpm.
Secara umum, bradikardia dengan frekuensi antara 80 – 110 dpm yang disertai variabilitas
moderat (5 – 25 dpm) menunjukkan oksigenasi yang baik tanpa asidemia. Penurunan DJJ
tersering sebagai respons akibat peningkatan tonus vagal.
Takhikardia
Freeman dkk (2012) memberi batasan takhikardia adalah frekuensi dasar DJJ > 160 dpm.
Takhikardi menggambarkan peningkatan rangsang simpatis dan atau penurunan rangsang
parasimpatis, dan secara umum berkaitan dengan hilangnya variabilitas. Kebanyakan
takhikardia janin tidak berhubungan dengan adanya hipoksia janin, Terutama pada
kehamilan aterm. Lakukan pengamatan dengan ketat bila takhikardi terjadi pada janin
preterm atau pada janin aterm tanpa diketahu apa faktor penyebabnya. Faktor-faktor yang
berkaitan atau menjadi etiologi takhikardia adalah (Freeman dkk, 2012):
1. Hipoksia janin
3. Obat-obatan parasimpatolitik
4. Atropin
6. Phenothiazines
7. Hiperthiroid pada ibu
8. Anemia janin
9. Sepsis Janin
11. Khorioamnionitis
Interval DJJ pada janin yang sehat menunjukkan gambaran yang tidak uniform
(nonuniformity), dikenal sebagai variabilitas beat to beat. Variabilitas tersebut
menggambarkan fungsi simpatis dan parasimpatis dan disebut sebagai variabilitas jangka
pendek (short term variability atau STV). STV tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi dinilai
oleh sistem komputer dalam peralatan KTG tersebut. Komputer menilai dalam interval
rata-rata setiap 20 – 30 milidetik atau 2 – 3 dpm bila dikonversi ke dalam frekuensi DJJ.
Bila variabilitas berkurang, maka nilai rata-rata interval beat to beat menjadi ≤ 1 dpm.
Variabilitas yang kita lihat pada kertas KTG adalah variabilitas jangka panjang (long
term variability atau LTV). Fluktuasi LTV DJJ memiliki siklus 3 – 5 per menit dengan
amplitudo 5 – 20 dpm. LTV berkurang bila variabilitasnya < 5 dpm. Druzen dkk (1979)
menyatakan bahwa sistem parasimpatis lebih berperan dalam pengaturan STV sedangkan
sistem parasimpatis lebih berperan pada pengaturan LTV.
Akselerasi adalah peningkatan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ. Adanya akselerasi
DJJ dapat dipakai sebagai petanda bahwa janin tidak sedang dalam kondisi depresi atau
asidosis (Freeman dkk, 2012).
Perubahan Periodik
Perubahan periodik adalah akselerasi atau deselrasi DJJ yang bersifat transien yang
kembali ke frekuensi dasar semula atau frekuensi dasarnya menjadi berubah. Pada
umumnya, perubahan periodik ini terjadi sebagai respon terhadap kontraksi uterus atau
gerakan janin. Takhikardia, bradikardia, dan variabilitas memengaruhi perubahan
frekuensi dasar DJJ (Freeman dkk, 2012).
Deselerasi
Deselerasi adalah penurunan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ. Deselerasi dapat
disebabkan oleh kompresi kepala, kompresi umbilikus, atau insufisiensi uteroplasenta.
Dikena lada empat jenis deselerasi yaitu deselerasi dini, lambat, variabel dan lama
(prolonged decelerations).
Deselerasi dini
Penekanan pada kepala janin dapat menyebabkan penurunan frekuensi DJJ, hal ini
disebabkan oleh perubahan lokal aliran darah serebral akibat stimulasi pusat vagal.
Deselerasi dini tidak berkaitan dengan hipoksia atau asidosis (Freeman dkk, 2012). Secara
singkat, mekanisme terjadinya deselerasi dini dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar. Mekanisme deselerasi dini (kompresi kepala)
Deselerasi Variabel
Deselerasi variabel seringkali menunjukkan adanya obstrusi sirkulasi umbilikus. Pada kala
dua dapat terlihat gambaran deselerasi variabel sebagai akibat kompresi kepala. Deselerasi
variabel juga dapat disebabkan oleh regangan umbilikus, suhu dingin, dan peningkatan
tekanan pO2 pada saat bayi mulai bernafas (Freeman dkk, 2012). Secara ringkas
mekanisme terjadinya deselerasi variabel dapat dilihat pada gambar 13,
Gambar . Mekanisme deselarsi variabel
(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html)
Deselerasi Lambat
Deselerasi lambat adalah penurunan frekuensi DJJ ≥ 15 dpm, deselarasi terjadi setelah
tercapainya puncak kontraksi uterus. Deselerasi lambat terjadi akibat terganggunya
sirkulasi uteroplasenta di daerah rongga intervilus. Secara ringkas mekanisme terjadinya
deselarsi lambat dapat dilihat pada Gambar.
Disfungsi SSP :
Martin dkk (1979) menyatakan bila terjadi progresifitas hipoksia janin maka akan timbul
deselarsi lama sebagai tanda awal, tetapi bila keadaan tersebut tidak diperbaiki, maka akan
terjadi disfungsi SSP yang ditandai dengan hilangnya variabilitas DJJ. Hilangnya
variabilitas DJJ menunjukkan janin telah mengalami asidemia yang parah (berat).
Gambaran disfungsi SSP dapat dilihat dalam pola DJJ sebagai berikut :
1. Datar (flat)
2. Tumpul (blunted)
4. Overshoot
Gambar . Pola DJJ datar (flat) tanpa perubahan periodik. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh adanya abnormalitas SSP, obat-obatan, atau janin yang mengalami disfungsi SSP
dan hipoksia.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
Gambar . Pola DJJ tumpul, janin meninggal saat dalam pemantauan. Plasenta
menunjukkan gambaran khorioamnionitis akut dan funisitis yang menunjukkan kausa
kematian adalah reaksi inflamasi.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
Banyak cara yang dapat dipakai untuk melakukan pemantauan kesejahteraan janin, dari
cara sederhana hingga yang canggih. Pembahasan pada makalah ini memang dibuat
sederhana agar mudah dipahami oleh paramedis, dokter umum atau pembaca lainnya.
Adanya keluhan dari klien (pasien) harus dicermati dan dianalisa dengan baik karena
keluhan tersebut mengungkapkan adanya sesuatu yang mungkin tidak baik bagi kesehatan
ibu dan atau janin yang dikandungnya. Sambil melakukan anamnesis yang teliti, perhatikan
juga keadaan fisik dan psikologis dari ibu tersebut. Anamnesis yang baik, dapat
menegakkan diagnosis dengan baik pula. Misalnya gerak janin yang berkurang atau
keluarnya darah per vaginam merupakan tanda adanya abnormalitas yang harus dicari
penyebabnya.
Cara canggih. Pemantauan kesejahteraan janin memakai alat canggih terdiri dari
ultrasonografi (USG), kardiotokografi (KTG), profil biofisik (Manning) atau fungsi
dinamik janin plasenta (FDJP) Gulardi, analisa gas darah dan pemeriksaan penunjang
canggih lainnya. Pembahasan berikut dibatasi pada
KTG.
(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html )
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) dan tinggi fundus uteri diketahui.
5. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG
terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.
Sebelum melakukan interpretasi KTG harus mengetahui bagaimana kondisi ibu dan janin,
peralatan yang dipakai, dan sarana pendukung lainnya yang berkaitan dengan PKJ. Hal
terpenting adalah identifikasi semua faktor yang berkaitan dengan risiko hipoksia pada
janin. NICHD (2008) dan Freeman dkk (2012) merekomendasikan penerapan Tiga
Katagori dalam interpretasi DJJ sebagai berikut :
Katagori I
Katagori satu adalah kondisi normal dari pemantauan DJJ dan menggambarkan status asam
basa janin saat pemantauan dalam keadaan normal. Katagori I dapat dipantau pada
pemeriksaan rutin asuhan antenatal dan tidak memerlukan tatalaksana khusus.
Katagori II
Katagori II tidak memprediksi adanya abnormalitas status asam basa janin, saat ini belum
ditemukan bukti yang adekuat untuk mengkasifikasikan katagori ini menjadi Katagori I
atau Katagori III. Katagori II memerlukan evaluasi dan pemantauan lanjut serta reevaluasi
dan mencari factor-faktor yang berkaitan dengan keadaan klinis. Pada beberapa keadaan
diperlukan uji diagnostic untuk memastikan status kesejahteraan janin atau melakukan
resusitasi intrauterine pada hasil Katagori II ini.
Katagori III
Katagori III berkaitan dengan abnormalitas status asam basa pada saat pemantauan janin
tersebut dilakukan. Katagori III memerlukan evaluasi yang baik (akurat). Pada kondisi ini,
tindakan yang dilakukan tidak terbatas hanya untuk memberikan oksigenasi bagi ibu,
merubah posisi ibu, menghentikan stimulasi persalinan, atasi hipotensi maternal, dan
penatalaksanaan takhisistol, tetapi juga dilihat situasi klinis yang terjadi pada waktu itu.
Bila Katagori III tidakdapat diatasi, pertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan
(persalinan).
KATAGORI I : Pola DJJ Normal
1. Frekuensi dasar DJJ : Bradikardia (<110 dpm) yang tidak disertai hilangnya
variabilitas (absent variability)
2. Takhikardia ( DJJ >160 dpm)
3. Variabilitas minimal (1 – 5 dpm)
4. Tidak ada variabilitas, tanpa disertai deselerasi berulang
5. Variabilitas > 25 dpm (marked variability)
Perubahan Periodik
1. Tidak ada akselerasi DJJ setelah janin distimulasi
2. Deselerasi variabel berulang yang disertai variabilitas DJJ minimal atau moderat
3. Deselerasi lama (prolonged deceleration) > 2 menit tetapi < 10 menit
4. Deselerasi lambat berulang disertai variabilitas DJJ moderat (moderate baseline
variability)
5. Deselerasi variabel disertai gambaran lainnya, misal kembalinya DJJ ke frekuensi
dasar lambat atau ada gambaran overshoot
KATAGORI III : Pola DJJ abnormal
Pada halaman berikut disampaikan contoh formulir Laporan Kardiotokografi (KTG) yang
dipergunakan di Departemen Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Pendidikan Kelas A,
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. Telah dilakukan uji coba selama dua bulan di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad dan di sebuah RSIA Hermina Jatinegara di Jakarta (pada Bulan
November dan Desember 2012) dan diperoleh hasil yang baik dalam penerimaan oleh
petugas kesehatan serta akurasi yang sama dibandingkan metoda yang lama (interpretasi
Reassuring,
Nonreassuring, atau Meragukan pada evaluasi antenatal atau interpretasi Positif, Negatif,
dan ekuivokal pada evaluasi saat persalinan). Metoda baru ini lebih mampu laksana karena
lebih mudah dalam melakukan interpretasi hasil dan memiliki panduan interpretasi yang
jelas. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut, misalnya berapa frekuensi normal DJJ
Indonesia, agar kesalahan interpretasi dapat diminimalis.
Obat-obatan : ………………………………………………………………………
(prolonged), beratnya : ringan / sedang / berat. Pola disfungsi SSP : tidak ada / ada,
yaitu : datar (flat) / tumpul (blunted) / frekuensi dasar tidak stabil (unstable baseline) /
pola overshoot / pola sinusoidal / pola checkmark.
CATATAN : Laporan ini harus segera dibuat setelah pemeriksaan selesai dan disimpan dalam
status pasien. PPDS dan Bidan jaga harus MENANDATANGANI dan mendiskusikan hasil
pemeriksaan KTG tersebut dengan Dokter Penanggungh Jawab Pasien (DPJP).
Referensi
Endjun, Judi Januadi, Biran Affandi. 2013. Kardiotokografi. Departemen Obstetri dan
Ginekologi, RS Pendidikan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad/FKUI.
PERMINTAAN PEMERIKSAAN USG OBSGYN
National Institute of Health (NIH), USA (1983 – 1984) menentukan indikasi untuk
dilakukannya pemeriksaan USG sebagai berikut :
1. Menentukan usia gestasi secara lebih tepat pada kasus yang akan menjalani seksio
sesarea berencana, induksi persalinan atau pengakhiran kehamilan secara elektif.
2. Evaluasi pertumbuhan janin, pada pasien yang telah diketahui menderita
insufisiensi uteroplasenter, misalnya preeklampsia berat, hipertensi kronik,
penyakit ginjal kronik, atau diabetes mellitus berat; atau menderita gangguan
nutrisi sehingga dicurigai terjadi pertumbuhan janin terhambat, atau makrosomia.
3. Perdarahan per vaginam pada kehamilan yang penyebabnya belum diketahui.
4. Menentukan bagian terendah janin bila pada saat persalinan bagian terendahnya
sulit ditentukan atau letak janin masih berubah-ubah pada trimester ketiga akhir.
5. Kecurigaan adanya kehamilan ganda berdasarkan ditemukannya dua DJJ yang
berbeda frekuensinya atau tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia gestasi, dan
atau ada riwayat pemakaian obat-obat pemicu ovulasi.
6. Membantu tindakan amniosentesis atau biopsi villi koriales.
7. Perbedaan bermakna antara besar uterus dengan usia gestasi berdasarkan tanggal
hari pertama haid terakhir.
8. Teraba masa pada daerah pelvik.
9. Kecurigaan adanya mola hidatidosa.
10. Evaluasi tindakan pengikatan serviks uteri (cervical cerclage).
11. Suspek kehamilan ektopik.
12. Pengamatan lanjut letak plasenta pada kasus plasenta praevia.
13. Alat bantu dalam tindakan khusus, misalnya fetoskopi, transfusi intra uterin,
tindakan “shunting”, fertilisasi in vivo, transfer embrio, dan “chorionic villi
sampling” (CVS).
14. Kecurigaan adanya kematian mudigah / janin.
15. Kecurigaan adanya abnormalitas uterus.
16. Lokalisasi alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
17. Pemantauan perkembangan folikel.
18. Penilaian profil biofisik janin pada kehamilan diatas 28 minggu.
19. Observasi pada tindakan intra partum, misalnya versi atau ekstraksi pada janin
kedua gemelli, plasenta manual, dll.
20. Kecurigaan adanya hidramnion atau oligohidramnion.
21. Kecurigaan terjadinya solusio plasentae.
22. Alat bantu dalam tindakan versi luar pada presentasi bokong.
23. Menentukan taksiran berat janin dan atau presentasi janin pada kasus ketuban pecah
preterm dan atau persalinan preterm.
24. Kadar serum alfa feto protein abnormal.
25. Pengamatan lanjut pada kasus yang dicurigai menderita cacat bawaan.
26. Riwayat cacat bawaan pada kehamilan sebelumnya.
27. Pengamatan serial pertumbuhan janin pada kehamilan ganda.
28. Pemeriksaan janin pada wanita usia lanjut (di atas 35 tahun) yang hamil.
Gambar. Surat Permintaan USG Obstetri dam Gynecology
Referensi :
1. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
Persiapan dan Teknik Pemeriksaan USG Obstetri dan Ginekologi
Dasar
Tujuan Pembelajaran
Umum
Setelah mempelajari tulisan ini, pembaca diharapkan mampu mengetahui persiapan yang
harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan USG serta teknik pemeriksaan USG
Dasar obstetri dan ginekologi.
Khusus
Pendahuluan
Pada setiap pemeriksaan USG, diperlukan persiapan yang baik dari pasien, pemeriksa,
maupun peralatan yang akan dipergunakan. Bila salah satu tidak siap, kemungkinan adanya
gangguan dalam proses pemeriksaan USG tersebut dapat saja terjadi. Misalnya, bila
pemeriksa sedang dalam kondisi kelelahan atau sakit, maka pemeriksaan USG harus
dihentikan. Bila klien belum memberikan persetujuan untuk pemeriksaan USG, maka
pemeriksaan USG tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Sebelum memulai pemeriksaan, perhatikan setting mesin USG. Jangan memakai
setting obstetri untuk pemeriksaan ginekologi, atau setting jantung untuk pemeriksaan
obstetri. Setting yang salah akan menyebabkan kesalahan dalam diagnosis semakin besar.
Selain itu, buku manual harus diletakkan didekat mesin USG agar bila terjadi masalah
dapat dicari penyelesaiannya pada buku manual tersebut.
Kesamaan teknik dasar pemeriksaan USG obstetri dan ginekologi diperlukan agar
dapat dicapai suatu standarisasi dalam pemeriksaan USG tersebut. Standarisasi ini penting
didalam mencapai dan melakukan evaluasi tingkat kompetensi seorang sonografer atau
sonologist.
Indikasi Pemeriksaan
Indikasi pemeriksaan USG merupakan salah satu prasyarat penting yang harus dipenuhi
sebelum pemeriksaan USG dilakukan. Pemeriksaan USG janganlah dilakukan secara rutin
atau setiap melakukan pemeriksaan pasien, terutama bila pasien hamil. Banyak panduan
yang telah diterbitkan, misalnya dari ISUOG (International Society of Ultrasound in
Medicine), AIUM (American Institute of Ultrasound in Medicine), RCOG (Royal College
of Obstetrics and Gynecology), atau ASUM (Australian Society of Ultrasound in
Medicine).
1. indikasi obstetri,
2. indikasi ginekologi onkologi,
3. indikasi endokrinologi reproduksi,
4. indikasi uroginekologi, dan
5. indikasi non obstetri ginekologi.
Dalam bidang USG obstetri, indikasi yang dianut di RSPAD Gatot Soebroto adalah :
1. melakukan pemeriksaan USG begitu diketahui hamil atau belum pernah di USG
di Departemen OBGIN RSPAD Gatot Soebroto,
2. penapisan USG pada trimester pertama (kehamilan 10 – 14 minggu),
3. penapisan USG pada kehamilan trimester kedua (18 – 22 minggu), dan
4. pemeriksaan tambahan yang diperlukan, misalnya untuk memantau tumbuh
kembang janin pada kasus pertumbuhan janin terhambat atau pemeriksaan ulang
plasenta praevia pada kehamilan 36 minggu.
Dalam bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila ditemukan
massa tumor didaerah pelvik dan untuk pemantauan hasil pengobatan. Dalam bidang
endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk mencari kausa gangguan
hormon, pemantauan folikel, evaluasi terapi infertilitas, dan pemeriksaan pada pasien
dengan gangguan haid. Dalam bidang uroginekologi, pemeriksaan USG dilakukan pada
kasus kelainan kongenital genitalia, gangguan berkemih, atau gangguan akibat kelemahan
otot-otot dasar panggul. Bidang kajian ini masih baru sehingga masih terbuka luas untuk
penelitian dasar maupun lanjut. Sedangkan indikasi non obstetrik bila kelainan yang
dicurigai berasal dari disiplin ilmu lain, misalnya dari bagian pediatri, penyaki dalam, atau
rujukan pasien dengan kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll.
Berikut ini diberikan contoh indikasi yang dikeluarkan oleh NIH (National Institute of
Health, USA)
National Institute of Health (NIH), USA (1983 – 1984) menentukan indikasi untuk
dilakukannya pemeriksaan USG obstetri ginekologi sebagai berikut :
1. Menentukan usia gestasi secara lebih tepat pada kasus yang akan menjalani seksio
sesarea berencana, induksi persalinan atau pengakhiran kehamilan secara elektif.
2. Evaluasi pertumbuhan janin, pada pasien yang telah diketahui menderita
insufisiensi uteroplasenta, misalnya pre-eklampsia berat, hipertensi kronik, penyakit
ginjal kronik, diabetes mellitus berat; atau menderita gangguan nutrisi sehingga
dicurigai terjadi pertumbuhan janin terhambat, atau makrosomia.
3. Perdarahan per vaginam pada kehamilan yang penyebabnya belum diketahui.
4. Menentukan bagian terendah janin bila pada saat persalinan bagian terendahnya
sulit ditentukan atau letak janin masih berubah-ubah pada trimester ketiga akhir.
5. Kecurigaan adanya kehamilan ganda berdasarkan ditemukannya dua DJJ yang
berbeda frekuensinya atau tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia gestasi, dan atau
ada riwayat pemakaian obat-obat pemicu ovulasi.
6. Membantu tindakan amniosentesis atau biopsi villi koriales.
7. Perbedaan bermakna antara besar uterus dengan usia gestasi berdasarkan tanggal
hari pertama haid terakhir.
8. Teraba masa pada daerah pelvik.
9. Kecurigaan adanya mola hidatidosa.
10. Evaluasi tindakan pengikatan serviks uteri (cervical cerclage).
11. Suspek kehamilan ektopik.
12. Pengamatan lanjut letak plasenta pada kasus plasenta praevia.
13. Alat bantu dalam tindakan khusus, misalnya fetoskopi, transfusi intra uterin,
tindakan “shunting”, fertilisasi in vivo, transfer embrio, dan “chorionic villi sampling”
(CVS).
14. Kecurigaan adanya kematian mudigah / janin.
15. Kecurigaan adanya abnormalitas uterus.
16. Lokalisasi alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
17. Pemantauan perkembangan folikel.
18. Penilaian profil biofisik janin pada kehamilan diatas 28 minggu.
19. Observasi pada tindakan intra partum, misalnya versi atau ekstraksi pada janin
kedua gemelli, plasenta manual, dll.
20. Kecurigaan adanya hidramnion atau oligohidramnion.
21. Kecurigaan terjadinya solusio plasentae.
22. Alat bantu dalam tindakan versi luar pada presentasi bokong.
23. Menentukan taksiran berat janin dan atau presentasi janin pada kasus ketuban pecah
preterm dan atau persalinan preterm.
24. Kadar serum alfa feto protein abnormal.
25. Pengamatan lanjut pada kasus yang dicurigai menderita cacat bawaan.
26. Riwayat cacat bawaan pada kehamilan sebelumnya.
27. Pengamatan serial pertumbuhan janin pada kehamilan ganda.
28. Pemeriksaan janin pada wanita berusia di atas 35 tahun.
Tampilan Gambar
Tampilan gambar pada layar monitor dapat berupa ampiltudo (A), brightness (B), time-
motion (T-M), dan Doppler. Tampilan Amplitudo saat ini sudah tidak dipergunakan lagi
dalam bidang obstetri ginekologi. Tampilan brightness saat ini sudah merupakan gambaran
yang nyata (real-time), artinya yang kita lihat adalah yang juga sedang diperiksa, misalnya
pada waktu janin bergerak, maka pada saat yang sama kita juga dapat melihat pada layer
monitor bayi yang sedang bergerak (Gambar 1)..
Pada pemeriksaan time-motion atau lebih sering disebut “M-mode” dapat dilihat suatu
grafik pergerakan yang berhubungan dengan keteraturan dan satuan waktu, misalnya dari
pergerakan katup jantung dapat diukur berapa frekuensi denyut jantung janin dalam satu
menit dan dapat dilihat apakah teratur atau tidak (Gambar 2). Selain itu, dapat juga diukur
ketebalan dinding jantung janin, serta patologi yang ada pada jantung dan daerah
sekitarnya. Tampilan Doppler memungkinkan kita melihat denyut pembuluh darah, arah
aliran darah (memakai doppler berwarna) dan melakukan kalkulasi kecepatan aliran darah
(velositas) dalam pembuluh darah.
Gambar 2. Tampilan M-mode pada denyut jantung janin
Ketajaman gambar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu frekuensi, fokus, resolusi
aksial, resolusi lateral, artefak, dan resolusi near-field / far-field.
Semakin tinggi frekuensi gelombang suara, maka semakin pendek gelombang suara
yang dipergunakan, sehingga gambar yang dihasilkan lebih jelas dan rinci (memiliki
resolusi tinggi). Kebalikannya bila semakin tinggi frekuensi yang dipergunakan, maka
kedalaman penetrasi gelombang suara semakin rendah (dangkal), artinya untuk
pemeriksaan organ superfisial atau yang dekat dengan transduser lebih baik memakai
frekuensi tinggi (> 5 MHz), misalnya USG transvaginal atau payudara.
Ketajaman gambar juga dipengaruhi oleh fokus. Fokus dapat diatur melalui mesin
USG oleh operator, fokus ditempatkan pada daerah yang akan diamati. Khusus untuk
pemeriksaan jantung janin hanya dipergunakan satu fokus saja, sedangkan untuk organ
lainnya cukup dua buah fokus. Semakin banyak fokus yang dipergunakan, semakin banyak
energi yang dipakai, sehingga gambar USG semakin tidak tegas gambarannya. Pada
Gambar 3 dapat dilihat penempatan fokus yang salah (Gambar A) dan benar (Gambar B).
Ketajaman gambar akan sangat berbeda dan hal ini akan mempengaruhi ketepatan hasil
diagnostik sonografisnya.
Gambar 3. Pada gambar (A) letak fokus dibawah dari obyek yang akan dinilai
sedang pada gambar (B) letak kedua fokus tepat pada obyek yang akan
dinilai
Resolusi aksial dan lateral mempengaruhi ketajaman gambar. Resolusi aksial adalah
kemampuan untuk membedakan dua titik pada daerah yang tegak lurus dengan transduser.
Resolusi lateral adalah kemampuan untuk membedakan dua titik pada daerah horizontal
(lateral) terhadap transduser. Selain itu, ketajaman gambar juga dapat dipengaruhi oleh
adanya artefak.
Persiapan Pemeriksaan
Pencegahan infeksi
Persiapan alat
Persiapan pasien
Persiapan pemeriksa a. Pencegahan infeksi
Cuci tangan sebelum dan setelah kontak langsung dengan pasien, setelah kontak dengan
darah atau cairan tubuh lainnya, dan setelah melepas sarung tangan, telah terbukti dapat
mencegah penyebaran infeksi. Epidemi HIV/AIDS telah menjadikan pencegahan infeksi
kembali menjadi perhatian utama, termasuk dalam kegiatan pemeriksaan USG dimana
infeksi silang dapat saja terjadi. Kemungkinan penularan infeksi lebih besar pada waktu
pemeriiksaan USG transvaginal karena terjadi kontak dengan cairan tubuh dan mukosa
vagina.
Risiko penularan dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang, dan ringan.
1. Semua jeli yang terdapat pada transduser harus selalu dibersihkan, bisa memakai
kain halus atau kertas tissue halus.
2. Semua peralatan yang terkontaminasi atau mengandung kotoran harus dibersihkan
dengan sabun dan air. Perhatikan petunjuk pabrik tentang tatacara membersihkan
peralatan USG.
3. Transduser kemudian dibersihkan dengan alkohol 70% atau direndam selama dua
menit dalam larutan yang mengandung sodium hypochlorite (kadar 500 ppm10 dan
diganti setiap hari), kemudian dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya
dikeringkan.
4. Transduser harus diberi pelapis sebelum dipakai untuk pemeriksaan USG
transvaginal, bisa memakai sarung tangan karet, atau kondom.
5. Pemeriksa harus memakai sarung tangan sekali pakai (tidak steril) pada tangan
yang akan membuka labia sebelum transduser vagina dimasukkan. Perhatikan
jangan sampai sarung tangan tersebut mengotori peralatan USG dan tempat
pemeriksaan.
6. Setelah melakukan pemeriksaan, kondom atau sarung tangan harus dimasukkan
pada tempat khusus untuk mencegah penyebaran infeksi, dan kemudian pemeriksa
mencuci tangan (Gambar 4).
7. Pada pemeriksaan USG invasif, misalnya ovum pick-up persiapan yang dilakukan
sama seperti akan melakukan tindakan operasi, misalnya peralatan yang dipakai
harus steril, operator mencuci tangan dengan larutan mengandung khlorheksidine
3%, memakai sarung tangan dan masker, serta memakai kacamata. Kulit
dibersihkan dengan memakai etil alkohol 70%, isopropil alkohol 60%,
khlorheksidin alkohol, atau povidone iodine. Transduser dibersihkan dan dilakukan
desinfeksi, kemudian dibungkus dengan plastik khusus yang steril. Membran
mukosa vagina dibersihkan dengan larutan yang mengandung khlorheksidin
0,015% ditambah larutan cetrimide 0,15%
b. Persiapan alat
Perawatan peralatan yang baik akan membuat hasil pemeriksaan juga tetap baik.
Mesin USG diletakkan disebelah kanan tempat tidur pasien, bila pemeriksa bertangan kiri,
maka mesin diletakkan disisi kiri pasien. Hidupkan peralatan USG sesuai dengan tatacara
yang dianjurkan oleh pabrik pembuat peralatan tersebut. Panduan pengoperasian peralatan
USG sebaiknya diletakkan di dekat mesin USG, hal ini sangat penting untuk mencegah
kerusakan alat akibat ketidaktahuan operator USG.
Perhatikan tegangan listrik pada kamar USG, karena tegangan yang terlalu naik-turun
akan membuat peralatan elektronik mudah rusak. Bila perlu pasang stabilisator tegangan
listrik dan
Setiap kali selesai melakukan pemeriksaan USG, bersihkan semua peralatan dengan
hati-hati, terutama pada transduser (penjejak) yang mudah rusak (Gambar 5). Bersihkan
transduser dengan memakai kain yang lembut dan cuci dengan larutan anti kuman yang
tidak merusak transduser (informasi ini dapat diperoleh dari setiap pabrik pembuat mesin
USG).
Selanjutnya taruh kembali transduser pada tempatnya, rapikan dan bersihkan kabel-
kabelnya, jangan sampai terinjak atau terjepit (Gambar 6). Setelah semua rapih, tutuplah
mesin USG dengan plastik penutupnya. Hal ini penting untuk mencegah mesin USG dari
siraman air atau zat kimia lainnya.
Agar alat ini tidak mudah rusak, tentukan seseorang sebagai penanggung jawab
pemeliharaan alat tersebut.
c. Persiapan pasien
Sebelum pasien menjalani pemeriksaan USG, ia sudah harus memperoleh informasi yang
cukup mengenai pemeriksaan USG yang akan dijalaninya. Informasi penting yang harus
diketahui pasien adalah harapan dari hasil pemeriksaan, cara pemeriksaan (termasuk posisi
pasien), akurasi ketepatan diagnostik, perlu tidaknya pemeriksaan USG 3D, dan berapa
biaya pemeriksaan
Caranya dapat dengan memberikan brosur atau leaflet atau bisa juga melalui
penjelasan secara langsung oleh dokter pemeriksa. Sebelum melakukan pemeriksaan USG,
pastikan bahwa pasien benar-benar telah mengerti dan memberikan persetujuan untuk
dilakukan pemeriksaan USG atas dirinya.
Pada pemeriksaan USG transrektal, kondom yang dipasang sebanyak dua buah, hal
ini penting untuk mencegah penyebaran infeksi.
Terangkan secara benar dan penuh pengertian bahwa USG bukanlah suatu alat yang
dapat melihat seluruh tubuh janin atau organ kandungan, hal ini untuk menghindarkan
kesalahan harapan dari pasien. Sering terjadi bahwa pasien mengeluh “Kok sudah
dikomputer masih juga tidak dikatahui adanya cacat bawaan janin atau ada kista indung
telur ?” USG hanyalah salah satu dari alat bantu diagnostik didalam bidang kedokteran.
Mungkin saja masih diperlukan pemeriksaan lainnya agar diagnosis kelainan dapat
diketahui lebih tepat dan cepat.
d. Persiapan pemeriksa
Pemeriksa diharapkan memeriksa dengan teliti surat pengajuan pemeriksaan USG, apa
indikasinya dan apakah perlu didahulukan karena bersifat darurat gawat, misalnya pasien
dengan kecurigaan kehamilan ektopik. Tanyakan apakah ia seorang nyonya atau nona,
terutama bila akan melakukan pemeriksaan USG transvaginal.
Selanjutnya cocokkan identitas pasien, keluhan klinis dan pemeriksaan fisik yang ada;
kemudian berikan penjelasan dan ajukan persetujuan lisan terhadap tindak medik yang
akan dilakukan. Persetujuan tindak medik yang kebanyakan berlaku di Indonesia saat ini
hanyalah bersifat persetujuan lisan, kecuali untuk tindakan yang bersifat invasif misalnya
kordosintesis atau amniosintesis.
Transduser dipegang oleh tangan yang terdekat dengan tubuh pasien, hal ini
untuk mencegah terjatuhnya transduser tersebut. Sebaiknya pemeriksa duduk
dikursi ergonomis yang dapat bergerak, berputar, dan dapat diatur ketinggiannya
agar posisi tangan sama tinggi dengan dinding perut pasien (pemeriksaan USG
transabdominal) atau duduk di depan perineum pada saat melakukan pemeriksaan
USG transvaginal. Mesin USG harus dapat dijangkau oleh tangan kiri pemeriksa
agar pemeriksaan tersebut dapat optimal dan tidak membuat lekas lelah.
Pemeriksa juga harus berlatih dengan baik agar dapat merasakan bahwa
transduser tersebut merupakan kepanjangan dan bagian dari tangannya (terutama
transduser transvaginal) sehingga adanya tahanan, konsistensi masa, atau
perlekatan dapat dirasakan. Jangan memegang transduser terlalu kaku dan kuat
karena akan menimbulkan cedera pada lengan dan bahu. Pemeriksa juga harus
mengetahui program pencegahan infeksi universal.
Teknik Pemeriksaan
Transabdominal
Transvaginal,
Transperineal / translabial,
Transrektal, atau
Pemeriksaan USG invasif
6. Pemeriksaan USG transabdominal
Sebelum memulai pemeriksaan perhatikan pengaturan pemindaian, pada layer
monitor akan tampak gambaran tampilan USG transabdominal. Tentukan mana
posisi kanan transduser kemudian samakan dengan posisi kanan pasien dan kanan
layar monitor (Gambar 8 - 11).
Gambar 10. Penempatan jeli pada transduser dan tampilannya pada layar monitor
Gambar 11. Tampilan gambar pada posisi transduser antero-posterior. Sisi kann
transduser diletakkan di bagian atas abdomen dan tampilan pada layar monitor pada sisi
kanan
Setelah pasien tidur terlentang, perut bagian bawah ditampakkan dengan batas bawah
setinggi tepi atas rambut pubis, batas atas setinggi sternum, dan batas lateral sampai tepi
abdomen (Gambar 12).
Letakkan kertas tissue besar pada perut bagian bawah dan bagian atas untuk
melindungi pakaian wanita tersebut dari jelly yang kita pakai. Taruh jelly secukupnya pada
kulit perut, kemudian lakukan pemeriksaan secara sistematis (Gambar 13).
Gambar 12. Abdomen pasien bagian atas, kiri, kanan, dan bawah diberi pelindung kertas
tissue
Selanjutnya gerakan transduser dilakukan kearah lateral kanan secara horizontal dan
sistematis (panah nomor 4), kemudian dari kanan ke arah kiri (panah nomor 5) dan terakhir
dari kiri bawah ke arah kanan (panah nomor 6). Gambaran skematis gerakan transduser
dapat dilihat pada Gambar 4.9, berupa arah panah dan nomor garisnya.
Secara garis besar, ada empat gerakan dasar transduser pada pemeriksaan USG
transabdominal, yaitu bergeser (sliding), berputar (rotating), membentuk sudut (angling),
dan ditekan (dipping), lihat Gambar 14 - 17.
Gambar 14. Gerakan dasar USG transabdominalis : menggeser transduser dari sisi kanan
ke kiri
Gambar 15. Gerakan dasar USG transabdominalis : memutar transduser dari sisi kanan
ke kiri
Gambar 16. Gerakan dasar USG transabdominalis : membentuk sudut transduser dari sisi
kanan ke kiri
Pada pemeriksaan USG sebaiknya dicantumkan posisi transduser terhadap tubuh ibu atau
organ kandungan (body-mark), lihat gambar 19. Pada gambar 19 sisi kiri menunjukkan
gambaran massa yang terletak di abdomen bagian bawah tengah pada potongan
longitudinal. Pada gambar sisi kanan, gambaran massa yang sama, tetapi pada potongan
transversal.
Sisi kanan transduser tampak pada sisi kanan layar monitor (Gambar 20), sisi atas
transduser tampak pada sisi kanan layar monitor (Gambar 21).
Kanan Kanan
Gambar 20. Janin presentasi kepala dengan posisi transduser transversal atau
horizontal dan tampilan kepala janin pada layar monitor
Atas
Atas
Gambar 21. Posisi transdiser pada janin presentasi kepala. Transduser dalam
posisi anteroposterior dan tampilan pada layar monitor pada janin dengan
presentasi kepala.
Sebelum melakukan pemeriksaan, tanyakan apakah ia seorang nona atau nyonya. Bila
statusnya masih nona tetapi sudah tidak gadis lagi, dan memang perlu dilakukan
pemeriksaan transvaginal, mintakan ijin tertulis (informed consent) dari pasien tersebut dan
pada waktu pemeriksaan harus disertai seorang saksi (seorang paramedis).
Taruh sedikit jelly pada permukaan transduser. Pasangkan kondom baru pada
transduser (perlihatkan pada pasien), kemudian taruh jelly secukupnya pada permukaan
kondom dan selanjutnya masukkan transduser ke dalam vagina secara perlahan-lahan dan
“gentle” sesuai dengan sumbu vagina. Jangan melakukan penekanan tiba-tiba dan keras
karena dapat membuat pasien kesakitan atau merasa tidak nyaman. Pemeriksaan USG
transvaginal lebih sulit dibandingkan transabdominal, sehingga pendekatan yang dipakai
adalah orientasi terhadap letak dan posisi normal organ genitalia (organ oriented). Gerakan
dasar transduser vaginal adalah maju-mundur (sliding), berputar (rotating), dan bergeser
ke kiri atau kanan (panning), lihat Gambar 25..
Gambar 25. Gerakan dasar transduser pada pemeriksaan USG transvaginal
Pada gambar model berikut, ditampilkan posisi transduser di depan dan di dalam rongga
panggul pada waktu pemeriksaan USG transvagina (Gambar 26 – 29).
Gambar 28. Posisi trasduser longitudinal intravaginal untuk menilai uterus. Pada
posisi ini transduser dapat digerakkan maju-mundur atau diputar.
\
Gambaran 29. Penempatan transduser di daerah adneksa kanan dan kiri untuk menilai
kedua adneksa. Pada posisi ini, transduser digerakkan dengan secara “gentle” ke lateral
kanan, kemudian ke kiri
Selain itu, orientasi pemeriksaan pada tampilan layar monitor perlu juga diketahui
dan dibuat standarisasinya. Pada potongan longitudinal, bagian depan (sisi perut) akan
tampak pada sisi kanan layar monitor sedangkan bagian punggung (posterior) akan tampak
pada sisi kiri layar monitor (Gambar 30 dan 31). Pada potongan transversal, sisi kanan
pasien akan tampak pada sisi kanan layar monitor dan sebaliknya. Potongan transversal
diperoleh dengan memutar transduser dari jam 12 ke arah jam 9 atau jam 3.
Bawa transduser sedekat mungkin dengan organ yang akan diperiksa. Pilih frekuensi
yang sesuai, atur fokus agar obyek yang dinilai tetap berada dalam jangkauan fokus mesin
USG dan perhatikan apa yang dirasakan oleh pasien pada saat pemeriksaan berlangsung.
Bila gambar tidak jelas, lakukan pemeriksaan bimanual, dimana tangan kiri berada di
dinding abdomen pasien, kemudian menekan ke arah bawah secara perlahan-lahan agar
obyek yang diperiksa bertambah dekat dengan transduser. Bila masih tidak jelas juga,
mungkin perlu pemeriksaan lebih lanjut, misalnya sonohisterografi, USG trans
abdominalis, CT-scan atau MRI.
Cari uterus sebagai petunjuk, kemudian cari kandung kemih. Uterus akan tampak di
garis tengah (median) seperti gambaran buah alpukat yang memanjang dengan
endometrium dibagian tengahnya. Bila fundus uteri mendekati kandung kemih, maka
uterus tersebut dalam posisi antefleksi, bila menjauhi, maka posisi uterus adalah
retrofleksi (lihat Gambar 32 dan 33). Sangat penting menilai kembali apakah arah
gelombang suara sudah sesuai dengan tampilan yang ada dalam layar monitor.
Lakukan pengukuran uterus dalam tiga bidang, yaitu longitudinal (L), transversal (T)
dan antero-posterior (AP). Dalam bidang longitudinal diukur panjang longitudinal uterus
dari ostium uteri eksternum (OUE) hingga fundus uteri melalui pertengahan uterus. Garis
pengukuran melalui kanalis servikalis hingga kavum uteri. Bila bentuk uterus terlalu
melengkung, maka pengukuran panjang longitudinal dilakukan dalam dua tahap dan
hasilnya dijumlahkan (lihat contoh Gambar 32 dan 33).
Dalam bidang longitudinal juga diukur panjang antero-posterior pada bagian terbesar
korpus uteri tegak lurus dengan garis longitudinal. Sedangkan pada bidang transversal
diukur diameter transversal uterus dari sisi lateral ke sisi lateral bagian luar setinggi korpus
uteri pada bagian yang terbesar (Gambar 34). Bila panjang longitudinal uterus lebih dari
10 cm, maka ukurannya menjadi di luar fokus pencitraan, dan sebaiknya diukur melalui
USG transabdominalis.
Gambar 34. Potongan transversal uterus
Sedangkan pada masa sekresi, endometrium akan tampak hiperekhoik karena banyak
mengandung glikogen, batas tegas, dengan tebal 10-12 mm. Bukti lain yang dapat
ditemukan pada fase sekresi adalah adanya korpus luteum, tampak sebagai struktur kistik
berisi ekho internal tidak homogen, dinding tipis dan irregular
Gambaran perubahan endometrium sesuai fase menstruasi dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 35. Endometrium fase menstruasi
Gambar 38. Endometrium fase sekresi (13,5 mm) , tampak korpus luteum (CL)
berukuran 31 mm
USG dapat dipakai untuk menegakkan diagnosa dan atau untuk tindakan terapeutik,
misalnya biopsi villi khoriales, amniosintesis, kordosintesis, ovum pick-up (OPU), atau
transfusi intra uterin (Gambar 39 dan 40). Setelah dilakukan penjelasan dan pasien
memberikan persetujuan tertulis, dokter akan melakukan pemeriksaan USG untuk menilai
kondisi kehamilan atau genitalia interna. Pada umumnya hanya diperlukan anestesi lokal
untuk memasukkan jarum punksi, tetapi dapat juga dengan anestesi umum pada tindakan
OPU. Teknik yang dipakai bisa secara “free-hand” atau dipandu USG melalui marker
pungsi yang ada pada transduser.
Komunikasi yang baik antara dokter pemeriksa dan pasien merupakan kunci dalam
mencegah terjadinya malpraktek dan kesalahpahaman antara harapan dan kenyataan yang
diterima oleh pasien dengan hasil pemeriksaan yang diberikan oleh dokter. Persetujuan
pemeriksaan USG obstetri ginekologi rutin saat ini masih cukup dengan persetujuan lisan.
Bila akan dilakukan tindakan invasif, misalnya amniosentesis, maka perlu dibuat
persetujuan tertulis dari pasien dan suami atau keluarganya. Berikut ini disampaikan suatu
contoh formulir persetujuan tindak medik untuk pemeriksaan USG. Formulir ini dapat
disesuaikan dengan fasilitas yang ada dan kemampuan pemeriksa.
Contoh Formulir Persetujuan Tindak Medik Pemeriksaan USG :
PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI
.................................................................... Umur :
Nama : .................. th
................................................................................................
Alamat : .......
................................................................................................
Nomor KTP : .......
Setelah membaca, memahami, dan mengerti tentang pemeriksaan USG yang diberikan oleh
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) adalah suatu pemeriksaan yang merupakan alat bantu,
memakai gelombang suara ultra untuk pencitraan (membuat tampilan gambar) dari suatu obyek
yang dipapari suara ultra tersebut. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, tetapi harus ada alasan
medisnya, misalnya untuk menentukan usia kehamilan, mencari penyebab perdarahan, atau
penapisan untuk kemungkinan cacat bawaan janin. Ditangan seorang yang ahli (sonografer
atau sonologist), alat ini masih dapat dikatakan aman bagi ibu maupun janin; hal ini sesuai
dengan pernyataan dari American Institute of Ultrasound in Medicine (AIUM). Faktor lain
kenapa USG tidak perlu dilakukan rutin pada ibu hamil adalah karena mahalnya peralatan USG
berkaitan juga dengan harga pemeriksaan yang harus dibayar oleh pasien.
Dikenal ada empat cara pemeriksaan USG dalam bidang kebidanan dan kandungan, yaitu
melalui dinding perut (transabdominal), melalui vagina (transvaginal), melalui kerampang
(transperineal), dan melalui dubur (transrektal). Suatu alat yang namanya penjejak
(transduser) ditempelkan di perut ibu (USG transabdominal) atau dimasukkan ke dalam
vagina (USG transvaginal). Sebelum melakukan pemeriksaan USG transabdominal, dokter
atau perawat akan memberitahu ibu bahwa akan ditaruh sejumlah jeli pada dinding perut. Jeli
tersebut harus diberikan karena merupakan media penghantar gelombang suara ultra. Tanpa
jeli, gambar USG akan buruk dan tidak dapat dianalisa. Pada pemeriksaan transvaginal atau
transrektal, jeli tersebut diletakkan pada permukaan transduser, kemudian ditutup dengan
kondom. Khusus pada pemeriksaan transrektal, dipakai dua buah kondom karena dubur
merupakan daerah yang banyak kumannya (mudah menularkan infeksi).
Pada waktu proses pengambilan dan pengolahan gelombang suara menjadi gambar,
banyak faktor yang mempengaruhinya, misalnya ketebalan kulit ibu, jumlah cairan ketuban,
posisi janin, jumlah urin dalam kandung kemih, penyakit ibu, penyakit atau kelainan janin,
kualitas mesin USG, dan kemampuan dokter pemeriksa. Semua faktor tersebut dapat
mengakibatkan kualitas gambar USG tidak optimal sehingga menimbulkan kesulitan dalam
pengamatan struktur janin atau organ kandungan. Keadaan tersebut mengakibatkan ketepatan
diagnosa menjadi berkurang. Keterbatasan ini harus disadari, baik oleh pasien maupun oleh
dokter pemeriksa sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara harapan pasien dan kenyataan
yang ada. Sekali lagi, USG hanyalah alat bantu, bukan segala-galanya dalam penentuan adanya
suatu kelainan atau memutuskan bahwa setiap yang diperiksa “normal” adalah normal.
Khusus dalam bidang USG kebidanan, ketepatan deteksi adanya kelainan bawaan janin
belumlah memuaskan. Suatu penelitian di Eropa (RADIUS) yang mencakup ribuan ibu hamil
(lebih dari 15.000 orang), dimana dilakukan pemeriksaan USG rutin, ternyata deteksi cacat
bawaan pada ibu hamil resiko rendah hanya 35%. Pada resiko tinggi diperkirakan kurang dari
50% (Royal College of Obstetrics and Gynecology). Kenapa hal ini dapat terjadi ? salah satu
penjelasannya adalah sebagai berikut : kehamilan merupakan proses dinamis yang selalu
berubah setiap saat hingga janin dilahirkan, bahkan pada organ tertentu, proses penyempurnaan
tersebut masih dilanjutkan setelah lahir. Misalnya organ jantung janin, sewaktu didalam rahim
ada pembuluh darah atau bagian janin yang terbuka (kondisi ini normal dan harus terjadi),
misalnya lubang antara atrium jantung (foramen ovale) yang baru menutup setelah lahir. Jadi
hampir tidak mungkin dokter menyatakan janin ibu 100% normal. Pemeriksaan USG pada
kehamilan resiko tinggi dapat dilakukan dilakukan dipusat-pusat pendidikan (Level III),
misalnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo/FKUI, Jakarta.
Semua pemeriksaan USG harus melalui pemeriksaan dua dimensi (2D) karena dengan
alat yang baik, pemeriksaan ini sudah memadai untuk pemeriksaan USG dasar kehamilan
ataupun organ kandungan. Pemeriksaan USG tiga dimensi (3- D) dan live-3D hanya
merupakan pelengkap, artinya bila diperlukan baru dikerjakan (ada alasan medis).
Pemeriksaan USG 3-D tidak dilakukan secara rutin dan juga tidak menjamin seluruh kelainan
pada janin atau organ kandungan pasti dapat dilihat (diketahui secara pasti).
Setelah pemeriksaan, jeli yang ada dapat dibersihkan dengan kertas tissue atau kain halus,
dan akan lebih baik lagi bila ibu membersihkannya dengan air mengalir.
Pada keadaan gawat darurat (emergensi), misalnya hamil diluar kandungan yang
mengalami perdarahan banyak, maka dokter pemeriksa akan segera menghubungi dokter
perujuk untuk penanganan lebih lanjut dari pasien tersebut. Oleh karena itu, data perujuk (nama
jelas, nomor telepon rumah sakit dan telepon genggam), termasuk data rumah sakit atau tempat
praktek perlu dicantumkan dengan jelas pada surat rujukan.
Saya harap, setelah ibu membaca lembar persetujuan tindak medik ini ibu dapat mengerti,
memahami, dan menyetujui, bahwa pemeriksaan USG yang akan dilakukan ini memiliki
banyak keterbatasan. Kerjasama yang baik antara ibu, dokter pemeriksa dan dokter perujuk
serta peralatan USG yang baik, akan memberikan hasil terbaik, meskipun sama-sama disadari
bahwa
Jakarta, ..................................................
Pasien, Saksi,
(......................................... .............................................
... ) ( ..)
Dokter pemeriksa,
(..........................................................)
Referensi
sEndjun, Judi Januadi, Biran Affandi. 2008. Persiapan dan Teknik Pemeriksaan USG Obstetri
dan Ginekologi Dasar. Departemen Obstetri dan Ginekologi, RS Pendidikan RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad/FKUI.