Anda di halaman 1dari 85

ASUHAN PERSALINAN NORMAL

Persalinan dan kelahiran dikatakan normal jika:


 Usia kehamilancukup bulan (37-42 minggu)
 Persalinan terjadi spontan
 Presentasi belakang kepala
 Berlangsung tidak lebih dari 18 jam
 Tidak ada komplikasi pada ibu maupun janin
• Pada persalian normal, terdapat beberapa fase:
• Kala I dibagi menjadi 2:
- Fase laten: pembukaan serviks 1 hingga 3 cm, sekitar 8 jam.
- Fase aktif: pembukaan serviks 4 hingga lengkap (10 cm), sekitar 6 jam.
• Kala II: pembukaan lengkap sampai bayi lahir, 1 jam pada primigravida, 2 jam pada
multigravida.
• Kala III: segera setelah bayi lahir sampai plasenta lahir lengkap, sekitar 30 menit.
• Kala IV: segera setelah lahirnya plasenta hingga 2 jam post-partum.

1. Persalinan Kala I : Fase Pembukaan


Tatalaksana
 Beri dukungan dan dengarkan keluhan ibu
 Jika ibu tampak gelisah/kesakitan:
• Biarkan ia berganti posisi sesuai keinginan, tapi jika di tempat tidur
sarankan untuk miring kiri.
• Biarkan ia berjalan atau beraktivitas ringan sesuai kesanggupannya
• Anjurkan suami atau keluarga memjiat punggung atau membasuh muka
ibu
• Ajari teknik bernapas
• Jaga privasi ibu. Gunakan tirai penutup dan tidak menghadirkan orang lain tanpa
seizin ibu.
• Izinkan ibu untuk mandi atau membasuh kemaluannya setelah buang air kecil/besar
• Jaga kondisi ruangan sejuk. Untuk mencegah kehilangan panas pada bayi baru
lahir, suhu ruangan minimal 250C dan semua pintu serta jendela harus tertutup.
• Beri minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi.
• Sarankan ibu berkemih sesering mungkin.
• Pantau parameter berikut secara rutin dengan menggunakan partograf.

Tabel 2.2.1. Penilaian dan intervensi selama kala I

*Dinilai pada setiap pemeriksaan dalam

• Pasang infus intravena untuk pasien dengan:


• Kehamilan lebih dari 5
• Hemoglobin ≤9 g/dl atau hematokrit ≤27%
• Riwayat gangguan perdarahan
• Sungsang
• Kehamilan ganda
• Hipertensi
• Persalinan lama
• Isi dan letakkan partograf di samping tempat tidur atau di dekat pasien
• Lakukan pemeriksaan kardiotokografi jika memungkinkan
• Persiapkan rujukan jika terjadi komplikasi
Tabel 2.2.2. Yang harus diperhatikan dalam persalinan kala I

Selain kondisi di atas, ada beberapa tindakan yang sering dilakukan namun sebenarnya
tidak banyak membawa manfaat bahkan justru merugikan, sehingga tidak dianjurkan
melakukan hal-hal berikut:
• Kateterisasi kandung kemih rutin: dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
Lakukan hanya jika ada indikasi.
• Posisi terlentang: dapat mengurangi detak jantung dan penurunan aliran darah
uterus sehingga kontraksi melemah
• Mendorong abdomen: menyakitkan bagi ibu, meningkatkan risiko ruptura uteri
• Mengedan sebelum pembukaan serviks lengkap: dapat menyebabkan edema
dan/atau laserasi serviks
• Enema
• Pencukuran rambut pubis
• Membersihkan vagina dengan antiseptik selama persalinan

Penyulit Kala 1
Tanda – tanda dari partus lama antara lain :
1. Fase Laten Memanjang
Fase laten yang memanjang ditandai dari pembukaan serviks kurang dari 4 cm setelah
8 jam dengan kontraksi teratur (lebih dari 2 kali dalam 10 menit)
2. Fase Aktif Memanjang
a. Istilah fase aktif memanjang mengacu pada kemajuan pembukaan yang tidak adekuat
setelah didirikan diagnosa kala I fase aktif, dengan didasari atas :
 Pembukaan kurang dari 1 cm per jam selama sekurang-kurangnya 2 jam setelah
kemajuan persalinan
 Kurang dari 1,2 cm per jam pada primigravida dan kurang dari 1,5 cm pada
multipara
 Lebih dari 12 jam sejak pembukaan 4 cm sampai pembukaan lengkap (rata-rata
0,5 cm perjam)
b. Karakteristik Fase Aktif Memanjang :
 Kontraksi melemah sehingga menjadi kurang kuat, lebih singkat dan atau lebih
jarang
 Kualitas kontraksi sama seperti semula tidak mengalami kemajuan
 Pada pemeriksaan vaginal, serviks tidak mengalami perubahan
c. Penyebab Fase Aktif Memanjang :
 Malposisi (presentasi selain belakang kepala)
 Makrosomia (bayi besar) atau disproporsi kepala-panggul (CPD)
 Intensitas kontraksi yang tidak adekuat
 Serviks yang menetap
 Kelainan fisik ibu (mis:pinggang pendek)
 Kombinasi penyebab atau penyebab yang tidak diketahui
d. Akibat Dari Persalinan Yang Lama :
1. Terhadap Janin
 Akibat untuk janin meliputi :
 Trauma
 Asidosis
 Kerusakan Hipoksik
 Infeksi
 Peningkatan Mortalitas serta Morbiditas Perinatal.
2. Terhadap Ibu
Akibat untuk ibu adalah :
 Penurunan semangat
 Kelelahan
 Dehidrasi
 Asidosis
 Infeksi
 Resiko Ruptur Uterus
 Perlunya intervensi bedah meningkatkan Mortalitas Dan Morbiditas.

Tanda dan Gejala Diagnosis


Servik tidak membuka Belum inpartu
Tidak didapatkan his/his tidak teratur
Pebukaan servik tidak melebihi 4cm sesudah 8 Fase laten memanjang
jam inpartu dengan his teratur
Pembukaan servik melewati kanan garis Fase aktif memanjang
waspada partograf.  Inersia uteri
Frekuensi his kurang dari 3 his per 10 menit  Disproporsi sefalo pelvik
lamanya kurang dari 40 detik.  Obstruksi kepala
Pembukaan servik dan turunnya bagian  Malpretasi atau malposisi
janin yang dipresentasi tidak maju sedangkan
his baik
Pembukaan servik dan turunya bagian janin
yang di presentasi tidak maju dengan takut,
terdapat moulase hebat, odema servik, tanda
rupture uteri iminen, gawat janin.
Kelainan presentasi (selain vertek dengan
oksiput anterior)
Pembukaan servik lengkap ibu ingin mengejan Kala II lama
tapi tidak ada kemajuan penurunan

e. Penanganan umum
 Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk tanda vital dan
tingkat hidrasi)
 Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada dalam persalinan.
Nilai frekuensi dan lamanya his.
 Perbaiki keadaan umum dengan :
Dukungan emosional, perubahan posisi (sesuai dengan penanganan persalinan
normal).
Periksa keton dalam urine dan berikan cairan, baik oral maupun parenteral,dan
upayakan buang air kecil (kateterisasi bila perlu).
 Berikan analgesik : tramadol atau penitidin 25 mg I.M (maksimum 1 mg/kgBB)
atau morfin 10 mg I.M, jika pasien merasakan nyeri yang sangat.

f. Tentukan keadaan janin


 Periksa denyut jantung janin selama atau segera setelah his. Hitung frekuensinya
sekurang kurangnya sekali dalam 30 menit selama fase aktif dan tiap 5 menit
selama kala II.
 Jika terdapat gawat janin, lakukan secsio sesaria. Kecuali jika syarat-syarat
dipenuhi lakukan ekstraksi vacum atau forcep.
 Jika ketuban sudah pecah, air ketuban kehijau-hijauan atau bercampur darah.
Pikirkan kemungkinan gawat janin.
 Jika tidak ada ketuban yang mengalir setelah selaput ketuban pecah,
pertimbangkan adanya indikasi penurunan jumlah air ketuban yang mungkin
menyebabkan gawat janin.
Perbaiki keadaan umum dengan :
 Memberikan dukungan emosional. Bila keadaan masih memungkinkan anjurkan
bebas bergarak, duduk dengan posisi berubah.
 Berikan cairan baik secara oral atau parenteral dan upaya buang air kecil.
 Bila penderita merasakan nyeri yang sangat berikan analgesik : tramadol atau
penitidin 25mg dinaikkan samapai maksimum 1 mg/Kg atau morfin 10 mg IM.
 Lakukan pemeriksaan vagina untuk mnentukan kala persalinan. Lakukan
penilaian frekuensi dan lamanya kontraksi berdasarkan partograf.

g. Penanganan Khusus
 Jika tidak ada tanda-tanda disproporsi sefalopelvik atau obstruksi dan ketuban
masih utuh, pecahkan ketuban.
 Nilai his :
- Jika his adekuat (kurang dari 3 his dalam 10 menit dan lamanya kurang dari 40
detik) pertimbangkan adanya inersia uteri.
- Jika his adekuat (3 kali dalam 10 mmenit dan lamanya lebih dari 40 detik),
pertimbangkan adanya disproporsi, obstruksi, malposisi, dan mal presentasi.
 Lakukan penanganan umum yang akan memperbaiki his dan mempercepat
kemajuan persalinan.

h. Gejala Utama yang Perlu diperhatikan


Gejala utama yang perlu diperhatikan pada persalinan yang lama diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Dehidrasi
2. Tanda infeksi
 Temperatur tinggi
 Nadi dan pernafasan
 Abdomen meteorismus
3. Pemeriksaan abdomen
 Meteorismus
 Lingkaran bandle tingg
 nyeri segmen bawah rahimi
4. Pemeriksaan lokal vulva- vagina
 Odema vulva
 Cairan ketuban berbau
 Cairan ketuban bercaampur mekonium
5. Pemeriksaan dalam
 Edema serviks
 Bagian terendah sulit didorong ke atas
 Terdapat kaput pada bagian terendah
6. Keadaan janin dalam rahim
 Asfiksia sampai terjadi kematian
7. Akhir dari persalinan lama
3. Kelainan HIS
Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida khususnya primigravida tua.
Pada multipara lebih banyak ditemukan yang bersifat inersia uteri. Faktor herediter
mungkin memegang peranan yang sangat penting dalam kelainan his. Satu sebab yang
penting dalam kelalinan his, khususnya inersia uteri adalah bagian bawah janin tidak
berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti misalnya pada kelainan letak
janin atau pada kelainan CPD. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan
ganda atau hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia uteri. Gangguan dalam
pembentukan uterus pada masa embrional misalnya; uterus bikornis unikolis, dapat pula
mengakibatkan kelainan his.
1. His Hipotonik
a. Pengertian :
 Kelainan dalam hal bahwa kontraksi uterus lebih aman, singkat dan jarang
daripada biasa, keadaan ini dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic
uterine contraction.
 Kalau timbul setelah berlangsungnya his kuat untuk waktu yang lama hal ini
dinamakan dengan inersia uteri sekunder.
 Diagnosis inersia uteri paling sulit dalam fase laten. Kontraksi uterus yang
disertai rasa nyeri tidak cukup untuk membuat diagnosis bahwa persalinan
sudah dimulai.
 Untuk sampai pada kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat
kontraksi terjadi perubahan pada servik yaitu pendataran atau pembukaan
servik
b. Penanganan :
Setelah diagnosis inersia uteri ditetapkan, harus diperiksa keadaan servik,
presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan keadaan
panggul.
Apabila ada disproporsi chepalopelvik yang berarti, sebaiknya diambil keputusan
untuk melakukan SC.
KU pasien sementara diperbaiki, dan kandung kencing serta rectum dikosongkan,
apabila kepala atau bokong janin sudah masuk ke dalam panggul, penderita di
sarankan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu.
Untuk merangsang his selain dengan pemecahan ketuban bisa diberikan oksitosin,
5 satuan oksitosin dimasukan ke dalam larutan glukosa 5% dan diberikan secara
infus IV (dengan kecepatan kira-kira 12 tetes permenit yang perlahan dapat
dinaikan sampai kira-kira 50 tetes.
Kalau 50 tetes tidak dapat berhasil bisa dengan memeberikan dosis lebih tinggi
dengan cara pasien harus di awasi dengan ketat dan tidak boleh ditinggalkan.
Oksitosin yang diberikan dengan suntikan IM akan dapat menimbulkan
incoordinate uterin action.
2. His Hipertonik (his terlampau kuat)
a. Pengertian :
 Walaupun pada golongan koordinate hipertonik uterin contraction bukan
merupakan penyebab distosia namun bisa juga merupakan kelaianan his.
 His yang terlalu kuat atau terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam
waktu yang sangat singkat (partus presipitatus): sifat his normal, tonus otot di
luar his juga biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his.
 Bahaya partus presipitatus bagi ibu ialah terjadinya perlukaan luas pada jalan
lahir, khususnya servik uteri, vagina dan perineum.
 Sedangkan pada bayi dapat mengalami perdarahan dalam tengkorak karena
bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu sangat singkat.
b. Penanganan :
 Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat diilakukan karena biasanya
bayi sudah lahir tanpa ada seseorang yang menolong.
 Kalau seorang wanita pernah mengalami partus presipitatus kemungkinan
besar kejadian ini akan berulang pada persalinan selanjutnya. Oleh karena itu
sebaiknya wanita di rawat sebelum persalinan, sehingga pengawasan dapat
dilakukan dengan baik, dan episiotomi dilakukan pada waktu yang tepat untuk
menghindari ruptur perineum tingkat III.
3. His yang tidak terkoordinasi
a. Pengertian :
 His disini sifatnya berubah-ubah tonus otot uterus meningkat juga di luar his,
dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi
antara kontraksi bagian-bagiannya.
 Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas, tengah dan bawah
menyebabkan his tidak efisien dan mengadakan pembukaan.
 Disamping itu tonus otot uterus yang menaik menyebabkan rasa nyeri yang
lebih keras dan lama bagi ibu dan dapat pula menyebabkan hipoksia pada
janin.
 His ini disebut sebagai incoordinate hipertonik uterin contraction.
b. Penanganan :
 Kelainan ini hanya dapat diobati secara simtomatis karena belum ada obat yang
dapat memperbaiki koordinasi fungsional antara bagian-bagian uterus.
 Usaha yang dapat dilakukan ialah mengurangi tonus otot dan mengurangi
ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian analgetika,
seperti morphin, pethidin.
 Akan tetapi persalinan tidak boleh berlangsung berlarut-larut apalagi kalau
ketuban sudah pecah.
 Dan kalau pembukaan belum lengkap, perlu dipertimbangkan SC.

Referensi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2013.Buku saku pelayanan kesehatan ibu di
fasilitas kesehatan dasar dan rujukan (edisi pertama).Jakarta.
EPISIOTOMI

1. Definisi Episiotomi

Menurut Sarwono (2007), episiotomi merupakan suatu tindakan insisi pada

perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara,

jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan

perineum (Sarwono, 2007, hal. 171).

2. Tujuan Episiotomi

Tujuan episiotomi yaitu membentuk insisi bedah yang lurus, sebagai pengganti

robekan tak teratur yang mungkin terjadi. Episiotomi dapat mencegah vagina robek secara

spontan, karena jika robeknya tidak teratur maka menjahitnya akan sulit dan hasil

jahitannya pun tidak rapi, tujuan lain episiotomi yaitu mempersingkat waktu ibu dalam

mendorong bayinya keluar (Williams, 2009, hal. 160).

3. Waktu Pelaksanaan Episiotomi

Menurut Benson dan Pernoll (2009), episiotomi sebaiknya dilakukan ketika kepala

bayi meregang perineum pada janin matur, sebelum kepala sampai pada otot-otot perineum

pada janin matur (Benson dan Pernoll, 2009, hal. 177).

Bila episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan yang timbul dari luka

episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila episiotomi dilakukan terlalu lambat maka

laserasi tidak dapat dicegah. sehingga salah satu tujuan episiotomi itu sendiri tidak akan

tercapai. Episiotomi biasanya dilakukan pada saat kepala janin sudah terlihat dengan
diameter 3 - 4 cm pada waktu his. Jika dilakukan bersama dengan penggunaan ekstraksi

forsep, sebagian besar dokter melakukan episiotomi setelah pemasangan sendok atau bilah

forsep (Williams, 2009, hal. 161).

4. Tindakan Episiotomi

Pertama pegang gunting epis yang tajam dengan satu tangan, kemudian letakkan jari

telunjuk dan jari tengah di antaraa kepala bayi dan perineum searah dengan rencana

sayatan. Setelah itu, tunggu fase acme (puncak his). Kemudian selipkan gunting dalam

keadaan terbuka di antara jari telunjuk dan tengah. Gunting perineum, dimulai dari fourchet

(komissura posterior) 45derajat ke lateral kiri atau kanan. (Sarwono, 2006, hal. 457).

5. Indikasi Episiotomi

Untuk persalinan dengan tindakan atau instrument (persalinan dengan cunam, ekstraksi

dan vakum); untuk mencegah robekan perineum yang kaku atau diperkirakan tidak mampu

beradaptasi terhadap regangan yang berlebihan, dan untuk mencegah kerusakan jaringan

pada ibu dan bayi pada kasus letak / presentasi abnormal (bokong, muka, ubun-ubun kecil

di belakang) dengan menyediakan tempat yang luas untuk persalinan yang aman (Sarwono,

2006, hal 455-456).

6. Jenis – Jenis Episiotomi

Sebelumnya ada 4 jenis episiotomi yaitu; Episiotomi medialis, Episiotomi

mediolateralis, Episiotomi lateralis, dan Insisi Schuchardt. Namun menurut Benson dan

Pernoll (2009), sekarang ini hanya ada dua jenis episiotomi yang di gunakan yaitu:

a. Episiotomi median, merupakan episiotomi yang paling mudah dilakukan dan diperbaiki.

Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai

mengenai serabut sfingter ani. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah: perdarahan

yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena daerah yang relatif sedikit

mengandung pembuluh darah. Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan
kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Sedangkan kerugiannya adalah:

dapat terjadi ruptur perinei tingkat III inkomplet (laserasi median sfingter ani) atau komplit

(laserasi dinding rektum).

b. Episiotomi mediolateral, digunakan secara luas pada obstetri operatif karena aman.

Sayatan di sini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan

samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada

kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan di sini

sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perinea tingkat III.

Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh

darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan

dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris

(Benson dan Pernoll, 2009, hal. 176-177).

7. Benang yang digunakan untuk menjahit episiotomi

Alat menjahit yang digunakan dalam perbaikan episitomi atau laserasi dapat

menahan tepi – tepi luka sementara sehingga terjadi pembentukan kolagen yang baik.

Benang yang dapat diabsorbsi secara alamiah diserap melalui absorbsi air yang

melemahkan rantai polimer jahitan. Benang sintetik yang dapat diabsorbsi yang paling

banyak digunakan adalah polygarin 910 (Vicryl) yang dapat menahan luka kira-kira 65%

dari kekuatan pertamanya setelah 14 hari penjahitan dan biasanya diabsorbsi lengkap

setelah 70 hari prosedur dilakukannya.

Ukuran yang paling umum digunakan dalam memperbaiki jaringan trauma adalah

2-0, 3-0, dan 4-0, 4-0 yang paling tipis. Benang jahit yang biasa digunakan dalam

kebidanan dimasukkan ke dalam jarum, dan hampir semua jahitan menggunakan jarum
½lingkaran yang runcing pada bagian ujungnya. Ujung runcing dapat masuk dalam

jaringan tanpa merusaknya. (Walsh,2008, hal. 560).

7. Teknik Episiotomi

Anestesi Lokal Sebelum Insisi


Berikan anastesi lokal secara dini agar obat tersebut memiliki cukup waktu untuk
memberikan efek sebelum episiotomi dilakukan. Episiotomi adalah tindakan yang
menimbulkan rasa sakit dan menggunakan anastesi lokal adalah bagian dari usaha untuk
mengurangi rasa sakit.
 Jelaskan pada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu dia untuk merasa rileks.
 Hisap 10 ml larutan lidokain 1% tanpa epinefrin ke dalam tabung suntik steril
ukuran 10 ml (tabung suntik lebih besar boleh digunakan jika diperlukan). Jika
lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian lidokain 2% dengan 1 bagian cairan
garam fisiologis atau air distilasi steril, sebagai contoh larutkan 5 ml lidokain dalam
5 ml cairan garam fisiologis atau air steril.
 Letakkan 2 jari ke dalam vagina di antara kepala bayi dan perinium.
 Tusukkan jarum tepat dibawah kulit perineum pada daerah komisura posterior
(fourchette) dan arahkan jarum dengan membuat sudut 45 derajat kesebelah kiri
atau kanan garis tengah perineum.
 Aspirasi (tarik batang penghisap) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di
dalam pembuluh darah. Jika darah masuk kedalam tabung suntik, jangan suntikkan
lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi jarum dan tusukkan kembali.
Alasan dilakukan tindakan ini karena ibu bisa mengalami kejang dan bisa terjadi
kematian jika lidokain disuntikkan ke dalam pembuluh darah.
 Tarik jarum perlahan-lahan sambil menyuntikkan maksimum 10 ml lidokain.
 Tunggu 1 – 2 menit agar efek anestesi bekerja maksimal sebelum episiotomi
dilakukan

Bagaimana Melakukan Episiotomi


 Episiotomi sebaiknya dilakukan ketika kepala bayi meregang perineum pada janin
matur, sebelum kepala sampai pada otot-otot perineum pada janin matur . Bila
episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan yang timbul dari luka
episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila episiotomi dilakukan terlalu lambat
maka laserasi tidak dapat dicegah. sehingga salah satu tujuan episiotomi itu sendiri
tidak akan tercapai.
 Episiotomi biasanya dilakukan pada saat perineum menipis dan pucat serta kepala
janin sudah terlihat dengan diameter 3 - 4 cm pada saat kontraksi . Jika dilakukan
bersama dengan penggunaan ekstraksi forsep, sebagian besar dokter melakukan
episiotomi setelah pemasangan sendok atau bilah forsep
 Pertama pegang gunting tajam disinfeksi tingkat tinggi atau steril dengan satu
tangan, kemudian letakkan jari telunjuk dan jari tengah di antara kepala bayi dan
perineum searah dengan rencana sayatan. Hal ini akan melindungi kepala bayi dari
gunting dan meratakan perineum sehingga membuatnya lebih mudah di episiotomi.
 Setelah itu, tunggu fase acme (puncak his). Kemudian selipkan gunting dalam
keadaan terbuka di antara jari telunjuk dan tengah. Gunting perineum mengarah ke
sudut yang diinginkan untuk melakukan episiotomi, misalnya episiotomi
mediolateral dimulai dari fourchet (komissura posterior) 45 derajat ke lateral kiri
atau kanan. Pastikan untuk melakukan palpasi/ mengidentifikasi sfingter ani
eksternal dan mengarahkan gunting cukup jauh kearah samping untuk rnenghindari
sfingter.
 Gunting perineum sekitar 3-4 cm dengan arah mediolateral menggunakan satu atau
dua guntingan yang mantap. Hindari “menggunting” jaringan sedikit demi sedikit
karena akan menimbulkan tepi yang tidak rata sehingga akan menyulitkan
penjahitan dan waktu penyembuhannya lebih lama.
 Jika kepala bayi belum juga lahir, lakukan tekanan pada luka episiotomi dengan di
lapisi kain atau kasa disinfeksi tingkat tinggi atau steril di antara kontraksi untuk
membantu mengurangi perdarahan. Karena dengan melakukan tekanan pada luka
episiotomi akan menurunkan perdarahan.
 Kendalikan kelahiran kepala, bahu dan badan bayi untuk mencegah perluasan
episiotomi.
 Setelah bayi dan plasenta lahir, periksa dengan hati-hati apakah episiotomi,
perineum dan vagina mengalami perluasan atau laserasi, lakukan penjahitan jika
terjadi perluasan episiotomi atau laserasi tambahan.

Bagaimana melakukan penjahitan setelah episiotomy


 Tujuan menjahit laserasi atau episiotomi adalah untuk menyatukan kembali
jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu
(memastikan hemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk ke dalam jaringan
tubuh, jaringan akan terluka dan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya
infeksi. Oleh sebab itu pada saat menjahit laserasi atau episiotomi gunakan benang
yang cukup panjang dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan
pendekatan dan hemostasis.
 Keuntungan-keuntungan teknik penjahitan jelujur:
o Mudah dipelajari (hanya perlu belajar satu jenis penjahitan dan satu atau
dua jenis simpul)
o Tidak terlalu nyeri karena lebih sedikit benang yang digunakan
o Menggunakan lebih sedikit jahitan
 Mempersiapkan penjahitan :
o Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi
tempat tidur atau meja. Topang kakinya dengan alat penopang atau minta
anggota keluarga untuk memegang kaki ibu sehingga ibu tetap berada
dalam posisi litotomi.
o Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.
o Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga perineum bisa
dilihat dengan jelas.
o Gunakan teknik aseptik pada saat memeriksa robekan atau episiotomi,
memberikan anestesi lokal dan menjahit luka.
o Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.
o Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.
o Dengan menggunakan teknik aseptik, persiapkan peralatan dan bahan-
bahan disinfeksi tingkat tinggi untuk penjahitan.
o Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah
dilihat dan penjahitan bisa dilakukan tanpa kesulitan.
o Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka
vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau
bekuan darah yang ada sambil menilai dalam dan luasnya luka.
o Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa
laserasi/sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau dua. Jika
laserasinya dalam atau episiotomi telah meluas, periksa lebih jauh untuk
memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan
jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari
tersebut perlahan-lahan untuk mengidentifikasi sfingter ani. Raba tonus
atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi
derajat tiga atau empat dan harus dirujuk segera. Ibu juga dirujuk jika
mengalami laserasi serviks.
o Ganti sarung tangan dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau
steril yang baru setelah melakukan pemeriksaan rektum.
o Berikan anestesia lokal.
o Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan benang.
Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur, kuat,
tahan lama dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan.
o Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan
jepit jarum tersebut.
 Dalam penjahitan episiotomi, penting menggunakan benang yang dapat diserap
untuk menutup robekan. Benang poliglikolik lebih dipilih dibandingkan catgut
kromik karena kekuatan regangannya, bersifat non alergenik, kemungkinan
komplikasi infeksi dan kerusakan episiotominya lebih rendah. Catgut kromik dapat
digunakan sebagai alternative, tetapi bukan benang yang ideal.
9.Penyembuhan Luka Episiotomi

Menurut Walsh (2008) proses penyembuhan terjadi dalam tiga fase, yaitu:

a. Fase 1: Segera setelah cedera, respons peradangan menyebabkan peningkatan

aliran darah ke area luka, meningkatkan cairan dalam jaringan,serta akumulasi

leukosit dan fibrosit. Leukosit akan memproduksi enzim proteolitik yang

memakan jaringan yang mengalami cedera.

b. Fase 2: Setelah beberapa hari kemudian, fibroblast akan membentuk benang –

benang kolagen pada tempat cedera.

c. Fase 3: Pada akhirnya jumlah kolagen yang cukup akan melapisi jaringan yang

rusak kemudian menutup luka. Proses penyembuhan sangat dihubungani oleh usia,
berat badan, status nutrisi, dehidrasi, aliran darah yang adekuat ke area luka, dan

status imunologinya. Penyembuhan luka sayatan episiotomi yang sempurna

tergantung kepada beberapa hal. Tidak adanya infeksi pada vagina sangat

mempermudah penyembuhan. Keterampilan menjahit juga sangat diperlukan agar

otot-otot yang tersayat diatur kembali sesuai dengan fungsinya atau jalurnya dan

juga dihindari sedikit mungkin pembuluh darah agar tidak tersayat. Jika sel saraf

terpotong, pembuluh darah tidak akan terbentuk lagi (Walsh, 2008, hal. 559).

10 . Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka

a.Status nutrisi yang tidak tercukupi memperlambat penyembuhan luka

b.Kebiasaan merokok dapat memperlambat penyembuhan luka

c.Penambahan usia memperlambat penyembuhan luka

d.Peningkatan kortikosteroid akibat stress dapat memperlambat penyembuhan luka

e.Ganguan oksigenisasi dapat mengganggu sintesis kolagen dan menghambat

epitelisasi sehingga memperlambat penyembuhan luka

f.Infeksi dapat memperlambat penyembuhan luka.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, P & Pernoll. (2009). Buku saku Obsetry Gynecology William. Jakarta EGC

Cunningham. 2009. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta : EGC

Prawirohardjo. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta.Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Walsh, L. V. (2008). Buku ajar kebidanan komunitas alih bahasa,Handayani Wilda Ika
(2thed).Jakarta : EGC
.
Keamanan Obat Untuk Ibu Hamil Berdasarkan Evidence Based Management

Pola penggunaan obat yang aman bagi ibu hamil dan menyusui di Indonesia
belumlah menjadi sebuah pemahaman yang dimengerti dengan baik bukan hanya bagi
masyarakat, melainkan di kalangan tenaga kesehatan itu sendiri. Hal ini tidaklah
mengherankan, pemerintah sendiri, dalam hal ini Kemenkes dan BPOM sejauh ini memang
belum mengeluarkan regulasi atau rilis ilmiah mengenai hal ini.

Secara ilmiah, kita masih berpatokan pada penggolongan keamanan obat pada
kehamilan yang dikeluarkan oleh FDA. FDA (Food and Drug Administration) adalah
Badan POM-nya Amerika Serikat. FDA bertugas mengatur makanan, suplemen makanan,
obat-obatan, produk biofarmasi, transfusi darah, piranti medis, piranti untuk terapi dengan
radiasi, produk kedokteran hewan, dan kosmetik yang beredar di Amerika Serikat.

1. Kategori A : Studi kontrol pada wanita tidak memperlihatkan adanya resiko


terhadap janin pada kehamilan trimester I (dan tidak ada bukti mengenai resiko
pada trimester selanjutnya), dan sangat rendah kemungkinannya untuk
membahayakan janin.
2. Kategori B : Studi pada sistem reproduksi binatang percobaan tidak
memperlihatkan adanya resiko terhadap janin, tetapi studi terkontrol terhadap
wanita hamil belum pernah dilakukan. Atau studi terhadap reproduksi binatang
percobaan memperlihatkan adanya efek samping obat (selain penurunan fertilitas)
yang tidak diperlihatkan pada studi terkontrol pada wanita hamil trimester I (dan
tidak ada bukti mengenai resiko pada trimester berikutnya).
3. Kategori C : Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek
samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainnya) dan
belum ada studi terkontrol pada wanita, atau studi terhadap wanita dan binatang
percobaan tidak dapat dilakukan. Obat hanya dapat diberikan jika manfaat yang
diperoleh melebihi besarnya resiko yang mungkin timbul pada janin.
4. Kategori D : Terbukti menimbulkan resiko terhadap janin manusia, tetapi
besarnya manfaat yang diperoleh jika digunakan pada wanita hamil dapat
dipertimbangkan (misalnya jika obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang
mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang lebih aman tidak efektif
atau tidak dapat diberikan).
5. Kategori X : Studi pada binatang percobaan atau manusia telah memperlihatkan
adanya abnormalitas janin dan besarnya resiko obat ini pada wanita hamil jelas-
jelas melebihi manfaatnya. Dikontraindikasikan bagi wanita hamil atau wanita
usia subur.

Lebih gampangnya dapat diartikan sebagaimana berikut :

 A = Tidak berisiko
 B = Tidak berisiko pada beberapa penelitian
 C = Mungkin berisiko
 D = Ada bukti positif dari risiko
 X = Kontraindikasi

Penicillins :
Category B in pregnancy
–Cross the placenta easily and rapidly
–Concentrations equal maternal levels
–Lactation
–Crosses in low concentrations
–Compatible with breastfeeding

Cephalosporins :
Category B in pregnancy
–Cross the placenta during pregnancy
–Some reports of increased anomalies with specific cephalosporins (cefaclor, cephalexin,
cephradrine)
–Primarily cardiac and oral cleft defects
–Lactation
–Excreted into breastmilk in low concentrations
–Considered compatible with breastfeeding

Carbapenems :
Category B/C/B in pregnancy
–Likely cross the placenta
–Very little human dataLactation
–Excreted into breastmilk in low amounts
–Unknown effects but likely low clinical significance

Floroquinolones :
-Pregnancy Category C
–Not recommended in pregnancy
–Cartilage damage in animals
–Safer alternatives usually exist
-Lactation
–Excreted into breastmilk
–Limited human data
–AAP says compatible with breastfeeding
Macrolides :
-Pregnancy Categories B/C/B
–Cross the placenta in low amounts
–Limited data with azithromycin and clarithromycin
-Lactation
–Erythromycin compatible
–Others probably compatible
Aminoglycosides (amikacin , gentamicin, topramycin)
-Pregnancy Categories B/C/B
–Cross the placenta in low amounts
–Limited data with azithromycin and clarithromycin
-Lactation
–Erythromycin compatible
–Others probably compatible
CTG : MELAKUKAN DAN MENGINTERPRESTASIKAN

A. INDIKASI

Beberapa keadaan dibawah ini memerlukan pemantauan dengan kardiotokografi


(KTG) karena berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal,
misalnya pertumbuhan janin terhambat (PJT), gerakan janin berkurang, kehamilan
post-term (≥ 42 minggu), preeklampsia/hipertensi kronik, diabetes mellitus
prakehamilan, DM yang memerlukan terapi insulin, ketuban pecah pada kehamilan
preterm, dan suspek solusio plasentae. Identifikasi pasien yang memiliki risiko tinggi
insufisiensi uteroplasenta mutlak dilakukan karena hal ini berkaitan dengan tatalaksana
yang harus dilakukan. Kegagalan dalam mengenal adanya faktor risiko, dapat berakibat
fatal.

B. PERSIAPAN

Persiapan yang harus dilakukan dalam pemeriksaan kardiotokografi (KTG) adalah


persiapan pasien, persiapan peralatan, dan persiapan pemeriksa. Persiapan yang baik
akan meminimalkan kesalahan serta meningkatkan akurasi diagnostik KTG.

 Persiapan Pasien
Persiapan pasien mencakup identitas, nomor rekam medis, indikasi
pemeriksaan, diagnosis ibu dan janin, penjelasan prosedur dan hasil pemeriksaan
KTG. Selain itu, pasien juga harus mengosongkan vesika urinaria dan tidak dalam
keadaan lapar atau haus.
 Persiapan Peralatan
Peralatan KTG terdiri dari mesin KTG, peralatan tokometer, peralatan
kardiometer, kertas KTG, jeli, kertas tissue, formulir laporan, dan troley tempat
peralatan KTG. Peralatan KTG perlu dikalibrasi, minimal setahun sekali karena
akurasi interpretasi hasil KTG sangat dipengaruhi oleh kualitas tampilan rekaman
KTG tersebut. Koneksitas data antara pasien, alat KTG dan kertas KTG harus
terjaga dengan baik. Kerusakan pada salah satu komponen akan membuat sebagian
atau bahkan seluruh data KTG hilang. Uji ulang apakah bel yang ada berfungsi
dengan baik. Bel tersebut dipergunakan oleh pasien untuk menghitung berapa
gerakan yang dirasakan selama proses pemeriksaan KTG tersebut. Bila
memungkinkan, institusi pelayanan kesehatan menyediakan bel vibroakustik untuk
merangsang aktivitas janin.

 Persiapan Pemeriksa
Pemeriksa perlu melakukan pemeriksaan ulang identitas pasien, indikasi
pemeriksaan, kesiapan peralatan, dan formulir laporan KTG. Pemeriksa
menjelaskan prosedur pemeriksaan, mengukur tekanan darah pasien sebelum
pemeriksaan dan 15 menit kemudian, menilai kontraksi atau his secara berkala,
menanyakan kepada pasien apakah ada hal yang membuatnya tidak nyaman,
menanyakan gerak janin kepada pasien serta mencocokannya dengan gerakan yang
dicatat oleh peralatan KTG. Pasien menghitung gerakan janin demngan memakai
bel yang disediakan (setiap janin bergerak, maka bel harus ditekan).
C. DETAIL PEMERIKSAAB KTG
Kontraksi Uterus

Kontraksi uterus adalah jumlah kontraksi dalam 10 menit, rata-rata dipantau dalam 30
menit. Pada saat yang sama juga dilakukan penilaian terhadap lama kontraksi, intensitas
(amplitudo), bentuk, dan relaksasi diantara dua kontraksi. Beberapa batasan berikut ini
berkaitan dengan kontraksi uterus (Freeman dkk, 2012), yaitu :

1. Kontraksi Uterus Normal : terdapat lima kontraksi atau kurang dalam 10 menit,
rata-rata dipantau selama 30 menit pemeriksaan.
2. Takhisistol : terdapat lebih dari 5 kontraksi dalam 10 menit, rata-rata dipantau
selama 30 menit pemeriksaan.
3. Catatan : istilah hiperstimulasi dan hiperkontraktilitas sudah tidak dipergunakan
lagi. Takhisistol harus selalu dikualifikasikan terhadap adanya atau tidak adanya
hubungan dengan deselerasi DJJ. Istilah takhisitol dipergunakan pada persalinan
spontan atau dengan induksi.
Respons klinis terhadap takhisistol dapat berbeda tergantung apakah kontraksi
tersebut timbul spontan atau akibat induksi persalinan.

Frekuensi dasar

Freeman dkk (2012) memberi batasan frekuensi dasar normal DJJ adalah 110 –

160 dpm teratur. Definisi frekuensi dasar DJJ menurut NICHD adalah nilai rata-rata DJJ
yang dipantau selama 10 menit, dengan peningkatan 5 dpm. Bila perubahan tersebut < 5
menit, keadaan ini disebut perubahan periodik atau berkala (periodic changes).

Bradikardia

Freeman dkk (2012) memberi batasan bradikardia adalah frekuensi dasar DJJ < 110 dpm.
Secara umum, bradikardia dengan frekuensi antara 80 – 110 dpm yang disertai variabilitas
moderat (5 – 25 dpm) menunjukkan oksigenasi yang baik tanpa asidemia. Penurunan DJJ
tersering sebagai respons akibat peningkatan tonus vagal.

Gambar. Bradikardia Janin

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Takhikardia

Freeman dkk (2012) memberi batasan takhikardia adalah frekuensi dasar DJJ > 160 dpm.
Takhikardi menggambarkan peningkatan rangsang simpatis dan atau penurunan rangsang
parasimpatis, dan secara umum berkaitan dengan hilangnya variabilitas. Kebanyakan
takhikardia janin tidak berhubungan dengan adanya hipoksia janin, Terutama pada
kehamilan aterm. Lakukan pengamatan dengan ketat bila takhikardi terjadi pada janin
preterm atau pada janin aterm tanpa diketahu apa faktor penyebabnya. Faktor-faktor yang
berkaitan atau menjadi etiologi takhikardia adalah (Freeman dkk, 2012):

1. Hipoksia janin

2. Demam pada ibu

3. Obat-obatan parasimpatolitik

4. Atropin

5. Hydroxyzine hydrochloride (Atarax atau Vistaril)

6. Phenothiazines
7. Hiperthiroid pada ibu

8. Anemia janin

9. Sepsis Janin

10. Gagal jantung janin

11. Khorioamnionitis

12. Takhiaritmia jantung janin

13. Obat-obatan simpatomimetik beta

Gambar . Takhikardia Janin

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)


Variabilitas

Interval DJJ pada janin yang sehat menunjukkan gambaran yang tidak uniform
(nonuniformity), dikenal sebagai variabilitas beat to beat. Variabilitas tersebut
menggambarkan fungsi simpatis dan parasimpatis dan disebut sebagai variabilitas jangka
pendek (short term variability atau STV). STV tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi dinilai
oleh sistem komputer dalam peralatan KTG tersebut. Komputer menilai dalam interval
rata-rata setiap 20 – 30 milidetik atau 2 – 3 dpm bila dikonversi ke dalam frekuensi DJJ.
Bila variabilitas berkurang, maka nilai rata-rata interval beat to beat menjadi ≤ 1 dpm.

Variabilitas yang kita lihat pada kertas KTG adalah variabilitas jangka panjang (long
term variability atau LTV). Fluktuasi LTV DJJ memiliki siklus 3 – 5 per menit dengan
amplitudo 5 – 20 dpm. LTV berkurang bila variabilitasnya < 5 dpm. Druzen dkk (1979)
menyatakan bahwa sistem parasimpatis lebih berperan dalam pengaturan STV sedangkan
sistem parasimpatis lebih berperan pada pengaturan LTV.

Gambar 11. Variabilitas jangka panjang (long-term variability)

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)


Akselerasi

Akselerasi adalah peningkatan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ. Adanya akselerasi
DJJ dapat dipakai sebagai petanda bahwa janin tidak sedang dalam kondisi depresi atau
asidosis (Freeman dkk, 2012).

Perubahan Periodik

Perubahan periodik adalah akselerasi atau deselrasi DJJ yang bersifat transien yang
kembali ke frekuensi dasar semula atau frekuensi dasarnya menjadi berubah. Pada
umumnya, perubahan periodik ini terjadi sebagai respon terhadap kontraksi uterus atau
gerakan janin. Takhikardia, bradikardia, dan variabilitas memengaruhi perubahan
frekuensi dasar DJJ (Freeman dkk, 2012).

Deselerasi

Deselerasi adalah penurunan DJJ ≥ 15 dpm dari frekuensi dasar DJJ. Deselerasi dapat
disebabkan oleh kompresi kepala, kompresi umbilikus, atau insufisiensi uteroplasenta.
Dikena lada empat jenis deselerasi yaitu deselerasi dini, lambat, variabel dan lama
(prolonged decelerations).

Deselerasi dini

Penekanan pada kepala janin dapat menyebabkan penurunan frekuensi DJJ, hal ini
disebabkan oleh perubahan lokal aliran darah serebral akibat stimulasi pusat vagal.
Deselerasi dini tidak berkaitan dengan hipoksia atau asidosis (Freeman dkk, 2012). Secara
singkat, mekanisme terjadinya deselerasi dini dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar. Mekanisme deselerasi dini (kompresi kepala)

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Deselerasi Variabel

Deselerasi variabel seringkali menunjukkan adanya obstrusi sirkulasi umbilikus. Pada kala
dua dapat terlihat gambaran deselerasi variabel sebagai akibat kompresi kepala. Deselerasi
variabel juga dapat disebabkan oleh regangan umbilikus, suhu dingin, dan peningkatan
tekanan pO2 pada saat bayi mulai bernafas (Freeman dkk, 2012). Secara ringkas
mekanisme terjadinya deselerasi variabel dapat dilihat pada gambar 13,
Gambar . Mekanisme deselarsi variabel

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Gambar. KTG dengan deselerasi variabel

(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html)

Deselerasi Lambat

Deselerasi lambat adalah penurunan frekuensi DJJ ≥ 15 dpm, deselarasi terjadi setelah
tercapainya puncak kontraksi uterus. Deselerasi lambat terjadi akibat terganggunya
sirkulasi uteroplasenta di daerah rongga intervilus. Secara ringkas mekanisme terjadinya
deselarsi lambat dapat dilihat pada Gambar.

Gambar . Mekanisme deselerasi lambat

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Deselerasi lama (prolonged decelerations) :


Deselerasi lama adalah deselerasi DJJ lebih dari dua menit, seringkali disertai penurunan
variabilitas dan berkaitan dengan insufisiensi uteroplasenta.

Disfungsi SSP :
Martin dkk (1979) menyatakan bila terjadi progresifitas hipoksia janin maka akan timbul
deselarsi lama sebagai tanda awal, tetapi bila keadaan tersebut tidak diperbaiki, maka akan
terjadi disfungsi SSP yang ditandai dengan hilangnya variabilitas DJJ. Hilangnya
variabilitas DJJ menunjukkan janin telah mengalami asidemia yang parah (berat).

Gambaran disfungsi SSP dapat dilihat dalam pola DJJ sebagai berikut :
1. Datar (flat)

2. Tumpul (blunted)

3. Frekuensi dasar tidak stabil (unstable baseline)

4. Overshoot

5. Pola sinusoidal (Sinusoidal patterns)

6. ”Check mark” patterns


Berikut ini disampaikan beberapa contoh hasil rekaman KTG yang menunjukkan adanya
disfungsi SSP.

Gambar . Pola DJJ datar (flat) tanpa perubahan periodik. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh adanya abnormalitas SSP, obat-obatan, atau janin yang mengalami disfungsi SSP
dan hipoksia.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)
Gambar . Pola DJJ tumpul, janin meninggal saat dalam pemantauan. Plasenta
menunjukkan gambaran khorioamnionitis akut dan funisitis yang menunjukkan kausa
kematian adalah reaksi inflamasi.
(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Gambar . Pola frekuensi dasar DJJ tidak stabil (wandering).

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)


Gambar . Pada gambar bagian atas tampak Pola DJJ overshoot setelah deselerasi
variabel. Perhatikan kembalinya DJJ ke frekuensi dasar sangat lambat dan adanya pola
DJJ yang datar. Pada gambar bagian bawah diperoleh dari janin anensefalus. Tampak
pola DJJ datar, deselerasi variabel tumpul, dan overshoot. Janin meninggal saat
persalinan.

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Gambar . Pola DJJ sinusoidal

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)


Gambar . Pola DJJ ”check mark”.

(Sumber :Freeman RK dkk. Fetal Heart Monitoring, 4th Ed, 2012)

Mampu Melakukan Pemeriksaan, Interpretasi Hasil dan Membuat


Laporan KTG dengan Baik

Banyak cara yang dapat dipakai untuk melakukan pemantauan kesejahteraan janin, dari
cara sederhana hingga yang canggih. Pembahasan pada makalah ini memang dibuat
sederhana agar mudah dipahami oleh paramedis, dokter umum atau pembaca lainnya.

Cara sederhana. Dengan cara sederhana, pemantauan dilakukan melalui analisa


keluhan ibu (anamnesis), pemantauan gerak harian janin dengan kartu gerak janin,
pengukuran tinggi fundus uteri dalam sentimeter, pemantauan denyut jantung janin (DJJ)
dan analisa penyakit pada ibu.

Adanya keluhan dari klien (pasien) harus dicermati dan dianalisa dengan baik karena
keluhan tersebut mengungkapkan adanya sesuatu yang mungkin tidak baik bagi kesehatan
ibu dan atau janin yang dikandungnya. Sambil melakukan anamnesis yang teliti, perhatikan
juga keadaan fisik dan psikologis dari ibu tersebut. Anamnesis yang baik, dapat
menegakkan diagnosis dengan baik pula. Misalnya gerak janin yang berkurang atau
keluarnya darah per vaginam merupakan tanda adanya abnormalitas yang harus dicari
penyebabnya.

Cara canggih. Pemantauan kesejahteraan janin memakai alat canggih terdiri dari
ultrasonografi (USG), kardiotokografi (KTG), profil biofisik (Manning) atau fungsi
dinamik janin plasenta (FDJP) Gulardi, analisa gas darah dan pemeriksaan penunjang
canggih lainnya. Pembahasan berikut dibatasi pada

KTG.

Kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu dalam pemantauan kesejahteraan janin.


Pada KTG ada tiga parameter dipantau dalam waktu bersamaan yaitu denyut jantung janin
(DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin. Peralatan KTG tersebut harus dipelihara dengan
baik, jangan sampai kabelnya rusak akibat sering dilepas dan dipasang atau kesalahan
dalam perawatan peralatan tokometer dan kardiometer. Diperlukan seorang penanggung
jawab untuk perawatan dan pengoperasionalan KTG tersebut, juga pelatihan didalam
menginterpretasikan hasil KTG tersebut. Pada saat pemeriksaan KTG, posisi pasien tidak
boleh tidur terlentang, tetapi harus setengah duduk atau tidur miring.

Gambar. Posisi pasien saat pemeriksaan CTG

(Sumber : http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html )

Syarat Pemeriksaan Kardiotokografi

1. Janin hidup dengan usia kehamilan ≥ 28 minggu.

2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).

3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) dan tinggi fundus uteri diketahui.

4. Peralatan dalam keadaan baik dan siap pakai.

5. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada KTG
terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik.
Sebelum melakukan interpretasi KTG harus mengetahui bagaimana kondisi ibu dan janin,
peralatan yang dipakai, dan sarana pendukung lainnya yang berkaitan dengan PKJ. Hal
terpenting adalah identifikasi semua faktor yang berkaitan dengan risiko hipoksia pada
janin. NICHD (2008) dan Freeman dkk (2012) merekomendasikan penerapan Tiga
Katagori dalam interpretasi DJJ sebagai berikut :

Katagori I

Katagori satu adalah kondisi normal dari pemantauan DJJ dan menggambarkan status asam
basa janin saat pemantauan dalam keadaan normal. Katagori I dapat dipantau pada
pemeriksaan rutin asuhan antenatal dan tidak memerlukan tatalaksana khusus.

Katagori II

Katagori II tidak memprediksi adanya abnormalitas status asam basa janin, saat ini belum
ditemukan bukti yang adekuat untuk mengkasifikasikan katagori ini menjadi Katagori I
atau Katagori III. Katagori II memerlukan evaluasi dan pemantauan lanjut serta reevaluasi
dan mencari factor-faktor yang berkaitan dengan keadaan klinis. Pada beberapa keadaan
diperlukan uji diagnostic untuk memastikan status kesejahteraan janin atau melakukan
resusitasi intrauterine pada hasil Katagori II ini.

Katagori III

Katagori III berkaitan dengan abnormalitas status asam basa pada saat pemantauan janin
tersebut dilakukan. Katagori III memerlukan evaluasi yang baik (akurat). Pada kondisi ini,
tindakan yang dilakukan tidak terbatas hanya untuk memberikan oksigenasi bagi ibu,
merubah posisi ibu, menghentikan stimulasi persalinan, atasi hipotensi maternal, dan
penatalaksanaan takhisistol, tetapi juga dilihat situasi klinis yang terjadi pada waktu itu.
Bila Katagori III tidakdapat diatasi, pertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan
(persalinan).
KATAGORI I : Pola DJJ Normal

1. Frekuensi dasar DJJ : 110 – 160 dpm


2. Variabilitas DJJ : moderat (5 – 25 dpm)
3. Tidak ada deselerasi lambat dan variabel
4. Tidak ada atau ada deselerasi dini
5. Ada atau tidak ada akselerasi

KATAGORI II : Pola DJJ Ekuivokal


Frekuensi Dasar dan Variabilitas

1. Frekuensi dasar DJJ : Bradikardia (<110 dpm) yang tidak disertai hilangnya
variabilitas (absent variability)
2. Takhikardia ( DJJ >160 dpm)
3. Variabilitas minimal (1 – 5 dpm)
4. Tidak ada variabilitas, tanpa disertai deselerasi berulang
5. Variabilitas > 25 dpm (marked variability)

Perubahan Periodik
1. Tidak ada akselerasi DJJ setelah janin distimulasi
2. Deselerasi variabel berulang yang disertai variabilitas DJJ minimal atau moderat
3. Deselerasi lama (prolonged deceleration) > 2 menit tetapi < 10 menit
4. Deselerasi lambat berulang disertai variabilitas DJJ moderat (moderate baseline
variability)
5. Deselerasi variabel disertai gambaran lainnya, misal kembalinya DJJ ke frekuensi
dasar lambat atau ada gambaran overshoot
KATAGORI III : Pola DJJ abnormal

Tidak ada variabilitas DJJ (absent FHR variability) disertai oleh :

1. Deselerasi lambat berulang


2. Deselerasi variabel berulang
3. Bradikardia
4. Pola sinusoid (sinusoidal pattern)

Pada halaman berikut disampaikan contoh formulir Laporan Kardiotokografi (KTG) yang
dipergunakan di Departemen Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Pendidikan Kelas A,
RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. Telah dilakukan uji coba selama dua bulan di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad dan di sebuah RSIA Hermina Jatinegara di Jakarta (pada Bulan
November dan Desember 2012) dan diperoleh hasil yang baik dalam penerimaan oleh
petugas kesehatan serta akurasi yang sama dibandingkan metoda yang lama (interpretasi
Reassuring,

Nonreassuring, atau Meragukan pada evaluasi antenatal atau interpretasi Positif, Negatif,
dan ekuivokal pada evaluasi saat persalinan). Metoda baru ini lebih mampu laksana karena
lebih mudah dalam melakukan interpretasi hasil dan memiliki panduan interpretasi yang
jelas. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut, misalnya berapa frekuensi normal DJJ
Indonesia, agar kesalahan interpretasi dapat diminimalis.

Formulir panduan pengisian formulir pemeriksaan KTG diperlukan sebagai sarana


standarisasi dalam melakukan pemeriksaan, sarana penelitian, dan melatih tenaga
kesehatan agar kompeten dalam melakukan pemeriksaan KTG tersebut.
LAPORAN KARDIOTOKOGRAFI (KTG)
Data Pasien
Nama Pasien : …………………………No CM : …………………
Tanggal : …………………………Jam : …………………
Posisi pasien : …………………………Usia gestasi : …………………
TD awal : …………………………TD menit ke 15 : …………………
Cara pantau : ……………………… Kecepatan kertas : 1 / 2 / 3 cm/menit
Periksa dalam : tidak dilakukan/dilakukan, dengan hasil ……………………….
…………………………………………………………………………………………………..
Diagnosis ibu : ……………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………………..
Diagnosis janin : ……………………………………………………………….………

Obat-obatan : ………………………………………………………………………

Denyut Jantung Janin


Frekuensi dasar :………… dpm, variabilitas : tidak ada / minimal (1-5 dpm) / moderat
(5-25 dpm) / meningkat (>25 dpm), akselerasi : ada / tidak ada, deselerasi : tidak ada /
ada, yaitu jenisnya : dini / lambat / variabel / lama

(prolonged), beratnya : ringan / sedang / berat. Pola disfungsi SSP : tidak ada / ada,
yaitu : datar (flat) / tumpul (blunted) / frekuensi dasar tidak stabil (unstable baseline) /
pola overshoot / pola sinusoidal / pola checkmark.

Kontraksi Uterus / His


Kontraksi tidak ada / ada / ada his ; Frekuensi : ……/ 10 menit ; kekuatan :
…..……mmHg ; lamanya : … …… menit ; relaksasi : ……………… ; konfigurasi :
……………………………………… ; tonus dasar : ………….mmHg

Gerak Janin : ……….. kali dalam : ………. menit

Diagnosis KTG : Katagori I / II / III


SARAN : ……………………………………………………………………………...

PPDS OBGIN Bidan Jaga DPJP


(…………………..…) (…………………….) (………………………)

CATATAN : Laporan ini harus segera dibuat setelah pemeriksaan selesai dan disimpan dalam
status pasien. PPDS dan Bidan jaga harus MENANDATANGANI dan mendiskusikan hasil
pemeriksaan KTG tersebut dengan Dokter Penanggungh Jawab Pasien (DPJP).

Referensi

Endjun, Judi Januadi, Biran Affandi. 2013. Kardiotokografi. Departemen Obstetri dan
Ginekologi, RS Pendidikan RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad/FKUI.
PERMINTAAN PEMERIKSAAN USG OBSGYN

Perkembangan Ultrasonografi (USG) sudah dimulai sejak kira-kira tahun 1960,


dirintis oleh Profesor Ian Donald. Sejak itu, sejalan dengan kemajuan teknologi bidang
komputer, maka perkembangan ultrasonografi juga maju dengan sangat pesat, sehingga
saat ini sudah dihasilkan USG 3 Dimensi dan Live 3D (ada yang menyebut sebagai USG
4D).

INDIKASI PEMERIKSAAN USG


Indikasi merupakan salah satu prasyarat penting yang harus dipenuhi sebelum
pemeriksaan USG dilakukan. Pemeriksaan USG janganlah dilakukan secara rutin atau
setiap melakukan pemeriksaan pasien, terutama bila pasien hamil. Banyak panduan yang
telah diterbitkan, misalnya dari AIUM (American Institute of Ultrasound in Medicine).
Untuk mempermudah memilah indikasi pemeriksaan, penulis menyarankan pembagian
indikasi tersebut atas indikasi obstetri, ginekologi onkologi, endokrinologi reproduksi, dan
indikasi non obstetri ginekologi.
Dalam bidang obstetri, indikasi yang dianut adalah melakukan pemeriksaan USG
begitu diketahui hamil, penapisan USG pada trimester pertama (kehamilan 10 – 14
minggu), penapisan USG pada kehamilan trimester kedua (18 – 20 minggu), dan
pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk memantau tumbuh kembang janin. Dalam
bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila ditemukan kelainan secara
fisik atau dicurigai ada kelainan tetapi pada pemeriksaan fisik tidak jelas adanya kelainan
tersebut.
Dalam bidang endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk
mencari kausa gangguan hormon, pemantauan folikel dan terapi infertilitas, dan
pemeriksaan pada pasien dengan gangguan haid. Sedangkan indikasi non obstetrik bila
kelainan yang dicurigai berasal dari disiplin ilmu lain, misalnya dari bagian pediatri,
rujukan pasien dengan kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll. Berikut ini
diberikan contoh indikasi yang dikeluarkan oleh NIH 1.

National Institute of Health (NIH), USA (1983 – 1984) menentukan indikasi untuk
dilakukannya pemeriksaan USG sebagai berikut :
1. Menentukan usia gestasi secara lebih tepat pada kasus yang akan menjalani seksio
sesarea berencana, induksi persalinan atau pengakhiran kehamilan secara elektif.
2. Evaluasi pertumbuhan janin, pada pasien yang telah diketahui menderita
insufisiensi uteroplasenter, misalnya preeklampsia berat, hipertensi kronik,
penyakit ginjal kronik, atau diabetes mellitus berat; atau menderita gangguan
nutrisi sehingga dicurigai terjadi pertumbuhan janin terhambat, atau makrosomia.
3. Perdarahan per vaginam pada kehamilan yang penyebabnya belum diketahui.
4. Menentukan bagian terendah janin bila pada saat persalinan bagian terendahnya
sulit ditentukan atau letak janin masih berubah-ubah pada trimester ketiga akhir.
5. Kecurigaan adanya kehamilan ganda berdasarkan ditemukannya dua DJJ yang
berbeda frekuensinya atau tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia gestasi, dan
atau ada riwayat pemakaian obat-obat pemicu ovulasi.
6. Membantu tindakan amniosentesis atau biopsi villi koriales.
7. Perbedaan bermakna antara besar uterus dengan usia gestasi berdasarkan tanggal
hari pertama haid terakhir.
8. Teraba masa pada daerah pelvik.
9. Kecurigaan adanya mola hidatidosa.
10. Evaluasi tindakan pengikatan serviks uteri (cervical cerclage).
11. Suspek kehamilan ektopik.
12. Pengamatan lanjut letak plasenta pada kasus plasenta praevia.
13. Alat bantu dalam tindakan khusus, misalnya fetoskopi, transfusi intra uterin,
tindakan “shunting”, fertilisasi in vivo, transfer embrio, dan “chorionic villi
sampling” (CVS).
14. Kecurigaan adanya kematian mudigah / janin.
15. Kecurigaan adanya abnormalitas uterus.
16. Lokalisasi alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
17. Pemantauan perkembangan folikel.
18. Penilaian profil biofisik janin pada kehamilan diatas 28 minggu.
19. Observasi pada tindakan intra partum, misalnya versi atau ekstraksi pada janin
kedua gemelli, plasenta manual, dll.
20. Kecurigaan adanya hidramnion atau oligohidramnion.
21. Kecurigaan terjadinya solusio plasentae.
22. Alat bantu dalam tindakan versi luar pada presentasi bokong.
23. Menentukan taksiran berat janin dan atau presentasi janin pada kasus ketuban pecah
preterm dan atau persalinan preterm.
24. Kadar serum alfa feto protein abnormal.
25. Pengamatan lanjut pada kasus yang dicurigai menderita cacat bawaan.
26. Riwayat cacat bawaan pada kehamilan sebelumnya.
27. Pengamatan serial pertumbuhan janin pada kehamilan ganda.
28. Pemeriksaan janin pada wanita usia lanjut (di atas 35 tahun) yang hamil.
Gambar. Surat Permintaan USG Obstetri dam Gynecology

Referensi :
1. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
Persiapan dan Teknik Pemeriksaan USG Obstetri dan Ginekologi
Dasar

Tujuan Pembelajaran

Umum

Setelah mempelajari tulisan ini, pembaca diharapkan mampu mengetahui persiapan yang
harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan USG serta teknik pemeriksaan USG
Dasar obstetri dan ginekologi.

Khusus

1. Mampu menyebutkan langkah-langkah persiapan pemeriksaan USG obstetri


ginekologi, termasuk persiapan alat, persiapan pasien, dan persiapan pemeriksa, serta
pengelolaan limbah dan prosedur pencegahan infeksi universal.
2. Mengetahui cara kerja gelombang suara, artefak, dan proses perubahannya sehingga
menjadi sebuah gambar yang dapat dianalisa.
3. Mengetahui keamanan pemeriksaan USG, terutama bagi janin.
4. Mampu menyebutkan indikasi pemeriksaan USG obstetri dan ginekologi.
5. Mampu menyebutkan manfaat lain dari pemeriksaan USG.
6. Mampu melakukan pemeriksaan dasar USG Dasar obstetri dan ginekologi dengan baik
dan benar.
7. Mampu menjelaskan dengan baik tatacara pemeriksaan USG Obstetri Ginekologi
Dasar sehingga klien bersedia memberikan persetujuan tindak medik pemeriksaan
USG Obstetri dan Ginekologi.
Pembahasan pada Persiapan dan Teknik Pemeriksaan USG Obstetri Ginekologi
terdiri dari :

Pendahuluan

Pada setiap pemeriksaan USG, diperlukan persiapan yang baik dari pasien, pemeriksa,
maupun peralatan yang akan dipergunakan. Bila salah satu tidak siap, kemungkinan adanya
gangguan dalam proses pemeriksaan USG tersebut dapat saja terjadi. Misalnya, bila
pemeriksa sedang dalam kondisi kelelahan atau sakit, maka pemeriksaan USG harus
dihentikan. Bila klien belum memberikan persetujuan untuk pemeriksaan USG, maka
pemeriksaan USG tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Sebelum memulai pemeriksaan, perhatikan setting mesin USG. Jangan memakai
setting obstetri untuk pemeriksaan ginekologi, atau setting jantung untuk pemeriksaan
obstetri. Setting yang salah akan menyebabkan kesalahan dalam diagnosis semakin besar.
Selain itu, buku manual harus diletakkan didekat mesin USG agar bila terjadi masalah
dapat dicari penyelesaiannya pada buku manual tersebut.

Kesamaan teknik dasar pemeriksaan USG obstetri dan ginekologi diperlukan agar
dapat dicapai suatu standarisasi dalam pemeriksaan USG tersebut. Standarisasi ini penting
didalam mencapai dan melakukan evaluasi tingkat kompetensi seorang sonografer atau
sonologist.

Indikasi Pemeriksaan

Indikasi pemeriksaan USG merupakan salah satu prasyarat penting yang harus dipenuhi
sebelum pemeriksaan USG dilakukan. Pemeriksaan USG janganlah dilakukan secara rutin
atau setiap melakukan pemeriksaan pasien, terutama bila pasien hamil. Banyak panduan
yang telah diterbitkan, misalnya dari ISUOG (International Society of Ultrasound in
Medicine), AIUM (American Institute of Ultrasound in Medicine), RCOG (Royal College
of Obstetrics and Gynecology), atau ASUM (Australian Society of Ultrasound in
Medicine).

Untuk mempermudah memilah indikasi pemeriksaan tersebut penulis menyaran-kan


pembagian indikasi sebagai berikut :

1. indikasi obstetri,
2. indikasi ginekologi onkologi,
3. indikasi endokrinologi reproduksi,
4. indikasi uroginekologi, dan
5. indikasi non obstetri ginekologi.
Dalam bidang USG obstetri, indikasi yang dianut di RSPAD Gatot Soebroto adalah :

1. melakukan pemeriksaan USG begitu diketahui hamil atau belum pernah di USG
di Departemen OBGIN RSPAD Gatot Soebroto,
2. penapisan USG pada trimester pertama (kehamilan 10 – 14 minggu),
3. penapisan USG pada kehamilan trimester kedua (18 – 22 minggu), dan
4. pemeriksaan tambahan yang diperlukan, misalnya untuk memantau tumbuh
kembang janin pada kasus pertumbuhan janin terhambat atau pemeriksaan ulang
plasenta praevia pada kehamilan 36 minggu.
Dalam bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila ditemukan
massa tumor didaerah pelvik dan untuk pemantauan hasil pengobatan. Dalam bidang
endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk mencari kausa gangguan
hormon, pemantauan folikel, evaluasi terapi infertilitas, dan pemeriksaan pada pasien
dengan gangguan haid. Dalam bidang uroginekologi, pemeriksaan USG dilakukan pada
kasus kelainan kongenital genitalia, gangguan berkemih, atau gangguan akibat kelemahan
otot-otot dasar panggul. Bidang kajian ini masih baru sehingga masih terbuka luas untuk
penelitian dasar maupun lanjut. Sedangkan indikasi non obstetrik bila kelainan yang
dicurigai berasal dari disiplin ilmu lain, misalnya dari bagian pediatri, penyaki dalam, atau
rujukan pasien dengan kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll.

Berikut ini diberikan contoh indikasi yang dikeluarkan oleh NIH (National Institute of
Health, USA)

National Institute of Health (NIH), USA (1983 – 1984) menentukan indikasi untuk
dilakukannya pemeriksaan USG obstetri ginekologi sebagai berikut :

1. Menentukan usia gestasi secara lebih tepat pada kasus yang akan menjalani seksio
sesarea berencana, induksi persalinan atau pengakhiran kehamilan secara elektif.
2. Evaluasi pertumbuhan janin, pada pasien yang telah diketahui menderita
insufisiensi uteroplasenta, misalnya pre-eklampsia berat, hipertensi kronik, penyakit
ginjal kronik, diabetes mellitus berat; atau menderita gangguan nutrisi sehingga
dicurigai terjadi pertumbuhan janin terhambat, atau makrosomia.
3. Perdarahan per vaginam pada kehamilan yang penyebabnya belum diketahui.
4. Menentukan bagian terendah janin bila pada saat persalinan bagian terendahnya
sulit ditentukan atau letak janin masih berubah-ubah pada trimester ketiga akhir.
5. Kecurigaan adanya kehamilan ganda berdasarkan ditemukannya dua DJJ yang
berbeda frekuensinya atau tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia gestasi, dan atau
ada riwayat pemakaian obat-obat pemicu ovulasi.
6. Membantu tindakan amniosentesis atau biopsi villi koriales.
7. Perbedaan bermakna antara besar uterus dengan usia gestasi berdasarkan tanggal
hari pertama haid terakhir.
8. Teraba masa pada daerah pelvik.
9. Kecurigaan adanya mola hidatidosa.
10. Evaluasi tindakan pengikatan serviks uteri (cervical cerclage).
11. Suspek kehamilan ektopik.
12. Pengamatan lanjut letak plasenta pada kasus plasenta praevia.
13. Alat bantu dalam tindakan khusus, misalnya fetoskopi, transfusi intra uterin,
tindakan “shunting”, fertilisasi in vivo, transfer embrio, dan “chorionic villi sampling”
(CVS).
14. Kecurigaan adanya kematian mudigah / janin.
15. Kecurigaan adanya abnormalitas uterus.
16. Lokalisasi alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
17. Pemantauan perkembangan folikel.
18. Penilaian profil biofisik janin pada kehamilan diatas 28 minggu.
19. Observasi pada tindakan intra partum, misalnya versi atau ekstraksi pada janin
kedua gemelli, plasenta manual, dll.
20. Kecurigaan adanya hidramnion atau oligohidramnion.
21. Kecurigaan terjadinya solusio plasentae.
22. Alat bantu dalam tindakan versi luar pada presentasi bokong.
23. Menentukan taksiran berat janin dan atau presentasi janin pada kasus ketuban pecah
preterm dan atau persalinan preterm.
24. Kadar serum alfa feto protein abnormal.
25. Pengamatan lanjut pada kasus yang dicurigai menderita cacat bawaan.
26. Riwayat cacat bawaan pada kehamilan sebelumnya.
27. Pengamatan serial pertumbuhan janin pada kehamilan ganda.
28. Pemeriksaan janin pada wanita berusia di atas 35 tahun.
Tampilan Gambar

Tampilan gambar pada layar monitor dapat berupa ampiltudo (A), brightness (B), time-
motion (T-M), dan Doppler. Tampilan Amplitudo saat ini sudah tidak dipergunakan lagi
dalam bidang obstetri ginekologi. Tampilan brightness saat ini sudah merupakan gambaran
yang nyata (real-time), artinya yang kita lihat adalah yang juga sedang diperiksa, misalnya
pada waktu janin bergerak, maka pada saat yang sama kita juga dapat melihat pada layer
monitor bayi yang sedang bergerak (Gambar 1)..

Gambar 1. Tampilan B-mode pada layar monitor

Pada pemeriksaan time-motion atau lebih sering disebut “M-mode” dapat dilihat suatu
grafik pergerakan yang berhubungan dengan keteraturan dan satuan waktu, misalnya dari
pergerakan katup jantung dapat diukur berapa frekuensi denyut jantung janin dalam satu
menit dan dapat dilihat apakah teratur atau tidak (Gambar 2). Selain itu, dapat juga diukur
ketebalan dinding jantung janin, serta patologi yang ada pada jantung dan daerah
sekitarnya. Tampilan Doppler memungkinkan kita melihat denyut pembuluh darah, arah
aliran darah (memakai doppler berwarna) dan melakukan kalkulasi kecepatan aliran darah
(velositas) dalam pembuluh darah.
Gambar 2. Tampilan M-mode pada denyut jantung janin

Ketajaman gambar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu frekuensi, fokus, resolusi
aksial, resolusi lateral, artefak, dan resolusi near-field / far-field.

Semakin tinggi frekuensi gelombang suara, maka semakin pendek gelombang suara
yang dipergunakan, sehingga gambar yang dihasilkan lebih jelas dan rinci (memiliki
resolusi tinggi). Kebalikannya bila semakin tinggi frekuensi yang dipergunakan, maka
kedalaman penetrasi gelombang suara semakin rendah (dangkal), artinya untuk
pemeriksaan organ superfisial atau yang dekat dengan transduser lebih baik memakai
frekuensi tinggi (> 5 MHz), misalnya USG transvaginal atau payudara.

Ketajaman gambar juga dipengaruhi oleh fokus. Fokus dapat diatur melalui mesin
USG oleh operator, fokus ditempatkan pada daerah yang akan diamati. Khusus untuk
pemeriksaan jantung janin hanya dipergunakan satu fokus saja, sedangkan untuk organ
lainnya cukup dua buah fokus. Semakin banyak fokus yang dipergunakan, semakin banyak
energi yang dipakai, sehingga gambar USG semakin tidak tegas gambarannya. Pada
Gambar 3 dapat dilihat penempatan fokus yang salah (Gambar A) dan benar (Gambar B).
Ketajaman gambar akan sangat berbeda dan hal ini akan mempengaruhi ketepatan hasil
diagnostik sonografisnya.
Gambar 3. Pada gambar (A) letak fokus dibawah dari obyek yang akan dinilai
sedang pada gambar (B) letak kedua fokus tepat pada obyek yang akan
dinilai

Resolusi aksial dan lateral mempengaruhi ketajaman gambar. Resolusi aksial adalah
kemampuan untuk membedakan dua titik pada daerah yang tegak lurus dengan transduser.
Resolusi lateral adalah kemampuan untuk membedakan dua titik pada daerah horizontal
(lateral) terhadap transduser. Selain itu, ketajaman gambar juga dapat dipengaruhi oleh
adanya artefak.

Persiapan Pemeriksaan

Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan USG adalah :

Pencegahan infeksi
Persiapan alat
Persiapan pasien
Persiapan pemeriksa a. Pencegahan infeksi
Cuci tangan sebelum dan setelah kontak langsung dengan pasien, setelah kontak dengan
darah atau cairan tubuh lainnya, dan setelah melepas sarung tangan, telah terbukti dapat
mencegah penyebaran infeksi. Epidemi HIV/AIDS telah menjadikan pencegahan infeksi
kembali menjadi perhatian utama, termasuk dalam kegiatan pemeriksaan USG dimana
infeksi silang dapat saja terjadi. Kemungkinan penularan infeksi lebih besar pada waktu
pemeriiksaan USG transvaginal karena terjadi kontak dengan cairan tubuh dan mukosa
vagina.
Risiko penularan dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang, dan ringan.

1. Risiko penularan tinggi terjadi pada pemeriksaan USG intervensi (misalnya


punksi menembus kulit, membran mukosa atau jaringan lainnya); peralatan
yang dipakai memerlukan sterilisasi (misalnya dengan autoklaf atau etilen
oksida) dan dipergunakan sekali pakai dibuang.
2. Risiko penularan sedang terjadi pada pemeriksaan USG yang mengadakan
kontak dengan mukosa yang intak, misalnya USG transvaginal; peralatan yang
dipakai minimal memerlukan desinfeksi tingkat tinggi (lebih baik bila
dilakukan sterilisasi).
3. Risiko penularan ringan terjadi pada pemeriksaan kontak langsung dengan
kulit intak, misalnya USG transabdominal; peralatan yang dipakai cukup
dibersihkan dengan alkohol 70% (sudah dapat membunuh bakteri vegetatif,
virus mengandung lemak, fungisidal, dan tuberkulosidal) atau dicuci dengan
sabun dan air.

Panduan di bawah ini dapat membantu mencegah penyebaran infeksi :

1. Semua jeli yang terdapat pada transduser harus selalu dibersihkan, bisa memakai
kain halus atau kertas tissue halus.
2. Semua peralatan yang terkontaminasi atau mengandung kotoran harus dibersihkan
dengan sabun dan air. Perhatikan petunjuk pabrik tentang tatacara membersihkan
peralatan USG.
3. Transduser kemudian dibersihkan dengan alkohol 70% atau direndam selama dua
menit dalam larutan yang mengandung sodium hypochlorite (kadar 500 ppm10 dan
diganti setiap hari), kemudian dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya
dikeringkan.
4. Transduser harus diberi pelapis sebelum dipakai untuk pemeriksaan USG
transvaginal, bisa memakai sarung tangan karet, atau kondom.
5. Pemeriksa harus memakai sarung tangan sekali pakai (tidak steril) pada tangan
yang akan membuka labia sebelum transduser vagina dimasukkan. Perhatikan
jangan sampai sarung tangan tersebut mengotori peralatan USG dan tempat
pemeriksaan.
6. Setelah melakukan pemeriksaan, kondom atau sarung tangan harus dimasukkan
pada tempat khusus untuk mencegah penyebaran infeksi, dan kemudian pemeriksa
mencuci tangan (Gambar 4).
7. Pada pemeriksaan USG invasif, misalnya ovum pick-up persiapan yang dilakukan
sama seperti akan melakukan tindakan operasi, misalnya peralatan yang dipakai
harus steril, operator mencuci tangan dengan larutan mengandung khlorheksidine
3%, memakai sarung tangan dan masker, serta memakai kacamata. Kulit
dibersihkan dengan memakai etil alkohol 70%, isopropil alkohol 60%,
khlorheksidin alkohol, atau povidone iodine. Transduser dibersihkan dan dilakukan
desinfeksi, kemudian dibungkus dengan plastik khusus yang steril. Membran
mukosa vagina dibersihkan dengan larutan yang mengandung khlorheksidin
0,015% ditambah larutan cetrimide 0,15%

Gambar 4. Tempat sampah untuk penampungan


sementara (Sumber : RSIA Hermina
Jatinegara)

b. Persiapan alat

Perawatan peralatan yang baik akan membuat hasil pemeriksaan juga tetap baik.
Mesin USG diletakkan disebelah kanan tempat tidur pasien, bila pemeriksa bertangan kiri,
maka mesin diletakkan disisi kiri pasien. Hidupkan peralatan USG sesuai dengan tatacara
yang dianjurkan oleh pabrik pembuat peralatan tersebut. Panduan pengoperasian peralatan
USG sebaiknya diletakkan di dekat mesin USG, hal ini sangat penting untuk mencegah
kerusakan alat akibat ketidaktahuan operator USG.
Perhatikan tegangan listrik pada kamar USG, karena tegangan yang terlalu naik-turun
akan membuat peralatan elektronik mudah rusak. Bila perlu pasang stabilisator tegangan
listrik dan

UPS (uninterrupted power supply).

Setiap kali selesai melakukan pemeriksaan USG, bersihkan semua peralatan dengan
hati-hati, terutama pada transduser (penjejak) yang mudah rusak (Gambar 5). Bersihkan
transduser dengan memakai kain yang lembut dan cuci dengan larutan anti kuman yang
tidak merusak transduser (informasi ini dapat diperoleh dari setiap pabrik pembuat mesin
USG).

Selanjutnya taruh kembali transduser pada tempatnya, rapikan dan bersihkan kabel-
kabelnya, jangan sampai terinjak atau terjepit (Gambar 6). Setelah semua rapih, tutuplah
mesin USG dengan plastik penutupnya. Hal ini penting untuk mencegah mesin USG dari
siraman air atau zat kimia lainnya.

Agar alat ini tidak mudah rusak, tentukan seseorang sebagai penanggung jawab
pemeliharaan alat tersebut.

Gambar 5. Bersihkan transduser dari kotoran-kotoran pasca


pemeriksaan (Sumber : RSIA Hermina Jatinegara)
Gambar 6. Tempatkan semua transduser pada tempat yang disediakan, perhatikan
jalannya kabel transduser agar tidak terinjak atau tergilas roda mesin
USG (Sumber : RSIA Hermina Jatinegara)

c. Persiapan pasien

Sebelum pasien menjalani pemeriksaan USG, ia sudah harus memperoleh informasi yang
cukup mengenai pemeriksaan USG yang akan dijalaninya. Informasi penting yang harus
diketahui pasien adalah harapan dari hasil pemeriksaan, cara pemeriksaan (termasuk posisi
pasien), akurasi ketepatan diagnostik, perlu tidaknya pemeriksaan USG 3D, dan berapa
biaya pemeriksaan

Caranya dapat dengan memberikan brosur atau leaflet atau bisa juga melalui
penjelasan secara langsung oleh dokter pemeriksa. Sebelum melakukan pemeriksaan USG,
pastikan bahwa pasien benar-benar telah mengerti dan memberikan persetujuan untuk
dilakukan pemeriksaan USG atas dirinya.

Bila akan melakukan pemeriksaan USG transvaginal, tanyakan kembali apakah ia


seorang nona atau nyonya ?, jelaskan dan perlihatkan tentang pemakaian kondom yang
baru pada setiap pemeriksaan (kondom penting untuk mencegah penularan infeksi).

Pada pemeriksaan USG transrektal, kondom yang dipasang sebanyak dua buah, hal
ini penting untuk mencegah penyebaran infeksi.

Terangkan secara benar dan penuh pengertian bahwa USG bukanlah suatu alat yang
dapat melihat seluruh tubuh janin atau organ kandungan, hal ini untuk menghindarkan
kesalahan harapan dari pasien. Sering terjadi bahwa pasien mengeluh “Kok sudah
dikomputer masih juga tidak dikatahui adanya cacat bawaan janin atau ada kista indung
telur ?” USG hanyalah salah satu dari alat bantu diagnostik didalam bidang kedokteran.
Mungkin saja masih diperlukan pemeriksaan lainnya agar diagnosis kelainan dapat
diketahui lebih tepat dan cepat.

d. Persiapan pemeriksa

Pemeriksa diharapkan memeriksa dengan teliti surat pengajuan pemeriksaan USG, apa
indikasinya dan apakah perlu didahulukan karena bersifat darurat gawat, misalnya pasien
dengan kecurigaan kehamilan ektopik. Tanyakan apakah ia seorang nyonya atau nona,
terutama bila akan melakukan pemeriksaan USG transvaginal.
Selanjutnya cocokkan identitas pasien, keluhan klinis dan pemeriksaan fisik yang ada;
kemudian berikan penjelasan dan ajukan persetujuan lisan terhadap tindak medik yang
akan dilakukan. Persetujuan tindak medik yang kebanyakan berlaku di Indonesia saat ini
hanyalah bersifat persetujuan lisan, kecuali untuk tindakan yang bersifat invasif misalnya
kordosintesis atau amniosintesis.

Dimasa mendatang tampaknya pemeriksaan USG transvaginal memerlukan


persetujuan tertulis dari pasien. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk mencegah
penularan penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS dan penyakit menular seksual akibat
semakin banyaknya seks bebas dan pemakaian NARKOBA.
Setiap mesin mempunyai konfigurasi tampilan tombol-tombol yang berbeda,
sehingga setiap pemeriksa harus menyesuaikan dengan peralatan yang dipakainya
serta mengenali semua lokasi dan fungsi tombol-tombol yang tersedia (Gambar 7).

Transduser dipegang oleh tangan yang terdekat dengan tubuh pasien, hal ini
untuk mencegah terjatuhnya transduser tersebut. Sebaiknya pemeriksa duduk
dikursi ergonomis yang dapat bergerak, berputar, dan dapat diatur ketinggiannya
agar posisi tangan sama tinggi dengan dinding perut pasien (pemeriksaan USG
transabdominal) atau duduk di depan perineum pada saat melakukan pemeriksaan
USG transvaginal. Mesin USG harus dapat dijangkau oleh tangan kiri pemeriksa
agar pemeriksaan tersebut dapat optimal dan tidak membuat lekas lelah.

Pemeriksa juga harus berlatih dengan baik agar dapat merasakan bahwa
transduser tersebut merupakan kepanjangan dan bagian dari tangannya (terutama
transduser transvaginal) sehingga adanya tahanan, konsistensi masa, atau
perlekatan dapat dirasakan. Jangan memegang transduser terlalu kaku dan kuat
karena akan menimbulkan cedera pada lengan dan bahu. Pemeriksa juga harus
mengetahui program pencegahan infeksi universal.

Gambar .7. Tampilan tombol-tombol pad


keyboard USG (Sumber : RSIA
Hermina Jatinegara)

Selain itu, pemeriksa diharapkan selalu meningkatkan pengetahuan dan


keterampilannya dengan cara membaca kembali buku teks atau literatur-literatur
mengenai USG, mengikuti pelatihan secara berkala dan mengikuti seminar-seminar
atau pertemuan ilmiah lainnya mengenai kemajuan USG mutakhir (continuing
professional development / CPD). Kemampuan diagnostik seorang sonografer dan
sonologist sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan latihan yang
dilakukannya.

Teknik Pemeriksaan

Pemeriksaan USG obstetri dan ginekologi dapat dilakukan melalui cara :

Transabdominal
Transvaginal,
Transperineal / translabial,
Transrektal, atau
Pemeriksaan USG invasif
6. Pemeriksaan USG transabdominal
Sebelum memulai pemeriksaan perhatikan pengaturan pemindaian, pada layer
monitor akan tampak gambaran tampilan USG transabdominal. Tentukan mana
posisi kanan transduser kemudian samakan dengan posisi kanan pasien dan kanan
layar monitor (Gambar 8 - 11).

Gambar 8 . Petunjuk arah pada transduser transabdominal pada posisi transversal


dan longitudinal
Gambar 9. Jeli USG diletakkan pada sisi kanan transduser dan pada layar monitor
gambaran jeli tersebut tampak sebagai daerah ekhogenik yaitu di sisi kanan
layar monitor

Gambar 10. Penempatan jeli pada transduser dan tampilannya pada layar monitor
Gambar 11. Tampilan gambar pada posisi transduser antero-posterior. Sisi kann
transduser diletakkan di bagian atas abdomen dan tampilan pada layar monitor pada sisi
kanan

Setelah pasien tidur terlentang, perut bagian bawah ditampakkan dengan batas bawah
setinggi tepi atas rambut pubis, batas atas setinggi sternum, dan batas lateral sampai tepi
abdomen (Gambar 12).

Letakkan kertas tissue besar pada perut bagian bawah dan bagian atas untuk
melindungi pakaian wanita tersebut dari jelly yang kita pakai. Taruh jelly secukupnya pada
kulit perut, kemudian lakukan pemeriksaan secara sistematis (Gambar 13).

Gambar 12. Abdomen pasien bagian atas, kiri, kanan, dan bawah diberi pelindung kertas
tissue

Pertama-tama gerakkan transduser secara longitudinal ke atas dan ke bawah,


selanjutnya horizontal ke kiri dan ke kanan. Penjejak digerakkan dari bawah ke atas,
dimulai dari garis tengah perut (panah nomor 1), kemudian setelah sampai daerah perut
atas transduser digeser ke sisi kanan kemudian digerakkan ke bawah (panah nomor 2),
selanjutnya transduser digeser kesisi kiri abdomen dan digerakkan kembali ke arah atas
(panah nomor 3).

Selanjutnya gerakan transduser dilakukan kearah lateral kanan secara horizontal dan
sistematis (panah nomor 4), kemudian dari kanan ke arah kiri (panah nomor 5) dan terakhir
dari kiri bawah ke arah kanan (panah nomor 6). Gambaran skematis gerakan transduser
dapat dilihat pada Gambar 4.9, berupa arah panah dan nomor garisnya.

Gambar 13. Arah gerakan transduser pada pemeriksaan USG transabdominal

Secara garis besar, ada empat gerakan dasar transduser pada pemeriksaan USG
transabdominal, yaitu bergeser (sliding), berputar (rotating), membentuk sudut (angling),
dan ditekan (dipping), lihat Gambar 14 - 17.

Gambar 14. Gerakan dasar USG transabdominalis : menggeser transduser dari sisi kanan
ke kiri

Gambar 15. Gerakan dasar USG transabdominalis : memutar transduser dari sisi kanan
ke kiri
Gambar 16. Gerakan dasar USG transabdominalis : membentuk sudut transduser dari sisi
kanan ke kiri

Pada gambar 18 ditampilkan contoh pengukuran uterus pada pemeriksaan USG


transabdominal, perhatikan kandung kemih yang cukup terisi sehingga batas anterior dan
superior uterus tampak jelas. Pengukuran dilakukan dari batas luar uterus pada penampang
longitudinal dan antero-posterior. Pemeriksa jangan terlalu menekan transduser karena hal
tersebut membuat pasien tidak nyaman (timbul rasa ingin berkemih), dan juga akan
menimbulkan distorsi uterus sehingga pengukurannya menjadi salah.

Gambar 18. Cara mengukur jarak longitudinal dan antero-posterior


uterus. ( KK : kandung kencing, S : serviks, K : korpus, F :
fundus)
Gambar 19. Posisi transduser pada dinding abdomen pasien (body-
mark) yang digambarkan pada hasil cetakan (print-out)

Pada pemeriksaan USG sebaiknya dicantumkan posisi transduser terhadap tubuh ibu atau
organ kandungan (body-mark), lihat gambar 19. Pada gambar 19 sisi kiri menunjukkan
gambaran massa yang terletak di abdomen bagian bawah tengah pada potongan
longitudinal. Pada gambar sisi kanan, gambaran massa yang sama, tetapi pada potongan
transversal.

Sisi kanan transduser tampak pada sisi kanan layar monitor (Gambar 20), sisi atas
transduser tampak pada sisi kanan layar monitor (Gambar 21).

Kanan Kanan

Gambar 20. Janin presentasi kepala dengan posisi transduser transversal atau
horizontal dan tampilan kepala janin pada layar monitor
Atas

Atas

Gambar 21. Posisi transdiser pada janin presentasi kepala. Transduser dalam
posisi anteroposterior dan tampilan pada layar monitor pada janin dengan
presentasi kepala.

2. Pemeriksaan USG Transvaginal

Pemeriksaan USG transvaginal berbeda dengan transabdominal, perlu penyesuaian mesin


dan operator, terutama pengenalan organ genitalia interna dan kehamilan trimester
pertama, serta terbatasnya ruang untuk melakukan gerak transduser. Kenali aspek teknik
dari transduser, cara-cara melakukan pemeriksaan dan faktor keamanan pemeriksaan.
USG transvaginal memberikan informasi yang lebih akurat dan rinci dari organ atau
jeringan di rongga pelvis dibandingan periksa dalam dan USG transabdominal (Baba K,
2005).

Sebelum melakukan pemeriksaan, tanyakan apakah ia seorang nona atau nyonya. Bila
statusnya masih nona tetapi sudah tidak gadis lagi, dan memang perlu dilakukan
pemeriksaan transvaginal, mintakan ijin tertulis (informed consent) dari pasien tersebut dan
pada waktu pemeriksaan harus disertai seorang saksi (seorang paramedis).

Perhatikan apakah tombol pemindah jenis transduser sudah menunjukkan bahwa


transduser yang dipakai adalah vaginal, petunjuk arah kiri dan kanan sudah benar (Gambar
22 dan 23), serta apakah pasien sudah mengosongkan kandung kencingnya. Posisi pasien
dapat lithotomi (lebih baik) atau tidur dengan kaki ditekuk dan pada bagian bokong ditaruh
bantal agar mudah untuk memasukkan dan memanipulasi posisi transduser.
Gambar 22. Transduser transvaginal

Gambar 23 . Petunjuk arah antero-posterior pada transduser transvaginal


Sebaiknya pasien ditempatkan pada meja ginekologi agar pemeriksaan lebih baik
(pergerakan transduser lebih leluasa) dan pasien lebih nyaman (Gambar 24).

zambar 24. Meja ginekologi untuk pemeriksaan USG


transvaginal (Sumber : RSIA Hermina
Jatinegara)

Taruh sedikit jelly pada permukaan transduser. Pasangkan kondom baru pada
transduser (perlihatkan pada pasien), kemudian taruh jelly secukupnya pada permukaan
kondom dan selanjutnya masukkan transduser ke dalam vagina secara perlahan-lahan dan
“gentle” sesuai dengan sumbu vagina. Jangan melakukan penekanan tiba-tiba dan keras
karena dapat membuat pasien kesakitan atau merasa tidak nyaman. Pemeriksaan USG
transvaginal lebih sulit dibandingkan transabdominal, sehingga pendekatan yang dipakai
adalah orientasi terhadap letak dan posisi normal organ genitalia (organ oriented). Gerakan
dasar transduser vaginal adalah maju-mundur (sliding), berputar (rotating), dan bergeser
ke kiri atau kanan (panning), lihat Gambar 25..
Gambar 25. Gerakan dasar transduser pada pemeriksaan USG transvaginal

(Sumber : modifikasi dari Trish Chudleigh et al. Obstetric


ultrasound : how, why, and when;2004:28

Pada gambar model berikut, ditampilkan posisi transduser di depan dan di dalam rongga
panggul pada waktu pemeriksaan USG transvagina (Gambar 26 – 29).

Gambar 26. Rongga panggul tampak atas dan bawah


Gambar 27. Penempatan transduser didepan vulva
sebelum dimasukkan ke dalam vagina

Gambar 28. Posisi trasduser longitudinal intravaginal untuk menilai uterus. Pada
posisi ini transduser dapat digerakkan maju-mundur atau diputar.

\
Gambaran 29. Penempatan transduser di daerah adneksa kanan dan kiri untuk menilai
kedua adneksa. Pada posisi ini, transduser digerakkan dengan secara “gentle” ke lateral
kanan, kemudian ke kiri

Selain itu, orientasi pemeriksaan pada tampilan layar monitor perlu juga diketahui
dan dibuat standarisasinya. Pada potongan longitudinal, bagian depan (sisi perut) akan
tampak pada sisi kanan layar monitor sedangkan bagian punggung (posterior) akan tampak
pada sisi kiri layar monitor (Gambar 30 dan 31). Pada potongan transversal, sisi kanan
pasien akan tampak pada sisi kanan layar monitor dan sebaliknya. Potongan transversal
diperoleh dengan memutar transduser dari jam 12 ke arah jam 9 atau jam 3.

Gambar 30. Orientasi pemeriksaan USG transvaginal


Gambar 31. Gambaran uterus antefleksi pada potongan longitudinal USG
transvaginal, perhatikan letak fundus uteri di sisi kanan layar
monitor

Bawa transduser sedekat mungkin dengan organ yang akan diperiksa. Pilih frekuensi
yang sesuai, atur fokus agar obyek yang dinilai tetap berada dalam jangkauan fokus mesin
USG dan perhatikan apa yang dirasakan oleh pasien pada saat pemeriksaan berlangsung.
Bila gambar tidak jelas, lakukan pemeriksaan bimanual, dimana tangan kiri berada di
dinding abdomen pasien, kemudian menekan ke arah bawah secara perlahan-lahan agar
obyek yang diperiksa bertambah dekat dengan transduser. Bila masih tidak jelas juga,
mungkin perlu pemeriksaan lebih lanjut, misalnya sonohisterografi, USG trans
abdominalis, CT-scan atau MRI.

Cari uterus sebagai petunjuk, kemudian cari kandung kemih. Uterus akan tampak di
garis tengah (median) seperti gambaran buah alpukat yang memanjang dengan
endometrium dibagian tengahnya. Bila fundus uteri mendekati kandung kemih, maka
uterus tersebut dalam posisi antefleksi, bila menjauhi, maka posisi uterus adalah
retrofleksi (lihat Gambar 32 dan 33). Sangat penting menilai kembali apakah arah
gelombang suara sudah sesuai dengan tampilan yang ada dalam layar monitor.

Setelah pemeriksaan selesai, lepaskan kondom secara hati-hati dengan memakai


sarung tangan tidak sterill atau kertas tissue, kemudian lakukan dekontaminasi kondom
tersebut dengan larutan klorin 0,5%.

Gambar 32. Uterus antefleksi pada pemeriksaan USG transvaginal.


Gambar 33. Uterus retrofleksi pada pemeriksaan USG transvaginal

Pada Gambar 32 posisi uterus antefleksi, pengukuran longitudinal dilakukan dua


tahap agar dapat diperoleh ukuran uterus yang mendekati ukuran sebenarnya. Perhatikan
letak fundus uteri yang mendekati vesika urinaria. Pada Gambar 33 diperlihatkan posisi
uterus retrofleksi, dengan bagian fundus menjauhi vesika urinaria.

Lakukan pengukuran uterus dalam tiga bidang, yaitu longitudinal (L), transversal (T)
dan antero-posterior (AP). Dalam bidang longitudinal diukur panjang longitudinal uterus
dari ostium uteri eksternum (OUE) hingga fundus uteri melalui pertengahan uterus. Garis
pengukuran melalui kanalis servikalis hingga kavum uteri. Bila bentuk uterus terlalu
melengkung, maka pengukuran panjang longitudinal dilakukan dalam dua tahap dan
hasilnya dijumlahkan (lihat contoh Gambar 32 dan 33).

Dalam bidang longitudinal juga diukur panjang antero-posterior pada bagian terbesar
korpus uteri tegak lurus dengan garis longitudinal. Sedangkan pada bidang transversal
diukur diameter transversal uterus dari sisi lateral ke sisi lateral bagian luar setinggi korpus
uteri pada bagian yang terbesar (Gambar 34). Bila panjang longitudinal uterus lebih dari
10 cm, maka ukurannya menjadi di luar fokus pencitraan, dan sebaiknya diukur melalui
USG transabdominalis.
Gambar 34. Potongan transversal uterus

Selanjutnya lakukan evaluasi keadaan endometrium (Gambar 35 – 38). Dalam


keadaan normal, gambaran ekhogenitas dan ketebalan endometrium sesuai dengan fase
haid. Misalnya pada masa menstruasi, endometrium akan tampak irregular, tipis dan di
kavum uteri berisi cairan dan bekuan darah. Pada masa proliferasi tampak hipoekoik,
tebalnya antara 4 – 8 mm; pada masa periovulasi tebalnya antara 8 – 12 mm dengan
gambaran seperti cincin atau “tiga garis (triple lines)”. Tanda adanya ovulasi adalah
kolapsnya dinding folikel dan ada sedikit cairan bebas di kavum Douglas.

Sedangkan pada masa sekresi, endometrium akan tampak hiperekhoik karena banyak
mengandung glikogen, batas tegas, dengan tebal 10-12 mm. Bukti lain yang dapat
ditemukan pada fase sekresi adalah adanya korpus luteum, tampak sebagai struktur kistik
berisi ekho internal tidak homogen, dinding tipis dan irregular

Gambaran perubahan endometrium sesuai fase menstruasi dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 35. Endometrium fase menstruasi

Gambar 36. Endometrium fase proliferasi awal

Gambar 37. Endometrium periovulasi.dengan gambaran triple lines (12 mm)


Pada Gambar 37 tampak satu folikel dominan berukuran 29 x 26 mm (kasus dengan
pemicuan ovulasi) dan pada Gambar 38 tampak gambaran endometrium fase sekresi
(hiperekoik), dan korpus luteum (CL)

Gambar 38. Endometrium fase sekresi (13,5 mm) , tampak korpus luteum (CL)
berukuran 31 mm

2 Pemeriksaan USG Transperineal atau Translabial


Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada keadaan tertentu, misalnya seorang nona atau
seorang wanita yang tidak mungkin dilakukan pemeriksaan transvaginal atau transrektal.
Dianjurkan kandung kencing pasien cukup terisi, hal ini untuk memudahkan pemeriksaan
dan sebagai petujuk anatomis. Penjejak dilapisi kondom dan diberi jeli, kemudian
diletakkan di daerah perineum, penjejak digerakkan ke atas dan ke bawah untuk mencari
gambaran organ genitalia. Cara ini memang tidak dapat memberikan gambaran organ
genitalia sebaik pemeriksaan USG transvaginal atau transrektal.

3. . Pemeriksaan USG Transrektal

Pemeriksaan USG transrektal hampir sama dengan pemeriksaan transvaginal.


Perbedaannya terletak pada bantuk dan ukuran diameter penjejak dan posisi pemeriksaan
yang kurang lazim bagi wanita Indonesia. Setelah pasien dalam posisi lithotomi atau posisi
tidur dengan kaki ditekuk dan bagian pantat diganjal dengan bantal khusus, transduser yang
telah dibungkus dua lapis kondom dan dibubuhi jelly dimasukkan secara perlahan-lahan ke
dalam rektum.
Lakukan identifikasi uterus sebagai petunjuk organ genitalia interna, setelah itu
identifikasi vesika urinaria kemudian evaluasi seluruh organ genitalia interna dan rongga
pelvik. Manipulasi atau pergerakan transduser per rektal sangat terbatas dan sering
menimbulkan rasa tidak nyaman. Jelaskan secara seksama sebelum melakukan
pemeriksaan USG transrektal. Setelah selesai pemeriksaan, lepaskan kondom secara hati-
hati, kemudian lakukan dekontaminasi kondom dengan larutan klorin 0,5%.

5. Pemeriksaan USG Invasif

USG dapat dipakai untuk menegakkan diagnosa dan atau untuk tindakan terapeutik,
misalnya biopsi villi khoriales, amniosintesis, kordosintesis, ovum pick-up (OPU), atau
transfusi intra uterin (Gambar 39 dan 40). Setelah dilakukan penjelasan dan pasien
memberikan persetujuan tertulis, dokter akan melakukan pemeriksaan USG untuk menilai
kondisi kehamilan atau genitalia interna. Pada umumnya hanya diperlukan anestesi lokal
untuk memasukkan jarum punksi, tetapi dapat juga dengan anestesi umum pada tindakan
OPU. Teknik yang dipakai bisa secara “free-hand” atau dipandu USG melalui marker
pungsi yang ada pada transduser.

Gambar 39. Amniosentesis


Gambar 40. Kordosentesis : jarum spinal ditusukkan dengan teknik “free-hand” dan
operator memantau pada layar monitor

Persetujuan Tindak Medik

Komunikasi yang baik antara dokter pemeriksa dan pasien merupakan kunci dalam
mencegah terjadinya malpraktek dan kesalahpahaman antara harapan dan kenyataan yang
diterima oleh pasien dengan hasil pemeriksaan yang diberikan oleh dokter. Persetujuan
pemeriksaan USG obstetri ginekologi rutin saat ini masih cukup dengan persetujuan lisan.
Bila akan dilakukan tindakan invasif, misalnya amniosentesis, maka perlu dibuat
persetujuan tertulis dari pasien dan suami atau keluarganya. Berikut ini disampaikan suatu
contoh formulir persetujuan tindak medik untuk pemeriksaan USG. Formulir ini dapat
disesuaikan dengan fasilitas yang ada dan kemampuan pemeriksa.
Contoh Formulir Persetujuan Tindak Medik Pemeriksaan USG :

PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

.................................................................... Umur :
Nama : .................. th

................................................................................................
Alamat : .......

................................................................................................
Nomor KTP : .......

Setelah membaca, memahami, dan mengerti tentang pemeriksaan USG yang diberikan oleh

dokter di RS , dengan ini memberikan persetujuan untuk


.............................................. dilakukan

pemeriksaan USG oleh :


..........................................................................................
................. ……

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) adalah suatu pemeriksaan yang merupakan alat bantu,
memakai gelombang suara ultra untuk pencitraan (membuat tampilan gambar) dari suatu obyek
yang dipapari suara ultra tersebut. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, tetapi harus ada alasan
medisnya, misalnya untuk menentukan usia kehamilan, mencari penyebab perdarahan, atau
penapisan untuk kemungkinan cacat bawaan janin. Ditangan seorang yang ahli (sonografer
atau sonologist), alat ini masih dapat dikatakan aman bagi ibu maupun janin; hal ini sesuai
dengan pernyataan dari American Institute of Ultrasound in Medicine (AIUM). Faktor lain
kenapa USG tidak perlu dilakukan rutin pada ibu hamil adalah karena mahalnya peralatan USG
berkaitan juga dengan harga pemeriksaan yang harus dibayar oleh pasien.
Dikenal ada empat cara pemeriksaan USG dalam bidang kebidanan dan kandungan, yaitu
melalui dinding perut (transabdominal), melalui vagina (transvaginal), melalui kerampang
(transperineal), dan melalui dubur (transrektal). Suatu alat yang namanya penjejak
(transduser) ditempelkan di perut ibu (USG transabdominal) atau dimasukkan ke dalam
vagina (USG transvaginal). Sebelum melakukan pemeriksaan USG transabdominal, dokter
atau perawat akan memberitahu ibu bahwa akan ditaruh sejumlah jeli pada dinding perut. Jeli
tersebut harus diberikan karena merupakan media penghantar gelombang suara ultra. Tanpa
jeli, gambar USG akan buruk dan tidak dapat dianalisa. Pada pemeriksaan transvaginal atau
transrektal, jeli tersebut diletakkan pada permukaan transduser, kemudian ditutup dengan
kondom. Khusus pada pemeriksaan transrektal, dipakai dua buah kondom karena dubur
merupakan daerah yang banyak kumannya (mudah menularkan infeksi).

Pada waktu proses pengambilan dan pengolahan gelombang suara menjadi gambar,
banyak faktor yang mempengaruhinya, misalnya ketebalan kulit ibu, jumlah cairan ketuban,
posisi janin, jumlah urin dalam kandung kemih, penyakit ibu, penyakit atau kelainan janin,
kualitas mesin USG, dan kemampuan dokter pemeriksa. Semua faktor tersebut dapat
mengakibatkan kualitas gambar USG tidak optimal sehingga menimbulkan kesulitan dalam
pengamatan struktur janin atau organ kandungan. Keadaan tersebut mengakibatkan ketepatan
diagnosa menjadi berkurang. Keterbatasan ini harus disadari, baik oleh pasien maupun oleh
dokter pemeriksa sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara harapan pasien dan kenyataan
yang ada. Sekali lagi, USG hanyalah alat bantu, bukan segala-galanya dalam penentuan adanya
suatu kelainan atau memutuskan bahwa setiap yang diperiksa “normal” adalah normal.

Khusus dalam bidang USG kebidanan, ketepatan deteksi adanya kelainan bawaan janin
belumlah memuaskan. Suatu penelitian di Eropa (RADIUS) yang mencakup ribuan ibu hamil
(lebih dari 15.000 orang), dimana dilakukan pemeriksaan USG rutin, ternyata deteksi cacat
bawaan pada ibu hamil resiko rendah hanya 35%. Pada resiko tinggi diperkirakan kurang dari
50% (Royal College of Obstetrics and Gynecology). Kenapa hal ini dapat terjadi ? salah satu
penjelasannya adalah sebagai berikut : kehamilan merupakan proses dinamis yang selalu
berubah setiap saat hingga janin dilahirkan, bahkan pada organ tertentu, proses penyempurnaan
tersebut masih dilanjutkan setelah lahir. Misalnya organ jantung janin, sewaktu didalam rahim
ada pembuluh darah atau bagian janin yang terbuka (kondisi ini normal dan harus terjadi),
misalnya lubang antara atrium jantung (foramen ovale) yang baru menutup setelah lahir. Jadi
hampir tidak mungkin dokter menyatakan janin ibu 100% normal. Pemeriksaan USG pada
kehamilan resiko tinggi dapat dilakukan dilakukan dipusat-pusat pendidikan (Level III),
misalnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo/FKUI, Jakarta.

Semua pemeriksaan USG harus melalui pemeriksaan dua dimensi (2D) karena dengan
alat yang baik, pemeriksaan ini sudah memadai untuk pemeriksaan USG dasar kehamilan
ataupun organ kandungan. Pemeriksaan USG tiga dimensi (3- D) dan live-3D hanya
merupakan pelengkap, artinya bila diperlukan baru dikerjakan (ada alasan medis).
Pemeriksaan USG 3-D tidak dilakukan secara rutin dan juga tidak menjamin seluruh kelainan
pada janin atau organ kandungan pasti dapat dilihat (diketahui secara pasti).

Setelah pemeriksaan, jeli yang ada dapat dibersihkan dengan kertas tissue atau kain halus,
dan akan lebih baik lagi bila ibu membersihkannya dengan air mengalir.

Dokter selanjutnya akan menjelaskan hasil pemeriksaan tersebut kepada pasien


pribadinya secara rinci. Khusus bagi pasien rujukan, karena adanya keterbatasan informasi
kondisi ibu dan atau janin, maka penjelasan yang lebih rinci mengenai hasil USG dan tindakan
selanjutnya akan dilakukan oleh dokter perujuk pasien.

Pada keadaan gawat darurat (emergensi), misalnya hamil diluar kandungan yang
mengalami perdarahan banyak, maka dokter pemeriksa akan segera menghubungi dokter
perujuk untuk penanganan lebih lanjut dari pasien tersebut. Oleh karena itu, data perujuk (nama
jelas, nomor telepon rumah sakit dan telepon genggam), termasuk data rumah sakit atau tempat
praktek perlu dicantumkan dengan jelas pada surat rujukan.

Saya harap, setelah ibu membaca lembar persetujuan tindak medik ini ibu dapat mengerti,
memahami, dan menyetujui, bahwa pemeriksaan USG yang akan dilakukan ini memiliki
banyak keterbatasan. Kerjasama yang baik antara ibu, dokter pemeriksa dan dokter perujuk
serta peralatan USG yang baik, akan memberikan hasil terbaik, meskipun sama-sama disadari
bahwa

ketepatan diagnostik untuk deteksi cacat masih kurang dari


bawaan 50%

Jakarta, ..................................................
Pasien, Saksi,

(......................................... .............................................
... ) ( ..)

Dokter pemeriksa,

(..........................................................)

Referensi

sEndjun, Judi Januadi, Biran Affandi. 2008. Persiapan dan Teknik Pemeriksaan USG Obstetri
dan Ginekologi Dasar. Departemen Obstetri dan Ginekologi, RS Pendidikan RSPAD Gatot
Soebroto Ditkesad/FKUI.

Anda mungkin juga menyukai