Anda di halaman 1dari 9

Translate Sosiologi Akuntansi kelompok 2

Strategi Akuntansi dan Akuntabilitas Pemerintah Gajah Mada: Analisis


Kekuasaan - Pengetahuan
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk lebih mendalam menganalisis sejarah akuntansi di Indonesia,
khususnya di kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Gajah Mada sebagai mahapatih
(Perdana Menteri). Peran Gajah Mada dalam pembentukan kesatuan nusantara memiliki
kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan ide akuntansi di Indonesia. Selain perluasan
wilayah yang dinyatakan dalam sumpah Palapa, Gajah Mada berkomitmen untuk misinya sendiri
untuk meningkatkan ekonomi Kerajaan Majapahit. Strategi akuntansi Gajah Mada adalah salah
satu strategi sukses yang membentuk kepulauan Indonesia. Di zaman Gajah Mada, Majapahit
adalah salah satu pelabuhan terbesar dengan gudang terbesar di Asia yang sering ditransiti oleh
orang asing dari berbagai negara. Selain itu, Gajah Mada menggunakan kekuasaannya untuk
merumuskan undang-undang yang mengatur pajak dan denda Majapahit. Dalam pemerintahan
Gajah Mada, Majapahit Empire memungut pajak, yaitu: (a) pajak perdagangan, (b) pajak untuk
orang asing, (c) pajak keluar-izin, (d) pajak tanah, dan (e) pajak seni. Kata Kunci: Gajah Mada,
Sejarah Akuntansi Indonesia, Kerangka Pengetahuan-Pengetahuan Foucault.
I. Pendahuluan
Secara historis, perkembangan akuntansi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari fakta akuntansi
Indonesia di masa lalu. Thamrin (2012) mengungkapkan bahwa masa keemasan Hayam Wuruk
yang memegang gelar sebagai Rajasanagara didampingi oleh Mahapatih (Perdana Menteri)
Gajah Mada. Dalam jangka waktu yang relatif singkat pada 14 tahun Majapahit berhasil menjalin
hubungan baik dengan kekaisaran lain di Nusantara, sehingga ia juga berhasil memperluas
wilayahnya dan kemudian meningkatkan keamanan politik serta ekonomi (perdagangan).
Sebagai negara adikuasa, Majapahit berkepentingan dengan pengamanan wilayah kekaisaran
lainnya karena mewajibkan pasar untuk menjual produk dan kekaisaran lainnya - sumber daya
potensial untuk perdagangan. Konsep politik Gajah Mada telah berkontribusi banyak pada
asosiasi perdagangan Majapahit yang mengarah ke masyarakat multikultural di Majapahit
(Thamrin, 2012). Majapahit berkembang menjadi kekaisaran metropolitan di mana beragam
budaya dan agama membentuk kehidupan mereka.
Strategi akuntansi Gajah Mada adalah salah satu strategi sukses yang membentuk kepulauan
Indonesia. Sayangnya orang-orang lebih memilih untuk melihat sejarah akuntansi dari periode
Luca Pacioli dari Italia daripada keluarnya sejarah akuntansi di nusantara ini.
II. Memahami Realitas Sejarah
Meneliti sejarah akuntansi membutuhkan eksplorasi catatan akuntansi asli, atau literatur seperti
buku dan jurnal yang menunjukkan bagaimana akuntansi benar-benar dilakukan di masa lalu.
Sebagian besar penelitian di bidang ini cenderung berfokus pada hal-hal teknis akuntansi yang
terdiri dari rincian praktik akuntansi yang dibuktikan catatan akuntansi,tetapi mereka melampaui
deskripsi sederhana dalam membangun oleh pemahaman tentang sejarah akuntansi.
Akuntansi tidak hanya teknik perhitungan numerik yang rasional, tetapi juga membangun dan
dibangun uleh satu praktik sosial mempengaruhi lingkungan sosial-budaya, ekonomi, politik dan
masyarakat. Istilah akuntansi dalam penelitian ini tidak hanya mencakup penghitungan angka
ekonomi tetapi juga keterkaitan semua aspek. Praktik akuntansi menyediakan catatan dan
laporan yang disarankan oleh pemerintah dalam pengambilan keputusan resmi. Praktik akuntansi
dilakukan oleh dua atau lebih orang dalam kontak interaksi manusia yang dinamis. Dengan
demikian, lingkungan praktik akuntansi di sini adalah sekering dalam terang konten sosial.
Penelitian ini berfokus pada penerapan praktik akuntansi yang terjadi di masyarakat ketika Patih
Gajah Mada berada di masa pemerintahannya pada periode 1338 - 1364.
III. Metode penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami strategi akuntansi dan akuntabilitas pemerintah Gajah
Mada dengan menggunakan kerangka pengetahuan kekuatan Foucault. Sukoharsono (1998)
mengungkapkan aliran teks dan analisis sejarah Foucault, cara dia mengganggu dominasi analisis
sejarah tradisional, menarik beberapa peneliti sejarah akuntansi. Gaya penulisan Foucault dan
pendirian metodologis menginspirasi peneliti sejarah akuntansi dalam memandang disiplin
akuntansi masa lalu tidak hanya sebagai aparat teknis, tetapi juga sebagai "arsitektur kekuasaan"
di masyarakat. Berdasarkan tujuan penelitian, metode penelitian kualitatif digunakan. Penelitian
ini merupakan studi paradigma postmodernistik yang dapat dipahami sebagai kebalikan dari
yang modernistik. Dengan demikian, kerangka kerja Faucouldian adalah alat dan strategi untuk
mengungkap akuntansi dan akuntabilitas di pemerintahan Majapahit di era Gajah Mada. Ada dua
prinsip kerangka pengetahuan kekuasaan Foucault (Foucault, 1980), ada silsilah (geneologi) dan
arkeologi yang memiliki tujuan berbeda (lihat gambar 1). Genealogi mengeksplorasi proses
bagaimana sejarah terjadi dengan menggunakan kekuatan sebagai pondasi utamanya. Silsilah
bertujuan untuk lebih mengembangkan sejarah akuntansi terhadap munculnya ilmu-ilmu
manusia dan secara langsung bertujuan untuk menyelesaikan analisis historis pemikiran sistem.
Arkeologi bertujuan untuk memeriksa kondisi yang memungkinkan munculnya ilmu
pengetahuan manusia modern untuk proyek arkeologi pada sejarah hubungan kekuasaan /
pengetahuan. Arkeologi berfokus pada sejarah akuntansi dari kondisi yang ada dengan
menggunakan pengetahuan sebagai alat analitis. Selanjutnya, mengikuti proses pemahaman
analisis teoritis, penelitian tentang perdagangan, perpajakan, dan akuntabilitas kerajaan
Majapahit di era Patih Gajah Mada, dilakukan dan ditafsirkan. Melalui interpretasi, kami
memberikan kesimpulan tentang strategi akuntansi dan akuntabilitas pemerintah era Gajah
Mada.
IV. Sumpah Gajah Mada Dan Palapa
Munandar (2010) mengungkapkan bahwa Gajah Mada adalah putra Gajah Pagon yang
merupakan teman Raden Wijaya. Gajah Mada yang tumbuh di desa Pandakan mendapatkan
pendidikan kewarganegaraan dari Gajah Pangkon. Desa Pandakan yang disebutkan di Pararaton
kemungkinan terletak di Pandaan, sebuah kabupaten di utara Malang.
Menurut Hariawan (2010), nama "Gajah" berarti berani, mental perlawanan, setia kepada
tuannya dan berperilaku seperti gajah yang akan menghalau semua penghalang. Gajah itu sendiri
adalah hewan besar yang dihormati oleh hewan lain (Munandar, 2010). Dalam mitologi Hindu,
Gajah diyakini sebagai vahana (binatang tunggangan) Dewa Indra, sedangkan gajah Dewa Indra
disebut Airvata.
Karir awal Gajah Mada di Kerajaan Majapahit dimulai dengan pangkat bekel muda (koordinator)
dan menjabat sebagai kepala Bhayangkara yang memimpin lima belas pasukan. Dalam karirnya
sebagai kepala Bhayangkara, Gajah Mada mengelola perlindungan untuk raja Jayanegara, dan
kemudian diangkat sebagai gubernur Kahuripan selama dua tahun (1319 AD - 1321 AD). Setelah
itu, Gajah Mada ditunjuk sebagai gubernur Daha (Kediri) untuk menggantikan Arya Tilam yang
telah berhenti. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayattungga Dewi,
Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Amangkubhumi (Perdana Menteri) pada tahun 1332
AD. Pada saat pelantikannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada 1332 AD, Gajah Mada
berjanji bersumpah Palapa (Yamin, 1962), yaitu:
"Ketika saya telah membuat penyatuan nusantara, saya hanya akan beristirahat, sebelum saya
menaklukkan Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, saya tidak akan pernah beristirahat pada saat itu. ”
Ide pemersatu nusantara terjadi pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijayattunggadewi. Hal
ini dibuktikan oleh Gajah Mada yang telah mampu memperluas kekuasaan Majapahit ke Bali
(1434 M).
V. Menelusuri Akunting Dalam Praktik Perdagangan Selama Pemerintahan Gajah Mada
5.1 Uang sebagai Media Pertukaran Kegiatan Ekonomi Pendukung
Sukoharsono (1993) mengungkapkan uang sangat penting untuk akuntansi. Tidak hanya
memfasilitasi pertukaran uang, uang selalu oleh para orang-orang utama yang berkepentingan,
jika bukan satu-satunya, unit akun: itu merupakan dasar persyaratan pencatatan dan pengukuran
akuntansi. Qudsi (2007) mengungkapkan di era Singosari (Kekaisaran sebelum Majapahit),
orang menggunakan uang sebagai alat tukar dalam perdagangan. Majapahit juga menggunakan
uang sebagai alat tukar, karena sistem barter dianggap tidak efisien. Ada dua mata uang di
majapahit: mata uang emas dan perak. Budiasih (2012) mengungkapkan kedua jenis transaksi
dilakukan menggunakan mata uang emas dan perak karena transaksi memiliki nilai
tinggi.Transaksi dengan nilai uang yang lebih rendah seperti transaksi dalam pembelian berbagai
keperluan rumah tangga yang tidak memungkinkan untuk menggunakan dua mata uang (emas
atau perak), digunakan dalam barter dan pertukaran uang dari kepeng Cina atau pis berlubang.
Unit mata uang emas (Munandar., Dkk, 2010) disebut sebagai kati, suwarna, masa, kupang, dan
saga dan disingkat ka, su, ma, ku, sa, dan untuk mata uang perak yang disebut sebagai kati,
dharana, masa, kupang, dan saga dan disingkat ka, dha, ma, ku, dan sa. Selain itu, perak juga
disebut atak. Satuan mata uang emas dan perak secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
1 kati = 20 suwarna / 20 dharana / 20 tahlil
1 suwarna / 1 dharana 1 masa = 4 kupang
1 tahlil = 16 masa 1 kupang = 6 saga 1 atak = 4 kupang / ½ masa.
Para sejarawan mengungkapkan bahwa mata uang gobog diciptakan oleh Majapahit. Bentuk
uang gobog dipengaruhi oleh kepeng Cina (mata uang asing). Satu sisi koin dihiasi dengan relief
manusia, flora dan fauna. Di sisi lain dihiasi prasasti-prasasti yang ditulis dalam bahasa Arab,
termasuk pengakuan iman (syahadat). Spekulasi sejarawan tentang pengaruh budaya Islam di
Majapahit dibuktikan dengan ditemukannya mata uang gobog. Ini terbukti dengan adanya
toleransi beragama pada saat itu. Satuan mata uang gobog adalah:
1 gobog = 5 kupang
1 dirham perak = 400 gobog
1 dirham emas = 4000 gobog
Mata uang asing di situs Majapahit yang menjadi bukti bahwa ada kegiatan ekonomi pada masa
itu. Beberapa jenis uang selama Kekaisaran Majapahit, yaitu:
a. Ma Money (Masa)
Mata uang Ma (Masa) memiliki bentuk bulat dengan berbagai ukuran sesuai nilainya. Satu sisi
koin memiliki gambar empat kelopak bunga dengan pola bunga cendana. Di sisi lain koin ada ma
atau ku yang ditulis dalam naskah Dewanagari. Bentuk mata uang kupang lebih cekung daripada
masa.
2 kupang = 1 atak = ½ masa
b. Uang Kepeng Cina
Bentuk uang kepeng yang terbuat dari perunggu memiliki bentuk bulat dengan lubang persegi di
tengah. Umumnya, di satu sisi, menggambarkan tentang raja yang memerintah kerajaan pada
saat itu dan sisi lain dibiarkan kosong atau ditulis dengan aksara Cina. Lingkaran di tengah koin
berfungsi untuk mengikat koin sehingga beberapa koin dapat diikat menjadi satu.
Pecahan unit uang secara lebih rinci disajikan sebagai berikut:
1 kupang = 100 pisis,1 atak = 200 pisis
1 masa = 400 pisis,2 masa = 800 pisis
1 tali = 1000 pisis, 1 laksa / 1 keti = 10.000 pisis
1 tahil emas = 60 kepeng, 32 kepeng = ½ tahil emas
Ada beberapa jenis koin Cina yang beredar di era Majapahit (Amelia, 1986), yaitu:
1. Mata Uang Logam dari Dinasti Tang (618-907 M)
2. Mata Uang Logam Dinasti Song (960 - 1279 M)
3. Mata Uang Logam dari Dinasti Yuan (1279 - 1367 M)
4. Mata Uang Logam Dinasti Ming (1368 - 1644 M)
5. Mata Uang Logam Dinasti Qing (1644 - 1911 M)
5.2 Pasar sebagai Tempat Pendukung Perdagangan
Ada transportasi sungai dan laut di Majapahit untuk menjalin hubungan dengan daerah lain.
Sarana transportasi adalah lancing (perahu), tambangan (kapal feri), benawa (perahu besar), jong
(jung), dan bahitra (bahtera). Pelabuhan pesisir di era Majapahit termasuk Gresik, Tuban,
Jaratan, Pasuruhan dan Surabaya, sedangkan nama-nama pelabuhan darat adalah Bubat, Canggu
dan Terung. Selain itu, ada beberapa tempat di sepanjang sungai yang menyeberang seperti
sungai Brantas dan Bengawan Solo, yang melayani kegiatan ekspor dan impor di Majapahit.
Transportasi air juga mendukung kegiatan ekonomi dengan mengembangkan pasar dalam bidang
transportasi.
Kegiatan ekonomi berbasis pasar mengakomodasi berbagai macam produk. Pasar muncul dan
tumbuh karena meningkatnya kebutuhan ekonomi masyarakat, yang mendorong distribusi
barang. Christie (1998) menegaskan bahwa tiga jenis pedagang, yaitu:
a. Abakul (pedagang eceran)
b. Adagang (pedagang besar)
c. Banyaga (pedagang grosir)
Ada wanigrama (pedagang laki-laki) dan wanigrami (pedagang perempuan). Pegawai kerajaan
yang mengatur semua kepentingan pedagang ini disebut sebagai juru wanigrama dan juru
wanigrami. Berdasarkan Negarakretagama pupuh 12 (3), disebutkan bahwa lokasi pasar berada
di sebelah utara istana Majapahit.
5.3 Pertanian Sebagai Sektor pendukung Perdagangan
Kerajaan Majapahit juga dikenal dengan pertaniannya, karena masyarakatnya yang hidup dengan
bertani. Hasil pertanian, terutama padi, menjadi komoditas penting dalam perdagangan domestik
dan antar pulau. Gajah Mada sebagai Perdana Menteri merumuskan aturan yang terkait dengan
lahan pertanian dengan persetujuan dari Hayam Wuruk. Peraturan itu dibuat untuk mengatur
jalannya masyarakat. kegiatan pertanian dan lahan diperhatikan dan dilindungi oleh raja. Ibukota
kerajaan Majapahit yang terletak di Trowulan memiliki area seluas 10 x 10 km persegi
(Mundardjito, 1986) dan sebagian besar wilayah Trowulan dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian.
5.4 Industri sebagai Sektor Pendukung Perdagangan
Selain dari sektor pertanian, industry juga merupakan aspek penting lain dalam menggerakan
ekonomi masyarakat setempat. Berbagai kebutuhan baik untuk konsumsi keseharian maupun
kebutuhan untuk upacara dihasilkan dari produksi masyarakat setempat. di samping masyarakat
penggarap sawah (tanah), juga terdapat golongan masyarakat penggarap industry.
Pengertian industry dalam konteks ini dimaknai sebagai usaha untuk membuat atau
menghasilkan barang-barang. dalam berbagai sumber yang muncul sejaman sering dijumpai
sebutan berbagai jenis kelompok kerja kerajinan dan ketrampilan. Kelompok ini sangat
dibutuhkan dalam menunjang kebutuhan kehidupan masyarakat. Para pengrajin atau penggarap
industry bekerja untuk memenuhi kebutuhan raja dan rakyat kebanyakan. Oleh karena itu mereka
tinggal di dalam atau pusat kekuasaan juga di luar keraton. Berbagai kebutuhan pernak pernik
raja dan bangsawan dihasilkan dari kerajinan.
Kelompok paramacra (pengrajin) pada masa Majapahit dibedakan menurut jenis, yaitu
pembuat pot dyun (tembaga), keranjang magwai kisi (daun kelapa), magawai payung wiu
(payung), mangapus (tali), mangharen (arang) , makala manuk (menangkap/menjerat burung).

5.5 Hubungan Luar Negeri


Karena kondisi alam Majapahit yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang terhubung
oleh selat dan laut, pelayaran adalah faktor yang sangat penting untuk membangun hubungan
ekonomi Indonesia. Selain itu, Majapahit juga terletak di jalur perdagangan antara dua pusat
perdagangan kuno, yaitu India dan China. Gajah Mada tidak hanya membawa misi perdagangan
tetapi juga misi politik ke negara-negara lain. Pada masa Majapahit, perdagangan internasional
sudah berkembang dengan baik.
Barang perdagangan termasuk bijih besi dari Sulawesi, cendana dari Timor, lada dari
Lampung dan Banten, kamper Sumatera, kain sutra dari China, dan kain patola dari India.
Sejumlah besar barang diimpor dari China. Penemuan barang yang terbuat dari porselen
menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit juga menggunakan furnitur porselen yang
merupakan barang mewah untuk penggunaan sehari-hari. Porselen ditemukan selama era
Majapahit yang berasal dari China, Thailand (Sawankhalok dan Sukhothai), Kamboja (Khmer)
dan Vietnam. pedagang Cina juga membawa garam ke Indonesia, karena garam pada waktu itu
adalah sangat laku dan barang yang sangat mahal. Barang-barang lainnya seperti rhubarb (sejenis
sayuran), mutiara, emas dan perak, sutra, besi, peralatan perkakas, dan lain-lain. Penemuan
patung orang asing tak berwajah menandakan bahwa ada banyak pedagang asing yang singgah,
dan bahkan menetap di Majapahit, seperti Chola, Khmer dan orang-orang Cina.
VI. Menelusuri Akuntansi Dalam Perpajakan Selama Reign Of Gajah Mada
6.1 Pajak sebagai Sumber Pendapatan Negara
Pajak juga merupakan pendapatan terbesar dari kerajaan Majapahit. Perpajakan diperoleh dari
barang dan jasa dan dikumpulkan dari orang-orang. Pajak merupakan konsekuensi dari hidup
dalam masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa munculnya kontribusi atau pajak adalah
karena pertanyaan tentang siapa yang akan membayar untuk semua kepentingan dan berbagi
kebutuhan (Judisseno, 2005).
Orang-orang memiliki kewajiban untuk membayar pajak atas kegiatan yang dilakukan di
atas tanah milik raja, jumlah pembayarannya sudah ditentukan. Karena pajak merupakan sumber
pendapatan terbesar bagi kerajaan, maka dibutuhkan peraturan yang mengatur mekanisme pajak
yang melayani pungutan pajak dengan tujuan untuk membiayai semua kegiatan dalam kerajaan
serta secara optimal meningkatkan dan mencapai kesejahteraan rakyatnya. Kerajaan Majapahit di
bawah pimpinan Gajah Mada, telah mendirikan undang-undang untuk mengatur semua sengketa
dan sanksi yang akan diberikan dalam bentuk denda, dan digunakan untuk mendanai kegiatan
kerajaan. Dapat disimpulkan bahwa kewajiban pajak negara adalah bentuk dedikasi, dan peran
aktif dari warga negara dan anggota masyarakat lainnya, untuk mendanai pelaksanaan berbagai
pembangunan yang telah diatur dalam peraturan untuk kesejahteraan rakyat. Sukoharsono (1998)
menunjukkan bahwa ada berbagai tingkat dan jenis pungutan dalam hal komoditas yang berbeda,
pekerjaan dan hal-hal lainnya. Pekerjaan atau komoditas yang sama dapat menimbulkan tarif
pajak yang berbeda.

6.2 Jenis Pajak di Majapahit Era


Selain itu, pengumpulan pajak mencakup berbagai sektor yang bervariasi dalam masyarakat.
Beberapa jenis pajak yang ditetapkan pada Era Majapahit (Dwiyanto, 1995) adalah:
a. Pajak perdagangan
Perdagangan disebut sambyawahara, sementara aktivitas perdagangannya disebut
masambyawahara. Informasi tentang pajak perdagangan dapat diketahui dari adanya
pembatasan bisnis di sima.
b. Pajak untuk Orang Asing
Orang asing disebut warga kilalang. Pajak yang harus dibayar oleh orang asing (selain
pribumi) yang menetap di wilayah Majapahit.
c. Pajak Ijin Keluar
Pajak Ijin keluar atau pajak keluar masuk di wilayah itu dikenal sebagai pinta palaku.
d. Pajak tanah
Seluruh tanah di wilayah tersebut milik raja Majapahit, dan karena itu semua kegiatan yang
dilakukan di tanah milik raja wajib untuk membayar pajak.
e. Pajak seni
Setiap kegiatan kelompok seni yang diadakan di atas tanah milik raja harus membayar pajak.

VII. Menelusuri Akuntansi Dalam Pemerintah Acccountability Selama Reign Of Gajah


Mada
Negarakretagama pupuh 10 menjelaskan bahwa walikota mengunjungi Kepatihan
Amangkubhumi (Perdana Menteri Pembangunan) yang dipimpin oleh Gajah Mada untuk
melaporkan kegiatan administrasi di daerah. administrasi pemerintah di Majapahit memiliki lima
pemimpin berwibawa yang disebut Sang Panca Ri dengan kemampuan mereka (Kawuryan,
2006):
a. Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri) / Perdana Menteri yang diawasi Rakryan
Tumenggung (komandan), Rakryan Rangga (asisten komandan), Rakryan Kanuruhan
(komunikator) dan Rakryan Demung (regulator rumah tangga kerajaan). Dia memerintah
sebagai pengatur pelaksanaan pemerintahan di seluruh wilayah Majapahit, dan karena itu
Sang Panca Ri Wilwatikta dikunjungi oleh otoritas Negara dan bawahan lokal untuk
urusan pemerintahan.
b. Dari Perdana Menteri, member perintah ke wedana (petugas kabupaten), bupati.
c. Dari wedana ke akuwu, kepala kelompok desa.
d. Dari akuwu ke buyut, tetua desa.
e. Dari buyut sampai ke desa.

Pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat untuk
membangun infrastruktur seperti membangun jalan, jembatan, tempat ibadah, dll, atau digunakan
untuk membayar gaji pejabat kerajaan. Tidak setiap desa atau penduduk desa harus membayar
pajak. Dalam kasus tertentu, ada desa-desa yang sepenuhnya dibebaskan dari retribusi atau pajak
seperti yang ditunjukkan di Selomandi II Prasasti (Yamin, 1962). Oleh karena itu, raja
mengeluarkan dekrit pada pembebasan pajak disebut rajamudra. Jenis pajak dibebaskan adalah:
putajenan, ririmbangan, pabata, titisara, rarawuhan, titiban, jajalukan, susuguhan, pangisi kendi,
sosorokan, garem, hurug-hurugan dalan. Pujatenan berarti pelayanan masyarakat, riribangan
adalah pajak atas pembuatan batu bata / jual batu bata, rarawuhan didefinisikan sebagai iuran
untuk perbaikan jalan.

VIII. Kesimpulan
Masyarakat Majapahit telah mengenal dan menerapkan akuntansi dalam arti luas dalam kegiatan
ekonomi mereka. Ini jelas terbukti dengan ditemukannya mata uang yang digunakan sebagai alat
tukar dalam kegiatan ekonomi. Bukti lain adanya akuntansi Majapahit adalah penemuan prasasti
yang berisi sistem pengumpulan dan klaim (catatan piutang) pajak, yang dibuat untuk mencatat
semua kegiatan ekonomi. Negarakretagama menyebutkan bahwa upeti harus diberikan kepada
raja sebagai bentuk loyalitas masyarakat.
Konsep power-knowledge Foucault juga terlihat dalam pengembangan akuntansi Majapahit.
Kekuatan Hayam Wuruk dan Gajah Mada merupakan kekuatan dalam masyarakat yang
membentuk perilaku orang Majapahit dalam kehidupan sosial mereka. Legislasi dari Kerajaan
Majapahit membuktikan bahwa kekuatan Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi kekuatan
yang memiliki peran penting dalam membentuk pola akuntansi kerajaan, Gajah Mada
menggunakan semua pengetahuan yang telah ia miliki di semua bidang kemasyarakatan,
termasuk akuntansi. Kekuatan pengetahuan Gajah Mada menghasilkan konsep kekuasaan.
Misalnya, melalui pengetahuan tentang politik, Gajah Mada menjadikannya sebagai referensi
untuk membangun kekuatan yang lebih luas. Sumpah palapa yang dijanjikan oleh Gajah Mada
merupakan salah satu bentuk konsep power-knowledge. Dalam arti yang lebih luas, sumpah
palapa itu berjanji dengan dasar apapun, Gajah Mada telah memikirkan dengan seksama tentang
bidang-bidang yang harus berada di bawah kekuasaan Majapahit. kondisi ekonomi Majapahit
yang terbatas di industri pertanian yang kecil, membuat Gajah Mada memutar otak untuk
merumuskan strategi dalam mengembangkan ekonomi kerajaan. Daerah yang disebutkan dalam
sumpah Palapa memiliki sumber daya yang besar. Beberapa daerah adalah warisan kerajaan
besar yang ada di masa lalu. Ini membuktikan bahwa kemampuan pengetahuan Gajah Mada
menjadi acuan dalam pembentukan kekuasaan Majapahit.
IX. keterbatasan
Karena keterbatasan waktu untuk melakukan penelitian, ada kesulitan dalam memperoleh
peninggalan yang lebih akurat dari Majapahit. Temuan mengenai dengan bentuk akuntansi di era
pemerintahan Gajah Mada belum bisa dibuktikan secara empiris karena peneliti lebih menangani
peristiwa-peristiwa yang tidak sepenuhnya terjadi di era Majapahit.
X. Saran
Untuk membuat dasar lebih lengkap dari sejarah akuntansi Indonesia, maka penelitian di masa
depan disarankan untuk menyelidiki sejarah akuntansi dari kerajaan lain di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai