Anda di halaman 1dari 2

Bela Ahmad Dhani, ACTA Gugat Frase

"Antargolongan" UU ITE
ACTA dan kuasa hukum Ahmad Dhani menggugat frase “antargolonga” di UU ITE. Jika
dikabulkan, Dhani bisa terlepas dari jerat,.

Solopos.com, JAKARTA — Musisi yang kini jadi politikus Partai Gerindra Ahmad Dhani
Prasetyo kini menjadi tersagngka tindak pidana ujaran kebencian. Namun, dia bisa
diuntungkan jika Mahkamah Konstitusi memberikan denifisi baru atas terminologi
“antargolongan”.

Ahmad Dhani disangka penyidik Polda Metro Jaya melanggar Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 54A
Ayat 2 UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Saat ini, kedua pasal tersebut digugat di Mahkamah
Konstitusi.

Ali Hakim Lubis, kuasa hukum Ahmad Dhani dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA),
mengatakan kliennya menolak tuduhan penyebaran kebencian terhadap suatu golongan
sebagaimana termaktub dalam UU ITE.

Karena itu, dia berharap MK menghapus istilah antargolongan yang multitafsir dalam beleid
tersebut. “Kalau dikabulkan, nanti putusan MK bisa kami pakai untuk proses hukum dia
[Ahmad Dhani],” katanya seusai sidang uji materi UU ITE di Jakarta, Senin (4/12/2017).

Setelah menjadi tersangka, Ali mengungkapkan kliennya tengah menanti langkah penyidikan
berikutnya. Walaupun dijerat hukuman 6 tahun, penyidik tidak menahan pendiri kelompok
musik Dewa tersebut karena dianggap kooperatif. “Sampai saat ini belum ada perkembangan
baru. Kami tunggu kalau ada kekurangan apa dari polisi,” ujarnya.

Putusan uji materi UU MK diperkirakan berada dalam jangka waktu yang sama dengan
proses penyidikan, penuntutan, atau pengadilan perkara Ahmad Dhani. Pasalnya, sidang
pemeriksaan saksi ahli hari ini merupakan agenda terakhir sehingga sidang berikutnya MK
akan memutus uji materi UU ITE.

Ahmad Dhani sendiri bukan pemohon perkara itu. Pemohonnya adalah Ketua Dewan
Pembina ACTA Habiburokhman dan Asma Dewi. Pengacara Dhani, Ali Hakim Lubis, turut
menjadi kuasa hukum pemohon.

Keduanya memohonkan uji materi Pasal 28 Ayat 2 dan Pasal 54A Ayat 2 UU ITE karena
mengalami kerugian konstitusional dengan eksistensi kata “antargolongan”.

Pasal 28 Ayat 2 berbunyi larangan bagi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan atau SARA.”

Adapun, Pasal 54A Ayat 2 UU ITE mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 28
Ayat 2 yakni penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Kedua pemohon mengaku kerap mengeluakan pendapat melalui media arus utama mapun
media sosial. Akan tetapi, mereka menganggap istilah antargolongan dalam UU ITE kabur
dan tidak seterang terminologi suku, agama, ras. Tanpa definisi yang jelas, pemohon
menganggap aparat penegak hukum bisa menjerat para kritikus pemerintah.

Dalam sidang, Ali Hakim Lubis mengambil kasus Ahmad Dhani sebagai contoh konkret
kerugian konstitusional warga negara dengan keberadaan istilah antargolongan. Polisi, kata
dia, menyangka kliennya menyebarkan kebencian karena mengunggah frasa ‘para pendukung
penista agama’ dalam akun media sosialnya.

“Bukankah membenci penista agama dengan membenci koruptor sama saja karena keduanya
sama-sama pidana?” katanya.

Henri Subiakto, saksi ahli pemerintah, mengatakan terminologi antargolongan sengaja


dimasukkan sebagai target kebencian bersama-sama dengan objek suku, agama, dan ras.
Keempat obyek itu lazim disingkat menjadi SARA.

Menurut dia, istilah antargolongan harus ada guna mengakomodasi kelompok masyarakat di
luar segmen suku, agama, dan ras. Henri mencontohkan perkembangan situasi sosial
memungkinkan lahirnya kelompok baru berbasis gender, orientasi seksual, ideologi politik,
hingga kelas ekonomi.

“Apakah adil di suatu negara kalau kelompok tersebut dibatasi dari perlindungan ujaran
kebencian?” tanya Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum ini.

Henri menambahkan pemerintah sama sekali tidak melarang masyarakat untuk


mengemukakan pendapat di media sosial. Walau demikian, tambah dia, pemerintah wajib
melindungi segenap anak bangsa dari sasaran ujaran kebencian yang bisa bermuara pada
tindak kekerasan.

“Mencoret huruf A sehingga [SARA] tinggal SAR itu berimplikasi serius. Ini akan berpotensi
terjadi kekacauan dan kekosongan hukum,” ujar dia.

Anda mungkin juga menyukai