Anda di halaman 1dari 9

Pro Kontra Pemilihan Gubernur Oleh

DPRD
05 Mei 2011, 14:14, dibaca 6479 kali
Share |

Oleh : Fernandus Wijaya Simanjuntak


Angkatan 2008
Fakultas Hukum Unsri

Beberapa tahun terakhir wacana ini terus bergulir tetapi sampai sekarang
tidak ada titik terang dari wacana ini, ada beberapa hal yang menjadi faktor
penyebab lambatnya pergerakan dari wacana ini bahkan lebih parah lagi
hampir mendekati jalan buntu, karena tidak memperlihatkan sebuah
kemajuan.Belajar dari sejarah pemberlakuan Pemilihan gubernur oleh DPRD
sebelum tahun 2004 pemilihan Gubernur dilakukan Oleh DPRD dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, tidak dapat dipungkiri wacana ini ada karena melihat plus minus dari tahun
sebelumnya atau lebih tepatnya melihat bahwa kelebihan dari Pemilihan Gubernur oleh
DPRD lebih dominan jika dibandingkan dengan kekurangannya setelah melihat kenyataan
pada saat ini ketika Gubernur tidak lagi dipilih oleh DPRD melainkan oleh rakyat secara
langsung dalam kurun waktu 7 tahun terakhir,boleh dikatakan sudah menempuh waktu yang
lumayan lama tapi tidak dapat dipungkiri belum semua daerah di Indonesia sudah mengecap
pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, oleh sebab itu terlalu dini mengeluarkan
suatu statement, untuk kembali pada pemilihan Gubernur oleh DPRD sementara kita belum
melihat secara keseluruhan hasil dari pemilihan Gubernur secara langsung sudah hampir
dapat dipastikan kesimpulan yang diambil dari pemilihan Gubernur secara langsung bahwa
kegagalan dari beberapa daerah merupakan gambaran secara keseluruhan, tetapi memang
boleh dikatakan adalah benar lebih baik kita kembali kemasa lalu sebelum kegagalan itu
merambah kedaerah Daerah lain apalagi yang belum melaksanakannya sehingga tidak
terdapat kerugian baik dari segi anggaran maupun hal hal lainnya kalau toh pemilihan
gubernur secara langsung itu tidak memperlihatkan suatu kemajuan ( progress ).
Sesuai dengan konstitusi kita yaitu pada pasal 18 : 4 UUD 1945 menyatakan bahwa,
‘Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah Provinsi,
kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis ‘dalam pasal ini tidak menyatakan secara jelas
demokrasi yang dimaksud, apakah demokrasi secara lansung oleh rakyat atau perwakilan,
sehingga menimbulkan keambiguan bagi orang awam dalam bidang hukum bahkan
dikalangan orang-orang yang menggeluti Hukum itu sendiri,,menurut Eric Hiariej,Dalam
sejarah terdapat sedikitnya tiga bentuk demokrasi yang pernah dicoba: demokrasi langsung
(direct democracy/assembly democracy), demokrasi perwakilan (representative democracy),
demokrasi permusyawaratan(deliberative democracy).

A. DEMOKRASI LANGSUNG

Praktik demokrasi paling tua; praktik demokrasi pada asosiasi yang berukuran kecil.
Berdasarkan pada partisipasi langsung, tanpa perwakilan dan terus menerus dari warga desa
dalam membuat dan melaksankan keputusan bersama ,Tidak terdapat batas yang tegas antara
pemerintah dan yang diperintah, semacam system
self-government, pemerintah dan yang diperintah adalah orang yang sama .

B. DEMOKRASI PERWAKILAN

Praktik demokrasi yang paling lebih belakangan sebagai jawaban terhadap beberapa
kelemahan demokrasi langsung; parktik demokrasi pada asosiasi yang berukuran besar
seperti Negara.Berdasarkan pada partisipasi yang terbatas (partisipasi warga hanya dalam
waktu yang singkat) dan hanya dilakukan beberapa kali dalam kurun waktu tertentu seperti
dalam bentuk keikutsertaan dalam pemilihan umum. Berdasarkan pada partisipasi yang tidak
langsung (masyarakat tidak mengoperasikan kekuasaan sendiri), tapi memilih wakil yang
akan membuat kebijakan atas nama masyarakat . Pemerintah dan yang diperintah terpisah
secara tegas, demokratis tidaknya demokrasi bentuk ini tergantung pada kemampauan para
wakil yang dipilih membangun dan mempertahankan hubungan yang efektif antara
pemerintah dan yang diperintah .

Maka untuk memaknai ‘Demorakratis’ itu sendiri kita membutuhkan teori penafsiran antara
lain teori penafsiran letterlijkatau harfiah, Teori penafsiran Gramatikal atau interpretasi
bahasa, Teori penafsiran historis, teori penafsiran sosiologis, dan teori-teori penafsiran
lainnya, sehingga melalui teori penafsiran yang kita gunakan kita dapat memaknai arti dari
“Demokratis” yang dimaksud untuk mendalilkan bahwa pemilihan gubernur oleh DPRD itu
sesuai dengan konstitusi atau tidak.Ketika kita memaknai bahwa Demokrasi yang dimaksud
adalah Demokrasi perwakilan maka pemilihan Gubernur oleh DPRD adalah sesuai dengan
konstitusi ditambah dengan pernyataan bahwa DPR adalah representasi dari rakyat sehingga
dapat dibenarkan bahwa pemilihan Gubernur oleh DPRD adalah Demokratis,tetapi apabila
kita melihat pada pasal 2 UUD 1945 menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” sehingga sesuai dengan pasal ini kita
memaknai bahwa Demokrasi yang dimaksud dalam pasal 18 tersebut adalah dari rakyat,oleh
dan untuk rakyat.Sehingga kita dapat mengatakan bahwa pemilihan Gubernur oleh DPRD
mencederai kedaulatan rakyat bahkan boleh dikatakan merampas hak-hak rakyat itu sendiri,
selanjutnya dikeluarkannya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin
mempertegas bahwa Pemilihan kepala daerah itu secara langsung artinya rakyat berperan
secara langsung untuk memilih pemimpinnya sendiri terlepas apakah calon pemimpin yang
dipilih berkualitas,mewakilkan kehendak rakyat atau tidak,tidaklah menjadi suatu
permasalahan lagi karena rakyatlah yang menentukan nasibnya sendiri.

Pemilihan Gubernur secara langsung ataupun oleh DPRD akan mempengaruhi hubungan
antara Gubernur selaku eksekutif dengan DPRD selaku legislatif,dalam hal check and
balance,Konsekuensi yang kemudian harus di hadapi ketika Gubernur itu dipilih secara
langsung adalah bagaimana menjaga keseimbangan dalam konteks kedudukan legislatif
dengan kepala daerah selaku bagian dari proses pemerintahan yang memiliki legitimasi
secara paralel,Kondisi demikian tentunya tidaklah mudah sebab menjaga keharmonisan
diantara keduanya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tentunya akan mendorong
potensi konflik yang relatif dinamis,dalam kondisi yang demikian, Kepala daerah akan
seringkali bersikukuh sebagai kepala daerah yang terpilih secara langsung sehingga tidak
perlu lagi memberikan pertanggungjawaban kepada legislatif,sebaliknya DPRD akan
mendalilkan bahwa kewenangan untuk memberhentikan kepala daerah adalah kewenangan
yang diberikan oleh rakyat.sehingga eksekutif dan legislatif saling melemahkan satu dengan
lain yang menyebabkan lemahnya fungsi control dari legislatif terhadap eksekutif.Selanjutnya
apabila Gubernur dipilih oleh DPRD maka permasalahan yang kemudian mempengaruhi
hubungan legislatif dengan eksekutif adalah bahwa gubernur yang terpilih adalah calon dari
partai politik yang menempati kursi mayoritas di DPRD karena untuk dapat di calonkan
sebagai kepala daerah ataupun DPRD harus melalui Partai politik sehingga anggota yang
terpilih tidak hanya membawa kepentingan rakyat tetapi juga kepentingan parpol dan
kepentingan pribadi, dan bahkan yang lebih buruk lagi DPRD pada saat sekarang ini tidak
lagi mncerminkan kepentingan rakyat sebagaimana seharusnya tetapi lebih kelihatan pada
kepentingan parpol yang mengusungnya.Maka dalam hal ini kewenangan Gubernur akan
terpenjarai oleh kepentingan parpol.Sehingga apabila Gubernur terpilih dari parpol mayoritas,
minimnya control akan mendorong terbentuknya tirani baru dalam pemerintahan dan
menyebabkan molornya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Hal-hal lain yang kemudian menjadi alasan dikeluarkannya statement pemilihan gubernur
oleh DPRD adalah besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk pemilihan Gubernur
secara langsung, serta pemilihan langsung itu rawan akan terjadinya money politics,tetapi
menurut saya alasan seperti ini bukanlah merupakan alasan yang kuat untuk menyatakan
kembali kepada sistim pemilihan pada masa Orde baru, karena kita harus melihat pada
kualitas pemerintahan itu sendiri kalau toh ongkos yang terlalu mahal menjadi kendala, maka
untuk mengefisiensi biaya dan juga waktu adalah dengan melakukan pemilhan kepala daerah
secara serempak,sebagai cotoh di Sumatera Barat pemilihan Walikota,Bupati dan Gubernur
dilakukan secara bersama sama sehingga dari anggaran yang di buat adalah 179,9 miliar
tetapi karena dilakukan secara bersama maka biaya yang terpakai hanya 74 miliar, artinya
jauh lebih murah dari ongkos yang di anggarkan.Demikian juga dengan alasan terjadinya
money politics , memang tidak dapat dipungkiri politik uang itu bisa saja terjadi, tetapi tidak
ada jaminan apibila Gubernur di pilih oleh DPRD akan serta merta menghapuskan money
politics, bahkan belajar dari orde lama politik uang itu juga tetap terjadi, sebagai contoh
pembatalan gubernur Maluku utara sebagai pemenang pemilu pada tahun 2001 karena
menyuap anggota DPRD Maluku Utara.Sehingga kemudian yang terjadi bukan penghapusan
money politics tetapi hanya terjadi pergeseran objek saja, kalau pemilihan Gubernur
dilakukan secara langsung yang menjadi objek penerima uang itu adalah masyarakat
sedangkan apabila Gubernur itu dipilih oleh DPRD yang menjadi objek penerima uang
tersebut adalah anggota DPRD itu sendiri yang merupakan kaum elitis, dan apabila kita
melihat teori Negara kesejahteraan (welfare state ) apabila pemilihan Gubernur dilakukan
secara langsung maka akan ada penghargaan hak suara masyarakat dimana masyarakat
menentukan pemimpinnya sendiri dan ketika apabila terjadi politik uang toh yang menerima
uang tersebut adalah masyarakat itu sendiri dan untuk kesejahteraan tentunya, daripada yang
menikmatinya adalah kaum elite di DPRD,yang memilih pemimpin untuk rakyatnya tetapi
sesuai dengan kepentingannya dan kepentingan parpol yang mengusungnya tanpa melihat
sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan masyarakat.

Selanjutnya apabila kita melihat kewenangan gubernur yang terbatas pada era otonomi saat
ini menjadi suatu pertimbangan bagi kita untuk melakukan pemilihan gubernur oleh DPRD,
sesuai dengan asas Dekonsentrasi dalam kajian hukum tata Negara, pemerintah yang
berdasarkan asas dekonsentrasi merupakan amtelijke decentralisastie atau delegatie van
bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada
instansi bawahan guna melaksanakan pekerjaaan tertentu dalam penyelenggaraan
pemerintahan.Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan
melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat.Dalam hal ini gubernur sebagai pelaksana
Dekonsentrasi hanya bersifat intermediate government,artinya gubernur hanya berfungsi
sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga tugasnya hanya
sebatas koordinasi dengan melihat tugas Gubernur yang begitu sedikit jika di tinjau dari segi
efisiensi dan segi efektifitas, maka dari segi efisiensi akan tidak sangat efisien jika dengan
tugas yang demikian minim akan menelan banyak biaya untuk pemilihan gubernur belum lagi
apabila terjadi kemungkinan 2 putaran maka sudah dapat dipastikan ongosnya pasti
meningkat.Sungguh sangat tidak efisien jika dilihat pada fakta sekarang ini data yang besar
tersebut tidak sebanding dengan peningkatan pelayanan public.Dari segi efektifitas dilihat
dari hubungan DPRD dengan Gubernur faktanya dalam pengambilan kebijakan oleh
gubernur,DPRD sering tidak koordinatif akibat yang kemudian ditimbulkan fungsi otonomi
daerah tidak berjalan dengan baik maka dengan dipilih langsung oleh DPRD maka akan
memungkinkan adanya kesatuan visi dalam penciptaan pelayanan publik yang lebih baik.

Merupakan suatu kemunduran Demokrasi apabila kemudian pemilihan Gubernur oleh DPRD
ini dilaksanakan karena sistem demokrasi perwakilan akan lebih banyak meletakkan kuasa
untuk menentukan rekrutmen politik di tangan segelitir orang di DPRD (oligarkis). Sistem ini
jelas akan menutup ruang partisipasi bagi warga dalam proses demokrasi dan menen¬tukan
kepemimpinan politik di tingkat lokal.Sehingga pendidikan politik kepada rakyat tidak akan
pernah dapat terwujudkan lagi karena yang akan timbul adalah pemilihan yang sangat elitis
yang tidak lagi mewakilkan kehendak rakyat yang merupakan pemilik dari Negara ini
sehingga pemerintah yang terpilih hanya akan menggunakan APBD untuk politik pencitraan
semata kemudian yang akan timbul adalah adanya korupsi berjamaah antara eksekutif dan
legislatif karena toh eksekutif yang terpilih adalah bagian dari mayoritas parpol di DPRD
maka fungsi control dari legislatif akan sulit terlihat.serta dapat dipastikan bu-pati dan
walikota akan semakin sulit “dikontrol” oleh gubernur. Konflik kepen¬tingan provinsi
dengan kabu¬pa¬ten/kota akan semakin ter¬buka lebar dan sulit dihindari karena dualisme
penye¬leng¬garaan fungsi desentralisasi. Ini dipicu karena tingkat legitimasi yang jauh
berbeda.Kekuatan pilkada langsung terletak pada pembentukan dan implikasi
legitimasinya.Kepala daerah membutuhkan legitimasi ters-endiri sehingga harus dipilih
sendiri oleh rakyat.

Setelah melihat dalil dalil yang kemudian membenarkan pemilihan gubernur oleh DPRD
serta pemilihan lansung yang sesuai dengan konstitusi pasal 1 ayat 2 diperkuat dengan UU
N0 32/2004, maka kita akan sulit menentukan mana yang benar dan mana yang salah toh
kedua duanya ada landasan yang membenarkannya, tetapi sekarang yang perlu kita lakukan
adalah bagaimana mencari jalan ideal dimana kepala daerah cukup memiliki dukungan yang
relatif kuat sehingga mampu menyelenggarakan pemerintahan di daerah ( stabil ), seraya
tetap menjaga keseimbangan melalui kekuatan legislatif selaku lembaga yang melakukan
fungsi check and balance system dalam bentuk pengawasan, penetapan regulasi bersama
pemerintah daerah, kemudian kesadaran penting yang diharapkan adalah bahwa
penyelenggaraan pemerintahan sesungguhnya dihadapkan pada kebutuhan masyarakat itu
sendiri melalui legislatif dan kepala daerah yang dipilih secara langsung ataupun melalui
perwakilan.jadi tidak ada alasan bagi anggota legislatif dan kepala daerah untuk menunda
kepentingan masyarakat dalam masa jabatannya,karena jika tidak maka akan menurunkan
kepercayaan (trust) masyarakat terhadap wakil wakilnya sehingga apabila masyarakat tidak
lagi menaruh kepercayaan terhadap wakil-wakilnya maka harapan akan datangnya
pemerintahan baru yang lebih baik tidak akan pernah ada.

http://fh.unsri.ac.id/index.php/posting/106
Pro dan Kontra terhadap Usulan Perubahan Pemilihan Gubernur
By M. Lutfi Chakim 07.50.00 Constitutional Law, Pemilihan Umum

Diskursus tentang perubahan sistem pemilihan kepala daerah khususnya pemilihan Gubernur

mulai bergulir sejalan dengan banyaknya ketidakpuasan berbagai pihak untuk tidak lagi

menggunakan sistem pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat. Usulan terhadap perubahan

mekanisme pemilihan Gubernur tersebut mencuat ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam

Negeri mengusulkan Rancangan Undang-undang Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU

Pilkada yang merupakan bagian dari revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya mengatur pemilihan gubernur secara langsung.

Saat ini, RUU Pilkada sedang dalam proses pembahasan oleh DPR sebagai bagian dari program

legislasi nasional.

Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan

Gubernur yaitu merubah sistem pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem

pemilihan Gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan

bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme pemilihan

wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, tetapi wakil kepala

daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih dari pegawai negeri sipil. Hal itu untuk menghindari

fenomena “pecah kongsi” yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Beberapa usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada adalah

mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas birokrasi, efisiensi kampanye,

pengaturan terhadap calon inkumben, dan penyelesaian sengketa pilkada.

Secara konstitusional Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan, bahwa kepala daerah dipilih

secara demokratis. Konstitusi secara tegas tidak mengharuskan Gubernur dipilih secara langsung

oleh rakyat, melainkan hanya dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis” lahir

dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000 antara pendapat yang
menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara

langsung oleh rakyat. Namun memang makna “demokratis” bisa berkonotasi dua yaitu pertama, bisa

dipilih secara langsung oleh rakyat dan kedua, bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan

rakyat.

Dalam konteks sejarah ketatanegaraan di Indonesia berkaitan dengan pemilihan kepala daerah,

beberapa sistem mekanisme pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan. Pertama, (era

kemerdekaan pra-1958) pemerintah pusat menunjuk kepala daerah. Kedua, (1959-1973) Presiden

mempunyai kewenangan langsung menunjuk para kepala daerah. Ketiga, (1974-1998) DPRD

menominasikan calon kepala daerah kepada Presiden dan akan diputuskan oleh Presiden. Keempat,

(1999-2003) DPRD memilih kepala daerah tanpa keterlibatan dari pemerintah pusat. Kelima, (2004-

sekarang) pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat yang

menggunakan mekanisme satu orang satu suara yg lebih lanjut di atur dalam UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemda.

Namun setelah sekian lama implementasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda mulai dari

tahun 2004 hingga sekarang, banyak masyarakat Indonesia mempertanyakan, apakah mekanisme

pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat masih sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri?.

Hal itulah yang menjadi usulan Pemerintah melalui RUU Pilkada untuk mengubah mekanisme

pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan Gubernur oleh DPRD. Usulan

perubahan pemilihan Gubernur tersebut merupakan topik yang sangat serius, karena mengingat

berpotensi menyurutkan pembangunan demokrasi di Indonesia yang bermaksud mengurangi peran

rakyat dalam menentukan pemimpinnya di daerah.

Setidaknya terdapat pro dan kontra terkait dengan usulan pemerintah yang mengusulkan

pemilihan Gubernur oleh DPRD. Bagi pihak yang kontra terhadap usulan pemilihan Gubernur oleh

DPRD menyatakan, bahwa pemilihan Gubernur oleh DPRD adalah merupakan suatu kemunduran

yang luar biasa bagi demokrasi Indonesia. Karena Pemilihan Gubernur oleh DPRD tidak
mencerminkan kedaulatan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi dan misi para calon Gubernur mereka, artinya

DPRD menjadi sebagai kekuatan dominan yang akan membajak hak rakyat untuk berpartisipasi

dalam pemerintahan. Dengan demikian pemilihan Gubernur Oleh DPRD dapat mengingkari hak

konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and rights to be candidate),

merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Maka

pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan

pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.

Berbeda juga alasan bagi pihak yang pro, setidaknya ada dua alasan khusus untuk yang setuju

dengan pemerintah dalam hal usulan pemilihan gubernur oleh DPRD. Pertama, yaitu untuk

meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang memiliki biaya yang sangat tinggi untuk prosedur

pemilihan Gubernur. I Gusti Putu Artha, mantan Anggota Komisi Pemilihan Nasional menyebutkan,

bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk setiap pemilihan gubernur langsung oleh rakyat adalah

sekitar Rp 70 miliar menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $ 10 juta. Bahkan

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menyatakan, bahwa setiap calon yang ingin menjalankan

dalam pemilihan gubernur langsung membutuhkan setidaknya lebih dari Rp 20 miliar atau sekitar US

$ 2 juta. Sementara itu, gaji pokok gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, kalau mau menjadi

seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 miliar, dengan gaji gubernur sebesar Rp 8,7 juta per

bulan, maka butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 miliar itu? (Kompas, 23 Juli

2010). Oleh karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa calon terpilih memanfaatkan kesempatan

apapun untuk mendapatkan kembali uang mereka yang dikeluarkan selama proses kampanye

mereka. Kedua, bahwa Gubernur hanya memiliki tingkat otoritas yang rendah. Rendahnya intensitas

hubungan antara Gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang tinggi dari

Gubernur kepada masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah mencatat, bahwa proses pemilihan

langsung akan terlalu mahal hanya untuk pemilihan gubernur karena otoritas mereka hanya sebagai
wakil pemerintah pusat di tingkat daerah. Kalau kewenangan Gubernur sangat terbatas, mengapa

harus dipilih dengan biaya yang sangat mahal?.

Demikian beberapa argumen yang masih menimbulkan pro dan kontra, sehingga hal terebut

menarik untuk dikaji dalam perspektif hukum dan politik untuk menentukan mekanisme yang

demokratis dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.

http://www.lutfichakim.com/2013/02/pro-dan-kontra-usulan-terhadap.html

Terlalu dini mengeluarkan suatu statement, untuk kembali


pada pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD sementara kita
belum melihat secara keseluruhan hasil dari pemilihan
Kepala Daerah secara langsung bahwa kegagalan dari
beberapa daerah merupakan gambaran secara keseluruhan.
Maka untuk memaknai ‘Demorakratis’ itu sendiri kita
membutuhkan teori penafsiran antara lain teori penafsiran
letterlijk atau harfiah, Teori penafsiran Gramatikal atau
interpretasi bahasa, Teori penafsiran historis, teori
penafsiran sosiologis, dan teori-teori penafsiran lainnya,
sehingga melalui teori penafsiran yang kita gunakan kita
dapat memaknai arti dari “Demokratis” yang dimaksud
untuk mendalilkan bahwa pemilihan Kepala Daerah oleh
DPRD itu sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD merupakan suatu
kemunduran yang luar biasa bagi demokrasi Indonesia.
Karena Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tidak
mencerminkan kedaulatan rakyat, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Masyarakat luas tidak
tahu siapa dan bagaimana visi dan misi para calon Kepala
Daerah mereka, artinya DPRD menjadi kekuatan dominan
yang akan membajak hak rakyat untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan.
Ketika kita memaknai bahwa Demokrasi yang dimaksud
adalah Demokrasi perwakilan maka pemilihan Kepala
Daerah oleh DPRD adalah sesuai dengan konstitusi
ditambah dengan pernyataan bahwa DPR adalah
representasi dari rakyat sehingga dapat dibenarkan bahwa
pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD adalah Demokratis,
tetapi apabila kita melihat pada pasal 2 UUD 1945
menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” sehingga
sesuai dengan pasal ini kita memaknai bahwa Demokrasi
yang dimaksud dalam pasal 18 tersebut adalah dari rakyat,
oleh dan untuk rakyat. Sehingga kita dapat mengatakan
bahwa pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD mencederai
kedaulatan rakyat bahkan boleh dikatakan merampas hak-
hak rakyat itu sendiri, selanjutnya dikeluarkannya UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin
mempertegas bahwa Pemilihan kepala daerah itu secara
langsung artinya rakyat berperan secara langsung untuk
memilih pemimpinnya sendiri terlepas apakah calon
pemimpin yang dipilih berkualitas, mewakilkan kehendak
rakyat atau tidak, tidaklah menjadi suatu permasalahan lagi
karena rakyatlah yang menentukan nasibnya sendiri.
Konsekuensi yang kemudian harus di hadapi ketika Kepala
Daerah itu dipilih secara langsung adalah bagaimana
menjaga keseimbangan dalam konteks kedudukan legislatif
dengan kepala daerah selaku bagian dari proses
pemerintahan yang memiliki legitimasi secara paralel,
Kondisi demikian tentunya tidaklah mudah sebab menjaga
keharmonisan diantara keduanya dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah tentunya akan mendorong potensi
konflik yang relatif dinamis, dalam kondisi yang demikian,
Kepala daerah akan seringkali bersikukuh sebagai kepala
daerah yang terpilih secara langsung sehingga tidak perlu
lagi memberikan pertanggungjawaban kepada legislatif,
sebaliknya DPRD akan mendalilkan bahwa kewenangan
untuk memberhentikan kepala daerah adalah kewenangan
yang diberikan oleh rakyat. sehingga eksekutif dan legislatif
saling melemahkan satu dengan lain yang menyebabkan
lemahnya fungsi control dari legislatif terhadap eksekutif.
Selanjutnya apabila Kepala Daerah dipilih oleh DPRD
maka permasalahan yang kemudian mempengaruhi
hubungan legislatif dengan eksekutif adalah bahwa Kepala
Daerah yang terpilih adalah calon dari partai politik yang
menempati kursi mayoritas di DPRD karena untuk dapat di
calonkan sebagai kepala daerah ataupun DPRD harus
melalui Partai politik sehingga anggota yang terpilih tidak
hanya membawa kepentingan rakyat tetapi juga
kepentingan parpol dan kepentingan pribadi, dan bahkan
yang lebih buruk lagi DPRD pada saat sekarang ini tidak
lagi mncerminkan kepentingan rakyat sebagaimana
seharusnya tetapi lebih kelihatan pada kepentingan parpol
yang mengusungnya.Maka dalam hal ini kewenangan
Kepala Daerah akan terpenjarai oleh kepentingan
parpol.Sehingga apabila Kepala Daerah terpilih dari parpol
mayoritas, minimnya control akan mendorong terbentuknya
tirani baru dalam pemerintahan dan menyebabkan molornya
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Anda mungkin juga menyukai