Anda di halaman 1dari 8

A.

MANAJEMEN KRISIS

1. Pengertian

Tiada seorang pun dapat mengelak dan melepaskan diri dari terjangan arus

perubahan. Perubahan yang dibiarkan tidak dikelola, apabila yang dilawan, akan

berkembang menjadi konflik. Penyelesaian konflik yang memuaskan akan membawa

para pihak dalam kondisi cooperative aftermath (usai yang mengakibatkan hadirnya

kerjasama), sedang penyelesaian yang tidak memuaskan, yang biasanya karena ingin

cepat, pada akhirnya akan menimbulkan permusuhan (combative aftermath),

penyelesaian combative ini akan menghadirkan konflik baru, yang tidak mustahil, akan

berkembang menjadi Krisis.

Setiap krisis adalah suatu emergency, namun tidak setiap emergency adalah suatu

krisis. Krisis ditangani oleh manajemen terhadap krisis. Krisis adalah kondisi tidak

stabil, yang bergerak kearah suatu titik balik, dan menyandang potensi perubahan yang

menentukan. Sedangkan keadaan darurat (emergency) adalah kejadian tiba-tiba, yang

tidak diharapkan terjadinya dan menuntut penanganan segera.

Jadi esensi manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor ketidakpastian

dan faktor resiko hingga tingkat serendah mungkin, dengan demikian akan lebih

mampu menampilkan sebanyak mungkin faktor kepastiannya. Sebenarnya yang

disebut manajemen krisis itu diawali dengan langkah mengupayakan sebanyak

mungkin informasi mengenai alternatif-alternatif, maupun mengenai probabilitas,

bahkan jika mungkin mengenai kepastian tentang terjadinya, sehingga pengambilan

keputusanan mengenai langkah-langkah yang direncanakan untuk ditempuh, dapat

lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap mungkin serta setajam

(setepat) mungkin informasinya. Tentu saja diupayakan dari sumber yang dapat

diandalkan (reliable), sedangkan materinya juga menyandang bobot nalar yang cukup.

Manajemen krisis membedakan situasi krisis menjadi : pra-krisis dan krisis.


Situasi Pra-krisis adalah situasi masih tenang dan stabil, bahkan tanpa tanda-tanda akan

terjadinya krisis, sedangakan Situasi Krisis dirinci dalam tahap-tahap prodimal, akut,

kronik, dan pengakhiran (resolution). Pada tahap prodomal, hadir tanda-tanda, pada

tahap akut, terjadi kerusakan (damage), pada tahap kronik, krisis akan berlanjut yang

lebih parah, dan pada tahap pengakhiran, krisis berakhir/teratasi.

Bahwa keempat tahap tersebut dapat terjadi berhimpitan dalam jangka waktu

yang singkat, seperti misalnya terjadi pada flu, namun dapat juga terjadi hal

sebaliknya, krisis yang berlarut-larut memakan waktu lama dan panjang. Krisis jenis

pertama dikenal sebagai krisis berhulu ledak pendek (short fused crisis), sedangkan

yang berlarut disebut sebagai krisis berhulu ledak panjang (long fused crisis). Tetapi

tidak semua krisis berkembang dalam empat tahap tersebut. Cukup banyak krisis yang

melompat dari tahap prodomal langsung ke tahap penyelesaian. Tahapnya dapat

berkurang, tetapi tidak pernah lebih dari empat. Adalah tugas manajemen krisis untuk

mencegah terjadinya suatu krisis, dan seandainya tidak dapat lagi tercegahkan, adalah

tugasnya pula untuk secepat mungkin menghalaunya masuk ketahap penyelesaian.

2. Upaya Penanggulangan Krisis.

Peramalan (Forcasting). Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa manajemen

krisis bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko dan faktor ketidakpastian hingga

seminimal mungkin. Untuk itu orang melakukan peramalan terhadap krisis (forcasting)

pada situasi Pra-krisis. dalam manajemen krisis, agar memudahkan dalam

mempetakan krisis, peramalan digambarkan pada Peta Barometer Krisis.

Pencegahan (prevention). Langkah-langkah pencegahan ini lebih cocok

diterapkan untuk meenanggulangi krisis pada situasi Pra-Krisis. Mencegah agar krisis

tidak terjadi, atau jika diperkirakan tidak mungkin dicegah terjadinya, diupayakan agar

tidak usah masuk ke tahap beerikutnya yaitu tahap akut, jika ia kelak betul-betul

terjadi. Untuk itu, begitu ada tanda-tanda terlihat, segera dapat langsung diarahkan
ketahap penyelesaian.

Pencegahan juga berupaya mengalihkan tempat dan waktu terjadinya krisis, dan

juga berupaya mengendalikannya, jika ia kelak terjadi. Upaya pada tahap praktisis

adalah untuk mencegah terjadinya krisis ikutan terhadap suatu krisis yang tak

terelakkan. Intervensi (Intervantion). Semua langkah-langkah yang ditempuh untuk

menanggulangi krisis pada situasi krisis adalah Intervensi. Dengan tujuan agar krisis

cepat berakhir, agar krisis meledak pada titik waktu dengan tingkat kesiagaan tinggi,

atau agar krisis yang terjadi dapat dikendalikan. Pengendalian terhadap kerusakan

(damage control) digerakkan / diterapkan pada tahap akut, termasuk dalam

pengendalian terhadap krisis. Langkah-langkah pengendalian terhadap kerusakan

diawali dengan langkah :

(1) Identifikasi

(2) Isolasi/pengucilan

(3) Menangani krisis diikuti pemulihan.

Krisis, sebagaimana halnya dengan konfik, tidak dengan sendirinya bersifat

negatif, tetapi perubahan yang menentukan yang menjadi kata kunci, dapat

berkembang kearah yang positif, namun dapat juga sebaliknya. Karena itu yang

dikelola adalah faktor resiko dan faktor ketidakpastiannya, agar masa depat dapat lebih

diperkirakan.

3. Contoh Kasus

Bisa dicontohkan dalam perusahaan yang mengalami masalah krisis pencemaran

nama baik pada produk yang di produksi oleh perusahaan tersebut. Dimisalkan terjadi

krisis yang melanda pabrik biskuit dimana telah beredar isu yang menyatakan bahwa

biskuit yang di produksi mengandung racun dan isu penggunaan lemak babi. Hal ini

merupakan masalah yang cukup serius karena dengan adanya isu ini terjadi penurunan angka

penjualan. Di samping itu implikasi dari masalah ini tidak hanya berpengaruh terhadap
perusahaan besar, tetapi juga telah membuat perusahaan kecil dan pedagang kecil ikut

merasakan akibatnya. Sekian banyak pengangguran yang terjadi, dan sekian banyak

produk yang tidak laku dijual.

Pada saat krisis melanda perusahaan ada beberapa langkah yang perlu dilakukan

di dalam penanganan krisis. Hal pertama adalah mengidentifikasi krisis kemudian

diikuti oleh mengisolasi krisis dan yang terakhir adalah menangani krisis.

B. IMAGE BUILDING

1. Pengertian

Untuk menentukan pengertian dari image building atau dalam bahasa Indonesia

di sebut sebagai pembentukan citra kita terlebih dahulu menguraikan definisi dari citra

(image) itu sendiri.

Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu. Citra merupakan

persepsi yang terbentuk dalam benak manusia. Pembentukan persepsi manusia

menurut K. Sereno & Edward M Bodaken yang dikutip dari buku “Ilmu Komunikasi

suatu pengantar”, Deddy Mulyana, terdiri dari tiga aktivitas yaitu seleksi, organisasi &

intepretasi. Seleksi yang dimaksudkan adalah sensasi dan atensi terhadap stimulus

(fisik & psikologis) yang ditangkap oleh indra manusia, kemudian diorganisasikan atau

digabungkan dengan stimulus pengetahuan serta pengalaman masa lalu. Penggabungan

itu lalu diintepretasikan maknanya.

Menurut Frank Jefkin, citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu

tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamanya.

Selanjutnya dalam ilmu Psikologi Komunikasi citra diartikan sebagai penggambaran

tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut

persepsi.

Dari definisi-defini tersebut diatas maka citra itu pada intinya bisa disimpulkan:

 Kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan

 Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu.


 Citra merupakan persepsi yang terbentuk dalam benak manusia

 Citra adalah pencapaian tujuan dari kegiatan PR, Citra sesuatu yang abstrak tidak

dapat diukur dalam ukuran nominal, tapi dapat dirasakan, dan bisa diciptakan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka PR sebagai devisi yang menjalankan

fungsi managemen yang salah satu tugasnya adalah membentuk image/citra baik oleh

khalayak eksternal maupun khalayak internal maka disini peranan PR sangat penting.

Citra yang ada dalam perusahaan / lembaga / organisasi tidaklah sama maka

selanjutnya bawah ini disebutkan beberapa jenis image atau citra yang bisa timbul atau

tercipta dalam suatu organisasi menurut Frank Jefkins (1996:17-20), yaitu:

1. Citra Bayangan

Citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang-orang dalam (biasanya

pimpinan) mengenai pandangan orang luar terhadap organisasi/perusahaannya. Citra

ini cenderung positif dan bersifat fantasi. Namun karena ketiadaan informasi yang

lengkap, maka citra yang diperoleh itu belum tentu tepat.

2. Citra yang berlaku

Citra yang berlaku adalah citra yang melekat pada orang lain terhadap

organisasi/perusahaan. Citra ini sering tidak sesuai kenyataan, karena semata

terbentuk karena pengalaman atau pengetahuan orang lain yang beleum tentu

memadai. Citra ini cenderung negatif.

3. Citra yang diharapkan

Adalah citra yang diinginkan oleh manajemen namun tidak selalu sama dengan

citra sebenarnya. Biasanya citra yang diharapkan adalah lebih baik dari citra

sebenarnya.

4. Citra perusahaan

Citra perusahaan juga sering disebut sebagai citra lembaga yaitu citra dari suatu

organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanannya

5. Citra majemuk
Citra majemuk adalah citra yang dibentuk oleh masing-masing orang di dalam

suatu perusahaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya dan juga tidak sama

dengan citra organisasi atau perusahaan secara keseluruhan.

Selanjutnya frank jefkin juga menjelaskan secara singkat citra itu bisa

dikatagorikan atas:

 The mirror image (cerminan citra), yaitu bagaimana dugaan (citra) manajemen

terhadap publik eksternal dalam melihat perusahaanya.

 The Current image (citra masih hangat), yaitu citra yang terdapat pada publik

eksternal, yang berdasarkan pengalaman atau miskinnya informasi dan pemahaman

publik esternal

 The wish image (citra yang diinginkan), yaitu manageman menginginkan

pencapaian prestasi tertentu.

 The multiple image (citra yang berlapis), yaitu sejumlah individu, kantor cabang

atau perwakilan perusahaan yang dapat membentuk citra tertentu yang belum tentu

sesuai dengan keseragaman citra seluruh organisasi atau perusahaan.

Dari pembagian jenis citra itu maka bisa kita simpulkan bahwa citra itu dapat

muncul atau diduga oleh manageman itu sendiri, dibuat oleh masyarakat, diinginkan

oleh organisasi dan citra yang berlapis atau berbeda-beda.

2. Proses Pembentukan Citra

Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan

pengetiannya yentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk mengetahui citra seseorang

terhadap objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon dalam

Rakhmat menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif-pada informasi

dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori dan sikap atau aksi sosial yang

tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari

komunikasi sangat mempengaruhi proses pemebntukan citra seseorang. Citra terbentuk

berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang.


Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung

mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan.

Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian

sistem komunikasi dijelaskan oleh John S. Nimpoeno, dalam laporan penelitian tentang

tingkah laku konsumen, seperti yang dikutif Danasaputra sebagai berikut: “Publik

relation digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah

pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah

adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi

kognisi-motivasi-sikap.

Berdasarkan pemahaman mengenai pembentukan persepsi atau pencitraan, maka

seringkali pembentukan citra lebih bersifat subyektif dan tidak sesuai dengan realitas

yang ada. Oleh karena itu, banyak organisasi kemudian tidak cukup menjalankan

program komunikasinya untuk pembentukan citra, melainkan lebih kepada

pembentukan reputasi organisasi. Reputasi yang berasal dari kata bahasa Inggris

Reputation memiliki arti nama baik. Tujuan program komunikasi PR pada akhirnya

tidak hanya membangun atau menciptakan image/citra positif namun juga membangun

kepercayaan terhadap public sehingga mereka percaya dengan apa yang dilakukan

organisasi adalah yang terbaik dan mengharumkan namanya. Reputasi pada akhirnya

dibentuk dari pembuktian yang kuat mengenai apa yang dilakukan organisasi adalah

memberikan yang terbaik bagi public sasarannya.

3. Contoh Kasus

Pada beberapa bulan yang lalu di area publik, telah ditumbuhi aneka bendera

partai yang cara pemasangannya serampangan, yang penting berkibar tanpa

menghiraukan estetika.

Hal ini masih diramaikan dengan berbagai spanduk dan baliho yang berisi ajakan

dan tawaran untuk bergabung dan memilih, dengan kata lain proses penyampaian
pikiran atau perasaan oleh seseorang (partai/calon) kepada orang lain (calon pemilih),

yang berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya untuk

dipahami oleh orang lain sehingga gagasannya dimengerti dan menimbulkan tindakan-

tindakan dari orang lain seperti yang diharapkan sehingga timbul saling pengertian dan

kesepahaman dalam memaknai pesan untuk kemudian dapat dikerjakan secara

bersama-sama (memilih dan mendukung partai/calon tertentu)

Iklan dadakan yang cenderung membohongi khalayak ramai karena pesan yang

disampaikan masih perlu pembuktian ini semakin banyak kita jumpai. Pepohonan

pelindung di tepi jalan pun dimanfaatkan untuk menempelkan aneka poster bergambar

wajah yang sedang dijajakan. Jargon-jargon bombatis itu sifatnya normative sekali,

intinya sama, yaitu meningkatkan layanan pendidikan,kesehatan dan menguragi

pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja. hanya beda redaksionalnya yang

ditambahi aneka bumbu penyedap sesuai visi misi partai. Televisi pun tak luput dari

iklan partai yang mencoba mengkomunikasikan programnya dengan kemasan yang

atraktif. Selain media yang disebukan diatas, stiker pun menjadi sarana beriklan. Bisa

dilihat di kaca angkot, bus kota, tiang listrik, tembok, halte, telpon umum dan fasilitas

umum lainnya tak luput dari tempelan stiker. Sampai-sampai becak dan angkringan

pun merelakan diri ditempeli aneka stiker. Mulai gambar mbah Marijan mengiklankan

minuman suplemen sampai wajah-wajah para cabup, cagub, caleg pun capres yang

menebar senyum penuh janji.

Semua itu adalah simbol yang ingin disampaikan kepada khalayak ramai dalam

rangka membangun citra untuk memperoleh minimal 25% suara agar ‘selamat’ dalam

pemilu 2009 sehingga bisa turut serta membuat kebijakan kenegaraan.

Anda mungkin juga menyukai