Secara astronomis wilayah sungai ini terletak pada 105o 12’’ BT – 108o00’’
BT dan 5o 00’’ LS – 62 30’’ LS. Curah hujan rata-rata berkisar antara 870 s.d. 3.460
mm per tahun. Terdapat 4 gunung berapi di WS Cimanuk yaitu Ciremai,
Papandayan, Guntur dan Galunggung. Sedangkan Gunung Tampomas di dekat
Kab. Sumedang adalah gunung api muda dan tidak aktif. Berdasarkan Permen PU
No. 11A Tahun 2006, WS Cimanuk merupakan WS lintas provinsi (Jawa Barat dan
Jawa Tengah) yang Kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah Pusat.
Gambar 4.1 Peta Rencana Induk Pengembangan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Cimanuk-Cisanggarung
(Sumber : Rosadi, 2005.)
Dari peta topografi didapat luas Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai
Cimanuk-Cisanggarung sebesar 3673 km2. untuk peta Daerah Aliran Sungai (DAS)
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut.
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Panjang
Jalan Arteri Primer (KM) Status Jalan
pada penelitian ini, lokasi studi terdapat dijalan arteri primer yaitu di
sekitaran ruas jalan A.H Nasution Bandung, panjang jalan ± 5KM dilokasi studi
yaitu lokasi pertama di sekitaran simpangan pasir impun dan lokasi kedua di
simpangan sindanglaya.
Pengumpulan data untuk setiap simpang dilakukan selama 2 hari yaitu pada
hari minggu dan senin dengan periode waktu selama dua jam pada waktu pagi, siang
dan sore. Pengambilan data menggunakan kamera video yang diletakkan setinggi 3
meter dari permukaan jalan di simpang Pasir Impun dan setinggi 4 meter dari
permukaan jalan di simpang Sindanglaya. Ektraksi data secara visual melalui layar
monitor pada masing-masing lengan simpang. Dari masing-masing lengan yang
diamati diambil seluruh data untuk waktu pagi, siang dan sore selama satu jam.
Pengumpulan data di simpang Pasir Impun kota Bandung dilaksanakan pada hari
Minggu tanggal 12 Maret 2017 periode pagi jam 06:30 – 08.30 WIB, siang jam
12.00 – 14.00 WIB, sore jam 17:00 – 19.00 WIB dan hari Senin tanggal 13 Maret
2017 periode pagi jam 06:30 – 08.30 WIB, siang jam 12.00 – 14.00 WIB, sore jam
17:00 – 19.00 WIB. Pengumpulan data di simpang Arcamanik Sindanglaya kota
Bandung dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 12 Maret 2017 periode pagi jam
06:30 – 08.30 WIB, siang jam 12.00 – 14.00 WIB, sore jam 17:00 – 19.00 WIB dan
hari Senin tanggal 13 Maret 2017 periode pagi jam 06:30 – 08.30 WIB, siang jam
12.00 – 14.00 WIB, sore jam 17:00 – 19.00 WIB.
Dari ektraksi data melalui layar monitor selama periode dua jam untuk masing-
masing simpang diperoleh data volume lalu lintas di masing-masing
lengan simpang, data nilai gap/lag diterima maupun gap/lag ditolak dan data
nilai follow-up time kendaraan di jalan minor.
Simpang tak bersinyal tiga lengan di dua titik jalan yakni jalan Pasir Impun
dan jalan Arcamanik Sindanglaya Kota Bandung ,jalan ini merupakan sekitaran jalan
arteri A.H. Nasution yang di lalui kendaraan beroda dua, beroda empat atau lebih
yang lalulalang dan menghubungkan pusat-pusat perekonomian, pendidikan, dan
perkantoran di kota Bandung.
Data simpang jalan Pasir Impun (gambar dapat dilihat pada sketsa gambar
3.2 halaman 39) yaitu:
4. Pemisah arah pada kedua jalan minor tidak terdapat marka jalan
6. Pada jalan minor tidak terdapat rambu STOP atau rambu YIELD
4. Pemisah arah pada kedua jalan minor tidak terdapat marka jalan
6. Pada jalan minor tidak terdapat rambu STOP atau rambu YIELD
Data volume lalulintas diambil dengan penggalan waktu lima menitan pada
masing-masing lengan yang memasuki simpang. Volume lalulintas diperoleh dengan
menghitung banyaknya kendaraan yang melewati simpang.
1. Simpang Pasir Impun Kota Bandung pada hari Senin pukul 07.20 - 07.30
dengan volume lalulintas 940 kendaraan/jam.
2. Simpang Arcamanik Sindanglaya Kota Bandung pada hari Senin pukul 07.10
– 07.20 dengan volume lalulintas 720 kendaraan/jam.
Data Lag diambil di lokasi studi dengan menggunakan kamera video pada
periode pagi, siang dan sore, pengambilan data selama dua hari masing-masing
selama satu jam. Data yang diambil merupakan semua lag yang ada baik yang
diterima maupun lag yang ditolak tanpa pemilihan.
Nilai lag diterima adalah selisih waktu antara waktu yang diperlukan
kendaraan dari jalan minor belok kanan dengan waktu yang diperlukan kendaraan
dari arah kanan di jalan major menuju satu titik yang sama di simpang, dan
kendaraan dari jalan minor dapat memasuki simpang untuk bergabung dengan
kendaraan yang berada di jalan major dari arah kiri dan tanpa hambatan dari
kendaraan arah kanan di jalan major.
Nilai lag ditolak adalah selisih waktu antara waktu yang diperlukan kendaraan
dari jalan minor belok kanan dengan waktu yang diperlukan kendaraan dari arah
kanan di jalan major satu titik yang sama, dan kendaraan dari jalan minor tidak dapat
memasuki simpang untuk bergabung dengan kendaraan dari arah kiri di jalan major
karena ada hambatan dari kendaraan arah kanan di jalan major.
1. Catat waktu ketika bumper depan kendaraan di jalan minor berada di ujung jalan
minor, yang disebut dengan waktu awal.
2. Memperhatikan posisi titik pertemuan antara kendaraan dari jalan minor dan
kendaraan di jalan major di simpang dengan cara memutar gambar video
berulang-ulang.
3. Catat waktu ketika bumper depan kendaraan dari jalan minor dan waktu ketika
bumper depan kendaraan di jalan major berada pada titik pertemuan di simpang,
yang disebut dengan waktu akhir.
4. Hitung selisih waktu akhir dengan waktu awal, yang disebut dengan nilai lag.
5. Pengambilan nilai lag dibagi dua kondisi :
a. Kendaraan di jalan minor TAK BERHENTI ketika memasuki simpang.
b. Kendaraan di jalan minor BERHENTI ketika memasuki simpang.
Pengambilan keputusan :
Tabel 4.2. Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Volume Lalulintas Pada Simpang
Pasir
1 Impun Minggu dan Senin 1,055 1,988 0,299 Diterima
Sindang
2 Laya Minggu dan Senin 1,704 1,988 0,098 Diterima
2. Uji Autokorelasi
Pada uji autokorelasi ini yang digunakan adalah uji Durbin Watson. Dimana
dengan nilai Durbin Watson yang dihasilkan, dapat ditentukan data yang digunakan
bersifat autokorelasi atau tidak. Nilai Durbin Watson yang dihasilkan sebesar 1,802.
Bila dibandingkan dengan tabel Durbin Watson dimana nilai dL = 1,29530
dan dU= 1,65387, maka hipotesis yang diperoleh adalah Dhitung> dU yakni 1,802
>1,65387. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat autokorelasi.
3. Uji Heteroskedastisitas
Pada penelitian ini untuk pengujian heteroskedastisitas menggunakan uji Park.
Uji park yang digunakan dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai alfa
(5%). Nilai t hitung sebesar 1,055 > 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
tidak terjadi heteroskedastisitas.
4. Uji Multikolinieritas
Pengujian multikolinieritas dapat nilai dari VIF. Dimana nilai VIF yang
dihasilkan tidak melebihi 10. Berikut nilai VIF yang dihasilkan 3,861; 1,245; dan
1,814. Sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak terdapat multikolinieritas.
1. Uji Normalitas
3. Uji Heteroskedastisitas
Pada penelitian ini untuk pengujian heteroskedastisitas menggunakan uji Park.
Uji park yang digunakan dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai alfa
(5%). Nilai t hitung sebesar 1,704> 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
tidak terjadi heteroskedastisitas.
4.5 Analisis Nilai Ekivalen Mobil Penumpang (emp) di Simpang Tak Bersinyal
Nilai emp kendaraan di simpang tak bersinyal dihitung dengan menggunakan
metode kapasitas menggunakan analisis regresi linier berganda terhadap semua
waktu survai. Persamaan regresi berganda sesuai rumus dalam bab III sehingga nilai
koefisien masing-masing persamaan merupakan nilai emp.
Data volume lalulintas sebanyak 36 data yang ada selama 2 hari, dianalisis
dengan persamaan regresi linier berganda sebagai berikut :
Simpang Pasir Impun kota Bandung mempunyai data hari Minggu dan hari
Senin di gabung menjadi satu sehingga jumlah data menjadi 36 data volume
lalulintas. Seluruh data dianalisis dengan analisis regresi linier berganda.
Tabel 4.3. Nilai emp kendaraan berdasarkan analisis regresi menggunakan seluruh
data di simpang Pasir Impun Kota Bandung
LV 0,654
HV -0,894
MC 0,406
UM 0,079
Jumlah Data 36
Simpang Sindang Laya Kota Bandung mempunyai data hari Minggu dan hari
Senin di gabung, sehinga jumlah data menjadi 36 data volume lalulintas. Seluruh data
dianalisis dengan analisis regresi linier berganda
LV 1,319
HV 1,050
MC 0,259
UM 0,100
Jumlah Data 36
UM/MV = 0,05
SF Sedang
Tabel. 4.6 Analisis Kapasitas Simpang Sidanglayang Tiga Lengan Tak Bersinyal
UM/MV = 0,05
SF Sedang
Berdasarkan perkalian kapasitas dasar (Co) pada kondisi ideal simpang dengan
faktor-faktor koreksi (F) diperoleh kapasitas di simpang sebagai berikut :
Simpang Pasir Impun Kota Bandung : - dengan emp MKJI C = 4.095 smp/jam
Simpang Sidang Laya Kota Bandung : - dengan emp MKJI C = 4.023 smp/jam
dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Persamaan tersebut sebagai
merupakan rasio arus lalu lintas (smp/jam) terhadap kapasitas (smp/jam), dapat
ditulis dengan persamaan sebagai berikut :
………………………………………………………….…(3)
Keterangan ;
DS = Derajat kejenuhan
C = Kapasitas (smp/jam)
Qsmp = Arus total (smp/jam)
Tabel 4.7 Analisis Derajat Kejenuhan di Simpang Pasir Impun Pada arus lalulintas puncak
nilai
1 Arus Lalulintas Qtot (smp/jam) emp sesuai MKJI 1997 3200
Tabel 4.8 Analisis Derajat Kejenuah di Sidang Laya Pada arus lalulintas puncak
nilai
1 Arus Lalulintas Qtot (smp/jam)
emp sesuai MKJI 1997 3.200
[1−0,7814 )x1,8]
4 DTMI= Tundaan Q 35,86
[(QtotxDTi)− (QMA xDTMA )]/ MI
Lalulintas di 4
[(1 −0.7954)x1,8]
Jalan Mayor
4 DTMI = Tundaan [(QtotxDTi)− (QMA xDTMA )] 54,75
(DMA), dan tundaan lalulintas di jalan minor (D MI) melebihi nilai tundaan dari nilai batas
MKJI 1997 yaitu diatas 35 detik/smp. (lihat tabel 4.7 dan table 4.8) kondisi ini dapat
diidentifikasikan cukup parah, sehingga simpang perlu ditingkatkan kinerjanya dengan salah
satunya memasang sinyal lalulintas.untuk kedua simpang
Peluang antrian dengan batas atas dan batas bawah dapat diperoleh dengan
Peluang antrian yang terjadi berdasarkan analisis yang menggunakan nilai emp
dari MKJI 1997 di simpang Pasir Impun adalah Qpa = 49,15 persen, Qpb = 24,66 persen
dan simpang Sindanglaya Qpa = 50,75 persen, Qpb = 25,52 persen, sedangkan peluang
antrian yang dianalisis menggunakan nilai emp lapangan yang terjadi untuk simpang
Pasir Impun adalah Qpa = 50,23 persen, Qpb = 25,24 persen dan simpang Sindanglaya
Qpa = 52,40 persen, Qpb = 26, 40 persen.
Peluang antrian pada jam puncak kedua simpang melampaui 35% (nilai batas
yang diberikan MKJI), sehingga diindikasikan terjadinya antrian yang cukup besar
sehingga diperlukan pemikiran langkah-langkah penanganan masalah simpang lebih
lanjut.
Dari tabel 4.1 Usia Responden dapat dijelaskan secara umum pada daerah
kajian didominasi oleh kelompok produktif yaitu pada usia 36-40 tahun sebesar 27
responden atau 27,00% kemudian kelompok usia sangat produktif (kelompok umur
26-30 tahun) sebanyak 24 responden atau 24,00%, sedangkan usia responden
diatas 50 tahun sebanyak 5 responden atau 5,00%.
Tabel 4.8 Tingkat Pendidikan Responden
Pendidikan F %
SD 9 9,00
SMP 31 31,00
SMA 37 37,00
DIPLOMA 6 6,00
SARJANA 17 17,00
JUMLAH 100 100
Sumber : Hasil pengolahan data, 2017.
= 74,65%
= 72,09%
= 75,06%
= 78,20%
= 74,12%
= 76,35%
= 86,77%
Berdasarkan pada tabel 4.20 diatas, dapat dilihat bahwa pengaruh secara
simultan atau bersama-sama tanggul rusak (X1), genangan di bantaran sungai (X2),
lama genangan (X3), jumlah rumah tergenang (X4), jumlah jalan tergenang (X5),
dan jumlah kerugian (X6) terhadap debit banjir (Y) sebesar 0,453 atau 45,3%.
Artinya hasil tersebut menandakan bahwa 45,3% variabel debit banjir (Y)
diterangkan oleh tanggul rusak (X1), genangan di bantaran sungai (X2), lama
genangan (X3), jumlah rumah tergenang (X4), jumlah jalan tergenang (X5), dan
jumlah kerugian (X6). Sedangkan sisanya 54,7% dipengaruhi oleh variabel lain di
luar model yang diketahui.
x1 x2 x3 x4 x5 x6 y
x1 Pearson Correlation ** ** ** ** **
1 .704 .559 .478 .503 .305 .562**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 .002 .000
N
100 100 100 100 100 100 100
x2 Pearson Correlation
.704** 1 .550** .512** .542** .359** .626**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 .000 .000
N
100 100 100 100 100 100 100
x3 Pearson Correlation
.559** .550** 1 .506** .567** .477** .436**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 .000 .000
N
100 100 100 100 100 100 100
x4 Pearson Correlation
.478** .512** .506** 1 .618** .508** .479**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 .000 .000
N
100 100 100 100 100 100 100
x5 Pearson Correlation
.503** .542** .567** .618** 1 .629** .452**
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 .000 .000
N
100 100 100 100 100 100 100
x6 Pearson Correlation
.305** .359** .477** .508** .629** 1 .250*
Sig. (2-tailed)
.002 .000 .000 .000 .000 .012
N
100 100 100 100 100 100 100
Y Pearson Correlation
.562** .626** .436** .479** .452** .250* 1
Sig. (2-tailed)
.000 .000 .000 .000 .000 .012
N
100 100 100 100 100 100 100
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber : Hasil pengolahan data, 2017.
x1 x2 x3 x4 x5 x6 y
x1
1 0.704 0.559 0.478 0.503 0.305 0.562
x2 0.704 1 0.55 0.512 0.542 0.359 0.626
x4
0.478 0.512 0.506 1 0.618 0.508 0.479
x5 0.503 0.542 0.567 0.618 1 0.629 0.452
X1
X3
X4 X2 Y
X5
X6
Langkah selanjutnya adalah meregresikan variabel x1, x3, x4, x5, dan x6
terhadap variabel x2 sebagai variabel perantara.
Berdasarkan pada tabel 4.24 di bawah ini, dapat dilihat bahwa pengaruh
secara simultan atau bersama-sama tanggul rusak (X1), lama genangan (X3),
jumlah rumah tergenang (X4), jumlah jalan tergenang (X5), dan jumlah kerugian
(X6) terhadap lama genangan (X2) sebesar 0,563 atau 56,3%. Artinya hasil tersebut
menandakan bahwa 56,3% variabel genangan di bantaran sungai (X2) diterangkan
oleh tanggul rusak (X1), lama genangan (X3), jumlah rumah tergenang (X4), jumlah
jalan tergenang (X5), dan jumlah kerugian (X6). Sedangkan sisanya 43,7% variabel
X2 dipengaruhi oleh variabel lain di luar model yang diketahui.
Tabel 4.24 Model Summaryb
Change Statistics
R Std. Error F
Squar Adjusted of the R Square Chang df df Sig. F Durbin-
Model R e R Square Estimate Change e 1 2 Change Watson
1 .
.563 .540 5.49436 .563 24.238 5 94 .000 1.825
750a
a. Predictors: (Constant), x6, x1, x4, x3, x5
b. Dependent Variable: x2
Sumber : Hasil pengolahan data, 2017.
Pada model ini, variabel X2 dianggap sebagai variabel terikat. Dalam tabel
4.25 Anova (uji F) terlihat bahwa secara simultan variabel-variabel bebas memiliki
pengaruh yang siginifikan terhadap variabel terikat X2 yang ditunjukkan dari nilai sig
0,000 < alpha 5% yang berarti menolah hipotesis 0 dan menerima hipotesis
alternatif atau uji statistic F sudah signifikan. Sedangkan pada Tabel Coefficients
(Tabel 4.19), uji t/parsial menunjukkan bahwa variabel X1 secara statistic memiliki
x1 .790 .137 .503 5.758 .000 .704 .511 .393 .608 1.645
x3 .259 .186 .129 1.395 .166 .550 .142 .095 .544 1.839
x4 .208 .162 .119 1.287 .201 .512 .132 .088 .547 1.827
x5 .221 .155 .149 1.425 .158 .542 .145 .097 .427 2.341
x6 -.019 .182 -.009 -.104 .918 .359 -.011 -.007 .559 1.789
a. Dependent Variable: x2
Sumber : Hasil pengolahan data, 2017.
X1
0,503
X3
X4 X2 Y
0,377
X5
X6
Cikajang 716 2,252 2,226 3,703 2,102 2,514 2,995 2,958 1,817 1,755
Bayongbon
g 615 667 1,551 1,579 2,108 1,953 1,331 2,141
Sumber : BBWS Cimanuk-Cisanggarung, 2017.
Nilai Cs yang sudah didapat dipakai untuk mencari nilai T pada lampiran Tabel
Frekuensi KT untuk Distribusi Log Pearson Type III, maka didapat :
T = 2 dan Cs = -1,9 maka nilai KT = 0,294
T = 5 dan Cs = -1,9 maka nilai KT = 0,788
T = 20 dan Cs = -1,9 maka nilai KT = 0,971
T = 50 dan Cs = -1,9 maka nilai KT = 1,023
T = 100 dan Cs = -1,9 maka nilai KT = 1,037
Dimana :
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
T : Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)
R24 : Curah hujan rencana dalam suatu periode ulang, yang nilainya
didapat dari tahapan sebelumnya (tahapan analisis frekuensi)
Keterangan :
·R24 , dapat diartikan sebagai curah hujan dalam 24 jam (mm/hari)
4.7.1 Analisis Hubungan Curah Hujan, Debit, Luas DAS Cimanuk dan
Intensitas Hujan Berdasarkan Pengamatan Pos Cikajang
Berdasarkan pos pengamatan Cikajang, di Kabupaten Garut khususnya,
pada tahun 2007 hingga 2016 memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Nilai curah
hujan ini dianalisis hubungannya dengan jumlah intensitas hujan per tahun, debit
maksimum dan luas areal dapat didefinisikan pada tabel 4.37 di bawah ini.
Tabel 4.30 Curah Hujan Pos Pengamatan Cikajang Tahun 2007-2016
No Tahun R (mm) QB max (m3/dt) AC (Km2) I max (mm/jam)
1 2007 63 343.35 3749.25 25
2 2008 196 549.36 3749.25 40
3 2009 261 782.84 3749.25 57
4 2010 342 796.57 3749.25 58
5 2011 241 590.56 3749.25 43
6 2012 262 727.9 3749.25 53
7 2013 330 631.76 3749.25 46
8 2014 330 975.11 3749.25 71
Gambar 4.20 di bawah ini merupakan grafik hubungan nilai debit maksimum
dan luas area DAS Cimanuk yang terdapat di Kecamatan Garut Kota dan
Kecamatan Tarogong Kidul. Luas area DAS Cimanuk diasumsikan tidak mengalamu
perubahan dari tahun 2007 hingga 2016, walaupun pada kenyataannya terdapat
Adapun grafik hubungan antara nilai curah hujan total (R) dan Q atau debit
banjir maksimum dapat dilihat pada gambar 4.22 di bawah ini. Pada grafik terlihat
bahwa nilai curah hujan di Sungai Cimanuk Kabupaten Garut ini menurut Pos
Pengamatan Bayongbong masih berada di bawah debit (Q) banjir maksimum
pengamatan. Berdasarkan hasil perhitungan maka daapt disimpulkan bahwa
dengan adanya curah hujan tinggi di daerah tersebut masih dalam batas normal
debit yang maksimal yang dapat ditampung oleh Sungai Cimanuk Kabupaten Garut.
Gambar 4.23 di bawah ini merupakan grafik hubungan nilai debit banjir
maksimum dan luas area DAS Cimanuk yang terdapat di Kecamatan Garut Kota
dan Kecamatan Tarogong Kidul. Luas area DAS Cimanuk diasumsikan tidak
mengalami perubahan dari tahun 2007 hingga 2016. Dalam grafik terlihat bahwa
nilai debit maksimum berada jauh di atas luas area DAS Cimanuk. Dapat
disimpulkan bahwa kejadian banjir di Kabupaten Garut adalah diakibatkan oleh
melimpahnya debit air ke pinggir sungai akibat tidak tertampungnya jumlah debit
dengan luasan DAS Cimanuk. Air yang melimpah ini dapat pula diakibatkan oleh
tingginya curah hujan di daerah hulu Sungai Cimanuk yang tidak terserap maksimal
oleh resapan air yang berada di sana, dalam hal ini hutan lindung atau daerah hijau
sekitar hulu Sungai Cimanuk. Hilangnya daerah hijau di hulu Sungai Cimanuk ini
diakibatkan oleh adanya penebangan liar atau banyaknya alih fungsi daerah
resapan air menjadi lahan terbangun.
Adapun hubungan antara debit maksimum dan debit curah hujan maksimum
dapat dilihat pada Tabel 4.32 di bawah ini. Berdasarkan hasil perhitungan dapat
dilihat bahwa nilai debit curah hujan total sangat tinggi dan berbanding lurus dengan
nilai debit maksimum. Semakin tinggi nilai debit maksimum maka nilai QR pun akan
semakin tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.34. Nilai debit (Q)
curah hujan total dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
QR = ẞ..R.Ac
Dimana :
QR : Debit curah hujan total (m³/dt)
ẞ : Konstanta
: Konstanta (nilai 0,6 – 0,96)
Ac : Luas Areal DAS Cimanuk (Ha)
Tabel 4.32 Hubungan Curah Hujan dan Nilai QR Pada Pos Pengamatan Cikajang
Tahun 2007-2016
No Tahun R (mm/dt) QB max (mᶟ/dt) QR max (mᶟ/dt) ẞ AC (Ha)
1 2007 63 343.35 9225.96 0.62 0.63 374.92
2 2008 196 549.36 40695.62 0.78 0.71 374.92
3 2009 261 782.84 64192.30 0.82 0.8 374.92
4 2010 342 796.57 82165.07 0.72 0.89 374.92
5 2011 241 590.56 50680.52 0.79 0.71 374.92
6 2012 262 727.9 61884.30 0.84 0.75 374.92
7 2013 330 631.76 89192.34 0.89 0.81 374.92
8 2014 330 975.11 89192.34 0.89 0.81 374.92
9 2015 193 521.89 37395.42 0.76 0.68 374.92
10 2016 198 480.69 41051.49 0.79 0.7 374.92
Sumber : Hasil pengolahan data, 2017.
Berikut ini (Tabel 4.33) adalah tabel hubungan antara nilai curah hujan
total, QBmax dan QR pada pos pengamatan Bayongbong. Dalam table terlihat jelas
bahwa nilai curah hujan lebih tinggi dibandingkan pada pos pengamatan Cikajang.
Letak pos Bayongbong yang berada lebih dekat ke hulu Sungai Cimanuk ini
menjelaskan bahwa nilai curah hujan rata-rata tinggi per tahunnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa hujan lebih sering terjadi di hulu Sungai
Cimanuk daripada di hilir, tetapi karena daerah tangkapan airnya semakin
berkurang maka air melimpas ke daerah hilir.
Tabel 4.33 Hubungan Curah Hujan (R) dan Nilai QR Pada Pos Pengamatan
Bayongbong Tahun 2008-2016
No Tahun R (mm/dt) QB max (mᶟ/dt) QR (mᶟ/dt) ẞ a AC (Ha)
R (mm/dt)
QR (mᶟ/dt)
QR (mᶟ/dt)
QB max (mᶟ/dt)