Anda di halaman 1dari 12
DEFORESTASI YANG TERHINDARKAN DALAM MEKANISME AWAL PERDAGANGAN KARBON SEBAGAI MANFAAT YANG BERKELANJUTAN PADA BEKAS KAWASAN HUTAN TROPIS DATARAN RENDAH Asef Kurniyawan Hardjana Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Deforestasi yang terhindarkan untuk manfaat yang berkelanjutan pada bekas kawasan hutan dapat menghasilkan manfaat lokal dan global. Kajian yang dilakukan oleh konsorsium Alternatives to Slash and Burn (ASB) dan pihak-pihak lain menunjukkan bahwa tipe-tipe campuran atau agroforestri (intermediate land uses) dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar, mempertahankan jasa ckosistem, memberikan pendapatan (ckonomi) yang baik, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan yang tersisa. Pemerintah dan jajarannya perlu mengetahui seberapa besar emisi yang terhindarkan yang dapat dicapai dan berapa besar biayanya, sehingga per- dagangan karbon perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman, karena pemanfaatan atau perdagangan suatu jasa tentu mempunyai mekanisme pembiayaan atau ada mekanisme pasamnya. Didukung dengan hasil-hasil penelitian dari berbagai lembaga diharapkan pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan dan mendukung dengan peraturan yang me- madai, Salah satu rekomendasi yang diharapkan dari pengembangan kebijakan dan perdagangan karbon adalah memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat kecil yang hidup di pedesaan dan tergantung hidupnya pada hutan. Kata kunci : Deforestasi, Hutan, Perdagangan Karbon I. PENDAHULUAN Deforestasi, degradasi lahan dan kebakaran hutan telah menempatkan Indonesia pada posisi ke-3 sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia yang diestimasi oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencapai hingga 2.563 MtCO,e (Houghton 2003 dalam Baumert et ai., 2005). Total emisi dari deforestasi dan kebakaran hutan adalah lima kali lipat emisi dari sektor non-kehutanan. 21 Info Teknis Dipterokarpa Val. 4 No. 1, juni 2010: 21-31 Pada saat yang sama, Indonesia mengalami kerugian yang signifikan akibat perubahan iklim. Karena Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga rentan terhadap dampak perubahan iklim. Musim kemarau yang berke- panjangan, dapat meningkatkan frekuensi cuaca ekstrim dan curah hujan yang lebat dapat menyebabkan bahaya banjir adalah sebagian keeil dari dampak perubahan iklim, Perubahan iklim ini dapat juga menimbulkan dampak kerusakan pada sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berakibat terhadap ketahanan pangan, bahan baku kayu dan peternakan. Perubahan iklim beserta dampak global yang ditimbulkannya sudah terjadi, penanganannya tidak dapat diabaikan lagi. Pengurangan emisi GRK, yang sebagian besar adalah CO: yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, pantas mendapat perhatian besar dari masyarakat global. Namun di sisi lain, sekitar 20% emisi CO, dunia disebabkan oleh konversi hutan dan lahan gambut mutlak harus mendapatkan perhatian khusus dalam lingkup mekanisme perubahan iklim (ICRAF & ASB, 2007), Menyadari akan hal tersebut, Konferensi Antar Bangsa untuk Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties - United Nation Framework Convention for Climate Change) membuka sebuah wacana mengenai isu-isu yang berhubungan dengan penurunan emisi GRK akibat deforestasi di negara berkembang dengan menitikberatkan pada kajian ilmiah beserta teknik dan metodologi yang sesuai serta pertukaran informasi dan pengalaman yang relevan, termasuk dalam hal pendekatan melalui kebijakan dan insentif yang positif. ‘Sejak itu ada beberapa pertemuan COP di beberapa negara salah satu pertemuan penting yaitu pertemuan ketiga (COP-3) diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997 yang menghasilkan rumusan "Protokol Kyoto". Pertemuan ini menjadi landasan bagi pengembangan "Mekanisme Pembangunan Bersih" (Clean Development Mechanism atau CDM) yang mengharuskan negara-negara maju mengurangi pencemaran udara sebesar kurang lebih 5% pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 1990. Karena pada umumnya negara-negara maju adalah sumber utama polusi dunia. Dengan CDM negara-negara maju harus memenuhi sebagian kewajiban mereka mengurangi GRK dengan membiayai proyek-proyek energi bebas polusi dan penggunaan lahan untuk penyerapan karbon di negara sedang berkembang, Permasalahan yang timbul dan akan dihadapi adalah : (1) konsistensi dalam menangani emisi GRK akibat deforestasi dan degradasi dari komitmen global melalui mekanisme akuntabilitas nasional yang sudah ada; (2) kepastian aturan-aturan dengan ruang lingkup yang cukup luas dalam mengatasi emisi netto dari penggunaan dan perubahan tutupan lahan; dorong baru bagi komunitas riset internasional untuk memperbail akurasi perhitungan karbon secara menyeluruh, dan memahami timbal balik 22 Deforestasi Yang Terhindarkan Dalam Mekanisme Awal Perdagangan Karbon .. ‘Asef Kurniyawan Hardjana antara biaya yang telah dikeluarkan dan tingkat emisi karbon pada skala nasional; (4) persyaratan dan harapan dalam proyek karbon yang memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi masyarakat yang berimbas juga bagi pemerintah. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai dapat menjadi suatu konsistensi dengan permasalahan yang ada, yaitu : (1) mengetahui konsistensi pemerintah dalam menangani emisi GRK akibat deforestasi dan degradasi berdasarkan komitmen global serta tantangan dan resikonya; (2) mengetahui aturan-aturan dan ruang lingkupnya dalam mengatasi emisi dan pemanfaatan jasa lingkungan dari penggunaan dan perubahan tutupan lahan; (3) mendukung komunitas riset internasional dalam mengkaji kembali akurasi perhitungan karbon secara menyeluruh, dan memahami timbal balik antara biaya yang telah dikeluarkan dan tingkat emisi karbon pada skala nasional dalam rangka kebijakan perdagangan karbon; (4) menetapkan strategi sebagai syarat dan harapan dalam proyek karbon yang memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang ikut serta dan rehabilitasi hutan dan Il. KONDISI HUTAN, KEBIJAKAN DAN PERTUKARAN KARBON A. Kondisi Hutan Hutan memegang peranan penting dalam siklus karbon dunia, khusus- nya hutan tropis dataran rendah dengan keanekaragaman hayatinya mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar dalam berbagai vegetasi dan tanah, pertukaran karbon dengan atmosfir melalui proses fotosintesa dan respirasi. Akan tetapi, hutan bisa menjadi sumber bagi karbon atmosferik ketika hutan rusak Karena aktivitas (ulah) manusia ataupun kejadian alam (kebakaran, pencbangan dan lain-lain), Hal ini banyak terjadi pada kawasan hutan tropis dataran rendah seperti di Indonesia (Pulau Kalimantan dan Sumatera). Hutan juga bisa menjadi sarana risct karbon atmosfer (yaitu terjadinya transfer netto karbon dioksida dari atmosfir ke lahan yang bersangkutan) selama pemberaan lahan dan pertumbuhan kembali setelah kerusakan (Brown, 2002). Pada tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup melalui The National Straregy Study untuk CDM Kehutanan melakukan studi persediaan karbon dengan perkiraan potensi persediaan karbon di Indonesia adalah 24.704 Mt. Dimana persediaan karbon yang sangat besar ini berpotensi hilang bila area hutan terus dirusak, Menurut Badan Perencanaan Hutan, pada tahun 2005 luas 23 Info Teknis Dipterokarpa Vol. 4 No, 1, Juni 2010 :21 +31 areal hutan dan lingkungannya adalah 187.913 juta hektar. Sayangnya, sekitar 50% (74 juta hektar) dari luas tersebut kini telah rusak dan sebagian diantaranya dalam kondisi kritis. Studi terakhir tentang emisi kehutanan oleh The World Resources Institute (WRI) pada tahun 2005, dimana Indonesia berada peringkat pertama penghasil emisi dari pengalihan pengunaan lahan, berada di atas negara lain seperti Brazil dan Meksiko. Data WRI yang mengutip Haughton (2003) dalam. PEACE (2007) menyebutkan bahwa jumlah emisi GRK yang dihasilkan dari pengalihan tata guna lahan dan kehutanan (Land-Use Change and Forestry - LUCF) mencapai 2.563 Mt CO), atau 34% dari total emisi GRK dunia dari LUCF GHG (Baumert e¢ al., 2005). B. Kebijakan Sektor Kehutanan Sektor kehutanan menyumbang sekitar 85% dari emisi tahunan di Indonesia (PEACE, 2007). Sumber utama emisi karbon dari sektor kehutanan adalah kerusakan hutan yang pada umumnya terjadi karena konversi lahan dan kebakaran hutan. Kerusakan hutan yang signifikan terutama disebabkan oleh peralihan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Upaya reboisasi yang dilakukan belum memperlihatkan hasil, meskipun dengan melakukan kegiatan penghutanan kembali (reforestation) pengelolaan penanaman (planting management), pengkayaan penanaman (enrichment), penerapan teknik konservasi melalui penanaman dan teknik sipil di tanah yang Tusak dan area tidak produktif. Ada beberapa isu utama dalam hal kerusakan hutan dalam rangka upaya mengurangi laju deforestasi dan dicari jalan keluarnya. Penyebab utama mungkin kembali ke motivasi politis dan ekonomis Indonesia untuk memanfaatkan hutan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, Diantara penyebab utama dari kerusakan hutan Indonesia adalah ketidakpastian masa penggunaan Iahan yang telah membawa konflik di beberapa daerah. Selain itu, tata cara pemerintah dan institusional dari pengelolaan hutan dan masalah yang terkait dengan masa penggunaan lahan dan tata cara pemerintah membatasi pilihan untuk pengelolaan hutan Indonesia yang berkelanjutan. Setelah terjadinya banyak bentrokan kepenting- an, pemerintah (Departemen Kehutanan) melalui PP No. 6 tahun 2007 telah menerbitkan harapan dan kesempatan untuk perbaikan dari pengelolaan hutan dan masalah masa penggunaan tanah. Peraturan ini membagi 3 fungsi dari perencanaan dalam sistem pengelolaan hutan, yaitu ; fungsi konservasi, fungsi perlindungan dan fungsi produksi. Setiap sistem pengelolaan harus berpegang pada prinsip tata pemerintahan yang baik, berpihak pada masyarakat lokal dan. mendukung atmosfir investasi, Namun efektifitas dari peraturan ini masih harus dibuktikan, karena banyak pelajaran yang bisa dipetik dari masa lalu 24 Deforestasi Yang Terhindarkan Dalam Mekanisme Awal Perdagangan Karbon .. ‘Asef Kurniyawan Hardjana yang menunjukkan kelemahan peraturan dalam penerapannya di lapangan, Isu kerusakan hutan di Indonesia telah mendapat perhatian dunia baik itu sebagai masalah lingkungan ataupun masalah ekonomi. Kerusakan hutan juga telah menjadi pertimbangan sebagai ancaman potensial bagi keber- langsungan pembangunan karena dampaknya terhadap ckosistem, khususnya terhadap pemanasan global. Departemen Kehutanan pada periode 2005 - 2009 telah memusatkan perhatian pada lima prioritas, yaitu : (1) pemberantasan penebangan liar dari hutan milik negara dan perdagangan kayu ilegal; (2) revitalisasi sektor kehutanan, khususnya untuk hutan industri; (3) rehabilitasi dan konservasi terhadap sumber-sumber hutan alam; (4) pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan; (5) stabilisasi area hutan. Rencana strategis Departemen Kehutanan untuk tahun 2005 - 2009 mencanangkan tujuan khusus yang sesuai dengan misi dan visi Departemen Kehutanan termasuk meningkatkan dukungan bagi sumber mata air, meningkatkan peran masyarakat, menjamin keadilan dan keberlangsungan distribusi manfaat-manfaat dari hutan. Protokol Kyoto mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan, peng- alihan tata guna lahan dan kehutanan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develapment Mechanism - CDM). PP No. 34 tahun 2002 yang secara khusus mengkategorikan perdagangan karbon sebagai konsesi jasa lingkungan yang memberlakukan perizinan Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan ([UPJL). Peraturan ini memuat hal-hal yang berhubungan dengan proyek karbon dalam penggunaan hutan, diantaranya : © Izin proyek-proyek berbasis karbon bisa didapat di daerah hutan lindung dan hutan produksi, dengan durasi sampai dengan 10 tahun dan luas sampai dengan 1.000 ha. Individu, kelompok, perusahaan swasta dan negara dapat mengajukan izin, masing-masing paling banyak 2 izin untuk satu provinsi. Izin dapat diperpanjang jika pemilik proyek mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan. Pada tahun 2004, Departemen Kehutanan menetapkan peraturan khusus mengenai penanaman kembali dan penghutanan kembali dalam skema CDM (Permenhut Nomor: P. 14/Menhut-Il/2004 tanggal 05 Oktober 2004). Peratur- an ini berisi petunjuk perizinan lahan dari kepala daerah dan pelaksanaan dari dokumen perencanaan proyek. Secara teknis, definisi dari aforestasi dan reforestasi sesuai dengan standar internasional yang digunakan oleh United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 25 Info Teknis Dipterokarpa Val. 4 No. 1, Juni 2010 :21 +31 C, Pertukaran Karbon Salah satu masalah yang diidentifikasi dalam perubahan iklim adalah besarnya emisi karbon yang dihasilkan oleh negara industri. Hutan yang telah terdegradasi di negara miskin dapat dikompensasikan dengan emisi yang berasal dari negara industri atau negara maju. Pengurangan emisi karbon negara maju dilakukan dengan perimbangan penyerapan karbon oleh vegetasi di hutan negara berkembang yang disebut pertukaran karbon, Namun hal ini menjadi kontroversi karena adanya pandangan bahwa perdagangan antara negara industri dan para peladang pohon di negara berkembang dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan hidup dan kehidupan sosial, Laporan dari CIFOR yang tergabung bersama Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) dengan Forest Trend mem- punyai pandangan lain mengenai pertukaran karbon ini, yang menyatakan bahwa pertukaran Karbon justru akan dapat mengentaskan kemiskinan di pedesaan seria memberikan solusi bisnis yang tidak mahal bagi industri. Satu pembaharuan dalam pendckatan laporan ini menyangkut peran komunitas dalam penghutanan kembali, khususnya menghadapi timbulnya pasar baru dalam pertukaran karbon. Pasar baru ini berpotensi untuk mengembalikan habitat seluas jutaan hektar pada kawasan hutan berpenghuni padat dan tanah pertanian, Ini artinya manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan hidup lokal bagi ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan penduduk pedesaan di negara-negara berkembang. Il. PEMECAHAN MASALAH A. Deforestasi Yang Terhindarkan Beberapa tahun yang lalu komunitas ilmiah internasional menyatakan bahwa 20% emisi CO; global dihasilkan dari alih guna lahan dan konversi serta degradasi hutan (ICRAF & ASB, 2007). Walaupun CDM telah dicanangkan oleh Protokal Kyoto yang mempertimbangkan aktivitas afores- tasi dan reforestasi, namun deforestasi yang terhindarkan belum diperhitung- kan, Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi (ICRAF & ASB, 2007), yaitu: © Definisi hutan dan bukan hutan yang tidak jelas. Pendckatan CDM berbasis proyek. Kompensasi diberikan untuk reforestasi pada lahan-lahan kritis yang sebelum tahun 1990 tidak berupa hutan, 26 Deforestasi Yang Terhindarkan Dalam Mekanisme Awal Perdagangan Karbon .. ‘Asef Kurniyawan Hardjana sehingga segala pemantauan perubahan oleh aktivitas proyek lebih mudah untuk dilakukan. Mekanisme CDM sangat memperhatikan ada tidaknya "kebocoran" ‘Bleakage) karbon dan "perolehan" (additionality), Kebocoran karbon adalah pencapaian target cadangan karbon di satu tempat yang menyebabkan peningkatan emisi karbon di tempat lain. Perolehan karbon adalah peningkatan karbon yang ditimbun dalam biomasa relatif terhadap keadaan karbon saat dimulainya proyek, dan perolehan tersebut tidak akan adanya proyek. Hal tersebut tidak mungkin dapat ditampung tas pencegahan deforestasi yang rang lingkup geografisnya ¢ Aturan-aturan penerapan CDM cukup kompleks, berkenaan dengan kasus- kasus aforestasi dan reforestasi, sehingga berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari CDM hilang begitu saja, dan hanya sedikit manfaat yang dapat menyentuh masyarakat lokal., Pedoman Nasional untuk inventarisasi gas rumah kaca yang dimodifikasi tahun 1996 dan 2006, mengindikasikan ada 60% tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam perubahan cadangan karbon skala nasional Sebagian besar deforestasi telah direneanakan sebelumnya oleh pengelola Jahan dan pemerintah untuk mendapatkan tipe penggunaan lahan yang lebih menguntungkan secara ckonomis. Penghentian deforestasi masih belum dimungkinkan, sehingga negoisasi untuk mencapai target. menengah "deforestasi parsial" justru akan menjadi lebih kompleks. Secara potensial REDD sangat bermanfaat untuk mengurangi perubahan iklim, tetapi saat ini masih tidak selaras dan merugikan dimensi lain untuk mitigasi perubahan iklim. Sebagai contoh, negara anggota Anneks-1 yang mengimpor bahan bakar nabati dari negara yang bukan Anneks-1, negara tersebut tidak harus bertanggungjawab terhadap konversi hutan menjadi lahan pertanian untuk produksi bahan bakar nabati, Perdebatan mengenai deforestasi yang terhindarkan menawarkan peluang untuk memperbaiki berbagai hal yang tidak konsisten. Beberapa batasan utama yang perlu diatasi berhubungan dengan ruang lingkup, skala, komitmen politik, prosedur teknis dan kualitas data. Cara yang terbaik adalah membentuk tipe mekanisme lokal dan nasional yang dapat diterapkan oleh berbagai negata dengan biaya yang lebih murah daripada proyek-proyek CDM saat ini. Deforestasi yang terhindarkan untuk manfaat yang berkelanjutan dapat menghasilkan manfaat lokal dan global. Kajian yang dilakukan oleh Konsor- sium ASB dan pihak-pihak lain menunjukkan bahwa tipe-tipe campuran atau agroforestri (intermediate land uses) dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar, mempertahankan jasa ckosistem, memberikan pendapatan (ckonomi) yang baik, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan yang tersisa. 27 Info Teknis Dipterokarpa Vol. 4 No. 1, Juni 2010: 21+ 31 Pemerintah dan jajarannya perlu mengetahui seberapa besar emisi yang terhindarkan yang dapat dicapai, dan berapa besar biayanya, Dari hasil-hasil yang ada mengindikasikan adanya bagian udara panas yaitu sebagian dari total emisi yang dapat dihindari dengan biaya ekonomi yang negatif, karena emisi tersebut secara ekonomi membebani masyarakat, Terdapat juga berbagai tipe emisi yang memberikan keuntungan ekonomi sedang yang mungkin bisa dikompensasi. Selain itu ada emisi yang berasosiasi dengan keuntungan ckonomi tinggi dan tidak bisa dikompensasi dengan tingkat harga karbon saat ini. B, Mekanisme Perdagangan Karbon Pemanfaatan atau perdagangan suatu jasa tentu mempunyai mekanisme pembiayaan atau ada mekanisme pasatnya. Istilah perdagangan karbon perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh agar tidak terjebak dalam kesalah- pahaman mengenai mekanisme pasar dan aturan mainnya. Perdagangan karbon hanya bisa melibatkan pohon atau hutan yang ditanam dan dikembang- kan setelah tahun 1990 bukan dari hutan alam dan hutan lindung/kawasan konservasi. Hal ini telah menjadi kesepakatan internasional dalam Protokol Kyoto. Untuk menghitung karbon dalam batang di atas permukaan tanah dan Kemampuan penyerapan karbon dibutuhkan penelitian dan teknologi khusus sedangkan biayanya tidak sedikit, Tentu tidak mudah bagi masyarakat atau pemerintah daerah melakukan perhitungan sendiri, karena itu perdagangan pada masa-masa awal ini mungkin tidak terlalu mudah. Lagipula kesepakatan harga untuk tiap ton karbon atau berat karbon tiap hektar yang diserap oleh tanaman sangat tergantung pada kesepakatan internasional maupun perminta- an dan penawaran, Permintaan dalam hal ini adalah kapasitas suatu kawasan hutan tanaman berkayu atau hamparan pepohonan yang mampu menycrap jatah karbon yang dihasilkan oleh suatu negara atau industri. Sedangkan penawaran dalam hal ini adalah pemilik pehon atau hutan tanaman bisa menawarkan jatah karbon yang bisa diserap oleh hamparan pohon-pohonan, Pembayaran dilakukan melalui mekanisme pembiayaan tertentu dalam perdagangan karbon, Menjual atau membeli karbon agak berbeda dengan menjual atau membeli barang yang jelas kepemilikannya dan keberadaannya, sehingga dalam perundingan untuk penjualan karbon harus dilengkapi dengan data-data yang jelas (misalnya : data dasar, Iuas hutan dan jumlah pohon). Untuk Indonesia, perlu berhati-hati karena saat ini belum ada data dasar untuk perhitungan perdagangan karbon. Pemerintah dan para ilmuwan Indonesia masih harus mengkaji berapa jatah emisi dan berapa jatah yang bisa dijual ke negara lain. Perlu juga memahami motivasi dari orang-orang yang menanam pohon atau pemerintah dan masyarakat yang memiliki hutan untuk 28 Deforestasi Yang Terhindarkan Dalam Mekanisme Awal Perdagangan Karbon ... ‘Asef Kurniyawan Hardjana terlibar dalam upaya mendukung proses penimbunan karbon atau mungkin menuntut kompensasi, Bukan tidak mungkin dalam perdagangan karbon pemerintah daerah dan masyarakat bisa dieksploitasi oleh pemilik modal yang bisa bermain di pasar katena mereka bisa memiliki informasi yang lebih banyak dan tepat mengenai kredit dan harga karbon, Petani atau masyarakat pedesaan sepantasnya mendapat keuntungan dari upaya penanaman sebagai bagian dari kompensasi penyerapan karbon ini, mereka terlibat dalam berbagai proyek kehutanan seperti penghutanan, penanaman kayu untuk industri hutan, reboisasi atau rehabilitasi hutan, wanatani (agroforestri) atau pemberaan hutan sckunder. Sehingga suatu lembaga yang memerlukan kredit untuk membiayai proyek penanaman pohon untuk penyerapan karbon harus mendapat persetujuan dan kerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi salah satu prasyarat dalam kegiatan ini. Sebagaimana biasa dalam bisnis dan perdagang- an dengan keterbatasannya masyarakat cenderung dimanfaatkan, sehingga keuntungan yang diterima tidak setimpal dengan usaha yang dilakukan. Untuk itu aturan yang jelas untuk mengatasi hal ini harus diusahakan dan didukung oleh pemerintah dan semua pihak dengan membantu meningkatkan kemampuan masyarakat dan kelembagaan lokalnya. Berbagai lembaga tengah berupaya agar perdagangan karbon bisa memberikan manfaat yang nyata dan langsung bagi masyarakat pedesaan. Schubungan dengan itu bentuk penanaman seperti wanatani, kebun campuran, pemberaan dan ladang berpindah yang diperbaiki dengan tanaman keras yang melibatkan lahan milik masyarakat perlu didukung selain penghutanan dan reboisasi yang umumnya melibatkan kawasan hutan milik pemerintah. Menurut CIFOR (2003) dengan modifikasi, ada beberapa hal yang menjadi usulan dan hatapan dalam pengembangan proyek karbon antara lain : e Membangun pengetahuan dan peran serta masyarakat dalam proyek karbon. Mencari mekanisme kompensasi yang sesuai dan mudah dipahami. e Meningkatkan nilai guna dan keuntungan dalam penggunaan lahan baru, dengan tetap mengusahakan hal yang serupa pada Iahan lama, © Keterbukaan dan transparansi dalam kemitraan proyck karbon dengan pengontrolan yang aktif dari pemerintah. © Mengurangi biaya pemasaran dan resiko investasi dengan kelembagaan yang solid. Meningkatkan nilai proyek di tingkat masyarakat dan mengurangi beban biaya bagi usaha yang melibatkan peran serta masyarakat. ® Menyediakan metode dan rumusan sederhana yang dapat digunakan oleh pengguna untuk menghitung potensi penyerapan karbon dari satu pohon 29 Info Teknis Dipterokarpa Val. 4 No, 1, Juni 2010 :21 +31 dalam jumlah luasan tertentu berdasarkan jenis pohon pada umur tertentu, IV. PENUTUP Arahan dan harapan yang tersaji dikemas ke dalam poin-poin sebagai berikut : 1, Membuat agar semua kegiatan proyek kehutanan dan wanatani (agro- forestri) yang bermanfaat bagi masyarakat lokal tercakup dalam CDM Plus atau REDD. Sebagai contoh, pada draf peraturan rehabilitasi hutan Khususnya pada bekas kawasan hutan tropis dataran rendah tidak tercakup sebagai salah satu aktifitas yang diakui walau manfaat sosialnya sangat besar dan potensi penyerapan karbon pun signifikan, sedangkan kegiatan rehabilitasi ini sangat genear-gencarnya dilakukan untuk pemulihan kawasan hutan yang telah terdegradasi di Pulau Kalimantan dan Sumatera. 2. Deforestasi yang terhindarkan untuk manfaat yang berkelanjutan pada bekas kawasan hutan tropis dataran rendah dapat menghasilkan manfaat lokal dan global, Melalui tipe-tipe campuran atau agroforestri (inter mediate land uses) dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar, mempertahankan jasa ekosistem, memberikan pendapatan (ekonomi) yang baik, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan yang tersisa. 3, Mengurangi resiko bagi masyarakat lokal, hal ini seharusnya mensyaratkan penilaian dampak sosial dari proyek karbon guna meyakini seberapa jauh masyarakat lokal mendapatkan manfaat. Pemerintah harus dapat melindungi dan menyusun atutan baku hak pemanfaatan lahan bagi masyarakat, jika tidak maka kesepakatan Karbon akan dihambat oleh konflik yang akan meningkatkan resiko finansial bagi investor. 4. Program CDM ataupun REDD, seharusnya menyusun aturan yang "luwes" untuk memberikan insentif bagi wilayah pedesaan dan masyarakat yang tergantung pada hutan, agar mereka dapat memperoleh manfaat yang berkelanjutan dari program tersebut, Mckanisme berbasis insentif dan keadilan dapat diletakkan dalam posisi yang mampu mengurangi emisi karbon dari deforestasi yang terhindarkan, sekaligus mempertahankan aset dasar, keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat yang bergantung pada sumberdaya tersebut. 5, Masyarakat pedesaan atau yang tinggal di sekitar hutan sepantasnya dilibatkan dalam = proyek perdagangan karbon dan mendapatkan keuntungan dari upaya penanaman sebagai bagian dari kompensasi penyerapan karbon ini, schingga dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi salah satu prasyarat dalam kegiatan ini. 30 Deforestasi Yang Terhindarkan Dalam Mekanisme Awal Perdagangan Karbon ... ‘Asef Kurniyawan Hardjana DAFTAR PUSTAKA. Baumert, Kevin A., Herzog, Timothy and Pershing, Jonathan. 2005. Navigating the Numbers ; Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. Washington DC ; World Resource Institute, 2005, Brown, S. 2002. Forest and Climate Change and the Role of Forest as Carbon Sink. Western Ecology Division, National Health and Environmental Effects Research Laboratory. Oregon : USEPA, 2002. CIFOR. 2003, Perdagangan Carbon, Warta Kebijakan CIFOR No. 8, Februari 2003. Forest Trend, CIFOR dan CGIAR. 2002. Pertukaran Karbon, Perubahan iklim, dan Protokol Kyoto : Pertukaran Karbon Menyetarakan Negara Industri dengan Negara Berkembang Seperti Indonesia. ICRAF & ASB. 2007. Deforestasi yang Terhindarkan dengan Manfaat yang Berkelanjutan: Sebuak Cara Sederhana untuk Mengurangi Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi. PEACE. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim : Status Terkini dan Kebijakannya. DFID, World Bank dan PT. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro (PEACE). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 14/Menhut- 11/2004 Tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. 31

Anda mungkin juga menyukai