Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum

dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya;

genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Psoriasis ditandai

dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis

berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor

ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan
1,2
genitalia.

2.1.1 Epidemiologi

Walaupun psoriasis terjadi secara universal, namun prevalensinya

pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi

epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi psoriasis

2
berkisar antara 0,6 sampai 4,8%. Prevalensi psoriasis bervariasi

berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Di Amerika Serikat, psoriasis

terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan ditemukannya jumlah

kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi, insidensi

tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang

rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya Jepang dan pada ras Amerika-

Afrika (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku

1-3
Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan.

Universitas Sumatera Utara


Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah

geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik

( psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin),

faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya terhadap

3
perkembangan psoriasis.
1
Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.

Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit

lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah

studi yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi

psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda (<20

tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita


3
dibandingkan pria.

Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi

saat lahir dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset

usia psoriasis mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data

karena biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset

terjadinya dan rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal.

Beberapa penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa usia rata-

rata penderita psoriasis episode pertama yaitu berkisar sekitar 15-20


2
tahun, dengan usia tertinggi kedua pada 55-60 tahun. Sementara

penelitian lainnya misalnya studi prevalensi psoriasis di Spanyol, Inggris

dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi

3
psoriasis dengan meningkatnya usia.
2.1.2 Etiologi dan patogenesis

Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer

akibat gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai

suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan

interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit,

termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada

psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis sedangkan makrofag, sel T

CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial.

Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam jalur

molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis

dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang

ditandai dengan adanya sel T helper (Th)1 yang predominan pada lesi

kulit dengan peningkatan kadar IFN-γ, tumor necrosing factor-α (TNF-


16
α), IL-2 dan IL-18. Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki

peranan penting dalam mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat

jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang

17
disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal). Sel Th17

CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan

dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal.

2.1.3 Gambaran klinis

Psoriasis merupakan penyakit papuloskuamosa dengan gambaran

morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi.


Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna kemerahan yang

berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna keputihan

pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai dari papul yang

berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi area tubuh yang luas.

Lesi pada psoriasis umumnya terjadi secara simetris, walaupun dapat

terjadi secara unilateral. Dibawah skuama akan tampak kulit berwarna

kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat

skuama diangkat. Hal ini disebut dengan tanda Auspitz. Psoriasis juga

dapat timbul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan

fenomena Koebner. Penggoresan skuama utuh dengan mengggunakan

pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih


1,2
putih seperti tetesan lilin.

Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat

beberapa tipe klinis psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe

psoriasis yang paling sering terjadi, berupa plak kemerahan berbentuk

oval atau bulat, berbatas tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi

biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama

di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital. Bentuk

lainnya yaitu psoriasis inversa (fleksural), psoriasis gutata, psoriasis


1
pustular, psoriasis linier, dan psoriasis eritroderma.

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis

dan gambaran klinis lesi kulit. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan


pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan

biopsi histopatologi.1

Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk

mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan

pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan

epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi

keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum

korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada

lapisan ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan

limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil dapat

membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda

inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila

dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel
18
mast.

Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita

psoriasis biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan

pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis pustular

generalisata, dan eritroderma tampak penurunan serum albumin yang

merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi

kronis dan hilangnya protein pada kulit. Peningkatan marker inflamasi

sistemik seperti C-reactive protein, α-2 makroglobulin, dan erythrocyte

sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat. Pada

penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan peningkatan

kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita psoriasis juga
menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density

lipoprotein, rasio kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein-


1,18
A1).

Pada beberapa studi yang dilakukan akhir-akhir ini, tampak

peningkatan kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis

11-14
dibandingkan dengan kelompok kontrol.

2.1.5 Diagnosis banding

Gambaran klasik psoriasis biasanya mudah dibedakan dengan

penyakit kulit lainnya. Namun lesi yang atipikal atau bentuk lesi selain

plak yang klasik dapat menimbulkan tantangan bagi diagnosis psoriasis.

Plak psoriasis yang kronis seringkali menyerupai dermatitis kronis

dengan likenifikasi pada daerah ekstremitas. Tetapi biasanya pada

dermatitis kronis lesinya tidak berbatas tegas serta skuama yang terdapat
1
pada permukaan lesi tidak setebal pada psoriasis.

Pada kasus psoriasis gutata, perlu dipertimbangkan diagnosis

pityriasis rosea serta sifilis sekunder. Pityriasis rosea biasanya ditandai

dengan makula eritematosa berbentuk oval dengan skuama tipis yang

tersusun seperti pohon cemara pada daerah badan, lengan atas serta

tungkai atas. Sebagian besar kasus diawali dengan lesi inisial yang

disebut herald patch. Pada sifilis sekunder biasanya disertai dengan

adanya keterlibatan telapak tangan dan kaki serta riwayat chancre oral
19
atau genital yang tidak terasa nyeri.
Psoriasis yang timbul pada skalp biasanya sulit dibedakan dengan

dermatitis seboroik. Pasien dengan skuama keputihan yang kering serta

menebal seperti mika, walaupun terdapat pada predileksi seboroik,


20
biasanya merupakan psoriasis skalp.

Psoriasis inversa/fleksural harus dibedakan dengan eritrasma dan

infeksi jamur. Pada eritrasma, lesi berupa makula berbatas tegas

berwarna merah kecoklatan yang biasanya terdapat pada daerah aksila

dan genital. Infeksi jamur oleh kandida, lesi berupa makula eritematosa
berbatas tegas dengan lesi satelit disekelilingnya. Eritroderma perlu

dibedakan dengan limfoma kutaneus sel T. Lesi pada limfoma kutaneus

sel T biasanya berupa lesi diskoid eritematosa yang disertai skuama

21
dengan distribusi yang tidak simetris.

2.1.6 Pengukuran derajat keparahan psoriasis

Mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis pada psoriasis

tampaknya merupakan hal yang mudah, tetapi pada kenyataannya hal ini

menimbulkan banyak kesulitan. Diperlukan pengukuran objektif yang

terpercaya, valid, dan konsisten. Untungnya lesi pada psoriasis biasanya

cukup jelas secara klinis dan oleh sebab itu relatif mudah untuk

melakukan kuantifikasi tetapi sayangnya kuantifikasi sederhana pada

lesi bukan merupakan suatu penilaian yang lengkap pada derajat

keparahan, sebab dampak lesi psoriasis berbeda pada penderita yang

satu dengan lainnya. Konsensus oleh American Academy of

Dermatology menyatakan bahwa setiap penentuan keparahan psoriasis


membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap kualitas

22
hidup penderita. Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur

derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area


23, 24
and Severity Index (PASI).

PASI merupakan kriteria pengukuran derajat keparahan yang

paling sering digunakan. Berupa suatu rumus kompleks yang

diperkenalkan pertama kali dalam studi penggunaan retinoid pada tahun

1978. PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak

pada kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut

dinilai secara terpisah menggunakan skala 0 - 4 untuk setiap bagian

tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas

bawah. Penilaian dari masing-masing tiga elemen kemudian

dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan masing-masing area tubuh

dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 1 - 6 yang

merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian

tubuh tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang

terdapat pada tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk

ekstremitas atas, 0.3 untuk batang tubuh, dan 0.4 untuk ekstremitas

bawah). Akhirnya skor dari keempat area tubuh ditambahkan sehingga

menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai tertinggi PASI adalah 72

tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak mungkin untuk
23
dicapai. Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi menjadi

psoriasis ringan (skor PASI <11), sedang (skor PASI 12-16), dan berat

(skor PASI >16).


Oleh karena kompleksitas skor PASI tersebut, maka bukan

merupakan suatu hal yang mengejutkan jika skor ini jarang digunakan

pada praktek klinis. Skor PASI merupakan suatu sistem penilaian yang

digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase perubahan

pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis.

The United States Food and Drug Administration (FDA) menggunakan

75% perbaikan pada skor PASI sebagai penilaian respon terapi pada
22
pasien psoriasis.

Beberapa kesulitan dalam penggunaan skor PASI diantaranya;

kesulitan dalam menentukan skor serta kurangnya korelasi dengan hasil

akhir yang dilaporkan oleh pasien sendiri. Pengukuran luas permukaan

tubuh bersifat tidak konsisten diantara para peneliti, sehingga

menyebabkan variabilitas inter observer yang signifikan. Hal terpenting

lainnya, skor PASI tidak secara jelas memperkirakan dampak dari

penyakit terhadap pasien. Beberapa penelitian yang menilai korelasi

antara PASI dengan kualitas hidup penderita telah menunjukkan


23
konsistensi yang rendah.

Beberapa variasi dari PASI telah dikembangkan untuk

memperbaiki kelemahan ini serta untuk mengurangi waktu dan usaha

yang diperlukan dalam melakukan penilaian. Salah satu variasi yang

menarik adalah meminta pasien melakukan PASI modifikasi terhadap

dirinya sendiri. Penilaian ini disebut Self Administered PASI (SAPASI).

SAPASI memiliki korelasi yang baik dengan PASI serta responsif

terhadap terapi. SAPASI khususnya memberikan manfaat pada studi


epidemiologi berskala besar dimana penilaian oleh dokter terhadap

23,24
semua pasien dianggap tidak praktis.

2.1.7 Terapi

Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal

maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini

memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen

pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan


1
psoriasis.

Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga

bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang

merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata

biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12

minggu. Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan

pengobatan, tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan

menggunakan sinar ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan


25
memberikan manfaat. Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai

dengan gejala sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik

yang bekerja cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis

eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis

pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin


26
diperlukan.

Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan

berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasis plak yang ringan


(<10% luas permukaan tubuh), terapi topikal lini pertama dapat

digunakan emolien, glukokortikoid atau analog vitamin D3 sedangkan

lini kedua dapat dilakukan fototerapi dengan menggunakan sinar UVB.

Pada psoriasis plak yang sedang (>10% luas permukaan tubuh) dapat

diberikan terapi lini pertama seperti pada psoriasis ringan sedangkan lini

keduanya dapat berupa pengobatan sistemik misalnya metotreksat,

asitretin, serta agen-agen biologi seperti alefacept dan adalimumab.

Untuk plak psoriasis berat (>30% luas permukaan tubuh), terapi


27
terutama menggunakan obat-obat sistemik.

2.2 Prolaktin

Prolaktin merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri

dari 199 asam amino dengan berat molekul 23kDa yang secara sistemik

berperan sebagai hormon dan secara lokal sebagai sitokin. Prolaktin

termasuk kedalam famili somatotropin karena secara struktural prolaktin


5,7
berhubungan dengan hormon pertumbuhan dan laktogen plasenta.

Sekresi dan sintesis prolaktin diatur oleh sistem neuroendokrin

terutama melalui Prolactin Releasing Hormone (PRH) dan Prolactin

Inhibiting Hormone (PIH). Regulasi ekspresi serta sekresi prolaktin

hipofisis bersifat sangat kompleks dan melibatkan berbagai jenis

hormon, faktor pertumbuhan, obat-obatan, peptida, dan asam amino.

Hipofisis anterior merupakan tempat utama terjadinya transkripsi,

translasi, dan sekresi prolaktin. Selain hipofisis anterior, prolaktin juga

diekspresikan pada kulit, plasenta, uterus (endometrium), ovarium,


testis, kelenjar mammae, prostat, otak, jaringan lemak, dan limfosit.

Ekspresi prolaktin ekstra hipofisis ini memiliki pengaturan yang


7
berbeda.

Pada fetus, sintesis dan sekresi prolaktin oleh kelenjar hipofisis

anterior dimulai pada beberapa minggu pertama gestasi. Kadarnya akan

menurun setelah proses kelahiran dan akan mengalami peningkatan lagi

selama 6 minggu pertama kehidupan. Selama masa kanak-kanak kadar

28
prolaktin akan terus menurun sampai dengan 5 ng/mL. Tidak terdapat

perubahan kadar prolaktin yang signifikan pada anak usia 8 – 15 tahun

dibandingkan dengan orang dewasa. Sementara itu, pada wanita selama

masa pubertas terjadi peningkatan kadar prolaktin serum secara

progresif sampai terjadi perbedaan yang signifikan dengan kadarnya

pada pria.

Kadar normal prolaktin pada serum bervariasi pada tiap individu.

Variasi yang terjadi dipengaruhi oleh irama sikardian prolaktin, dimana

ditemukan kadar puncak pada saat tidur (malam hari). Franz et al.

(1978) meneliti kadar prolaktin rata-rata pada 6 orang subjek selama

periode waktu lebih dari 24 jam. Didapatkan hasil bahwa kadar

minimum prolaktin dicapai dalam waktu 10 jam sebelum onset tidur

sementara kadar maksimum dicapai dalam waktu sekitar 4 jam setelah

tidur. Selain itu kadar prolaktin juga menunjukkan variasi sesuai musim.

Kadar prolaktin serum rata-rata 30% lebih tinggi selama musim semi

atau panas dibanding dengan kadarnya selama musim gugur atau


29
dingin.
Berdasarkan berbagai penelitian, kadar prolaktin normal dalam

plasma bervariasi diantara wanita yang tidak hamil (10-25 ng/mL),

wanita hamil (150-200 ng/mL), wanita menyusui (300 ng/mL), dan pria

30
(5-10 ng/mL). Selama masa kehamilan sampai kelahiran bayi, kadar

prolaktin akan meningkat secara progresif sebesar 10 sampai 20 kali

6
lebih tinggi dari kadar normal (tidak hamil). Kemudian akan

mengalami penurunan setelah 3-4 minggu postpartum. Pada ibu yang

menyusui, kadar prolaktin serum akan terpelihara pada konsentrasi yang

tinggi oleh karena hisapan puting susu oleh bayi akan menstimulasi
6,7
sekresi prolaktin.

Semua fungsi prolaktin diperantarai oleh reseptor membran yang

memiliki afinitas tinggi. Sampai saat ini terdapat enam jenis isoform

reseptor prolaktin pada manusia, yang memiliki struktur, afinitas

reseptor, dan kemampuan signaling yang berbeda. Prolaktin diketahui

memiliki berbagai fungsi fisiologi tambahan selain peranan klasiknya

pada fungsi laktasi dan reproduksi. Sampai saat ini terdapat lebih dari
5,6
300 aktivitas biologi prolaktin yang telah diketahui.

Terdapat hipotesis bahwa prolaktin berperan sebagai modulator

neuroendokrin pada pertumbuhan epitel kulit dan sistem imun pada

kulit. Paus (1991) menyatakan bahwa prolaktin membentuk sirkuit

prolaktin diantara kulit dan sistem syaraf pusat. Konsep ini kemudian

diintegrasikan ke dalam komunikasi neuroendokrin dengan sistem imun


31
melaui brain-skin axis. Dari beberapa penelitian prolaktin dan reseptor

prolaktin ditemukan pada beberapa populasi sel kutaneus termasuk


5
keratinosit, fibroblas, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus. Hal ini

menunjukkan bahwa prolaktin berperan dalam berbagai proses fisiologis

dan patologis pada kulit.

Beberapa peran prolaktin pada proses fisiologis kulit diantaranya

sebagai termoregulasi dan osmoregulasi, meningkatkan produksi sebum

melalui stimulasi proliferasi sebosit, menstimulasi proliferasi

keratinosit, berperan dalam proses pertumbuhan rambut, bersama

dengan hormon pertumbuhan mengatur keseimbangan adiposit dan

metabolisme lemak, serta berperan dalam proses penyembuhan luka

melalui peningkatan ekspresi heme oksidase 1, sintesis protein dan

vascular endothelial growth factor (VEGF). Selain itu prolaktin juga


5,6
berperan sebagai imunomodulator dalam sistem imun kulit.

2.3 Prolaktin dan Psoriasis

Beberapa dekade terakhir ini terdapat hipotesis yang menyatakan

bahwa prolaktin berperan dalam etiopatogenesis terjadinya psoriasis.

Hal ini berdasarkan berbagai pengamatan yang menemukan bahwa

terdapat peningkatan kadar serum prolaktin pada penderita psoriasis


11-14
dibandingkan dengan subjek normal.

Giasuddin et al. (1998) meneliti kadar serum prolaktin pada 12

pasien dengan psoriasis vulgaris dan membandingkan hasilnya dengan 9

orang pasien dermatitis atopik serta 20 subjek normal, didapatkan hasil

kadar serum prolaktin pada psoriasis vulgaris lebih tinggi secara

11
signifikan dibanding dengan kedua kelompok lainnya. Hasil yang

sama juga didapatkan pada penelitian oleh Sanchez dan Millet (2000).

Beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa peran prolaktin

ini terutama terjadi melalui kerja prolaktin sebagai sebuah sitokin


8
dengan berbagai efek imunomodulator pada sistem imun. Prolaktin

akan menstimulasi sel-sel dalam sistem imun dengan cara berikatan

dengan reseptor prolaktin. Peran prolaktin dalam biologi dan patologi

kulit dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Fungsi prolaktin dalam biologi dan patologi kulit*

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan No. 5

Penelitian pertama yang mengamati efek prolaktin pada

keratinosit manusia dilakukan oleh Girolomoni et al. (1993). Dalam

penelitian ini mereka menilai efek prolaktin pada keratinosit yang


dikultur dari bayi baru lahir dengan menggunakan lingkungan yang

bebas serum. Didapatkan hasil bahwa prolaktin dapat menstimulasi

proliferasi keratinosit yang dikultur dari manusia meskipun tanpa


32
adanya epidermal growth factor (EGF).

Yu-Lee (2001) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan

proliferasi dan proteksi sel limfosit T terhadap apoptosis, sehingga akan

menyebabkan peningkatan survival sel limfosit T. Selain itu prolaktin

juga akan menginhibisi fungsi limfosit T-supresor yang berperan dalam

33
perkembangan plak psoriasis.

De Bellis et al. (2005) dan Biswas et al. (2006) menyatakan

bahwa prolaktin meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit

Th1, induksi ekspresi molekul kostimulator misalnya major

histocompatibility complex-II (MHC-II), cluster of differentiation 40

(CD40), CD80 pada sel penyaji antigen serta IFN regulatory factor-1

(IRF-1), dimana hasil akhir peningkatan sitokin-sitokin ini akan


34,35
menyebabkan hiperproliferasi keratinosit.

Peran prolaktin sebagai imunomodulator juga tampak pada sel

dendritik. Pada penelitian yang dilakukan pada sel dendritik timus yang

berasal dari tikus menunjukkan bahwa prolaktin meningkatkan sejumlah

36
sitokin proinflamasi yaitu IL-12, TNF-α, dan IL-1β. Matera et al.

(2001) menyatakan bahwa prolaktin dalam konsentrasi fisiologis dan

suprafisiologis meningkatkan reseptor granulocyte macrophage

stimulating factor (GM-CSF) yang nantinya secara sinergis bersama


dengan prolaktin akan menginduksi permatangan sel dendritik yang
37
imatur.

Prolaktin memiliki peran yang potensial dalam modulasi sel

natural killer (NK). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya reseptor

prolaktin pada sel NK manusia. Prolaktin bersama dengan faktor

pertumbuhan sel NK yaitu IL-12 dan IL-15 akan menstimulasi

proliferasi sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ dan TNF-α yang


38
berperan dalam proses terjadinya inflamasi pada psoriasis.

Pada monosit/makrofag yang dikultur dari manusia, prolaktin

meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal

ini menunjukkan bahwa prolaktin mungkin berperan dalam pengaturan


39
terjadinya angiogenesis.

Pada lesi psoriasis ditemukan peningkatan ekspresi dan produksi

CXC Ligand (CXCL)9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit, yang

memiliki fungsi kemotaktis terhadap sel Th1 ke tempat terjadinya

inflamasi. Peningkatan ekspresi dan produksi ketiga kemokin ini

terutama diinduksi oleh IFN-γ yang dihasilkan oleh sel Th1. Naoko

Kanda et al. (2007) meneliti secara invitro efek prolaktin terhadap

produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit manusia.

Penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun prolaktin sendiri tidak

memberikan efek yang signifikan pada produksi ketiga kemokin ini

namun prolaktin meningkatkan produksi CXCL9, CXCL10, dan

CXCL11 yang diinduksi oleh IFN-γ melalui aktivasi faktor transkripsi

signal transducer and activator of transcription 1 (STAT1), nuclear

40
factor-κβ (NF- κβ), dan IRF-1. Aktivasi ketiga faktor transkripsi

tersebut menggunakan jalur janus kinase 2 (JAK2) dan MEK/ERK.


Selain itu, akhir-akhir ini jalur Th17 yang memproduksi IL-23, IL-

17, IL-22 serta TNF-α telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam

17
proses inflamasi pada psoriasis. Lowes et al. (2008) menemukan

adanya infiltrasi Th17 secara agresif ke dalam dermis pada lesi

psoriasis. Infiltrasi Th17 yang mengekspresikan CCR6 kedalam lesi

psoriasis disebabkan oleh karena efek kemotaksis dari CCL20. Naoko

Kanda et al. (2009) melakukan pengamatan secara in vitro efek

prolaktin terhadap produksi basal dan produksi CCL20 yang diinduksi

41
oleh IL-17 pada keratinosit manusia. Pada penelitian ini ditemukan

bahwa prolaktin sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan

9,7 kali dibandingkan dengan kontrol. Sementara IL-17 sendiri

meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 12,9 kali dibanding

dengan kontrol serta prolaktin secara sinergis akan meningkatkan

sekresi CCL20 yang diinduksi oleh IL-17. Peningkatan ini terjadi

melalui aktivasi faktor transkripsi activation factor-1 (AP-1) dan NF-κβ.

Hasil penelitian ini secara invitro menunjukkan gambaran in vivo yaitu;

prolaktin dapat menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit epidermal

pada lesi psoriasis dan CCL20 yang disekresikan akan menarik sel

Th17 yang mengekspresikan CCR6. Selanjutnya sel Th17 akan

melepaskan IL-17 yang nantinya secara bersama-sama dengan prolaktin

akan menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit sehingga

menyebabkan kembali penarikan sel Th17. Mekanisme umpan balik


positif dari prolaktin dengan IL-17 dan CCL20 dapat memperluas

inflamasi yang diperantarai oleh sel Th17 pada lesi psoriasis.

Pada wanita hamil yang menderita psoriasis ditemukan bahwa

selama kehamilan 55% penderita mengalami perbaikan, 21% tidak

mengalami perubahan, dan 23% mengalami perburukan. Sementara itu

saat postpartum hanya 9% mengalami perbaikan, 26% tidak mengalami

perubahan, dan 65% mengalami perburukan penyakit. Hal ini

menunjukkan bahwa terjadinya hiperprolaktinemia fisiologis selama


42,43
masa postpartum (laktasi) akan menyebabkan perburukan psoriasis.

Hal ini sejalan dengan adanya laporan bahwa psoriasis berhubungan

dengan prolaktinoma. Sanchez et al. (2000) melaporkan terjadinya

peningkatan derajat dan perluasan psoriasis tipe plak pada tiga kasus

prolaktinoma yang terjadi pada wanita. Pada ketiga kasus ini pemberian

terapi bromokriptin, sebuah agonis dopamin yang menekan sekresi


14
prolaktin, memberikan respon terapeutik yang baik. Pengamatan ini

menunjukkan bahwa peningkatan kadar prolaktin berhubungan dengan

derajat keparahan psoriasis.

Dalam hal pengobatan psoriasis, siklosporin A merupakan salah

satu pengobatan yang efektif dengan berbagai efek pada beberapa tipe

sel tertentu. Salah satunya yaitu siklosporin A berperan dalam

menghambat ikatan prolaktin dengan prolaktin reseptor pada limfosit T

dan limfosit B manusia. Selain itu siklosporin A juga secara selektif

menghambat peningkatan aktivitas ornithin dekarboksilase pada limfosit


44
yang distimulasi oleh prolaktin. Hal ini menunjukkan bahwa efek anti
proliferasi pada obat ini dapat diperantarai oleh kemampuan antagonis

terhadap prolaktin.

Beberapa penelitian terakhir tidak hanya mengamati peran

prolaktin dalam etiopatogenesis psoriasis namun juga hubungannya

dengan derajat keparahan psoriasis. Maryam et al. (2009) melakukan

pengukuran kadar prolaktin serum pada 30 orang pasien psoriasis

vulgaris dan 30 orang subjek sehat sebagai kontrol. Ditemukan

peningkatan yang cukup signifikan pada kadar prolaktin serum

penderita psoriasis dibanding kelompok kontrol. Selain itu dengan

menggunakan uji regresi Pearson tampak adanya hubungan yang positif

diantara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang


12
dinilai dengan menggunakan skor PASI. Sementara Dilme et al.

(2010) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 20 orang

pasien dengan psoriasis tipe plak sebelum dan sesudah terapi topikal

dengan tacalcitol, didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan yang

signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding

dengan kelompok kontrol (P < 0.001) serta terdapatnya hubungan yang

signifikan diantara kadar prolaktin serum sebelum pengobatan dengan


13
derajat keparahan psoriasis.

Berbagai penelitian yang dijelaskan sebelumnya mengindikasikan

bahwa prolaktin mempunyai peranan yang penting dalam etiopatogenesis

psoriasis. Namun demikian masih terdapat beberapa kontroversi

mengenai hal ini. Seperti yang tampak pada sebuah studi oleh

Gorpelioglu et al. (2008) yang meneliti kadar prolaktin pada 39 pasien


dengan psoriasis kemudian membandingkannya dengan 36 orang kontrol.

Pada studi ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar

1
seum prolaktin diantara pasien dan kontrol.

2.4 Kerangka
Meningkatkan
Teori
proliferasi, proteksi
terhadap apoptosis dan
survival sel T.

Inhibisi fungsi limfosit T


Limfosit T supresor.

Meningkatkan produksi IFN- γ


dan IL-2 oleh Th1.

Peningkatan kemokin
CXCL 9, CXCL 10 dan
CXCL 11 yang
Keratinosit
diinduksi oleh IFN-γ.

Peningkatan produksi
CCL20 basal dan CCL20 Patogene
yang diinduksi oleh IL-17.
sis
1.
Hormonal psoriasi
(Prolak Meningkatkan ekspresi
s
tin) IL-12, TNF-α, dan IL-1β.
Sel
dendri
Meningkatkan ekspresi
2. tik
reseptor
Genetik GM-CSF dan
3. menginduksi
Lingkungan maturasi sel
dendritik.
4.
Imunologi

Sel natural Aktivasi proliferasi sel NK.


killer

Menginduksi produksi
Makrofag vascular endothelial
growth factor
(VEGF) oleh makrofag
Gambar 2.2 Diagram kerangka teori

Anda mungkin juga menyukai