Anda di halaman 1dari 72

PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata Kuliah Kesehatan Ibu dan Anak
Semester 4/2017

Oleh Kelompok 10 Kesehatan Masyarakat Kelas A


Annisa Nanda A 1510713003
Yopana Kinanti 1510713005
Nurul Zakiah 1510713006
Fahdina Luthfiana 1510713023

Dosen Pembimbing: Agustina, S.KM, M.Kes.

S1 Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
2016/2017
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena berkat ridha dan karunia-
Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Kesehatan Ibu dan Anak.
Dalam penyusunan makalah ini, tentunya kami menemukan berbagai hambatan,
mulai dari pencarian teori, pengumpulan data, dan juga penggunaan kata-kata, serta
hambatan-hambatan lain. Kami menyadari makalah ini terbentuk atas bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih banyak terutama
kepada:

1. Orang tua kami, yang tak hentinya memberi motivasi dan dukungan serta
selalu mendoakan kami.
2. Ibu Ayu Anggraeni Dyah Purbasari, SKM. MPH(M), selaku kepala program
studi S1 Kesehatan Masyarakat.
3. Agustina S.KM, M.Kes, selaku dosen mata kuliah Kesehatan Ibu dan Anak.
4. Semua pihak yang terlibat yang tak bisa kami sebutkan satu persatu.

Makalah yang telah kami susun ini, tentunya masih banyak kekurangan, maka
dari itu kami meminta maaf jika ada kesalahan di dalamnya. Dan kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, sehingga kami dapat memperbaikinya,
sekaligus sebagai bekal kami dalam menyusun dan membuat laporan yang lebih baik
lagi.

Depok, 21 Maret 2017

Penyusun

2
Daftar Isi

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 4


1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan 5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia
2.1.1 Sejarah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 6
2.1.2 Definisi Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 9
2.1.3 Tujuan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 9
2.1.4 Tempat pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 10
2.1.5 PWS Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 21
2.1.6 Program Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 25
2.1.7 Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia 53
2.2 Pelayanan KIA di Puskesmas DKI Jakarta
2.2.1 Kondisi Pelayanan KIA di DKI Jakarta 58
2.2.2 Kegiatan Puskesmas di DKI Jakarta………………………………65

BAB III
KESIMPULAN 71

DAFTAR PUSTAKA 72

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan per orangan,
keluarga maupun masyarakat. Program kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu
prioritas Kementerian Kesehatan dan keberhasilan program KIA menjadi salah satu
indikator utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005
– 2025.
Dewasa ini angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi dibandingkan
dengan negara ASEAN yang lain, dan upaya penanggulangannya cukup rumit. Oleh
karena itu Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan salah satu indikator terpenting
untuk menilai kualitas pelayanan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
membuat pemerintah menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas
dalam pembangunan kesehatan.
Kematian ibu (AKI) di Indonesia masih termasuk yang tertinggi di antara negara-
negara Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu diantara 15 negara yang tidak
akan mencapai MDGs target ke 5 untuk mengurangi kematian ibu sebesar tiga
perempatnya dari tahun 1990 (WHO, 2012).
Tingginya Angka Kematian Ibu dapat menunjukkan masih rendahnya kualitas
pelayanan kesehatan. Penurunan AKI juga merupakan indikator keberhasilan derajat
kesehatan suatu wilayah. Untuk itu pemerintah berupaya bahu membahu membuat
berbagai strategi untuk akselerasi menurunkan AKI.
Data kasus-kasus obstetri di Rumah Sakit Cipto bahwa sebagian besar rujukan
berasal dari puskesmas di Kotamadya Jakarta Timur sebesar 37,52% dari keseluruhan
jumlah pasien yang dirujuk puskesmas di seluruh DKI Jakarta selama tahun 2013
(Sofyana, 2014).

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan Sejarah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia!
2. Apa yang dimaksud dengan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?
3. Apa tujuan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?
4. Apa saja tempat pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?
5. Apa yang dimaksud dengan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Kesehatan
Ibu dan Anak?
6. Apa saja program Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?
7. Apa saja permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?
8. Bagaimana kondisi Pelayanan KIA di DKI Jakarta?
9. Apa saja Kegiatan yang ada di Puskesmas di DKI Jakarta?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui definisi pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia.
3. Untuk mengetahui tujuan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia.
4. Untuk mengetahui tempat pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia.
5. Untuk mengetahui definisi Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Kesehatan
Ibu dan Anak.
6. Untuk mengetahui program Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia.
7. Untuk mengetahui permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia.
8. Untuk mengetahui kondisi Pelayanan KIA di DKI Jakarta.
9. Untuk mengetahui kegiatan yang ada di Puskesmas di DKI Jakarta.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

2.1.1 Sejarah Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia


Semua perempuan hamil diadakan pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh
dukun bayi. Dukun tersebut bisa menetapkan perempuan itu hamil atau tidak, letak bayi,
kapan bayi akan lahir, mengetahui letak yang salah tapi tidak bisa memperbaiki,
memberikan nasihat bagaimana ibu hamil harus hidup, seperti melakukan pantangan
dan kenduri. Persalinan ditolong oleh dukun dengan menggunakan mantra-mantra dan
mengurut perut ibu. Setelah anak lahir tali pusat dipotong dengan sembilu atau bamboo
kemudian diberi ramuan kunyit, abu tempurung dibungkus daun sirih sebagai
desinfektan. Ibu nifas diberi jamu untuk peredaran darah dan laktasi. (Rury Narulita
Sari, 2012).
Pada zaman pemerintah Hindia Belanda angka kematian ibu dan anak sangat
tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (zaman Gubernur
Jendral Hendrik William Dandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatihan kebidanan.
Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda
yang ada di Indonesia. Tahun 1849 dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (di
Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatoto Subroto). Seiring dengan
dibukanya pendidikan dokter tersebut pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi
perempuan pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (dr. W. Bosch),
lulusan ini kemudian bekerja di rumah sakit juga di masyarakat. Mulai saat itu
pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan. Saat itu ilmu
kebidanan belum merupakan pelajaran, baru tahun 1889 oleh Straat, Obstrektikus
Autria dan Masland, ilmu kebidanan diberkan sukarela. (Rury Narulita Sari, 2012).
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan
keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di
masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus
Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula

6
di kota-kota besar lain di Indonesia. Seiring dengan pelatihan tersebut, didirikanlah
Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dimana bidan sebagai penanggung jawab
pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan
antenatal, post natal, dan pemeriksaan bayi dan anak termasuk imunisasi dan
penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberikan pertolongan persalinan di
rumah keluarga dan pergi melakukan kunjungan rumah sebagai upaya tindak lanjut dari
pasca persalinan.
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi satu layanan terintegrasi kepada
masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun
1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan
berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam
memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga
berencana. Pelayanan kebidanan yang dilakukan di luar gedung berupa pelayanan
kesehatan keluarga dan pelayanan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). (Rury
Narulita Sari, 2012).
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan
masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini melalui instruksi
Presiden secara lisan pada siding kabinet tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan
untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai
pelaksana Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu
hamil, bersalin, nifas, serta pelayanan bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan kesehatan
pada ibu dan anak yang memerlukan, mengadakan pembinaan pada posyandu di
wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya
dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, di mana pelayanan yang diberikan
berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik
antenatal, kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil,
pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas, dan ruang
perinatal. (Rury Narulita Sari, 2012).

7
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan di Kairo pada tahun 1994 yang
menekankan pada reproductive health (kesehatan reproduksi), memperluas area garapan
bidan, area tersebut meliputi:
1) Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2) Family Planning
3) Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4) Kesehatan reproduksi remaja
5) Kesehatan reproduksi pada orang tua
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada
kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui
Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang
bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat, serta kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Permenkes tersebut dimulai dari:
a. Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan
persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b. Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes
623/1989, wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu Permenkes khusus. Dalam
wewenang khusus ditetapkan bahwa bidan melaksanakan tindakan khusus di
bawah pengawasan dokter. Hal in berarti bahwa bidan dalam melaksanakan
tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan yang
dilakukannya. Pelaksanaan dari permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktik
perorangan di bawah pengawasan dokter.
c. Permenkes No. 572/PER/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan
praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya dengan kemampuan dalam
melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup:
1) Pelayanan Kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak
2) Pelayanan Keluarga Berencana
3) Pelayanan Kesehatan Masyarakat
d. Permenkes NO. 900/SK/VII/2002, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan
praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang
mandiri.

8
e. Permenkes No. HK.02.02/Menkes/149/I/2010, yang kemudian diubah menjadi
Permenkes RI No. 1464/Menkes/PER/X/2010, wewenang ini mengatur tentang
izin dan penyelenggaraan praktik bidan.
Dalam menjalankan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan
merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Dalam
keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yaitu yang ditujukan
untuk menyelamatkan jiwa. (Rury Narulita Sari, 2012).
2.1.2 Pengertian Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Upaya Kesehatan ibu dan anak adalah upaya dibidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui,
bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Pemberdayaan Masyarakat bidang KIA
merupakan upaya memfasilitasi masyarakat untuk membangun sistem kesiagaan
masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non klinis terkait
kehamilan dan persalinan. (Asti Nuraeni, 2011)
Sistem kesiagaan merupakan sistem tolong-menolong, yang dibentuk dari, oleh
dan untuk masyarakat, dalam hal penggunaan alat transportasi/ komunikasi (telepon
genggam, telepon rumah), pendanaan, pendonor darah, pencatatan-pemantauan dan
informasi KB.
Dalam pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada masyarakat,
pemuka masyarakat, pemuka masyarakat serta menambah keterampilan para dukun bayi
serta pembinaan kesehatan akan di taman kanak-kanak. (Syafrudin, 2009)

2.1.3 Tujuan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Tujuan Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA) adalah tercapainya


kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi
ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
(NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses
tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas
manusia seutuhnya. (Syafrudin, 2009)

Sedangkan tujuan khusus program KIA adalah :

a. Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap, dan perilaku), dalam


mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi

9
tepat guna dalam upaya pembinaan kesehatan keluarga, paguyuban 10
keluarga, Posyandu dan sebagainya.
b. Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara
mandiri di dalam lingkungan keluarga, paguyuban, keluarga, Posyandu, dan
Karang Balita serta di sekolah Taman Kanak--‐Kanak atau TK.
c. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, dan ibu menyusui.
d. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, nifas, ibu
menyusui, bayi dan anak balita.
e. Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah,
terutama melalui peningkatan peran ibu dan keluarganya. (Asti Nuraeni, 2011)

2.1.4 Tempat Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

Dalam pelayanan kesehatan kita juga mengenal akan tempat pelayanan kesehatan
seperti halnya Rumah Sakit dan juga Puskesmas. Yang dimaksud dengan Rumah Sakit
adalah sebagai suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir
serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayan kedokteran, asuhan
keperawatan yg berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita
oleh pasien. Tempat pelayanan kesehatan terbagi menjadi :
A. Posyandu
Pada tahun 2014, rasio posyandu terhadap jumlah desa/kelurahan adalah 3,42 %.
Pada tingkat nasional, rasio posyandu terhadap jumlah desa/keluarahan memang
nampak telah mencukupi yaitu lebih dari satu. Namun jika dilihat pada tingkat provinsi
terdapat dua provinsi yang memiliki rasio kurang dari 1 %, yaitu Papua dan Papua
Barat.

10
Gambar 3.1 Rasio Posyandu Terhadap Desa/Kelurahan Di Indonesia Tahun 2014

Sumber: Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Gambar di atas menunjukkan bahwa DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi


sebesar 15,78%. Papua dan Papua Barat memiliki rasio kurang dari 1 % , masing-
masing sebesar 0,57% dan 0,65%. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan juga
memerlukan peran serta kader dan tokoh masyarakat/agama.Sampai dengan dengan
tahun 2014 terdapat 569.477 kader terlatih. (Kemenkes RI, 2015)

B. Puskesmas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas
menyebutkan bahwa puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung
terwujudnya kecamatan sehat. Selain melaksanakan tugas tersebut, puskesmas memiliki
fungsi sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama
dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama serta sebagai wahana
pendidikan tenaga kesehatan.

11
Jumlah puskesmas di Indonesia sampai dengan Desember 2014 sebanyak 9.731
unit. Jumlah tersebut terdiri dari 3.378 unit puskesmas rawat inap dan 6.353 unit
puskesmas non rawat inap. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yaitu
sebanyak 9.655 unit. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, jumlah puskesmas
mengalami peningkatan seperti yang terdapat pada gambar berikut.
Gambar 3.2 Jumlah Puskesmas Tahun 2010 – 2014

10.000

9.000 9.655 9.731


9.321 9.510
8.000 9.005

7.000

6.000

5.000

4.000

3.000

2.000

1.000

0
2010 2011 Tahun2012 2013 2014

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2015

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa jumlah puskesmas meningkat sejak
tahun 2010 sebesar 9.005 unit menjadi 9.731 unit pada tahun 2014. Namun demikian,
peningkatan jumlah puskesmas tidak secara langsung menggambarkan pemenuhan
kebutuhan pelayanan kesehatan dasar di suatu wilayah. Pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar dapat digambarkan secara umum oleh indikator rasio
puskesmas terhadap 30.000 penduduk. (Kemenkes RI, 2015)

Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggaran pelayanan kesehatan


dasar, puskesmas melaksanakan upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan
masyarakat. Upaya kesehatan perseorangan yang diberikan terdiri dari pelayanan rawat
jalan dan rawat inap untuk puskesmas tertentu jika dianggap diperlukan. Meskipun

12
pelayanan kesehatan masyarakat merupakan inti dari puskesmas, pelayanan kesehatan
perseorangan juga menjadi perhatian dari pemerintah. Bagi daerah yang termasuk
Daerah Tertinggal, Perbatasan, Kepulauan (DTPK), Dana Alokasi Khusus (DAK)
digelontorkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota untuk pembangunan puskesmas
pembantu (pustu) dan puskesmas serta peningkatan puskesmas non rawat inap menjadi
puskesmas rawat inap. Bagi daerah di luar kategori DTPK, DAK bisa digunakan
untuk rehabilitasi puskesmas/rumah dinas, dan peningkatan kemampuan Pelayanan
Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).

Puskesmas juga berkomitmen terhadap penurunan AKI dan AKB melalui upaya
kesehatan kesehatan ibu, anak, gizi, promosi kesehatan serta penyelenggaraan
puskesmas PONED. Bentuk pelayanan lain yang juga diberikan terkait dengan program
kesehatan yaitu pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR), upaya kesehatan kerja,
upaya kesehatan olahraga, dan tatalaksana kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA).
Bentuk pelayanan kesehatan tersebut diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan yang
ada di wilayah kerja. Sebagai contoh upaya kesehatan kerja dibutuhkan pada puskesmas
dengan wilayah kerja yang memiliki banyak pusat industri.

a) Puskesmas dengan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar


(PONED)

Salah satu upaya pengembangan puskesmas yang penting adalah Pelayanan


Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Upaya kesehatan ini dilakukan
untuk mendekatkan akses masyarakat kepada pelayanan kegawatdaruratan obstetri
dan neonatal dasar. Akses masyarakat yang semakin mudah terhadap pelayanan
kegawatdaruratan diharapkan dapat berkontribusi pada penurunan AKI dan AKB.

Badan kesehatan dunia (WHO) menargetkan agar minimal terdapat empat


Puskesmas PONED di tiap kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2014 jumlah
kumulatif Puskesmas PONED sebanyak 2.855 unit. Terdapat 347 kabupaten/kota
(67,77%) yang telah memenuhi syarat minimal tersebut. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan tahun 2013 sebesar 333 kabupaten/kota (67%). Pada tahun 2014, jumlah
kabupaten/kota yang hanya memiliki satu sampai dengan tiga Puskesmas PONED
sebanyak 130 dan terdapat 34 kabupaten/kota yang belum memiliki Puskesmas
PONED. (Kemenkes RI, 2015)

13
Terdapat tiga provinsi dengan persentase kabupaten/kota yang telah memenuhi
syarat minimal empat Puskesmas PONED sebesar 100%, yaitu Sulawesi Barat, Nusa
Tenggara Barat dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah
adalah Papua sebesar 10,34%, Papua Barat sebesar 15,38%, dan Kepulauan Bangka
Belitung sebesar 28,57%. Persentase kabupaten/kota yang telah memenuhi syarat
minimal 4 Puskesmas PONED terdapat pada gambar berikut.

Gambar 3.3 Persentase Kabupaten/Kota Yang Memenuhi Syarat Minimal 4 Puskesmas


Poned Di Indonesia Tahun 2014

Sumber: Ditjen. Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Konsep rawat inap yang digunakan dalam Puskesmas PONED berbeda dengan
konsep yang digunakan puskesmas rawat inap. Konsep rawat inap pada Puskesmas
PONED adalah perawatan inap kepada pasien pasca tindakan emergensi (one day care).
Dengan demikian, puskesmas non rawat inap yang memiliki tempat tidur dan mampu
melakukan tindakan emergensi obstetri dan neonatal dasar, dapat menyelenggarakan
PONED. (Kemenkes RI, 2015)

14
C. Rumah Sakit
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga diperlukan
upaya kuratif dan rehabilitatif selain upaya promotif dan preventif. Upaya kesehatan
yang bersifat kuratif dan rehabilitatif dapat diperoleh melalui rumah sakit yang juga
berfungsi sebagai penyedia pelayanan kesehatan rujukan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/PER/I/2010 tentang Perizinan
Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit berdasarkan kepemilikan, yaitu rumah sakit
publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola
pemerintah, pemerintah daerah dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Sedangkan
rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh bahan hukum dengan tujuan
profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.
Rumah sakit publik di Indonesia dikelola oleh Kementerian Kesehatan,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, TNI/Polri, kementerian lain serta
swasta non profit (organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah rumah sakit
publik di Indonesia sampai dengan tahun 2014 sebanyak 2.406 unit, yang terdiri atas
Rumah Sakit Umum (RSU) berjumlah 1.855 unit dan Rumah Sakit Khusus (RSK)
berjumlah 551 unit.
Berbeda dengan rumah sakit publik, rumah sakit privat dikelola oleh BUMN dan
swasta (perorangan, perusahaan dan swasta lainnya). Pada tahun 2014 terdapat 807 unit
rumah sakit privat di Indonesia yang terdiri dari 545 unit RSU dan 262 unit RSK.
Jumlah rumah sakit publik maupun privat menunjukkan peningkatan pada kurun
waktu 2012 sampai dengan 2014 seperti yang disajikan pada tabel 3.1. Undang-Undang
No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengelompokkan rumah sakit berdasarkan
jenis pelayanan yang diberikan menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada
semua bidang dan jenis penyakit.Adapun rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu
berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan
lainnya.

15
Tabel 3.1 Perkembangan Jumlah Rumah Sakit Menurut Kepemilikan Di Indonesia
Tahun 2012 – 2014

No Pengelola/Kepemilikan 2012 2013 2014


1 Publik
Kementerian Kesehatan dan 656 676 687
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota

TNI/Polri 154 159 169


Kementerian Lain 3 3 7
Swasta Non Profit 727 724 736
Jumlah Publik 1.406 1.540 1.599
2 Privat
BUMN 75 67 67
Swasta 468 599 740
Jumlah Privat 315 543 807
Jumlah 1.721 2.083 2.406
Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Sedangkan untuk data rumah sakit di provinsi DKI Jakarta berdasarkan kelas RS
Propinsi DKI, yaitu:
Rekapitulasi Rumah Sakit By Kelas RS Propinsi DKI JAKARTA

JENIS RS Kelas RS A B C D Non Kelas Total


RS PUBLIK Kemkes 8 2 0 0 0 10

Pemprop 1 4 0 15 0 20
Pemkab 0 0 0 0 0 0
Pemkot 0 3 1 2 0 6
Organisasi Non Profit 0 16 16 2 19 53
TNI 1 5 2 0 2 10
Polri 1 0 0 1 0 2
Kementerian Lain 0 1 1 1 0 3
RS PRIVAT Swasta/ Lainnya 0 0 0 0 0 0

Perusahaan 1 2 7 0 7 17
Perorangan 1 0 0 0 1 2
BUMN 1 2 2 0 0 5
TOTAL : 14 35 29 21 29 128

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Pada tahun 2014, indikator Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan (RS dan
Puskesmas) yang memenuhi standar sarana, prasarana, dan peralatan kesehatan

16
menargetkan sebesar 594 fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi standar sarana,
prasarana dan peralatan kesehatan, sampai dengan akhir tahun 2014 di hasilkan
sebanyak 1300 fasilitas pelayanan kesehatan terdiri dari 555 Rumah Sakit dan 745
Puskesmas yang telah melakukan pengujian dan kalibrasi peralatan kesehatan. Hasil ini
jauh melebihi target yang ditetapkan dalam Renstra. (Kemenkes RI, 2015)
Untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada seluruh
masyarakat, maka berikut ini akan dipaparkan beberapa program pelayanan kesehatan
masyarakat.
a.) Puskesmas
b.) Keluarga Berencana
c.) Kesejahteraan Ibu dan Anak
d.) Kesehatan Sekolah
e.) Kesehatan Gigi dan Mulut
f.) Kesehatan Jiwa
g.) Laboratorium Sederhana
h.) Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD)
i.) Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
j.) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Tak Menular
k.) Program Perbaikan Gizi
l.) Program Peningkatan Kesehatan Lingkungan
Berdasarkan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a.) Tenaga medis: dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
b.) Tenaga psikologi klinis
c.) Tenaga keperawatan
d.) Tenaga kebidanan
e.) Tenaga kefarmasian: apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
f.) Tenaga kesehatan masyarakat: epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan
dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan

17
kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi
dan keluarga.
g.) Tenaga kesehatan lingkungan: tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan,
dan mikrobiolog kesehatan.
h.) Tenaga gizi: nutrisionis dan dietisien.
i.) Tenaga keterapian fisik: fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan
akupunktur.
j.) Tenaga keteknisian medis: perekam medis dan informasi kesehatan, teknik
kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi
gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis.
k.) Tenaga teknik biomedika: radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium
medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik.
l.) Tenaga kesehatan tradisional: tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga
kesehatan tradisional keterampilan.
m.) Tenaga kesehatan lain: Menteri.
Tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan pencapaian
tujuan pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Jumlah tenaga kesehatan
diperlukan untuk mengetahui ketersediaan dan kekurangan tenaga kesehatan di
Indonesia. Pendataan jumlah tenaga kesehatan dikumpulkan oleh Badan PPSDM
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan menggunakan pendekatan tenaga
kesehatan yang menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan fungsinya,
pada tahun 2014 jumlah sumber daya manusia kesehatan yang tercatat sebesar
772.078 yang terdiri atas 576.634 tenaga kesehatan dan 195.444 tenaga penunjang
(non tenaga kesehatan).
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia terbesar ada di tenaga perawat dan bidan.
Pada tahun 2014, jumlah perawat sebesar 237.181 dan jumlah bidan sebesar 124.948.
Jumlah dokter spesialis sebesar 46.994 lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah
dokter umum yang sebesar 40.787. Hal ini dimungkinkan karena dokter umum lebih
banyak bekerja tidak sesuai dengan fungsinya, dokter umum lebih banyak berada di
kegiatan manajemen, sedangkan dokter spesialis lebih banyak bekerja sesuai dengan
fungsinya sebagai dokter spesialis. (Kemenkes RI, 2015)

18
Jumlah tenaga kesehatan yang bekerja sesuai dengan fungsinya di Indonesia tahun 2014

Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Rumah Sakit dengan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif


(PONEK)

Rumah Sakit PONEK 24 Jam adalah Rumah sakit yang menyelenggarakan


pelayanan kedaruratan maternal dan neonatal secara komprehensif dan terintegrasi 24
jam. Rumah sakit PONEK 24 Jam merupakan bagian dari sistem rujukan pelayanan
kedaruratan maternal dan neonatal, yang sangat berperan dalam menurunkan angka
kematian ibu dan bayi baru lahir. Kunci keberhasilan PONEK adalah ketersediaan
tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi, prasarana, sarana dan manajemen yang
handal. (Kemenkes RI, 2015)

Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan oleh Direktorat Bina Upaya
Kesehatan Rujukan bekerja sama dengan organisasi profesi yang terkait (POGI, IDAI
dan IBI) serta Badan PPSDMKes Kemenkes. Lokakarya PONEK dilakukan selama
lima hari, meliputi materi manajemen dan klinik PONEK. Kegiatan ini kemudian diikuti
dengan latihan on the job training PONEK untuk mengenalkan cara melakukan
bimbingan teknis perbaikan kinerja Tim PONEK rumah sakit. Berdasarkan data dari
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, jumlah rumah sakit dengan PONEK di
Indonesia sampai dengan Desember 2014 sebanyak 476 rumah sakit dari 771 rumah
sakit umum milik Pemerintah.

Masih banyak RS yang disebut sebagai RS PONEK tetapi belum mampu 100%.
Jumlah yang mampu PONEK baru 15% (evaluasi input) walaupun tim sudah mengikuti

19
pelatihannya. WHO menargetkan bahwa tiap kabupaten/kota harus mempunyai minimal
satu rumah sakit PONEK. (Kemenkes RI, 2015)

Syarat minimal pelayanan yang harus disediakan oleh RS PONEK adalah:

a. Mampu memberikan Pelayanan Kesehatan Maternal Fisiologis dan Risiko Tinggi


pada masa antenatal, intranatal dan post natal.
b. Mampu memberikan Pelayanan Neonatal Fisiologis dan Risiko Tinggi pada level
IIB (Asuhan Neonatal dengan Ketergantungan Tinggi)

Jumlah Rumah Sakit Ponek Dengan Pelayanan Pengembangan Menurut Provinsi Tahun
2014

Sumber: Ditjen. Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

20
2.1.5 Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Kesehatan Ibu dan Anak

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat
manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara
terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA
yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan
komplikasi kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan
komplikasi, bayi, dan balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program
dan pihak/instansi terkait untuk tindak lanjut. (Kemenkes RI, 2010)
Tujuan umum dari PWS KIA adalah terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan
KIA secara terus-menerus di setiap wilayah kerja. Dan tujuan khusus dari PWS KIA
adalah sebagai berikut:
a) Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
b) Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA secara teratur
(bulanan) dan terus menerus.
c) Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA.
d) Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang
ditetapkan.
e) Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan ditangani secara
intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.
f) Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya yang tersedia dan
yang potensial untuk digunakan.
g) Meningkatkan peran aparat setempat dalam penggerakan sasaran dan mobilisasi
sumber daya.
h) Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan
pelayanan KIA. (Kemenkes RI, 2010)
Penyajian PWS-KIA juga dapat digunakan sebagai alat motivasi dan komunikasi
kepada sektor terkait, khususnya aparat setempat (kepala desa/ staf kelurahan, camat,
muspida tingkat kecamatan) ketua tim penggerak PKK dan kader untuk mendapatkan
dukungan data sasaran yang sesungguhnya menggerakan sasaran dan membantu
memecahkan masalah non teknis rujukan kasus risiko tinggi. (Kemenkes RI, 2014)

21
Dengan PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan dengan
menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan terjangkaunya seluruh
sasaran maka diharapkan seluruh kasus dengan faktor risiko atau komplikasi dapat
ditemukan sedini mungkin untukdapatmemperolehpenanganan sesegara mungkin agar
dapat memperoleh penanganan yang memadai demi keselamatan dan kualitas hidup ibu
dan anak. (Kemenkes RI, 2010)
Sasaran yang digunakan dalam PWS KIA berdasarkan kurun waktu 1 tahun
dengan prinsip konsep sasaran wilayah. Pelaksanaan PWS-KIA baru berarti jika
dilengkapi dengan tindak lanjut berupa perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA,
meningkatkan penggerakan sasaran,dan mobilisasi sumber daya untuk meningkatkan
akses dan mutu pelayanan KIA.Indikator pelayanan KIA menggambarkan keadaan
kegiatan pokok dalam program KIA. Berikut indikator yang digunakan dalam
pemantauan program KIA pada PWS KIA meliputi:
1) Akses Pelayanan Antenatal (Cakupan K1)
Cakupan K1 adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan
antenatal; oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu.Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal
serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. (Kemenkes RI, 2014)
2) Cakupan Pelayanan Ibu Hamil (Cakupan K4)
Cakupan K4 adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal
sesuai dengan standar, paling sedikit 4 kali dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester
ke-1, 1 kali pada trimester ke-2, dan 2 kali pada trimester ke-3 di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal
secara lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang
menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah, disamping
menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA.
(Kemenkes RI, 2014)
3) Cakupan Persalian Oleh Tenaga Kesehatan (Pn)
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah cakupan ibu bersalin yang
mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan di suatu wilayah kerja dalam kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini
dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini
menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan

22
sesuai standar.
4) Cakupan Pelayanan Nifas Oleh Tenaga Kesehatan
Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan adalah cakupan pelayanan kepada
ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit
3 kali dengan distribusi waktu 6 jam s.d. harike-3 (KF1), hari ke-4 s.d. hari ke-28
(KF2) dan hari ke-29 s.d. hari ke-42 (KF3) setelah bersalin disuatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
5) Cakupan Pelayanan Neonatus Pertama (KN 1)
Cakupan Pelayanan Neonatus Pertama adalah cakupan neonatus yang
mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6–48 jam setelah lahir di suatu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui akses/ jangkauan
pelayanan kesehatan neonatal.
6) Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 Hari (KN Lengkap)
Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 hari adalah cakupan neonatus yang
mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan distribusi waktu 1
kali pada 6–48 jam, 1 kali pada hari ke-3 s.d. hari ke-7, dan 1kali pada hari ke-8 s.d.
hari ke-28 setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan
indikator ini dapat diketahui efektivitas dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal.
7) Deteksi Faktor Risiko dan Komplikasi oleh Masyarakat
Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh masyarakat adalah cakupan ibu hamil
dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau
masyarakat serta dirujuk oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu. Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu
sendiri.indikator ini menggambarkan peran serta dan keterlibtaan masyarakat dalam
mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu hamil, besalin, dan nifas.
8) Cakupan Penanganan Komplikasi Obstetric (PK)
Cakupan Penanganan Komplikasi Obstetri adalah cakupan Ibu dengan
komplikasi kebidanan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani
secara definitif sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat
pelayanan dasar dan rujukan. Penanganan definitif adalah penanganan/pemberian
tindakan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan setiap kasus komplikasi
kebidanan. (Kemenkes RI, 2014)
9) Cakupan Penanganan Komplikasi Neonatus

23
Cakupan Penanganan Komplikasi Neonatus adalah cakupan neonatus dengan
komplikasi yang ditangani secara definitif oleh tenaga kesehatan kompeten pada
tingkatpelayanan dasar dan rujukan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Kasus komplikasi yang ditangani adalah seluruh kasus yang ditangani tanpa melihat
hasilnya hidup atau mati. Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana pelayanan
kesehatan dalam menangani kasus kegawatdaruratan neonatal yang kemudian
ditindaklanjuti sesuai dengan kewenanga, atau dapat dirujuk ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi. (Kemenkes RI, 2014)
10) Cakupan Pelayanan Balita
Persentase Usia Bawah Lima Tahun (Balita) mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai standar. Pelayanan Kesehatan Balita sesuai standar adalah
a. Pelayanan kesehatan Balita diberikan oleh Dokter, Bidan, Perawat, Tenaga Gizi
sesuai kewenangannya;
b. Pelayanan Kesehatan Balita diberikan di Puskesmas dan jaringannya dan
difasilitas BUMD/BUMN/swasta yang bekerja sama dengan pemerintah daerah;
c. Pelayanan Kesehatan Balita meliputi:
i. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan;
ii. Pemberian kapsul vitamin A;
iii. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan imunisasi lanjutan;
iv. Pemberian PMT untuk balita gizi kurang;
v. Penanggulangan balita sakit.

No. Jenis Pelayanan Keterangan


1 Penimbangan berat badan, pengukuran 0–23 bln = setiapbulan
tinggi badan, dan 24–59 bln = minimal 4 kalisetahun
pemantauanpertumbuhan
2 Pemantauan perkembangan Jadwal pemantauan perkembangan
sesuai usia anak

3 Pemberian kapsul Vitamin A Jadwal pemberian kapsul Vitamin A


6–11 bulan: kapsul biru sesuai usia anak

12–23 bulan: kapsul merah

24
4 Imunisasi dasar: HB0, BCG, Polio 1, Jadwal imunisasi sesuai usia anak
DPT-HB- Hib 1, Polio 2, DPT-HB-
Hib 2, Polio 3, DPT-HB-
Hib 3, Polio 4, dan Campak
5 Pemberian Imunisasi Lanjutan: DPT- Jadwal imunisasi sesuai usia anak
HB-Hib dan Campak
6 Penanganan Balita Kurang Gizi Pemberian PMT selama 90 hari sejak
datang
7 Penanganan Balita Sakit Penanganan
ke Puskesmasawal sesuai kompetensi
dan Jaringannya
mengikuti MTBS
Sumber: Kementrian Kesehatan RI, 2014
11) Cakupan Peserta KB Aktif (Contraceptive Prevalence Rate)
Cakupan Peserta KB aktif adalah cakupan dari peserta KB yang baru dan lama
yang masih aktif menggunakan alat dan obat kontrasepsi (alokon) dibandingkan dengan
jumlah pasangan usia subur disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator
ini menujukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang masih aktif memakai alokon
terus-menerus hingga saat ini untuk menunda, menjarangkan kehamilan atau
mengakhiri kesuburan. (Kemenkes RI, 2014)

2.1.6 Program Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

Strategi Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) (Kemenkes, 2010)


Strategi Promosi Peningkatan KIA serta percepatan penurunan AKI dan AKB
adalah melalui Advokasi, Bina Suasana dan Pemberdayaan Masyarakat yang didukung
oleh Kemitraan.
a. Advokasi
Advokasi merupakan upaya strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen
dan dukungan dari para pengambil keputusan dan pihak terkait (stakeholders) dalam
pelayanan KIA.
b. Bina Suasana
Bina Suasana merupakan upaya menciptakan opini publik atau lingkungan sosial,
baik fisik maupun non fisik, yang mendorong individu, keluarga dan kelompok untuk
mau melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terkait dengan upaya
peningkatan KIA serta mempercepat penurunan AKI dan AKB. Bina suasana salah

25
satunya dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada kelompok-kelompok potensial,
seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok opini dan media massa. Bina suasana
perlu dilakukan untuk mendukung pencapaian target program KIA.
c. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan kesadaran, kemauan,
kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mengatasi masalah KIA. Melalui
kegiatan ini, masyarakat diharapkan mampu berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat di bidang KIA.
d. Kemitraan
Kemitraan dalam penanganan masalah KIA adalah kerjasama formal antara
individu-individu, kelompok-kelompok peduli KIA atau organisasi-organisasi
kemasyarakatan, media massa dan swasta/dunia usaha untuk berperan aktif dalam upaya
peningkatan KIA di masyarakat.

Macam-Macam Program KIA


1. Safe Motherhood Initiative tahun 1990
Sebagai upaya penurunan AKI, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sejak
tahun 1990 telah meluncurkan safe motherhood initiative, sebuah program yang
memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat
dan sehat selama kehamilan dan persalinannya.
2. Gerakan Sayang Ibu tahun 1996
Program Gerakan Sayang Ibu ini melibatkan sektor lain di luar kesehatan. Salah
satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu yaitu
penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat.
3. Making Pregnancy Safer
Mengacu pada Indonesia Sehat 2010, telah dicanangkan strategi Making
Pregnancy Safer (MPS) atau Kehamilan yang Aman sebagai kelanjutan dari program
Safe Motherhood, dengan tujuan untuk mempercepat penurunan kesakitan dan kematian
ibu dan bayi baru lahir. MPS terfokus pada pendekatan perencanaan sistematis dan
terpadu dalam intervensi klinis dan sistem kesehatan serta penekanan pada kemitraan
antar institusi pemerintah, lembaga donor, dan peminjam, swasta, masyarakat, dan
keluarga. Perhatian khusus diberikan pada penyediaan pelayanan yang memadai dan

26
berkelanjutan dengan penekanan pada ketersediaan penolong persalinan terlatih.
Aktivitas masyarakat ditekankan pada upaya untuk menjamin bahwa wanita dan bayi
baru lahir memperoleh akses terhadap pelayanan. (Bappenas, 2004)
Strategi MPS memiliki tiga pesan kunci, yaitu setiap persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih; setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapatkan
pelayanan yang memadai dan setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap
pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
(Bappenas, 2004)
4. Expanding Maternaland Neonatal Survival (EMAS) tahun 2010
Untuk mengupayakan penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (usia
0 – 28 hari), Kementerian Kesehatan RI meluncurkan program EMAS (Expansion of
Maternal and Neonatal Survival) untuk jangka waktu 5 tahun (2012 – 2016). EMAS
mengembangkan model penguatan sistem rujukan yang efektif dan efisien mulai dari
tingkat masyarakat sampai puskesmas dan rumah sakit. (Asteria, 2016)
Program EMAS dilaksanakan di 6 provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan
provinsi tersebut disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di
Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka
kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka
kematian ibu di Indonesia secara signifikan. (Kemenkes, 2015)
Program EMAS berupaya meningkatkan ketersediaan dan kesetaraan kualitas
pelayanan kegawatdaruratan dengan memperkuat kualitas pelayanan kegawatdaruratan
maternal dan neonatal di tingkat fasilitas, memperkuat sistem rujukan yang terencana
serta meningkatkan peranan organisasi masyarakat sipil. (Asteria, 2016)
Selama kurun waktu 5 tahun ini, program EMAS telah melakukan intervensi ke 30
kabupaten/kota dengan 150 rumah sakit, 300 puskesmas, 30 Forum Masyarakat
Madani (FMM) kabupaten, 275 FMM kecamatan, dan 2.948 Motivator Kesehatan Ibu
dan Anak (MKIA), serta menjangkau 150 ribu ibu-ibu melalui layanan SMSBunda.
(Asteria, 2016)

A. Kesehatan Ibu
Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu
mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti pelayanan

27
kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas
pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus
dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan
melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana. (Kemenkes, 2015)
Pada bagian berikut, gambaran upaya kesehatan ibu yang disajikan terdiri dari :
a. Pelayanan kesehatan ibu hamil,
b. Pelayanan imunisasi Tetanus Toksoid wanita usia subur dan ibu hamil,
c. Pelayanan kesehatan ibu bersalin,
d. Pelayanan kesehatan ibu nifas,
e. Pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan,
f. Pelayanan kontrasepsi.

1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil


Pelayanan kesehatan ibu hamil diberikan kepada ibu hamil yang dilakukan
olehtenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Proses ini dilakukan selama
rentang usiakehamilan ibu yang dikelompokkan sesuai usia kehamilan menjadi
trimester pertama,trimester kedua, dan trimester ketiga. Pelayanan kesehatan ibu hamil
yang diberikan harusmemenuhi elemen pelayanan sebagai berikut:
a) Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
b) Pengukuran tekanan darah;
c) Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
d) Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
e) Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai
status imunisasi;
f) Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
g) Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
h) Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling,
termasuk keluarga berencana);
i) Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb),
pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah
dilakukan sebelumnya); dan
j) Tata laksana kasus.

28
Selain elemen tindakan yang harus dipenuhi, pelayanan kesehatan ibu hamil juga
harus memenuhi frekuensi minimal di tiap trimester, yaitu satu kali pada trimester
pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan
12-24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai
persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan
terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan
penanganan dini komplikasi kehamilan. (Kemenkes, 2015)
Penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan
dengan melihat cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan
jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan
cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai
dengan standar paling sedikit empat kali sesuai jadwal yang dianjurkan di tiap trimester
dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu
tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil
dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga
kesehatan. Capaian K1 dan K4 dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2015 disajikan
pada gambar berikut ini.

Cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil k1 dan k4 di indonesia tahun 2005 –2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Gambar di atas menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan untuk
kedua indikator, baik cakupan K1 maupun K4. Peningkatan kecenderungan tersebut
mengindikasikan adanya perbaikan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu
hamil. (Kemenkes RI, 2015)

29
Cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2015 telah memenuhi
target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan sebesar 72%. Namun
demikian, terdapat lima provinsi yang belum mencapai target tersebut yaitu Papua,
Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah. Gambaran capaian
kunjungan ibu hamil K4 pada tahun 2015 di 34 provinsi disajikan pada gambar berikut
ini.
Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil K4 Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil tidak
hanya dari sisi akses. Kualitas pelayanan yang diberikan juga harus ditingkatkan, di
antaranya pemenuhan semua komponen pelayanan kesehatan ibu hamil harus diberikan
saat kunjungan. Dalam hal ketersediaan sarana kesehatan, hingga bulan Desember 2015,
terdapat 9.754 puskesmas di seluruh Indonesia dengan rasio 1,15 puskesmas per 30.000
penduduk. Dengan demikian, rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah
mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk, namun penyebarannya masih belum merata.
Keberadaan puskesmas secara ideal harus didukung dengan aksesibilitas yang baik. Hal
ini tentu saja sangat berkaitan dengan aspek geografis dan kemudahan sarana dan
prasarana transportasi. Dalam mendukung penjangkauan terhadap masyarakat di
wilayah kerjanya, puskesmas juga sudah menerapkan konsep satelit dengan
menyediakan puskesmas pembantu.
Salah satu komponen pelayanan kesehatan ibu hamil yaitu pemberian zat besi
sebanyak 90 tablet (Fe3). Zat besi merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk
membentuk sel darah merah (hemoglobin). Selain digunakan untuk pembentukan sel
darah merah, zat besi juga berperan sebagai salah satu komponen dalam membentuk

30
mioglobin (protein yang membawa oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat
pada tulang, tulang rawan, dan jaringan penyambung), serta enzim.
Zat besi memiliki peran vital terhadap pertumbuhan janin. Selama hamil, asupan
zat besi harus ditambah mengingat selama kehamilan, volume darah pada tubuh ibu
meningkat. Sehingga, untuk dapat tetap memenuhi kebutuhan ibu dan menyuplai
makanan serta oksigen pada janin melalui plasenta, dibutuhkan asupan zat besi yang
lebih banyak. Asupan zat besi yang diberikan oleh ibu hamil kepada janinnya melalui
plasenta akan digunakan janin untuk kebutuhan tumbuh kembangnya, termasuk untuk
perkembangan otaknya, sekaligus menyimpannya dalam hati sebagai cadangan hingga
bayi berusia 6 bulan.
Selain itu, zat besi juga membantu dalam mempercepat proses penyembuhan luka
khususnya luka yang timbul dalam proses persalinan. Kekurangan zat besi sejak
sebelum kehamilan bila tidak diatasi dapat mengakibatkan ibu hamil menderita anemia.
Anemia merupakan salah satu risiko kematian ibu, kejadian bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi terhadap janin dan ibu, keguguran, dan kelahiran
prematur.

Cakupan Pemberian 90 Tablet Tambah Darah (Zat Besi) Pada Ibu Hamil Menurut
Provinsi Tahun 2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Secara nasional cakupan ibu hamil mendapat tablet Fe3 tahun 2015
sebesar85,17%, tidak berbeda jauh dibanding tahun 2014 yang sebesar 85,1%. Provinsi

31
dengancakupan Fe3 tertinggi yaitu DKI Jakarta (97,12%) dan yang terendah Provinsi
Papua (24,36%).

2. Pelayanan Imunisasi Tetanus Toksoid bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil
Salah satu penyebab kematian ibu dan kematian bayi yaitu infeksi tetanus yang
disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani sebagai akibat dari proses persalinan yang
tidakaman/steril atau berasal dari luka yang diperoleh ibu hamil sebelum melahirkan.
ClostridiumTetani masuk melalui luka terbuka dan menghasilkan racun yang
menyerang sistem syarafpusat.
Sebagai upaya mengendalikan infeksi tetanus yang merupakan salah satu
faktorrisiko kematian ibu dan kematian bayi, maka dilaksanakan program imunisasi
TetanusToksoid (TT) bagi Wanita Usia Subur (WUS) dan ibu hamil. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi mengamanatkan
bahwa wanitausia subur dan ibu hamil merupakan salah satu kelompok populasi yang
menjadi sasaranimunisasi lanjutan. Imunisasi lanjutan adalah kegiatan yang bertujuan
untuk melengkapi imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak Batita, anak
usia sekolah, dan wanita usia subur termasuk ibu hamil.
Wanita usia subur yang menjadi sasaran imunisasi TT adalah wanita berusia antara
15-49 tahun yang terdiri dari WUS hamil (ibu hamil) dan tidak hamil. Imunisasi
lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada waktu melakukan pelayanan
antenatal. Imunisasi TT pada WUS diberikan sebanyak 5 dosis dengan interval tertentu,
dimulai sebelum dan atau saat hamil yang berguna bagi kekebalan seumur hidup.
Interval pemberian imunisasi TT dan lama masa perlindungan yang diberikan sebagai
berikut:
a. TT2 memiliki interval minimal 4 minggu setelah TT1 dengan masa perlindungan 3
tahun.
b. TT3 memiliki interval minimal 6 bulan setelah TT2 dengan masa perlindungan 5
tahun.
c. TT4 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT3 dengan masa perlindungan 10
tahun.
d. TT5 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT4 dengan masa perlindungan 25
tahun.

32
Screening status imunisasi TT harus dilakukan sebelum pemberian vaksin.
Pemberian imunisasi TT tidak perlu dilakukan bila hasil screening menunjukkan
wanita usia subur telah mendapatkan imunisasi TT5 yang harus dibuktikan dengan
buku KIA, rekam medis, dan atau kohort. Kelompok ibu hamil yang sudah
mendapatkan TT2 sampai dengan TT5 dikatakan mendapatkan imunisasi TT2+.
Gambar berikut menampilkan cakupan imunisasi TT5 pada wanita usia subur dan
cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil.
Cakupan Imunisasi TT5 Pada Wanita Usia Subur Di Indonesia Tahun 2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Timur, Bali, dan Jawa
Tengah memiliki capaian imunisasi TT5 pada WUS tertinggi di Indonesia sebesar
21,62%, 4,48%, dan 4,14%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua
sebesar 0,03%, Sulawesi Utara sebesar 0,21%, dan Kalimantan Utara sebesar 0,21%.

Cakupan Imunisasi TT2+ Pada Ibu Hamil Di Indonesia Tahun 2015

33
Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat, Kepulauan
Bangka Belitung, dan Jambi memiliki capaian imunisasi TT2+ pada ibu hamil tertinggi
di Indonesia masing-masing sebesar 93,5%, 91,2%, dan 87,68%. Sedangkan provinsi
dengan capaian terendah yaitu Papua sebesar 1,04% dan Kalimantan Utara sebesar
6,19%
3. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin
Upaya lain yang dilakukan untuk menurunkan kematian ibu dan kematian bayi yaitu
dengan mendorong agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu
dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan, serta
diupayakan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pertolongan persalinan adalah
proses pelayanan persalinan yang dimulai pada kala I sampai dengan kala IV persalinan.
Keberhasilan program ini diukur melalui indikator persentase persalinan ditolong tenaga
kesehatan terlatih (Cakupan PN) dan persentase persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan (cakupan PF).

Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Di Indonesia Tahun 2005 –


2015

34
Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016
Persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia
menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2015.
Namun demikian, terdapat penurunan dari 90,88% pada tahun 2013 menjadi 88,55%
pada tahun 2015. Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam dekade terakhir
menekankan agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan dalam rangka
menurunkan kematian ibu dan kematian bayi. Namun demikian, meskipun persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan tetapi tidak dilaksanakan di fasilitas pelayanan
kesehatan, dianggap menjadi salah satu penyebab masih tingginya Angka Kematian Ibu.
Oleh karena itu mulai tahun 2015, penekanan persalinan yang aman adalah persalinan
ditolong tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 menetapkan persalinan di fasilitas
pelayanan kesehatan sebagai salah satu indikator upaya kesehatan ibu, menggantikan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.
Berikut ini disajikan gambaran cakupan persalinan di fasilitas kesehatan di 34 provinsi
di Indonesia tahun 2015.

Cakupan Persalinan Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Menurut Provinsi Tahun 2015

35
Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat 79,72% ibu hamil yang menjalani
persalinan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Secara nasional, indikator tersebut telah memenuhi target Renstra sebesar
75%. Namun demikian masih terdapat 18 provinsi (52,9%) yang belum memenuhi
target tersebut. Provinsi DI Yogyakarta memiliki capaian tertinggi sebesar 99,81% dan
Provinsi Papua memiliki capaian terendah sebesar 26,34%.
Analisis kematian ibu yang dilakukan Direktorat Bina Kesehatan Ibu pada tahun
2010 membuktikan bahwa kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan
tempat/ fasilitas persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti
berkontribusi terhadap turunnya risiko kematian ibu. Demikian pula dengan
tempat/fasilitas, jika persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, juga akan
semakin menekan risiko kematian ibu.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan tetap konsisten dalam menerapkan
kebijakan bahwa seluruh persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan didorong
untuk dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Kebijakan Dana Alokasi Khusus
(DAK) Bidang Kesehatan menggariskan bahwa pembangunan puskesmas harus satu
paket dengan rumah dinas tenaga kesehatan. Demikian pula dengan pembangunan
poskesdes yang harus bisa sekaligus menjadi rumah tinggal bagi bidan di desa. Dengan
disediakan rumah tinggal, maka tenaga kesehatan termasuk bidan akan siaga di tempat
tugasnya dan dapat memberikan pertolongan persalinan setiap saat.

36
Untuk daerah dengan akses sulit, kebijakan Kementerian Kesehatan yaitu
mengembangkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran.
Para dukun diupayakan bermitra dengan bidan dengan hak dan kewajiban yang jelas.
Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan tidak lagi dikerjakan oleh dukun,
namun dirujuk ke bidan.
Bagi ibu hamil yang di daerah tempat tinggalnya tidak ada bidan atau jauh dari
fasilitas pelayanan kesehatan, maka menjelang hari taksiran persalinan diupayakan
sudah berada di dekat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu di Rumah Tunggu Kelahiran.
Rumah Tunggu Kelahiran tersebut dapat berupa rumah tunggu khusus yang
dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat maupun di rumah sanak saudara yang
letak rumahnya berdekatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas sesuai
standar, yang dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali sesuai jadwal yang dianjurkan,
yaitu pada enam jam sampai dengan tiga hari pasca persalinan, pada hari ke empat
sampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-
42 pasca persalinan. Masa nifas dimulai dari enam jam sampai dengan 42 hari pasca
persalinan.
Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan terdiri dari :
a) Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);
b) Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);
c) Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain;
d) Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;
e) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi
baru lahir, termasuk keluarga berencana;
f) Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.

37
Cakupan Kunjungan Nifas (KF3) Di Indonesia Tahun 2008 – 2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016

Cakupan kunjungan nifas (KF3) di Indonesia dalam kurun waktu delapan tahun
terakhir secara umum mengalami kenaikan. Capaian indikator KF3 yang meningkat
dalam delapan tahun terakhir merupakan hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah dan masyarakat termasuk sektor swasta. Program penempatan Pegawai
Tidak Tetap (PTT)untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain itu, dengan
diluncurkannya BantuanOperasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010, puskesmas,
poskesdes, dan posyandu lebih terbantu dalam mengintensifkan implementasi upaya
kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas. Pelayanan kesehatan
ibu nifas termasuk di antaranyakegiatan sweeping atau kunjungan rumah bagi yang
tidak datang ke fasilitas pelayanankesehatan.Capaian kunjungan nifas menurut provinsi
di Indonesia terdapat pada gambar berikut ini.

38
Cakupan Kunjungan Nifas (KF3) Di Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Kepulauan Riau
memilikicapaian tertinggi diikuti oleh DI Yogyakarta sebesar 98,49%, dan Jawa Barat
sebesar97,23%. Sedangkan provinsi dengan cakupan kunjungan nifas terendah yaitu
Papua sebesar28,34%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 28,5%, dan Maluku sebesar
43,39%.
5. Pelayanan/Penanganan Komplikasi Kebidanan
Komplikasi pada proses kehamilan, persalinan dan nifas juga merupakan salah
satupenyebab kematian ibu dan kematian bayi. Komplikasi kebidanan adalah kesakitan
pada ibuhamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan atau janin dalam kandungan, baik langsung
maupun tidaklangsung, termasuk penyakit menular dan tidak menular yang dapat
mengancam jiwa ibu dan atau janin. Sebagai upaya menurunkan angka kematian ibu
dan kematian bayimaka dilakukan pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan.
pelayanan/penanganankomplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu hamil,
bersalin, atau nifas untukmemberikan perlindungan dan penanganan definitif sesuai
standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan.
Keberhasilan program ini dapat diukur melalui indikator cakupan
penanganankomplikasi kebidanan (Cakupan PK). Indikator ini mengukur kemampuan
negara dalammenyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada ibu
(hamil, bersalin, nifas) dengan komplikasi. Capaian indikator penanganan komplikasi
kebidanan di Indonesiadari tahun 2008 hingga tahun 2015 disajikan pada gambar
berikut.

39
Cakupan Penanganan Komplikasi Kebidanan Di Indonesia Tahun 2008 – 2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Gambar di atas memperlihatkan bahwa secara umum, cakupan penanganan
komplikasi kebidanan di Indonesia dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015
cenderung meningkat. Capaian pada tahun 2008 sebesar 44,84% meningkat menjadi
79,13% pada tahun 2015.
Cakupan Penanganan Komplikasi Kebidanan Menurut Provinsi Di Indonesia Tahun
2015

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Pada tingkat nasional, capaian indikator penanganan komplikasi kebidanan
sebesar 79,13%. Gambaran capaian antar provinsi menunjukkan Jawa Tengah memiliki

40
persentasetertinggi, diikuti oleh Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Sedangkan
cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 12,75%, diikuti oleh Papua Barat
sebesar 18,33% dan Sumatera Utara sebesar 30,86%. Pada gambaran capaian antar
provinsi ini dapat diketahui adanya disparitas yang cukup tinggi antara provinsi dengan
capaian tertinggi dan provinsi dengan capaian terendah.
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di Indonesia
masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi
dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun proporsinya telah berubah, dimana
perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya
semakin meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2013
disebabkan oleh HDK.
6. Pelayanan Kontrasepsi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
tentangPerkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga
Berencana,dan Sistem Informasi Keluarga menyebutkan bahwa program keluarga
berencana (KB)adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
mengaturkehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak
reproduksiuntuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
KB merupakan salah satu strategi untuk mengurangi kematian ibu khususnya
ibudengan kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (di bawah usia 20 tahun), terlalu
seringmelahirkan, terlalu dekat jarak melahirkan, dan terlalu tua melahirkan (di atas
usia35 tahun). Selain itu, program KB juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keluargaagar dapat timbul rasa aman, tentram, dan harapan masa depan yang lebih baik
dalammewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
KB juga merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan
ketahanan keluarga, kesehatan, dan keselamatan ibu, anak, serta perempuan.
PelayananKB menyediakan informasi, pendidikan, dan cara-cara bagi laki-laki dan
perempuan untukdapat merencanakan kapan akan mempunyai anak, berapa jumlah
anak, berapa tahunjarak usia antara anak, serta kapan akan berhenti mempunyai anak.
Melalui tahapan konseling pelayanan KB, Pasangan Usia Subur (PUS)
dapatmenentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya
berdasarkan informasi yang telah mereka pahami, termasuk keuntungan dan kerugian,

41
risiko metodekontrasepsi dari petugas kesehatan. Program Keluarga Berencana (KB)
dilakukandiantaranya dalam rangka mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan
kelahiran. Sasaranprogram KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang lebih
dititikberatkan pada kelompokWanita Usia Subur (WUS) yang berada pada kisaran
usia 15-49 tahun.
Sasaran pelaksanaan program KB yaitu Pasangan Usia Subur. Pasangan Usia
Subur(PUS) adalah pasangan suami-istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, yang
istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun. Peserta KB Aktif adalah Pasangan
Usia Subur (PUS) yang saat ini menggunakan salah satu alat kontrasepsi tanpa
diselingi kehamilan. Peserta KB Baru adalah pasangan usia subur yang baru pertama
kali menggunakan alat/cara kontrasepsi dan atau pasangan usia subur yang kembali
menggunakan metode kontrasepsi setelah melahirkan/keguguran.
Cakupan Peserta KB Baru Dan KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi Tahun 2015

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2016


Peserta KB baru dan KB aktif menunjukkan pola yang sama dalam pemilihan
jenisalat kontrasepsi seperti yang disajikan pada gambar di atas. Sebagian besar peserta
KB baru maupun KB aktif memilih suntikan dan pil sebagai alat kontrasepsi. Kedua
jenis alat kontrasepsi ini dianggap mudah diperoleh dan digunakan oleh pasangan usia
subur. Namun demikian perlu diperhatikan tingkat efektifitas suntikan dan pil dalam
pengendalian kehamilan dibandingkan jenis kontrasepsi lainnya.

42
Cakupan Peserta KB Baru Di Indonesia Tahun 2015

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2016


Persentase peserta KB baru terhadap pasangan usia subur di Indonesia pada
tahun2015 sebesar 13,46%. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2014
yang sebesar 16,51%. Tiga provinsi yang memiliki persentase tertinggi yaitu Maluku
Utara sebesar 57,85%, DKI Jakarta sebesar 31,14%, dan Maluku sebesar 25,07%.
Sedangkan capaian terendah terdapat di Provinsi Bali sebesar 9,45%, Jawa Timur
sebesar 10,8%, dan Banten sebesar 11,21%.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan
sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau
masyarakat, termasuk keluarga berencana. Pelayanan kesehatan dalam keluarga
berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk
membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas. Pasangan Usia Subur bisa
mendapatkan pelayanan kontrasepsi di tempat-tempat yang melayani program KB.
Gambaran mengenai tempat pelayanan KB di Indonesia dapat dilihat pada gambar
berikut ini.

43
Persentase Tempat Pelayanan KB Di Indonesia Dan Persentase Peserta KB Baru
Menurut Jenis Layanan Tahun 2015

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2016


Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa dari sisi input atau keberadaan
fasilitas KB, sebagian besar berasal dari praktek bidan mandiri. Jenis fasilitas KB ini
memiliki proporsi yang sangat besar (52,86%). Sedangkan fasilitas KB milik
pemerintah memiliki persentase sebesar 17,48%. Pemerintah melalui BKKBN dan
Kementerian Kesehatan bertanggungjawab terhadap semua jenis fasilitas KB tersebut,
tidak hanya kepada fasilitas KB milik pemerintah saja. Hal ini merupakan salah satu
tantangan yang dihadapi dalam implementasi program KB.
Meskipun secara proporsi fasilitas milik pemerintah lebih sedikit dibandingkan
praktek bidan mandiri, namun sebagain besar peserta KB (57,58%) lebih memilih
fasilitas milik pemerintah sebagai tempat untuk mendapatkan layanan KB. Dengan
tingginya tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap fasilitas milik pemerintah maka hal
ini bisa menjadi peluang bagi BKKBN dan Kementerian Kesehatan untuk lebih
mengendalikan penyelenggaraan program KB.
Dari seluruh pasangan usia subur yang menjadi sasaran program KB, terdapat
sebagian yang memutuskan untuk tidak memanfaatkan program tersebut dengan
berbagai alasan di antaranya ingin menunda memiliki anak atau tidak ingin memiliki
anak lagi. Kelompok PUS ini disebut sebagai unmet need. Persentase PUS yang
merupakan kelompokunmet need di Indonesia sebesar 12,7%. Dari seluruh PUS yang
memutuskan tidak memanfaatkan program KB, sebanyak 6,15% beralasan ingin

44
menunda memiliki anak, dan sebanyak 6,55% beralasan tidak ingin memiliki anak lagi.
Total angka unmet needtahun 2015 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014
yang sebesar 14,87%.
Persentase PUS Bukan Peserta KB (Unmet Need) Di Indonesia Tahun 2015

Sumber: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2016


Semakin rendah angka unmet need dapat mengindikasikan
keberhasilanpenyelengaraan program KB. Provinsi Bali memiliki persentase unmet
need terendah sebesar 5,6%, diikuti oleh Bengkulu sebesar 6,1%, dan DI Yogyakarta
sebesar 7,73%. Sedangkan Provinsi Papua memiliki angka unmet need tertinggi sebesar
29,7%, diikuti oleh Papua Barat sebesar 23,63%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar
21,83%.

B. Kesehatan Anak
Upaya pemeliharaan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi
yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka
kematian anak.
1. Pelayanan Kesehatan Neonatal
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari. Pada masa
tersebutterjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam rahim dan terjadi

45
pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia kurang satu bulan
merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi,
berbagai masalah kesehatan bisa muncul. Sehingga tanpa penanganan yang tepat, bisa
berakibat fatal. Beberapa upaya kesehatan dilakukan untuk mengendalikan risiko pada
kelompok ini di antaranya dengan mengupayakan agar persalinan dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan serta menjamin tersedianya pelayanan kesehatan
sesuai standar pada kunjungan bayi baru lahir.
Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau KN1 merupakan indikator yang
menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko kematian
pada periode neonatal yaitu 6-48 jam setelah lahir yang meliputi, antara lain kunjungan
menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM) termasuk
konseling perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian vitamin K1 injeksi, dan
Hepatitis B0 injeksi bila belum diberikan.
Selama periode tahun 2010-2014, indikator KN1 selalu mencapai target Renstra
dengan rata-rata peningkatan cakupan dari tahun 2010-2014 sebesar 3,2%. Pada akhir
tahun 2014cakupan KN1 telah mencapai 97%. Target KN1 pada tahun 2015 sebesar
75%, lebih rendah dari tahun sebelumnya, karena perubahan definisi operasional
indikator KN1. Sebelumnya cakupan KN1 merupakan indikator KN1 akses kemudian
pada Renstra 2015 berubah definisi dengan peningkatan kualitas kunjungan neonatal.
Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber : Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016

46
Kunjungan neonatal pertama (KN1) adalah cakupan pelayanan kesehatan bayi
baru lahir(umur 6 jam-48 jam) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang
ditangani sesuai standar oleh tenaga kesehatan terlatih di seluruh sarana pelayanan
kesehatan.
Pelayanan yang diberikan saat kunjungan neonatal yaitu pemeriksaan sesuai
standar Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru
lahir termasuk ASI eksklusif dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan neonatal
pertama (KN1), bayi baru lahir mendapatkan vitamin K1 injeksi dan imunisasi hepatitis
B0 (bila belum diberikan pada saat lahir). Capaian KN1 Indonesia pada tahun 2015
sebesar 83,67%. Capaian ini sudah memenuhitarget Renstra tahun 2015 yang sebesar
75%.
Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan bagi neonatal
adalah Kunjungan Neonatal Lengkap (KN lengkap) yang mengharuskan agar setiap
bayi baru lahirmemperoleh pelayanan Kunjungan Neonatal minimal tiga kali sesuai
standar di satu wilayahkerja pada kurun waktu satu tahun.
Cakupan Kunjungan Neonatal Lengkap Di Indonesia Tahun 2009-2015

Sumber : Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016


Selama periode tujuh tahun terakhir cakupan KN lengkap menunjukkan
kecenderunganpeningkatan dari 78,04% pada tahun 2009 menjadi 93,33% pada tahun
2014. Namun pada tahun 2015 terjadi penurunan cakupan KN lengkap menjadi 77.31%.
Sama halnya dengan cakupan KN1, penurunan cakupan KN lengkap disebabkan oleh

47
perubahan definisi operasional KN1 yang dulunya lebih ke arah akses kemudian
berubah menjadi ke arah peningkatan kualitas pada Renstra 2015.
2. Penanganan Komplikasi Neonatal
Neonatal dengan komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan atau kelainan
yang dapatmenyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus,
hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR, sindroma gangguan
pernafasan, dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning dan
merah padapemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).
Komplikasi yang menjadi penyebab kematian terbanyak yaitu asfiksia, bayi berat
lahir rendah, dan infeksi (Riskesdas, 2007). Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah
dan ditangani, namun terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan, kemampuan
tenagakesehatan, keadaan sosial ekonomi, sistem rujukan yang belum berjalan dengan
baik, terlambatnya deteksi dini, dan kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan
kesehatan.
Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah penanganan terhadap neonatal
sakitdan atau neonatal dengan kelainan atau komplikasi/kegawatdaruratan yang
mendapat pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan atau perawat)
terlatih baikdi rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan
kesehatan rujukan.
Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar MTBM, Manajemen
Asfiksia Bayi Baru Lahir, Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah, pedoman pelayanan
neonatalessensial di tingkat pelayanan kesehatan dasar, PONED, PONEK atau standar
operasional pelayanan lainnya.
Capaian penanganan neonatal dengan komplikasi mengalami penurunan dari
tahun 2014yang sebesar 59,68% menjadi 51,37% pada tahun 2015. Selain menurunnya
capaian, masih terdapat disparitas yang cukup besar antar provinsi. Pada tahun 2015
capaian tertinggi diperoleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan angka sebesar
90,01% diikuti Jawa Tengah sebesar 89,23%, dan Jawa Timur sebesar 82,91%. Tiga
provinsi dengan capaian terendah ialah Sulawesi Selatan (2,63%), Papua (5,19%), dan
Maluku (8,86%). Pada gambar berikut disajikan gambaran cakupan penanganan neonatal
dengan komplikasimenurut provinsi tahun 2015.

48
Cakupan Penanganan Komplikasi Neonatal Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber : Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016

3. Imunisasi
Setiap tahun lebih dari 1,4 juta anak di dunia meninggal karena berbagai
penyakityang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu upaya
untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila suatu saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit
atau hanya mengalami sakit ringan. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke
dalam Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain TBC, Difteri,
Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, radang selaput otak, dan radang paru-
paru. Anak yang telah diberiimunisasi akan terlindungi dari berbagai penyakit
berbahaya tersebut, yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian.
Proses perjalanan penyakit diawali ketika virus/bakteri/protozoa/jamur, masuk ke
dalam tubuh. Setiap makhluk hidup yang masuk ke dalam tubuh manusia akan dianggap
benda asing oleh tubuh atau yang disebut dengan antigen. Secara alamiah sistem
kekebalan tubuh akan membentuk zat anti yang disebut antibodi untuk melumpuhkan
antigen. Pada saat pertama kali antibodi berinteraksi dengan antigen, respon yang
diberikan tidak terlalu kuat. Hal ini disebabkan antibodi belum mengenali antigen. Pada
interaksi antibodi-antigen yang kedua dan seterusnya, sistem kekebalan tubuh sudah
mengenali antigen yang masuk ke dalam tubuh, sehingga antibodi yang terbentuk lebih
banyak dan dalam waktu yang lebih cepat.

49
Proses pembentukan antibodi untuk melawan antigen secara alamiah disebut
imunisasi alamiah. Sedangkan program imunisasi melalui pemberian vaksin adalah
upaya stimulasi terhadap sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi dalam
upaya melawan penyakit dengan melumpuhkan antigen yang telah dilemahkan yang
berasal dari vaksin.
Program imunisasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi penduduk
terhadappenyakit tertentu. Program imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap
rentan terjangkit penyakit menular, yaitu bayi, balita, anak-anak, wanita usia subur, dan
ibu hamil.
a. Imunisasi Dasar pada Bayi
Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah
DenganImunisasi (PD3I). Seorang anak diimunisasi dengan vaksin yang disuntikkan
pada lokasi tertentu atau diteteskan melalui mulut.
Sebagai salah satu kelompok yang menjadi sasaran program imunisasi, setiap
bayi wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis BCG, 3 dosis
DPT-HB dan atau DPT-HB-Hib, 4 dosis polio, dan 1 dosis campak. Dari imunisasi
dasar lengkap yang diwajibkan tersebut, campak merupakan imunisasi yang mendapat
perhatian lebih, hal ini sesuai komitmen Indonesia pada global untuk mempertahankan
cakupan imunisasi campak sebesar 90% secara tinggi dan merata. Hal ini terkait dengan
realita bahwa campak adalah salah satu penyebab utama kematian pada balita. Dengan
demikian pencegahan campak memiliki peran signifikan dalam penurunan angka
kematian balita.
Indonesia memiliki cakupan imunisasi campak yang sedikit lebih rendah
daripada tahun 2014, yaitu sebesar 92,3% pada tahun 2015. Menurut provinsi, terdapat
empat belasprovinsi yang telah berhasil mencapai target 90% seperti yang disajikan pada
gambar berikut.

50
Persentase Cakupan Imunisasi Campak Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2016


b. Imunisasi Lengkap pada Bayi
Program imunisasi pada bayi bertujuan agar setiap bayi mendapatkan imunisasi
dasar secara lengkap. Keberhasilan seorang bayi dalam mendapatkan imunisasi dasar
tersebut diukur melalui indikator imunisasi dasar lengkap. Capaian indikator ini di
Indonesia pada tahun 2015 sebesar 86,54%. Angka ini belum mencapai target Renstra
pada tahun 2015 yang sebesar 91%. Sedangkan menurut provinsi, terdapat sepuluh
provinsi (29%) yang mencapai target Renstra tahun 2015.
Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2016

51
Tiga provinsi dengan capaian imunisasi dasar lengkap pada bayi yang tertinggi
pada tahun2015 yaitu Jambi (99,85%), Nusa Tenggara Barat (99,32%), dan Lampung
(99,22%). Sedangkan tiga provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua (47,27%),
diikuti oleh Papua Barat (57,11%), dan Kalimantan Tengah (64.86%).
c. Angka Drop Out Cakupan Imunisasi DPT/HB1-Campak
Imunisasi dasar pada bayi seharusnya diberikan pada anak sesuai dengan
umurnya.Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh dapat bekerja secara
optimal. Namun demikian, pada kondisi tertentu beberapa bayi tidak mendapatkan
imunisasi dasar secara lengkap. Kelompok inilah yang disebut dengan drop out (DO)
imunisasi. Bayi yang mendapatkan imunisasi DPT/HB1 pada awal pemberian
imunisasi, namun tidak mendapatkan imunisasi campak, disebut angka drop out
imunisasi DPT/HB1-Campak. Indikator ini diperoleh dengan menghitung selisih
penurunan cakupan imunisasi Campak terhadap cakupan imunisasi DPT/HB1.Angka
drop out imunisasi DPT/HB1-Campak pada tahun 2015 sebesar 2,8%. Angka ini lebih
rendah dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 3,1%. Angka drop out imunisasi
DPT/HB1-Campak menunjukkan kecenderungan penurunan sejak tahun 2007 sampai
dengan tahun 2015 yang asumsinya semakin banyak bayi yang mendapatkan imunisasi
dasar secara lengkap. Kecenderungan penurunan tersebut dijelaskan pada gambar
berikut ini.
Angka Drop Out Cakupan Imunisasi DPT/HB1-Campak Pada Bayi Tahun 2007-2015

Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2016

52
DO rate DPT/HB1-Campak diharapkan agar tidak melebihi 5%. Batas maksimal
tersebut telah berhasil dipenuhi sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015.
d. Desa/Kelurahan UCI (Universal Child Immunization)
Indikator lain yang diukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan imunisasi
yaitu UniversalChild Immunization (UCI) desa/kelurahan. Desa/kelurahan UCI adalah
gambaran suatudesa/kelurahan dimana ≥ 80% dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang ada di
desa/kelurahantersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. Pada tahun 2015
terdapat tiga provinsi yang memiliki capaian tertinggi yaitu DI Yogyakarta,DKI Jakarta,
dan Jawa Tengah sebesar 100%. Sedangkan Provinsi Papua Barat memilikicapaian
terendah (54,66%), diikuti oleh Riau sebesar 57,67%, dan Aceh sebesar 67.56%.
Cakupan Desa/Kelurahan UCI Menurut Provinsi Tahun 2015

Sumber : Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2016

2.1.7 Permasalahan KIA di Indonesia


1. Angka Kematian Ibu (AKI)
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah jumlah kematian ibu selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan,
dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti
kecelakaan, terjatuh, dll di setiap 100.000 kelahiran hidup. Indikator ini tidak
hanya mampu menilai program kesehatan ibu, terlebih lagi mampu menilai
derajat kesehatan masyarakat, karena sensitifitasnya terhadap perbaikan
pelayanan kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun kualitas. Penurunan

53
AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan 2007, yaitu dari 390
menjadi 228. Namun demikian, SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan
AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) 2015. Gambaran AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga tahun 2015
dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
Angka Kematian Ibu Di Indonesia Tahun 1991 – 2015

Sumber: BPS, SDKI 1991-2012


2. Penyebab Kematian Ibu Melahirkan

Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi


faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus
diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi
lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni pendarahan, keracunan kehamilan
yang disertai kejangkejang, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada
faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan yang
tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan
masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut
harus berupaya ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara
lebih bertanggung jawab.

54
Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah
ketidaksetaraan gender, nilai budaya, perekonomian serta rendahnya perhatian
laki-laki terhadap ibu hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang
menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara
sosiokultural agar perempuan dapat perhatian dari masyarakat. Sangat
diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah,
swasta, maupun masyarakat terutama suami.

Distribusi Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan

Grafik diatas menunjukkan distribusi persentase penyebab kematian ibu


melahirkan, berdasarkan data tersebut bahwa tiga faktor utama penyebab
kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre
eklamasi dan infeksi. Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab
kematian ibu (28 persen), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu
hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang
merupakan faktor kematian utama ibu. Persentase tertinggi kedua penyebab
kematian ibu adalah eklamsia (24 persen), kejang bisa terjadi pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan.
Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali normal bila
kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah
bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu
sebelum hamil.

55
3. Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Balita
Indikator angka kematian yang berhubungan dengan anak yakni Angka
Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian
Balita (AKABA). Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal
(0-28 hari) menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi
terhadap 59% kematian bayi. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN)
pada tahun 2012 sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan
AKN berdasarkan SDKI tahun 2007 dan hanya menurun 1 poin dibanding SDKI
tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup.
Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, Dan Balita

Sumber: SDKI tahun 1991-2012, SUPAS tahun 2015


Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan AKB
sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai target
MDGs 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Begitu pula dengan Angka
Kematian Balita (AKABA) hasil SUPAS 2015 sebesar 26,29 per 1.000
kelahiran hidup, juga sudah memenuhi target MDGs 2015 sebesar 32 per 1.000
kelahiran hidup.
4. Penyebab Kematian Neonatal
Kematian neonatal karena infeksi bakteri/ sepsis akibat proses persalinan dan
perawatan neonatal yang tidak bersih masih tetap tinggi. Pada persalinan di
rumah ditolong dukun bayi atau tenaga tidak terlatih lainnya, kebersihan selama
proses persalinan dan perawatan bayi baru lahir kurang mendapat perhatian,

56
akibatnya ibu dan bayi sangat berisiko mengalami infeksi bakteri. Sekitar 11,5
% bayi lahir dengan berat lahir rendah kurang dari 2500 gram (Riskesdas 2007).
Data dari SKRT 2001 menunjukkan bahwa Bayi berat lahir rendah (BBLR)
merupakan salah satu faktor terpenting kematian neonatal. Penyumbang utama
kematian BBLR adalah prematuritas, infeksi, asfiksia lahir, hipotermia dan
pemberian ASI yang kurang adekuat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kematian karena hipotermia
pada bayi berat lahir rendah (BBLR) dan bayi prematur jumlahnya cukup
bermakna. Perilaku/kebiasaan yang merugikan seperti memandikan bayi segera
setelah lahir atau tidak boleh menyiapkan pakaian selimut bayi sebelum bayi
lahir, dapat meningkatkan risiko hipotermia pada bayi baru lahir. Menurut The
Lancet Millenium Projet 2005, menjaga kehangatan bayi baru lahir dapat
menurunkan kematian neonatal sebanyak 20-40%.
Di negara berkembang, kematian bayi baru lahir antara lain disebabkan oleh
pneumonia, suatu infeksi yang dapat terjadi saat lahir atau setelah lahir. Faktor
risiko terpenting terjadinya pneumonia adalah perawatan yang tidak bersih,
hipotermia dan pemberian ASI yang kurang adekuat. Pneumonia pada bayi baru
lahir gejalanya tidak jelas dan seringkali tidak diketahui sampai keadaannya
sudah sangat terlambat.
Meskipun proporsi bayi yang pernah mendapat ASI cukup tinggi (95,7%),
namun proporsi ASI eksklusif selama 6 bulan masih rendah yaitu 32,4% (SDKI
2007), demikian juga dengan proporsi saat mulai menyusui kurang dari 1 jam
yaitu 43,9% (SDKI 2007). Tidak memberikan kolostrum merupakan salah satu
kebiasaan merugikan yang sering ditemukan. Semakin sedikit jumlah bayi yang
mendapat ASI eksklusif, maka kualitas bayi dan anak balita juga akan
terpengaruh.
Kematian neonatal tidak dapat diturunkan secara bermakna tanpa dukungan
upaya menurunkan kematian ibu dan meningkatkan kesehatan ibu. Perawatan
antenatal dan pertolongan persalinan yang adekuat, harus disertai dengan
perawatan neonatal yang memadai dan upaya-upaya untuk menurunkan
kematian bayi akibat infeksi pasca lahir (seperti tetanus neonatorum, sepsis),
hipotermia dan asfiksia. Sebagian besar kematian neonatal yang terjadi pasca
lahir disebabkan oleh penyakit - penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan

57
biaya yang tidak mahal, mudah dilakukan, bisa dikerjakan dan efektif.
Diperkirakan 39% kelahiran di Indonesia berlangsung di rumah dan masih
17,7%-nya yang ditolong oleh tenaga non kesehatan. Salah satu strategi
menurunkan kematian neonatal adalah mengikutsertakan dukun bayi, keluarga,
masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan ke dalam sistem pelayanan
kesehatan yang berlaku dalam menerapkan pelayanan kesehatan neonatal
esensial berbasis kompetensi ketenagaan sesuai dengan jenjang pelayanan
(Kemenkes RI, 2010).

2.2 Pelayanan KIA di Puskesmas DKI Jakarta

2.2.1 Kondisi Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Jakarta

1. Angka Kematian Neonatus, Bayi dan Balita

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang


biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Oleh
karena itu banyak upaya kesehatan yang dilakukan untuk menekan dan
menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB).

Angka kematian bayi di DKI Jakarta dari tahun ke tahun terus


mengalami penurunan. AKB di Provinsi DKI Jakarta menurut data sebesar 6.88
per 1.000 kelahiran hidup. Target MDGs untuk AKB pada tahun 2015 sebesar
23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, dan artinya Provinsi DKI Jakarta
telah mencapai target MGDs dengan tujuan 4, menurunkan angka kematian bayi
dalam kurun waktu 1990-2015.

Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan


masyarakat telah mengalami kemajuan yang cukup berarti diiringi dengan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta.

58
Gambar 1.1.: Jumlah kelahiran dan kematian bayi dan balita menurut Kab-Kota
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014

Sumber: Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi DKI


Jakarta

Gambar 1.1. memperlihatkan Jakarta Barat memiliki jumlah kematian


bayi terbanyak pada tahun 2014, yaitu sejumlah 81 bayi dan di tempat ke dua
terbanyak adalah Jakarta Utara sebanyak 33 bayi. Wilayah dengan jumlah kasus
kematian bayi terendah adalah Kabupaten Kepulauan Seribu tidak ada kematian
bayi.

Angka Kematian Balita merepresentasikan risiko terjadinya kematian


pada fase setelah anak dilahirkan dan sebelum umur 5 tahun.

Gambar 1.2. Jumlah Kematian Neonatus, Bayi dan Balita Tahun 2014

Sumber: Laporan Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2014

59
Gambar 1.2. memperlihatkan angka kematian balita dari tahun ke tahun
menunjukkan tren yang sama dengan angka kematian bayi yaitu mengalami
penurun dari tahun ke tahun.

Bila melihat penurunan antara kematian neonatus dibandingkan dengan


kematian bayi pada tahun 2013 – 2014 terlihat berbeda dimana penurunan angka
kematin bayi lebih besar dibandingkan angka kematian neonatus. Oleh karena
itu diperlukan beberapa intervensi untuk masalah tersebut.

Beberapa kebijakan yang sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan


Provinsi DKI Jakarta yaitu :

a. Pencegahan dan Penangan BBLR melalui peningkatan kualitas ANC


b. Peningkatan Penanganan neonatal komplikasi

Tahun 2014 indikator penanganan neonatal komplikasi untuk Provinsi


DKI Jakarta mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013 tetapi masih
terdapat disparitas antar kotamadya/kabupaten.

Gambar 1.3. Neonatus Komplikasi yang ditangani Tahun 2013 – 2014

Sumber Laporan KIA Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta

60
Gambar 1.3. memperlihatkan wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu,
Kota Jakarta Timur dan Jakarta Utara mempunyai angka persentase Neonatus
yang ditangani lebih rendah dibandingkan wilayah lain.
Beberapa upaya yang dilakukan adalah dengan cara peningkatan kualitas
pelayanan, Sumber Daya Manusia, dan penguatan jejaring rujukan dari
puskesmas ke RS. Untuk wilayah Kepulauan Seribu dengan tantangan letak
geografis beberapa upaya yang sudah dilakukan dengan cara menguatkan
rujukan antara puskesmas dengan RS baik itu RS di Kepulauan Seribu maupun
RS di Luar Pulau yang terdekat.
a. Pelayanan Neonatal (KN1)
Neonatus atau bayi baru lahir (0-28 hari) merupakan kelompok umur
yang memiliki risiko tinggi akan gangguan kesehatan. Upaya kesehatan
yang dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan neonatal
saat lahir dan pelayanan kesehatan saat kunjungan neonatus sebanyak 3 kali.
Pelayanan yang diberikan terkait pemerikaan sesuai standar Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi.
Untuk Kunjungan Neonatus pertama kali (KN 1) pada tahun 2014 adalah
99.52 % dan Kunjungan Neonatus Lengkap (KN Lengkap) sebanyak 95.98
%. Dengan pencapaian tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan
capaian target dari target yang ditetapkan yaitu KN 1 89% dan KN Lengkap
sebanyak 86%.
Gambar 1.4. Persentase Kunjungan Neonatus 1 Tahun 2013 - 2014

Sumber Laporan KIA Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta

61
Gambar 1.4. memperlihatkan walaupun secara keseluruhan persentase
KN1 Provinsi DKI Jakarta sudah mencapai target tetapi ada hasil antar
wilayah masih bervariasi seperti di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta
Selatan.

b. Peningkatan Pelayanan Kesehatan Bayi


Peningkatan akses bayi dalam memperoleh pelayanan dasar untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan minimal 4 kali dalam setahun, yaitu 1
kali pada umur 29 hari-3bulan, 1 kali pada umur 6-9 bulan, dan 1 kali pada
umur 9-11 bulan.
Layanan kesehatan yang diberikan meliputi pemberian imunisasi dasar
(SDIDTK) bayi, dan penyuluhan perawatan kesehatan bayi.
c. Peningkatan Pemberian ASI Ekslusif

ASI eksklusif adalah intervensi yang paling efektif untuk mencegah


kematian anak menurut UNICEF namun Survei Demografi Kesehatan
tingkat pemberian

ASI eksklusif telah menurun selama dekade terakhir. Hari ini, hanya
sepertiga penduduk Indonesia secara eksklusif menyusui anak-anak mereka
pada enam bulan pertama. Begitu pula angka yang terdapat di Provinsi DKI
Jakarta.

Gambar 1.5 Persentase Pemberian ASI Eksklusif Tahun 2014

Sumber Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi DKI Jakarta 2014

62
Gambar 1.5. memperlihatkan persentase Pemberian ASI Ekslusif di
Wilayah Provinsi DKI Jakarta masih rendah (41.86%) dibandingkan target
nasional sebesar 80%. Disamping itu angka tiap Kabupaten/Kota bervariasi
dimana angka terendah ada di wilayah Jakarta Timur (13%) sedangkan
angka tertinggi ada di wilayah Jakarta Pusat (72.15%).

2. Angka Kematian Ibu

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator yang


digunakan untuk mengukur status kesehatan ibu. AKI menggambarkan jumlah
wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan
kehamilan atau penanganan (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidental)
selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah
melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilannya per 100.000 kelahiran
hidup. AKI menggambarkan kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan
kesehatan.

Gambar 2.1. Jumlah Kematian Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014

Sumber: Laporan Kesehatan Ibu Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2014

Gambar 2.1. memperlihatkan Jumlah Kematian Ibu terbanyak secara


berurutan ada ada di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Sedangkan di
Kepulauan Seribu tidak ada kematian Ibu pada tahun 2014

63
Gambar 2.2. Penyebab Kematian Ibu Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014

Sumber: Laporan Kesehatan Ibu Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2014

Gambar 2.2. memperlihatkan 3 penyebab kematian ibu adalah


disebabkan oleh Perdarahan, Eklampsia dan Infeksi.

Pevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia masih sangat tinggi.


Berdasarkan Riskesdas 2013 menunjukan bahwa 37.1% ibu hamil menderita
anemia dan dikategorikan sebagai masalah kesehatan masayarakat yang berat
menurut WHO.

Anemia pada ibu hamil dapat menyebabkan perdarahan post partum


yang merupakan penyebab terbesar kematian ibu. Mengingat hal tersebut maka
pemberian tablet Fe sebanyak 90 tablet selama kehamilan merupakan salah
intervensi yang efektif dilakukan.

Beberapa upaya juga sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi


DKI Jakarta dalam menurunkan jumlah kematian ibu yaitu dengan :

a. Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir di


RS (PONEK) dan puskesmas (PONED).
b. Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan
rumah sakit.

64
3. Persentase Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan

Total persalinan di Provinsi DKI Jakarta yang dilaporkan pada tahun


2014 sebesar 185.844 persalinan. Dari jumlah tersebut 100% ditolong oleh
tenaga kesehatan. SedangkanTarget Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
(PN) tahun 2014 adalah 93%.

Gambar 3.1. Persentase Penolong Kelahiran Terakhir Tahun 2014

Sumber Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta, BPS Provinsi DKI
Jakarta 2014

Gambar 3.1. memperlihatkan kelahiran terbanyak sekitar 56 % untuk


DKI Jakarta ditolong oleh Bidan, sekitar 41% ditolong oleh dokter dan 3%
ditolong oleh tenaga medis lainnya. (Depkes, 2014)

2.2.2 Kegiatan Puskesmas di DKI Jakarta


PELAYANAN RAWAT JALAN
1. Unit Pelayanan Dewasa
Unit ini melakukan pelayanan untuk pasien berusia 18 - 60 tahun. Dilaksanakan setiap
hari kerja dengan jadwal pelayanan :

65
Senin - Kamis : 07.30 - 16.00 WIB
Jumat : 07.30 - 16.30 WIB
2. Unit Pelayanan Lansia/Disabilitas
Unit ini melakukan pelayanan untuk pasien diatas 60 tahun dan penderita disabilitas.
Jadwal pelayanan unit ini sama dengan jadwal pelayanan unit pelayanan umum.
(Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)
3. Unit Pelayanan Anak Manajemen Terpadu Balita Sakit / Manajemen Terpadu
Bayi Muda (MTBS/MTBM)
Pelayanan dilakukan setiap hari kerja. Pelayanan ini ditujukan pada pasien rawat jalan
dengan batasan usia 0 s/d 59 bulan 29 hari dan anak-anak dibawah usia 10 tahun.
Jadwal pelayanan unit ini juga sama dengan jadwal pelayanan unit pelayanan umum.
4. Unit Pelayanan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
Pelayan PKPR dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja. Pelayanan ini ditujukan pada
pasien rawat jalan dengan batasan usia 10 s/d 18 tahun. Jadwal pelayanan unit ini sama
dengan jadwal pelayanan unit pelayanan umum.
5. Unit Pelayanan Gigi
Pelayanan unit ini dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja. Pelayanan ditujukan untuk
pasien dengan masalah atau keluhan gigi. Jadwal pelayanan unit ini juga sama dengan
jadwal pelayanan unit pelayanan umum.
6. Unit Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pelayanan unit ini dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja. Pelayanan ditujukan bagi
ibu hamil, bayi sehat, calon pengantin, imunisasi dan buteki. Jadwal pelayanan unit ini
juga sama dengan jadwal pelayanan unit pelayanan umum.
7. Unit Pelayanan Keluarga Berencana (KB)
Pelayanan unit ini juga dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja. Pelayanan unit ini
ditujukan bagi wanita usia subur, pasangan usia subur dan masalah kesehatan
reproduksi wanita. Jadwal pelayanan unit ini juga sama dengan jadwal pelayanan unit
pelayanan umum.
8. Unit Pelayanan Gizi Klinis
Pelayanan unit ini dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja. Ditujukan untuk pasien
rawat jalan dan rumah bersalin. Pelayanan dilakukan oleh petugas gizi klinis. Jadwal
pelayanan unit ini juga sama dengan jadwal pelayanan unit pelayanan umum.
(Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)

66
9. Unit Pelayanan Lingga (Konseling Keluarga)
Unit ini memberikan pelayanan kasus-kasus kekerasan terhadapa perempuan dan anak
(KtP/KtA). Pelayanan yang diberikan berupa konseling, pengobatan, rujukan ke lintas
sektor yang terkait dengan kasus KtP/KtA seperti kepolisian, RS, P2TP2A (Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). (Puskesmas Kecamatan
Senen, 2016)
10. Unit Pelayanan HR (Harm Reduction)
Pelayanan unit ini dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja kecuali pelayanan PTRM
dilaksanakan setiap hari mulai pukul 08.00 - 12.00 WIB. Khusus hari sabtu, minggu dan
hari libur mulai pukul 09.00 - 11.30 WIB. Unit pelayanan ini melayani pasien yang
menderita ketergantungan obat, penderita HIV (ODHA) dan pasien-pasien yang
termasuk populasi kunci.
Pelayanan dibagian ini mencakup pelayanan :
a. PTRM (Pelayanan Terapi Rumatan Metadon)
b. UP Setia (ARV)
c. UP IMS (Infeksi Menular Seksual)
d. UP VCT (Voluntary Consulting Testing)
e. UP LASS (Layanan Alat Suntik Steril)
11. Unit Pelayanan TB-PAL
Pelayanan unit ini dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja. Unit ini melayani pasien
dengan batuk kronis lebih dari 2 minggu dan terbatas untuk usia 5 tahun keatas.
12. Unit Pelayanan 24 Jam
Pelayanan unit ini dilaksanakan setelah jadwal pelayanan unit umum dengan jadwal :
Senin s/d Kamis : 16.00 - 08.00 WIB, Jumat : Mulai pukul 16.30 - 08.00 WIB yang
dibagi dalam 2 shift.
Sabtu, Minggu dan Hari Libur Nasional pelayanan dilakukan mulai pukul 08.00 - 08.00
WIB hari berikutnya yang dibagi dalam 3 shift.
13. Pelayanan Gadar Bencana
Pelayanan gadar bencana dilaksanakan jika terjadi suatu keadaan/kondisi yang tidak
diharapkan terkait perihal seperti bencana alam (bajir, gempa bumi), dan kebakaran
diwilayah kerja Puskesmas Kecamatan Senen. (Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)

67
14. Pelayanan PUSLING (Puskesmas Keliling)
Pelayanan Pusling dilakukan 3 kali dalam 1 minggu pada hari kerja mulai pukul 08.00 -
12.00 WIB di 3 tempat secara bergantian. Pelayanan ini diberikan untuk pasien umum
rawat jalan tanpa batasan usia. Jadwal Pelayanan kesehatan dilakukan pada :
Hari Rabu bertepat di Kantor Kelurahan Senen
Hari Kamis bertempat di Pasar Senen
Hari Jumat bertempat di Gedung Stovia.

PELAYANAN PENUNJANG
Puskesmas Kecamatan Senen memiliki beberapa pelayanan penunjang :
a. Pelayanan Kamar Obat
Pelayanan dilakukan setiap hari jam kerja dan diluar jam kerja. Melayan pasien rawat
jalan unutk unit pelayanan 24 jam dan rawat inap.
b. Pelayanan Laboratorium
Pelayanan dilakukan setiap hari kerja pada jam kerja, melayani pasien rawat jalan dan
rawat inap.
c. Pelayanan Loket
Pelayanan loket mengikuti jadwal pelayanan secara umum dan pelayan unit 24 jam.
(Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)

PELAYANAN RAWAT INAP


Unit Pelayanan Rumah Bersalin

UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT


1. Upaya Program Promosi Kesehatan
Penyuluhan kesehatan dalam gedung dan luar gedung, pemberdayaan berjenjang
diberbagai tatanan, melakukan pendataan dan upaya-upaya dalam peningkatan PHBS
(Perilaku Hidup Bersih Sehat) baik untuk individu, kelompok, institusi, sekolah maupun
masyarakat, melakukan survei mawas diri dimasyarakat, melakukan musyawarah desa
(MMD). (Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)
2. Upaya Program Kesehatan Lingkungan
Membantu mekanisme pengelolaan air bersih dan sanitasi lingkungan berbasis
komunitas masyarakat, melakukan kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)

68
setiap minggu pada hari jumat, melakukan inspeksi sarana sanitasi dasar, tempat
pengelolaan makanan, pembinaan ditempat-tempat umum dan industri kecil dalam
mendukung kesehatan keselamatan kerja dan pembinaan sekolah sehat serta jumantik
cilik. (Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)
3. Upaya Program Kesehatan Ibu Dan Anak
Pelayanan Ante Natal Care (Pemeriksaan kehamilan), pelayanan ibu nifas normal,
pelayanan ibu menyusui, pelaksanaan kelas ibu hamil dan ibu balita, kunjungan rumah
(KN), Imunisasi rutin sesuai program pemerintah (Posyandu), Pemantauan tumbuh
kembang anak.
4. Upaya Program Keluarga Berencana (KB)
Konseling dan penyuluhan (Posyandu, kunjungan rumah), Pelayanan KB, Pelayanan
dengan momen khusus (Safari - TNI KB Kes), Pendataan sasaran KB.
5. Upaya Program Gizi
Pemberian kapsul vitamin A, memotivasi untuk memberikan ASI eksklusif,
penimbangan dan pemantauan pertumbuhan di Posyandu, penyuluhan, pemantauan
status gizi dan konsultasi gizi di meja IV(empat), pemetaan kadarzi, monitoring garam
beryodium, penyuluhan kelompok di Posyandu, pemberian makanan pendamping ASI
pada usia 6-24 bulan yang Bawah Garis Merah (BGM) dari GAKIN, pelacakan gizi
buruk, PMT penyuluhan di Posyandu, balita gizi buruk mendapat perawatan, pemberian
tablet tambah darah pada bumil, balita gizi buruk dan ibu hamil KEK (kurang Energi
Kronis) mendapat PMT Pemulihan.
6. Upaya Program Pencegahan Dan Penanggulangan Penyakit
Upaya program pencegahan dan penanggulangan penyakit termasuk pada penyakit
menular maupun tidak menular. Kegiatan yang dilakukan meliputi penyelidikan
epidemiologi, pelacakan kasus, kunjungan rumah, penyuluhan kepada masyarakat
melalui kegiatan yang ada dikelurahan setempat, melaksanakan surveillance faktor
risiko PTM (Penyakit Tidak Menular) melalui Posyandu / UKBM (Upaya Kesehatan
Berbasis Masyarakat) yang ada di masyarakat, Pemeriksaan jentik berkala (PJB)
dirumah-rumah atau tempat-tempat umum, melaksanakan fogging, pemberian imunisasi
disekolah, pelacakan kasus TB Paru dan Kusta, melakukan penyuluhan kesehatan
terkait penyakit menular dan tidak menular, pemantauan penyakit bersumber binatang
dan penyakit dengan kejadian luar biasa (KLB). (Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)

69
7. Pelayanan Program Perawatan Kesehatan Masyarakat
Kunjungan ke individu/keluarga/kelompok/masyarakat untuk melakukan asuhan
keperawatan kasus yang memerlukan tindak lanjut dirumah dan asuhan keperawatan
keluarga rawan dan miskin. (Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)
8. Pelayanan Program Upaya Kesehatan Sekolah
Penjaringan kesehatan peserta didik tingkat dasar, Pemeriksaan kesehatan berkala pada
peserta didik tingkat dasar dan tingkat lanjutan, penyuluhan dan konseling kesehatan,
pelayanan upaya kesehatan gigi sekolah (UKGS)
9. Pelayanan Program Usia Lanjut
Pemeriksaan dan pembinaan Posyandu Lansia, olahraga/kesegaran jasmani bagi lansia,
keperawatan kesehatan dasar, Penyuluhan yang berkaitan dengan masalah kesehatan
usia lanjut.
10. Kesehatan Reproduksi Remaja
Program penyuluhan pada remaja dengan materi mengenai proses reproduksi, faktor-
faktor yang ada di sekitarnya, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, bahaya dari
narkoba dan miras, pengaruh sosial media terhadap prilaku seksual, kekerasan seksual
dan bahaya dari seks pranikah.
11. Pelayanan Program Kesehatan Jiwa
Penjaringan kasus gangguan jiwa di Puskesmas Kecamatan Senen dan masyarakat,
keperawatan kesehatan jiwa (kunjungan rumah), pelayanan kesehatan jiwa yang
bersumberdaya masyarakat (community-based services), merujuk kasus ke fasilitas
dengan tingkat yang lebih tinggi seperti Rumah Sakit atau lembaga non kesehatan yang
ada dimasyarakat, melakukan penyuluhan kesehatan jiwa di masyarakat dan sekolah.
(Puskesmas Kecamatan Senen, 2016)

70
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Upaya Kesehatan ibu dan anak adalah upaya dibidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui,
bayi dan anak balita serta anak prasekolah (Asti Nuraeni, 2011). Tujuan Program
Kesehatan Ibu dan anak (KIA) adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui
peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk
menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya
derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang
merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya. (Syafrudin,
2009).
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor
penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk
menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim
muncul. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya,
pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial
ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh..

Masih tingginya AKI dan AKB di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain dari faktor predisposing, faktor pemungkin (enabling) serta faktor pendorong
atau penguat(reinforcing). Faktor-faktor tersebut berupa berbagai hambatan, antara lain
dari aspek geografis, ekonomi, sosiokultural, yang diperberat oleh kelemahan dalam
mendeteksi, memutuskan tindakan, merujuk dan keterlambatan dalam menangani
keluarga sakit/bermasalah setelah sampai di tempat pelayanan kesehatan
komperehensif.

Oleh karena itu, pemerintah memiliki Strategi Promosi Peningkatan KIA serta
percepatan penurunan AKI dan AKB adalah melalui Advokasi, Bina Suasana dan
Pemberdayaan Masyarakat yang didukung oleh Kemitraan.

71
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat


Kesehetan Ibu dan Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan.
http://www.akbidmuhammadiyahmadiun.ac.id/backsite/file_download/Pedoman
-PWS-KIA (18 Maret 2017, jam 09.00)
2. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Buku Ajar Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
http://digilib.poltekkesdepkes-sby.ac.id/public/POLTEKKESSBY- Books-703-
LayoutBukuKIA06102015small.pdf (11 Maret 2017, jam 19.00)
3. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Data Rumah Sakit Online. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
http://sirs.yankes.kemkes.go.id/rsonline/report/report_by_catrs.php (19 Maret
2017, jam 20.00)
4. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun
2014. Jakarta: Deparetemen Kesehatan.
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_
2014/11_DKI_Jakarta_2014.pdf (18 Maret 2017, jam 14.08)
5. Kementrian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf
6. Nuraeni, Asti. 2011. Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi di
Puskesmas. Depok: Universitas Indonesia.
http://pkko.fik.ui.ac.id/files/uts%20sim%20asti.pdf (18 Maret 2017, jam 09.30)
7. Puskesmas Kecamatan Senen. 2016. DKI Jakarta.
http://www.puskesmaskecamatansenen.com/pelayanan.php (29 April 2017, jam
13.00)
8. Sari, Rury Narulita. 2012. Konsep Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
9. Syafrudin. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

72

Anda mungkin juga menyukai