Makalah Ini Disusun untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Sistem Kesehatan Nasional
Semester 4/2017
S1 Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional“Veteran” Jakarta
2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena berkat ridha dan karunia-Nya kami
bisa menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen kami.
Dalam penyusunan makalah ini, tentunya kami menemukan berbagai hambatan, mulai dari
pencarian teori, pengumpulan data, dan juga penggunaan kata-kata, serta hambatan-hambatan lain.
Kami menyadari, makalah ini terbentuk atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih banyak terutama kepada:
1. Orang tua kami, yang tak hentinya memberi motivasi dan dukungan serta selalu
mendoakan kami.
2. Ibu Ayu Anggraeni Dyah Purbasari, SKM. MPH (M) selaku Kaprodi S1 Kesehatan
Masyarakat.
3. Ibu Rafiah Maharani Pulungan SKM, MKM, selaku dosen mata Sistem Kesehatan
Nasional
4. Semua pihak yang terlibat yang tak bisa kami sebutkan satu persatu.
Makalah yang telah kami susun ini tentunya masih banyak kekurangan, maka dari itu kami
meminta maaf jika ada kesalahan didalamnya. Dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca, sehingga kami dapat memperbaikinya, sekaligus bekal kami dalam menyusun dan
membuat laporan yang lebih baik lagi.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Memeroleh kesehatan (keadaan yang sehat baik fisik, mental, spititual dan sosial)
dan pelayanan kesehatan adalah hak semua masyarakat. Hal tersebut didukung dalam pasal
28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di
Indonesia sendiri, kesehatan menjadi bagian dari target pembangunan nasional,
sebagaimana yang tertera pada Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yang berarti bahwa
kesehatan harus dilaksanakan secara menyeluruh guna tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang optimal.
Di dalam sebuah sistem, tidak terkecuali adalah sistem yang mengatur tentang
kesehatan, diperlukan input yang dapat mendukung berjalannya upaya-upaya dari sistem
tersebut. Di dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional, menyebutkan bahwa demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dan berjalannya setiap upaya kesehatan, hal tersebut harus didukung
oleh input yang memadai salah satunya adalah berasal dari subsistem pembiayaan
kesehatan. Subsistem pembiayaan kesehatan adalah pengelolaan berbagai upaya
penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung
penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan
kesehatan tersebut, dilakukan melalui penggalian dan pengumpulan berbagai sumber dana
yang dapat menjamin kesinambungan pembiayaan pembangunan kesehatan,
mengalokasikannya secara rasional, serta menggunakannya secara efisien dan efektif.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
b. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah
nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah
untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari
masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
c. Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3
bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada
akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada manfaat yang
tidak dijamin meliputi:
a. Tidak sesuai prosedur
b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS
c. Pelayanan bertujuan kosmetik
d. General checkup, pengobatan alternatif
e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi
f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana
g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri
sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba.
4
Pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional
1) Iuran
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (Perpres
No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan).
2) Pembayar Iuran
a. Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
b. Bagi peserta PBI yang didaftarkan Pemerintah Daerah, iuran dibayar Pemerintah
Daerah.
c. Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan
Pekerja.
d. Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar
oleh Peserta yang bersangkutan.
e. Bagi anggota keluarga peserta, iuran dibayar oleh peserta
f. Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan
ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan
kebutuhan dasar hidup yang layak (Perpres No. 111 tahun 2013).
3) Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu
(bukan penerima upah dan PBI).
Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran
peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila
tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar
2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran
JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan
Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran,
BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau
kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya
(Perpres No. 111 tahun 2013).
5
4) Besaran Iuran
a. Iuran Peserta PBI
Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk
yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 19.225,00 (sembilan belas ribu dua
ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan.
b. Iuran Peserta Bukan PBI
1. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas
Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per
bulan.
2. Iuran sebagaimana dimaksud pada poin 1 (satu) dibayar dengan ketentuan sebagai
berikut:
o 3% (tiga persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
o 2% (dua persen) dibayar oleh Peserta.
3. Kewajiban Pemberi Kerja dalam membayar iuran sebagaimana dimaksud di atas,
dilaksanakan oleh:
o Pemerintah untuk Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil
Pusat, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri Pusat; dan
o Pemerintah Daerah untuk Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pegawai Negeri
Sipil Daerah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Daerah.
4. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah selain Peserta
sebagaimana dimaksud di atas yang dibayarkan mulai tanggal 1 Januari 2014 sampai
dengan 30 Juni 2015 sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji atau Upah
per bulan dengan ketentuan:
o 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
o 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.
5. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta sebagaimana dimaksud di atas yang
dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah
per bulan dengan ketentuan:
o 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
o 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.
6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja serta keluarga peserta:
o Sebesar Rp 25.500 (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per
bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
o Sebesar Rp 42.500 (empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per orang per
bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
o Sebesar Rp 59.500 (lima puluh sembilan ribulima ratus rupiah) per orang
per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
6
7. Iuran Jaminan Kesehatan bagi penerima pensiun ditetapkan sebsar 5% (lima persen)
dari besaran pensiun pokok dan tunjangan keluarga yang diterima perbulan dengan
ketentuan:
o 3% (tiga persen) dibayar oleh Pemerintah: dan
o 2% (dua persen) dibayar oleh penerima pensiun
8. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau
anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan
sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per
bulan, dibayar oleh Pemerintah.
9. Besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi anggota keluarga PesertaPenerima Upah
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari Gaji atau Upah Peserta Pekerja Penerima
Upah per orang per bulan (Perpres No. 111 tahun 2013).
7
1) Peserta
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
2) Pekerja
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan
dalam bentuk lain.
3) Pemberi Kerja
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang
mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lainnya.
Peserta yang mengikuti program JKN terbagi dalam dua golongan yaitu:
a. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan meliputi orang yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdiri atas:
1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
o Pegawai Negeri Sipil;
o Anggota TNI;
o Anggota Polri;
o Pejabat Negara;
o Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
o Pegawai Swasta; dan
o Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang
menerima Upah.
2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
o Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan
o Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
o Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga
negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam)
bulan.
3. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:
o Investor;
o Pemberi Kerja;
o Penerima Pensiun;
o Veteran;
o Perintis Kemerdekaan; dan
o Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e
yang mampu membayar Iuran.
4. Penerima pensiun terdiri atas:
8
oPegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
oAnggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
oPejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
oPenerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
oJanda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang
mendapat hak pensiun.
5. Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
o Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan
o Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta,
dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak
mempunyai penghasilan sendiri; dan
o Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25
(duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
o Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan
anggota keluarga yang lain.
9
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh
pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh
Fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
Di dalam sebuah sistem, tidak terkecuali adalah sistem yang mengatur tentang
kesehatan, diperlukan input yang dapat mendukung berjalannya upaya-upaya dari sistem
tersebut. Didalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional, menyebutkan bahwa demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dan berjalannya setiap upaya kesehatan, hal tersebut harus didukung oleh input yang
memadai salah satunya adalah berasal dari subsistem pembiayaan kesehatan. Subsistem
pembiayaan kesehatan adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan
pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
10
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan tersebut, dilakukan melalui penggalian
dan pengumpulan berbagai sumber dana yang dapat menjamin kesinambungan pembiayaan
pembangunan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional, serta menggunakannya secara
efisien dan efektif.
11
2.3 Telaah Kritis JKN dalam SKN di Indonesia
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan memasuki tahun ke-4. Ada begitu banyak harapan, pujian, dan juga kritikan yang
mengiringi perjalanan program yang memiliki tujuan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat tersebut. Sebagai badan hukum publik yang mendapatkan amanat melaksanakan
program JKN-KIS, kinerja BPJS Kesehatan sepanjang tahun 2016 juga dinilai semakin positif.
Ini tentunya menjadi modal yang sangat penting dalam menuju cakupan semesta (universal
health coverage/UHC) jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Pelaksanaan program JKN telah dilewati dengan pencapaian kinerja yang terus
membaik. Di usianya yang masih sangat muda, program ini telah dirasakan manfaatnya oleh
lebih dari setengah penduduk Indonesia, dari yang di kota hingga yang ada di pelosok negeri.
Program ini juga telah membuat Indonesia menjadi fokus perhatian dunia. Karena dari sisi
besaran potensi warga yang dilindungi oleh program JKN-KIS merupakan salah satu sistem
jaminan kesehatan terbesar di dunia.
12
mengingat kebijakan yang dijalankan begitu cepat di Indonesia sedangkan di negara lain
bahkan yang lebih maju membutuhkan waktu bertahu-tahun untuk mengupayakan Universal
Health Coverage tersebut. Dari begitu banyak permasalahan tersebut (hampir sama baik di
tingkat pusat, provinsi maupun daerah Kabupaten/ Kota), ada beberapa hal determinan untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan pelayanan kesehatan pada program Jaminan Kesehatan
diantaranya sbb:
1. Menambah Kepesertaan
Secara aktuaria, setiap orang akan memiliki probabilitas sakit 0,003 (dari 1.000.000
penduduk ada 3.000 orang yang sakit). Pemerintah mengupayakan agar seluruh masyarakat
dapat tercakup pembiayaan, impiannya adalah keadilan yang merata (equity egaliter)
sehingga setiap penduduk mendapatkan apa yang dia butuhkan. Untuk itu berdasarkan
hukum bilangan besar, maka diupayakan untuk menambah jumlah peserta sehingga akan
membesar manfaat, lebih kuat untuk saling membantu, dan berkelanjutan. JKN merupakan
program jaminan sosial untuk setiap orang, (sesuai amanat UUD 1945 pasal 34) juga pasal
28H negara memenuhi hak layanan kesehatan. Diharapkan sampai dengan tahun 2019
semua masyarakat Indonesia sudah Universal Health Coverage. Hingga 13 Januari 2017,
jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 172.620.269 juta jiwa.
13
3. Melengkapi Kebutuhan Fasilitas Kesehatan
Hal yang salah di masyarakat adalah kartu BPJS dianggap sebagai kartu sakit bukan
payung kesehatan manakala sakit. Kepesertaan telah memicu insurance induced demand
(moral hazard) peserta, dimana peserta yang sakit meskipun sebenarnya dapat dilayanai
pada faskes yang lebih rendah (faskes pertama) tetapi tetap meminta dirawat di faskes
lanjut. Hal inilah salah satu yang memicu meluapnya pasien BPJS di RS. Penambahan
faskes yang bekerjasama dengan BPJS tidak mampu menandingi kecepatan tambahan
peserta. Faskes masih memerlukan penambahan berupa 16.802 faskes tingkat pertama dan
37.443 tempat tidur di faskes rujukan, mengingat bertambahnya jumlah peserta setiap
harinya. Idealnya, 1 dokter untuk 3500 peserta agar layanan maksimal, dengan per dokter
menerima 25-30 pasien untuk menghindari human error. Banyak praktisi kesehatan
terutama dari RS yang harus menambah fasilitas, obat, ruang lain untuk pelayanan, rawat
intensif, bahkan peningkatan frekuensi alat penunjang medis.
Saat ini Indonesia memiliki 119.580 dokter umum dan 15.439 dokter spesialis,
dengan penyebaran yang banyak terpusat di ibu kota maupun ibu kota provinsi melebihi
kebutuhan, sementaradaerah lain perbandingan jauh lebih besar karena kekurangan dokter.
Ketimpangan jumlah dokter antardaerah menyebabkan dokter kelebihan beban jumlah
pasien, apalagi ada tambahan pasien JKN dari pekerja penerima upah sehingga mutu
layanan menurun.Untuk mengantisipasi ketimpangan tersebut perlu distribusi yang merata
dan adil. Minimnya pembelanjaan kesehatan termasuk fasilitas, infrastruktur maupun
bahan alat/medis habis pakai terkait dengan masih kurangnya anggaran kesehatan yaitu
sebesar 2,4% APBN (44,8 milyar) yang masih jauh dari amanat UU No 36 Tahun 2009
sebesar 5% APBN, besar pengharapan pada anggaran daerah untuk membantu pelaksanaan
pelayanan kesehatan secara komprehensif (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif)
tidak hanya sektor kuratif melainkan juga kepentingan kelancaran program yang akan
mendukung menuju terlaksananya indikator pembangunan manusia Indonesia yang lebih
sehat.
14
b. Sistem Rujukan
Asymentri informasi masyarakat karena prosedur yang rumit dan lama tidak
jarang mendorong peserta tidak menggunakan kartu BPJS sehingga merugikan peserta
BPJS. Disamping itu, mekanisme rujukan tidak boleh ada rayonisasi atau pembatasan
yurisdiksi dalam layanan rujukan.UU RS No.44/2009 Pasal 32.g memberi hak
memilih dokter (kelas perawatan dengan konsekuensi membayar sendiri atau
selisihnya). UU praktik kedokteran (No.29/2004) Pasal 51, Mewajibkan dokter atau
dokter gigi yang mempunyai kemampuan lebih baik apabila kasus yang ditanganinya
di luar kemampuannya. Hal ini berarti pasien memilih pelayanan kesehatan di faskes
pertama maupun memilih dokter di faskes rujukan sesuai keingingan, tetapi tetap harus
faskes yang bekerja sama dengan BPJS, diluar itu pasien harus membayar sendiri biaya
pelayanan kesehatan Pada kenyataan karena alasan efisiensi sistem, peserta/ pasien
harus menerima bahwa rujukan berjenjang merupakan suatu keharusan.
c. Advokasi Pada BPJS maupun Pihak PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan untuk Tidak
Melakukan Pembatasan Pelayanan)
Disebutkan dalam Perpres 111/2013 bahwa manfaat bersifat komprehensif,
termasuk pengaturan permenkes tentang tarif kapitasi dan CBG.Kadang BPJS
membatasi pemberian obat dan layanan dengan alasan tidak dijamin JKN sementara
prinsip JKN sebenarnya adalah semua kebutuhan medis pasien harus diberikan.
Pembatasan jumlah haemodialisa, kemoterapi maupun obat lainnya akanmembuat
keparahan (severity) pasien bertambah. Dalam Thabrany (2014) disebutkan jika terjadi
keadaan pasien sampai meninggal atau cacat maka peserta dapat menuntut BPJS,
tetapi pada kenyataannya banyak kejadian belum ada solusi untuk mengatasi. Hal ini
memerlukan evaluasi lebih lanjut.
15
Dengan adanya JKN, harapannya masyarakat Indonesia memiliki kekuatan
pembiayaan sehingga dapat mengurangi pengeluaran kesehatan yang semakin tahun
semakin meningkat terutama Out of Pocket (pengeluaran kesehatan dari kantung
sendiri).
Penguatan pembiayaan sebagai salah satu pilar (sub sistem pembiayaan) dari
Sistem Kesehatan Nasional diharapkan dapat menekan pengeluaran dari saku sendiri
dengan bantuan sektor publik, meskipun demikian JKN tetap harus merupakan payung
bukan merupakan alat pembayaran ketika sakit (moral hazard peserta). Paradigma
sehat tetap harus ditegakkan lebih baik mencegah dariapda mengobati.Adanya JKN
hanya salah satu upaya membantu meringankan pembiayaan tetapi kunci kesehatan
tetap berada di tangan masing-masing individu.
Selain itu, sampai saat ini, implementasi dari pembiayaan kesehatan, masih
banyak yang harus diperhatikan dan dievaluasi. Adapun evaluasi terhadap pelaksanaan
pembiayaan kesehatan di Indonesia antara lain sebagai berikut.
o Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional memperlihatkan bahwa Indonesia
sampai saat ini mengutamakan pembiayaan kesehatan yang upaya kesehatan yang
bersifat kuratif saja. Pembiayaan untuk upaya kesehatan preventifnya, belum
mendapatkan porsi dalam pengaturan anggaran di Jaminan Kesehatan Nasional.
Melihat pada hal tersebut, menjelaskan bahwasanya pembiayaan kesehatan yang
mendukung upaya promotif preventif akan menjadi salah satu tantangan bagi
bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan biaya pelayanan upaya
kesehatan perorangannya masih mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar
dibandingkan biaya untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal pelayanan
kedokteran dipandang kurang efektif dari pada pelayanan kesehatan masyarakat.
o Menurut Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa alokasi anggaran kesehatan adalah minimal 5%
dari APBN, dan minimal 10% dari APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota) dengan
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran APBN dan
APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota). Tetapi kenyataannya hal tersebut belum
terpenuhi dalam RAPBN 2014 dan selama ini pun anggaran kesehatan hanya
berada di kisaran 2% total belanja pemerintah, baik melalui APBN maupun
APBD. Melihat kecilnya persentase alokasi anggaran untuk kesehatan di
Indonesia, tidak mengherankan jika hal tersebut dapat menciptakan
ketidakmerataan distribusi anggaran pembiayaan kesehatan yang penyebaran
dananya kebanyakan justru lebih besar beredar di daerah perkotaan. Selain itu,
sudah dipastikan jika semakin kecilnya anggaran, hal tersebut juga akan berdampak
pada minimnya pelayanan kesehatan, apalagi jika anggaran kesehatan tersebut
harus di bagi ke seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan
sangat luas kawasannya.
16
o Persentase anggaran kesehatan harus ditingkatkan mengingat jumlah penduduk
yang bertambah banyak akan membuat daftar masalah kesehatan pun ikut
bertambah. Namun meski anggaran untuk kesehatan dinaikkan, hal tersebut tidak
akan membawa dampak yang signifikan jika pemerintah hanya mengutamakan
upaya kesehatan perorangan daripada upaya kesehatan masyarakat. Jika upaya
kesehatan masyarakat tidak mengalami perbaikan yang signifikan dalam segi
alokasi anggaran pembiayaan kesehatan, dikhawatirkan justru kelak seluruh beban
kesehatan dilimpahkan kepada BPJS sehingga menjadikan BPJS sebagai tempat
pembuangan dari pembiayaan kesehatan atau pengobatan. Selain itu, jika semua
urusan kesehatan komunitas/masyarakat pun lari ke BPJS mengingat besaran
anggaran kesehatan sangat kecil di APBN dan APBD, maka pemerintah akan lepas
tangan untuk mengurus kesehatan komunitas/masyarakat. Padahal pembiayaan
kesehatan untuk pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public
good) yang menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan tanggungjawab dari
institusi (BPJS).
Perkembangan JKN-BPJS
Peserta
• Jumlah peserta bertambah 4,8 juta jiwa dari tahun 2015, yaitu dari 171,9 juta jiwa menjadi
176,7 juta jiwa.
17
• Cakupan kepesertaan JKN sebanyak 74.37% dari total penduduk Indonesia
• Sebanyak 50.858 Badan Usaha telah mendaftar dan sebanyak 43.388 Badan Usaha belum
mendaftar.
Fasilitas Kesehatan
• Jumlah FKTP di tahun 2017 bertambah 58 FKTP dari 20.708 (31 Desember 2016) menjadi
20.766 (1 Mei 2017)
• Jumlah FKTRL di tahun 2017 bertambah 216 dari 2.068 FKTRL menjadi 2.284
18
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Tantangan BPJS
1. Peningkatan rekrutmen peserta.
80,8 juta penduduk Indonesia belum mendaftarkan diri sebagai peserta JKN.
43.388 (2017) Badan Usaha yang belum mendaftarkan pekerja dan anggota
keluarganya menjadi peserta Program JKN-KIS.
Badan Usaha belum melakukan registrasi seluruh data pegawai dan anggota
keluarganya 100% secara lengkap dan benar
Badan Usaha patuh dalam melaksanakan kewajiban membayar iuran tepat jumlah
dan waktu.
19
7. Melakukan sosialisasi, edukasi dan menggerakkan partisipasi dan peran serta masyarakat
dalam melakukan pola hidup sehat dan sadar memiliki jaminan kesehatan.
8. Terjadi transmisi epidemologi dari sebelumnya beban penyakit disebabkan oleh penyakit
menular tetapi pada masa sekarang ini beban penyakit bergeser disebabkan oleh Penyakit
Tidak Menular (PTM). Berdasarkan data WHO untuk beban penyakit global, pada tahun
1990 proporsi beban penyakit menular sebesar 56% sedangkan beban penyakit tidak
menular menyumbang sebesar 37% dari total beban penyakit, maka di tahun 2015 penyakit
tidak menular menyumbang sebesar 57% dari beban penyakit dan penyakit menular
menyumbangkan 30% dari total beban penyakit.
DJSN menemukan 8 masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat
(KIS) yang perlu diperbaiki. Kedelapan masalah itulah yang selama ini dianggap sebagai bagian
dari penghambat program JKN/KIS. Kedelapan aspek tersebut, diantarnya:
Pertama, aspek kepesertaan, yaitu penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat
pendaftaran peserta JKN/KIS. Ini diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 dan
Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17 Tahun 2016. Anggota DJSN, Zaenal Abidin, melihat
ada yang perlu diperbaiki dalam mekanisme pendaftaran itu karena Peraturan Presiden (Perpres)
No. 19 Tahun 2016 yang telah diubah menjadi Perpres No. 28 Tahun 2016 menyebut NIK bukan
syarat wajib kepesertaan. Syarat kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum bisa disediakan oleh
instansi yang bertanggungjawab, BPJS Kesehatan mestinya menyediakan identitas sementara
untuk peserta yang belum punya NIK.
Kedua, soal pelayanan, menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas dalam program
JKN/KIS yang berjalan selama ini belum optimal. Portabilitas artinya setiap peserta dapat
menikmati layanan kesehatan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun seorang
peserta pergi ke daerah lain, ia tetap bisa mendapatkan layanan. Namun, dari sejumlah fasilitas
kesehatan (faskes) yang ditemui DJSN menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang membatasi
pelayanan bagi peserta yang berobat di luar faskes tingkat pertama (FKTP) tempat peserta
terdaftar. Peserta bisa mendapat pelayanan di FKTP itu maksimal 3 kali. Ada juga FKTP menolak
melayani peserta dari FKTP wilayah lain dengan alasan mekanisme pembayaran untuk portabilitas
belum jelas. Jika tetap ingin dilayani, ia harus menghubungi layanan di daerah asal. Pemantauan
DJSN menunjukan portabilitas pada kasus darurat relatif berjalan. Tapi hal serupa tidak ditemui
dalam portabilitas pelayanan non darurat. DJSN merekomendasikan agar pembatasan pelayanan
sebanyak 3 kali itu ditujukan kepada peserta yang terdaftar di faskes yang masih dalam satu
kabupaten/kota; menyediakan petugas call center di daerah untuk pelayanan portabilitas; dan
mengembangkan pola pembayaran khusus kepada FKTP yang memberi pelayanan kepada peserta
yang berasal dari FKTP daerah lain.
20
administratif pemerintan daerah. DJSN menilai regionalisasi rujukan tidak tepat karena
menyebabkan peserta terhambat untuk mengakses pelayanan kesehatan. Peserta harus menempuh
jarak yang jauh dengan biaya yang besar untuk mencapai sebuah faskes. Masalah rujukan juga
dialami peserta karena FKTP hanya boleh merujuk ke RS tipe C terlebih dulu. Padahal, tidak
semua RS tipe C punya fasilitas dan SDM yang bisa melayani peserta sesuai diagnosa rujukan. Itu
menimbulkan kesan pelayanan terhadap peserta diperlambat atau dipersulit. Bahkan bisa
menyebabkan kondisi penyakit yang diderita peserta lebih parah dan meningkatkan biaya
transportasi rujukan yang ditanggung BPJS Kesehatan. Untuk mengatasi masalah rujukan itu
DJSN mengusulkan agar regionalisasi rujukan diatur berdasarkan ‘konsep jangkauan’ dan
‘kemampuan’ faskes.
Keempat, soal kriteria gawat darurat (emergency). Selama dua tahun program JKN/KIS berjalan,
kriteria gawat darurat jadi kendala pelaksanaan pelayanan kesehatan di lapangan. Belum ada
regulasi yang detail mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan.
Penjaminan BPJS Kesehatan dalam kasus gawat darurat di faskes yang tidak bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan hanya mengacu diganosa, bukan kriteria yang dimaksud darurat. DJSN
merekomendasikan BPJS Kesehatan, IDI dan perhimpunan profesi untuk menetapkan kriteria
darurat dan stabil. BPJS Kesehatan dituntut mampu mengumpulkan informasi tentang kemampuan
dan ketersediaan tempat tidur di faskes yang bekerjasama. Sehingga pasien darurat dapat
dipindahkan ke RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Kelima, perihal pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan rawat inap yang ada saat
ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu jelas menyebut
kelas perawatan bagi peserta yang membutuhkan rawat inap menggunakan kelas standar tanpa ada
pembagian kelas. Pembagian kelas I, II dan III sebagaimana berlangsung saat ini berdampak
terhadap diskriminasi pelayanan karena tarif yang dibayar berbeda, tergantung kelas
perawatannya. Diskriminasi ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana amanat
UU SJSN dan UU BPJS.
Keenam, menyoal pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat item obat dalam e-catalog tidak
dapat memenuhi kebutuhan. Karena itu e-catalog bukan satu-satunya cara untuk pengadaan obat
dalam program JKN/KIS. Item obat yang tidak ada di e-catalog dapat mengacu harga pasar. Tetapi
terkendala Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Beleid ini menyebut pengajuan klaim atas obat
program rujuk balik, obat penyakit kronis dan kemoterapi serta biaya pelayanan kefarmasian
mengacu pada harga dasar obat sesuai e-catalog. DJSN merekomendasikan agar Permenkes itu
ditinjau ulang.
Ketujuh, terkait klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang
SJSN mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut. Zaenal mengatakan
ketentuan itu tidak terpenuhi karena tarif INA-CBGs sudah ditetapkan berdasarkan regional
21
sehingga menutup ruang kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes untuk
menentukan tarif. DJSN menilai pembagian tarif INA-CBGs berdasarkan tipe RS berdampak pada
mutu pelayanan di daerah terpencil sehingga tidak terwujud prinsip ekuitas sebagaimana amanat
UU SJSN. Padahal RS tipe paling rendah sampai tinggi memberikan standar pelayanan yang sama.
Pembayaran berdasarkan kelas di RS itu dianggap DJSN bertentangan dengan pasal 19 ayat (1)
UU SJSN. Untuk membenahi masalah klasifikasi tarif INA-CBGs itu DJSN merekomendasikan
Kementerian Kesehatan membuat kisaran tarif sebagai ruang untuk kesepakatan antara BPJS
Kesehatan dan asosiasi faskes. Kemudian, membuat tarif yang acuannya bukan tipe kelas RS tapi
kemampuan RS. BPJS Kesehatan perlu menegosiasikan tarif kepada setiap faskes berdasarkan
nilai kredensialing.
Kedelapan, pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini pengaturan pembagian jasa medis
di RS pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU) hanya mencantumkan presentase
maksimal. Dikhawatirkan ini disalahgunakan manajemen RS dan merugikan tenaga medis.
Sementara RS atau faskes pemerintah daerah yang belum BLUD pembagian remunerasinya dapat
tertunda dan tidak pasti. Jelas kondisi tersebut menurunkan motivasi tenaga pelaksana, sehingga
berpengaruh terhadap mutu pelayanan peserta JKN/KIS.
Pembagian
22
BAB III
KESIMPULAN
Di dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional,
menyebutkan bahwa demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dan
berjalannya setiap upaya kesehatan, hal tersebut harus didukung oleh input yang memadai salah
satunya adalah berasal dari subsistem pembiayaan kesehatan. Subsistem pembiayaan kesehatan
adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan
untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Perencanaan dan pengaturan
pembiayaan kesehatan tersebut, dilakukan melalui penggalian dan pengumpulan berbagai sumber
dana yang dapat menjamin kesinambungan pembiayaan pembangunan kesehatan,
mengalokasikannya secara rasional, serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Pembiayaan
kesehatan di Indonesia saat ini diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan yang kita
kenal dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan fokus mengembangkan mekanisme
asuransi sosial yang pada tahun 2019 diharapkan akan mencapai universal health coverage sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah program Pemerintah yang bertujuan
memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia untuk
dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan
Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi
dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat
yang layak. Adapun prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional pada prinsip-prinsip Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diantaranya prinsip kegotongroyongan, prinsip nirlaba,
portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, prinsip dana amanat, dam prinsip hasil pengolahan. Secara
umum program ini bermanfaat untuk memberikan pelayanan kesehatan, namun tidak semua
pelayanan kesehatan dapat dicover oleh program ini, hanya pelayanan-pelayanan kesehatan yang
telah ditetapkan saja lah yang dicover oleh program JKN ini. Program ini mendapatkan dana untuk
pembiayaan jaminan kesehatan melalui pembayaran iuran wajib yang dibayarkan oleh peserta
setiap bulannya dan biasa dikenal sebagai premi bulanan. Semua masyarakat Indonesia,
diwajibkan untuk mengikuti program ini.
Selama lebih kurang empat tahun program JKN ini berjalan, program ini tentunya juga
menemui permasalahan diantaranya mengenai masalah kepesertaan, kurangnyapelayanan
kesehatan primer, kurangnya fasilitas kesehatan, dll.
23
DAFTAR PUSTAKA
http://www.depkes.go.id/resources/download/jkn/buku-pegangan-sosialisasi-jkn.pdf (Diakses
pada Kamis, 4 Mei 2017 pukul 16.00)
http://persakmi.or.id/program/menyoal-jkn-dalam-sistem-kesehatan-nasional-skn/ (Diakses pada
Kamis, 4 Mei 2017 pukul 17.00)
http://hapsafkmui.tumblr.com/post/114845799178/evaluasi-subsistem-pembiayaan-kesehatan
(Diakses pada Kamis, 4 Mei 2017 pukul 22.15)
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2017/426/Masuki-Tahun-ke-4-BPJS-
Kesehatan-Upayakan-Program-JKN-KIS-Makin-Berkualitas (Diakses pada Kamis, 4 Mei 2017
pukul 22.00)
24